SULING NAGA : JILID-53


Saat Hong Beng menerima cawan arak itu, pemuda ini merasa betapa jari tangan yang halus lunak dan hangat menyentuh jarinya. Dia tidak berani menolak, lalu menghaturkan terima kasih sambil minum arak itu sampai habis. Arak yang manis dan enak. Akan tetapi Ang Nio memenuhi cawannya lagi.

Sin-kiam Mo-li menyodorkan arak dalam cawan itu sambil berkata, "Cawan ke dua ini untuk menghormatimu sebagai tamu kami, taihiap."

Kembali Hong Beng minum arak itu tanpa membantah. Para tosu tertawa dan suasana menjadi gembira ketika Pek Nio dan Hek Nio datang seperti menari-nari, membawa baki yang berisi mangkok-mangkok penuh masakan yang beraneka macam, masih panas mengepul dan baunya sedap bukan main.

"Aihhh, bukan main sedapnya!" beberapa orang tosu berseru sambil mengecap-ngecap bibir.

Segera masakan di dalam mangkok-mangkok besar itu diatur di atas meja dan Sin-kiam Mo-li mempersilakan mereka makan minum. Hong Beng tidak bersikap malu-malu lagi karena memang perutnya juga sudah lapar sekali. Dia pun turut memainkan sepasang sumpitnya untuk memindahkan potongan-potongan daging dan sayur ke dalam perut melalui mulutnya, disiram oleh arak yang manis dan sedap.

Sebentar saja, sembilan orang itu telah makan sampai kenyang dan para tosu sudah menjadi setengah mabok karena terlalu banyak minum arak. Hong Beng menjaga diri dan hanya minum kalau setengah dipaksa oleh Sin-kiam Mo-li. Wanita ini sendiri, biar pun tidak mabok, namun wajahnya yang putih cantik itu telah menjadi merah sekali dan sepasang matanya seperti berminyak dan mengkilat.

Tiba-tiba ia menuangkan arak ke dalam cawan araknya sendiri yang setengahnya masih terisi, lalu mengangkat cawan arak itu diberikan kepada Hong Beng! Tentu saja pemuda ini ragu-ragu untuk menerimanya. Cawan itu milik Sin-kiam Mo-li, dan tadi masih ada setengahnya! Akan tetapi Sin kiam Mo-li dengan senyum manis sekali dan memandang dengan penuh gairah, berkata dengan suara yang merdu merayu.

"Gu-taihiap, atas nama persahabatan antara kita, demi eratnya persahabatan kita yang mesra, sudilah engkau menerima arak ini, taihiap."

Bagaimana mungkin Hong Beng mampu menolak? Suguhan arak itu diberikan dengan alasan persahabatan dan kalau dia menolak, berarti dia tidak mau bersahabat! Dan sinar mata wanita itu demikian jeli, demikian penuh permohonan, sehingga dia pun tidak tega lagi untuk menolak! Pemuda ini sama sekali tidak sadar bahwa Sin-kiam Mo-li telah mempergunakan kekuatan sihirnya, mulai merayunya melalui suguhan arak!

Hong Beng minum habis arak itu dan ketika dia meletakkan cawan kosong itu di depan Sin-kiam Mo-li, wanita itu menurunkan tangannya seperti tidak disengaja. Akan tetapi tangan itu kini menutup tangan kiri Hong Beng dan jari-jari tangan yang kecil panjang dan lunak hangat itu mencengkeram punggung tangan Hong Beng.

Seperti orang linglung, Hong Beng mengangkat muka memandang dan melihat betapa cantiknya wajah wanita di sebelahnya itu, yang memandang padanya dengan sepasang mata seperti matahari kembar dan senyum yang lebih manis dan hangat dari pada arak yang diminumnya tadi. Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar keras, jalan darahnya berdenyut-denyut dan belum pernah rasanya dia melihat wanita yang secantik Sin-kiam Mo-li!

Tanpa disadarinya, dia pun membalas senyum itu. Bahkan dia lalu membalikkan tangan kirinya dan jari-jari tangannya bertemu dengan jemari tangan wanita itu. Telapak tangan mereka juga bertemu dengan hangatnya.

"Ha-ha-ha, tiba saatnya bagi kita untuk bermesraan!" terdengar suara seorang di antara tosu-tosu itu.

Ketika Hong Beng menengok, ternyata Ok Cin Cu telah menangkap pinggang ramping dari Hek Nio. Kini gadis berpakaian serba hitam itu telah ditarik ke atas pangkuannya! Hek Nio hanya terkekeh genit ketika tosu itu meraba-raba dan menciumnya.

"Siancai...!" kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw dengan alis berkerut saat melihat ulah anak buahnya itu. "Kita belum lagi mengadakan rapat pembicaraan tentang perjuangan itu sampai matang. Urusan senang-senang boleh ditunda dulu."

"Hai, Ok Cin Cu, jangan tamak engkau!" seru Ang Bin Tosu tokoh Pek-lian-kauw kepada tokoh Pat-kwa-kauw itu. "Kita ada bertujuh di sini, dan ceweknya hanya ada tiga orang! Harus dibagi rata!"

"Sebaiknya mereka melayani kita secara bergilir!"

"Diundi dulu, siapa yang paling dulu dan bagaimana cara gilirannya menurut undian!"

Sambil tertawa-tawa, tujuh orang tosu itu memberi usul-usul. Akhirnya Sin-kiam Mo-li yang masih saling berpegang tangan dengan Hong Beng itu berkata,

"Cuwi totiang, harap jangan ribut-ribut. Kita di antara kawan sendiri, bukan? Dengarlah, urusan rapat, sebaiknya dilanjutkan besok siang saja karena malam ini aku... ehhh…," ia menoleh kepada Hong Beng, "ingin beristirahat dulu. Dan tiga orang pembantuku itu boleh saja melayani kalian, dan memang sebaiknya diadakan undian sehingga tidak terjadi perebutan."

Ia lalu bangkit berdiri dan menarik Hong Beng bangun. Pemuda ini menurut saja ditarik bangkit seperti orang kehilangan semangat. Memang semangat dan kemauannya telah ditekan dan dikurung oleh kekuatan sihir Sin-kiam Mo-li.

"Tentang undian itu, silakan atur sendiri. Nah, aku mengundurkan diri lebih dulu."

Sin-kiam Mo-li menarik tangan Hong Beng. Seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya dan kini ditarik ke pejagalan, Hong Beng menurut saja walau pun pandang matanya mulai bingung. Apa yang didengar dan dilihatnya di ruangan makan itu membuat bulu tengkuknya berdiri. Dia merasa ngeri dan muak sekali, akan tetapi sungguh aneh, tidak ada kemauan untuk meronta sama sekali ketika Sin-kiam Mo-li menariknya menuju ke kamar nyonya rumah itu!

Sejak kecil Hong Beng menerima gemblengan dari Suma Ciang Bun. Ilmu-ilmu dari Pulau Es adalah ilmu yang tinggi dan cara melatih sinkang membuat batin Hong Beng kuat sekali sehingga jika memang dia menyadari dan mengerahkan kekuatan batinnya, tidak mudah dia jatuh ke bawah pengaruh sihir. Akan tetapi, ketika dia makan minum dengan Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang cerdik dan dapat menduga akan kekuatan pemuda itu telah mempergunakan sihirnya secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit sehingga tanpa disadarinya, Hong Beng tercengkeram olehnya.

Akan tetapi, begitu melihat suasana yang dianggapnya memuakkan di ruangan makan tadi, di mana para tosu memperebutkan tiga orang pelayan wanita itu, keheranan dan kemuakan menyelinap di dalam benak Hong Beng dan membuat dia bercuriga. Walau pun kemauannya sudah lemah dan dia membiarkan dirinya ditarik oleh Sin-kiam Mo-li menuju ke dalam kamarnya, tetapi diam-diam Hong Beng mulai mengerahkan kekuatan batinnya.

Begitu masuk kamar, Sin-kiam Mo-li menendang daun pintu tertutup dan ia menarik Hong Beng ke tempat tidur, lalu menerkam pemuda itu, mendekap dan menciuminya seperti seekor harimau menerkam domba, penuh dengan nafsu birahi. Akau tetapi, hal ini bahkan mempercepat kesadaran Hong Beng yang meski pun tadi dipengaruhi sihir, namun masih belum disentuh deh nafsu birahi.

"Ihhh...!" Dia membentak, meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.

Sin-kiam Mo-li mengembangkan kedua lengannya ke arah Hong Beng sambil bangkit duduk. Sepasang matanya berminyak, mulutnya mulai merintih-rintih, namun ia masih mencoba untuk mengerahkan kekuatan sihirnya.

"Gu Hong Beng, kekasihku... kita... kita saling mencinta. Ke sinilah, sayang, marilah kita bersenang-senang... bukankah kita telah menjadi sahabat yang amat mesra dan akrab? Ke sinilah, taihiap, kekasihku tercinta..."

Akan tetapi, mendengar ucapan penuh rayuan yang amat asing baginya ini, kesadaran Hong Beng semakin pulih dan dia mengerutkan alisnya, lalu menudingkan telunjuknya dengan marah.

"Sin-kiam Mo-li, sungguh engkau perempuan yang tidak tahu malu, tidak mengenal kesusilaan. Apa yang telah kau lakukan ini? Aku bukanlah laki-laki pelacur seperti yang kau kira! Aku... aku akan pergi dari sini, mengajak pergi nona Kao Hong Li!" Berkata demikian, Hong Beng hendak keluar dari dalam kamar itu.

"Berhenti...!" Tiba-tiba suara Sin-kiam Mo-li sudah berubah.

Ketika ia berkelebat menghadang di depan pintu, Hong Beng melihat betapa wajah yang tadi nampak cantik manis itu sekarang nampak seperti wajah iblis betina yang beringas, sepasang mata itu mencorong penuh kekejaman dan mulut itu menyeringai mengerikan!

"Gu Hong Beng, laki-laki tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Engkau sudah menentukan pilihanmu sendiri. Bukankah engkau memilih di antara dua, yaitu menjadi tamu atau menjadi tawanan? Engkau memilih menjadi tamu dan aku memperlakukanmu seperti seorang tamu agung, akan tetapi apa balasanmu? Engkau malah menghinaku! Jangan harap engkau dapat keluar dari sini, apa lagi membawa muridku!" Berkata demikian, wanita yang marah itu maju menghampiri. "Masih kuberi kesempatan sekali lagi. Engkau mau melayani aku dan bersenang-senang dengan aku selama sebulan ini, ataukah engkau menjadi tawananku dan mungkin akan kubunuh?"

"Cih, perempuan tak tahu malu! Siapa yang takut mati? Lebih baik mampus dari pada menyerah kepadamu melakukan perbuatan hina dan rendah!"

"Keparat sombong!" Sin-kiam Mo-li membentak.

Wanita ini telah menerjang maju dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya menampar ke arah pelipis kepala Hong Beng. Pemuda ini sudah nekat. Bagaimana pun juga, tidak sudi dia memenuhi permintaan wanita iblis cabul itu dan biar pun dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, namun lebih baik dia mati dari pada harus menyerah.

Melihat datangnya pukulan dahsyat itu, dia pun menangkis dengan tangan kanannya sambil mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang yang sangat dingin, sedangkan tangan kirinya membarengi tangkisan itu, mendorong ke arah lambung lawan yang terbuka.

"Dukkk...!"

Dua lengan bertemu dan wanita itu cepat meliukkan tubuh menghindarkan dorongan ke arah lambungnya. Ia dapat merasa betapa tangkisan itu mengandung hawa amat dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya. Cepat ia mengerahkan sinkang melawan dan ia pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar tangguh, hal yang tidak aneh kalau diingat bahwa pemuda ini adalah murid keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki sinkang dahsyat, yaitu Hwi-yang Sinkang yang panas dan Swat-im Sinkang yang amat dingin.

Maklum bahwa menghadapi pemuda ini dengan tangan kosong akan memakan waktu lama dan tidak mudah baginya untuk merobohkannya, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat ke dekat meja dan menyambar sebatang kebutan bergagang emas yang bulunya merah. Begitu dikelebatkannya kebutan ini, nampak sinar merah bergulung-gulung menyambar ke arah Hong Beng.

Pemuda ini lalu melawan sekuat tenaga. Untuk menangkis dan menghindarkan diri dari kebutan berbulu merah yang mengandung racun itu, dia mengeluarkan ilmu silat Hong In Bun-hoat yang gerakan-gerakannya halus tapi mengandung kekuatan sinkang hebat sehingga dapat mendorong pergi ujung kebutan setiap kali ujung kebutan mengancam tubuhnya. Tetapi, karena dia tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li yang dibarengi dengan menyambarnya kebutan itu, menyerempet pinggang pemuda itu sehingga dia terpelanting dan terhuyung.

Marahlah Hong Beng. Dia kemudian nekat dan dengan mengeluarkan suara melengking nyaring, ia menyerang dengan Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang yang hebat. Ilmu ini adalah ilmu sesat dari Pulau Neraka, dimiliki oleh guru Hong Beng dari nenek Lulu dan biar pun ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun dahsyatnya bukan kepalang.

Begitu Hong Beng menyerang, diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut karena kebutannya dapat terpukul membalik, bahkan dadanya nyaris pula terkena pukulan. Untung ia masih sempat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik, lalu memutar kebutan di depan tubuh untuk menghalau serangan berikutnya.

Tapi Hong Beng tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Dia mendesak maju dengan jurus berikutnya dari Cui-beng Pat-ciang (Delapan Jurus Pengejar Arwah)! Kembali kebutan merah itu terpukul membalik dan dua pukulan tangan dari kanan kiri mengancam Sin-kiam Mo-li.

Wanita ini terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa murid keluarga Pulau Es memiliki pukulan yang demikian mengerikan, yang sifatnya ganas dan lebih tepat kalau dimiliki golongan sesat. Karena tidak mengenal jurus-jurus ini, maka ia terdesak dan terpaksa ia kembali melempar tubuh ke belakang, mendekati dinding dan sekaligus ia mencabut sebatang pedang yang tergantung di situ.

Dengan pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li sekarang menyerang Hong Beng. Hebat memang wanita ini kalau sudah memainkan dua buah senjatanya. Pedangnya menyambar-nyambar ganas sedangkan kebutannya membantu gerakan pedang, bahkan kedua senjata itu selain saling bantu dalam serangan, juga saling melindungi. Kalau pedang menangkis, kebutan menyerang dan sebaliknya.

Dan Hong Beng yang bertangan kosong itu terdesak hebat! Ketika dia tersudut dan tidak ada jalan keluar lagi, pemuda ini menjadi nekat hendak mengadu nyawa. Sambil mengeluarkan pekik dahsyat, dia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan Ilmu Silat Toat-beng Bian-kun, yang membuat kedua tangannya menjadi lemas bagai kapas, namun mengandung tenaga dahsyat yang dapat mencabut nyawa lawan dengan sekali pukul.

Namun, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li menyambar sedangkan kebutannya menotok ke arah pergelangan tangan yang memukul. Hong Beng tentu saja menarik tangannya karena maklum bahwa ujung kebutan itu beracun dan biar pun dia sudah miringkan tubuh, tetap saja pundaknya tercium pedang sehingga bajunya robek berikut kulit dan sedikit daging di pangkal lengan kirinya! Sebuah tendangan yang menyusul, membuat tubuhnya terlempar ke arah pintu kamar.

"Tukkk!"

Tubuh itu disambut oleh seorang tosu yang sudah menotoknya dengan ujung tongkat sehingga Hong Beng roboh dengan kaki tangan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi.

"Ha-ha-ha, apakah pengantinmu ini banyak bertingkah, Mo-li?" kata Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang tadi mempergunakan tongkat naga hitamnya menotok Hong Beng yang sudah terluka.

Tosu ini sedang menunggu gilirannya karena ketika menarik undian, gilirannya adalah yang terakhir. Tiga orang tosu memasuki kamar bersama tiga orang gadis pelayan, sedangkan yang tiga orang lagi termasuk Thian Kek Sengjin, menanti giliran mereka. Karena iseng, Thian Kek Sengjin lalu berjalan-jalan menuju ke kamar Sin-kiam Mo-li sehingga dia dapat merobohkan Hong Beng yang kebetulan terlempar ke pintu ketika dia membuka daun pintu karena mendengar suara perkelahian di dalam kamar itu.

"Biar kubunuh saja tikus kecil ini!" kata pula Thian Kek Sengjin sambil menggerakkan tongkatnya.

"Jangan!" teriak Sin-kiam Mo-li. "Dia menjadi sandera yang berharga bagi kita."

Memang wanita itu cerdik. Mendapat tawanan murid keluarga Pulau Es merupakan modal yang baik, karena pemuda itu dapat menjadi sandera yang tentu akan dihargai oleh keluarga Pulau Es. Selain itu, juga diam-diam ia masih mengharapkan untuk dapat mematahkan semangat pemuda ini dan suatu saat dapat menjatuhkan hati pemuda itu serta menariknya ke dalam pelukannya.

"Ha-ha-ha, pendapat itu boleh juga," kata Thian Kek Sengjin sambil tertawa. "Dan bagai mana jika pinto saja menggantikan pemuda ini untuk menghibur hatimu yang kecewa?"

Sin-kiam Mo-li mengangkat muka memandang tosu itu. Seorang tosu yang meski pun sudah tua, namun nampak masih penuh semangat. Tubuhnya kurus kering, akan tetapi mukanya merah darah dan gerak-geriknya masih tangkas dan gesit, sepasang matanya bercahaya seperti mata kucing. Boleh juga, pikirnya, karena selain hatinya kesal atas penolakan Hong Beng dan ia membutuhkan teman untuk menghiburnya, juga ia melihat keuntungannya kalau berbaik dengan tosu Pek-lian-kauw yang lihai dan mempunyai pengaruh besar di perkumpulannya itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Baiklah, totiang. Akan tetapi bantu dulu aku melempar orang keras kepala ini ke dalam kamar tahanan karena tiga orang pelayanku sedang sibuk melayani para tosu lainnya."

Tentu saja Thian Kek Sengjin gembira sekali. Dia bukanlah seorang pengejar wanita cantik seperti Ok Cin Cu dan yang lain, akan tetapi baginya jauh lebih menyenangkan menjadi teman tidur nyonya rumah yang meski pun sudah lebih tua, namun jauh lebih cantik menarik dari pada tiga orang gadis pelayan itu, apa lagi kalau dia memperoleh giliran paling akhir! Dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, sekali mencongkel dengan tongkatnya, tubuh pemuda itu terangkat naik dan dikempitnya.

"Ke mana ia harus dilempar?" tanyanya sambil menyeringai. Wajahnya yang kemerahan memang tidak begitu buruk seperti para tosu lainnya, maka tidak mengherankan kalau Sin-kiam Mo-li menerimanya.

"Mari ikuti aku," berkata wanita itu sambil memasuki sebuah pintu rahasia di ruangan belakang.

Pintu ini tersembunyi di balik sebuah almari yang digeser ke kiri dan di belakang pintu terdapat sebuah terowongan yang menuju ke bawah tanah. Kiranya rumah besar itu selain terjaga di sekelilingnya oleh tempat-tempat rahasia penuh jebakan, juga memiliki ruangan bawah tanah yang cukup luas!

Ia memasuki sebuah kamar tahanan di bawah tanah itu, kamar tahanan yang sangat kuat karena dindingnya dilapisi baja dan pintunya juga dari baja dengan ruji-ruji sebesar lengan yang amat kokohnya pada jendela kamar itu. Dengan kasar Thian Kek Sengjin melempar tubuh Hong Beng ke dalam kamar ini yang berlantai batu. Tubuh yang sudah lumpuh kaki tangannya dan tidak mampu bergerak itu terbanting ke atas lantai, lalu daun pintunya ditutup dan dikunci dari luar oleh Sin-kiam Mo-li.

Kebetulan Hong Beng terjatuh dengan muka menghadap keluar, maka Sin-kiam Mo-li memandang kepadanya, kemudian tersenyum dan berkata, "Gu Hong Beng, kalau aku menghendaki, saat ini engkau tentu sudah menjadi mayat."

"Bunuhlah, tak perlu banyak cerewet. Siapa takut mati?" Hong Beng menjawab. Yang lumpuh hanya kaki dan tangannya, sedangkan anggota tubuh lainnya tidak.

Sin-kiam Mo-li tidak marah, hanya tertawa. Kini ia sudah dapat mengatasi kekecewaan dan kemarahannya. Menghadapi seorang pemuda gagah perkasa dan keras hati seperti murid keluarga Pulau Es ini tidak boleh mempergunakan kekerasan seperti terhadap pemuda lain yang pernah diculiknya, hal ini ia tahu benar. Maka, ia pun ingin berganti siasat.

"Justru karena engkau tidak takut mati maka aku merasa sayang untuk membunuhmu. Nah, kuberi waktu padamu untuk merenungkan semua keadaanmu dan kuharap engkau tidak begitu tolol untuk mempertahankan kekerasan hatimu dan memilih mati secara konyol." Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li tersenyum dan menggandeng tangan Thian Kek Sengjin yang tertawa-tawa ketika mereka berdua bergandeng tangan pergi meninggalkan ruangan bawah tanah itu.

Hong Beng menggeletak di lantai kamar tahanan itu. Sunyi bukan main di situ, tidak terdengar suara apa pun dan tidak terlihat sesuatu yang bergerak. Dia merasa seperti berada di dunia lain! Untung masih ada sebuah lampu lentera tergantung di luar kamar tahanan dan sinarnya memasuki kamar melalui jendela jeruji baja.

Hong Beng maklum bahwa ia tak dapat mengharapkan bantuan dari luar. Mati hidupnya tergantung kepada dirinya sendiri dan selagi dia masih bernapas, dia tidak akan putus harapan. Akan tetapi, bagaimana pun juga, kalau jalan keselamatannya harus melalui penyerahan diri kepada Sin-kiam Mo-li seperti yang dikehendaki wanita cabul itu, dia tetap menolak dan memilih mati!

Dia sudah banyak mendengar dari suhu-nya dan juga dari pengalamannya di dunia kang-ouw mengenai wanita cabul macam Sin-kiam Mo-li. Kalau sudah bosan kepada seorang laki-laki, tentu akan dibunuhnya.

Yang paling penting adalah membebaskan totokan ini, pikirnya. Maka Hong Beng lalu memejamkan dua matanya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan pemuda ini mulai mengerahkan hawa murni di tubuhnya untuk membobol bendungan jalan darah yang tertotok. Totokan di punggung oleh tongkat tokoh Pek-lian-kauw tadi memang hebat dan melumpuhkan kedua kaki tangannya.

Akhirnya, setelah dia mulai dapat mengumpulkan tenaga dan daya totokan itu pun mulai melemah, dia mampu membebaskan diri dari totokan itu dan mampu menggerakkan kembali kaki tangannya. Hong Beng lalu bangkit duduk dan bersila, bersemedhi sekian lamanya sampai tenaganya pulih kembali.

Diperiksanya luka di pundak. Hanya luka lecet, tidak berbahaya dan darahnya sudah berhenti. Dengan robekan ikat pinggang, dibalutnya pundak itu. Kemudian dia bangkit berdiri berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan kekakuan kedua kakinya, barulah dia mulai memeriksa kamar tahanan itu.

Dicobanya ruji baja dan pintu, namun dia mendapat kenyataan bahwa dengan tenaga biasa, tak mungkin dia akan mampu lolos dari kamar baja ini seperti yang sudah diduga. Orang macam Sin-kiam Mo-li tidak mungkin demikian ceroboh dalam membuat kamar tahanan. Tiada jalan lain baginya kecuali menanti apa yang akan datang menimpanya. Yang penting, dia sudah dapat bergerak dan masih hidup! Maka dia pun kembali duduk bersila di tengah kamar itu, di atas lantai batu yang dingin.

Entah berapa lamanya dia bersemedhi, Hong Beng tidak tahu karena di dalam kamar tahanan itu tidak pernah dapat didengar suara apa-apa, juga hanya lentera itu yang menerangi cuaca sehingga dia tidak mengenal waktu. Tiba-tiba telinganya yang terlatih mendengar langkah kaki lirih menghampiri kamarnya dan tidak lama kemudian, dari jendela terdengar suara mendesis.

"Sssttt...!"

Hong Beng mengangkat muka dan melihat wajah gadis cilik yang mengaku bernama Kao Hong Li itu sudah menjenguk dari luar jeruji jendela. Cepat-cepat dia bangkit dan menghampiri.

"Suheng, aku menyesal sekali bahwa gara-gara aku engkau sampai tertangkap dan ditawan di sini," kata Hong Li.

"Nona... ehh, sumoi Kao Hong Li, apakah engkau dapat membuka pintu ini dari luar?"

Gadis remaja itu menggelengkan kepalanya. "Penyimpan kunci adalah subo sendiri dan pintu ini tidak mungkin dibuka tanpa kunci."

Hong Beng mengerti. "Sumoi, kalau begitu, selagi kini ada kesempatan, ceritakanlah kepadaku semua pengalamanmu secara singkat saja. Bagaimana engkau yang katanya dahulu diculik seorang pendeta Lama, tahu-tahu dapat menjadi anak angkat dari murid Sin-kiam Mo-li."

Tadi ketika diusir pergi oleh gurunya, Hong Li memasuki kamarnya dan anak ini mulai memutar otaknya. Hatinya merasa tidak senang kepada subo-nya dan timbul rasa penasaran, heran dan juga curiga terhadap subo-nya yang menjamu tujuh orang tosu yang kelihatan begitu kurang ajar, kasar dan ganas. Apa lagi ketika ia teringat kepada Gu Hong Beng, orang yang bahkan menjadi utusan ayah ibunya untuk mencarinya, hatinya dipenuhi rasa khawatir.

Malam itu, diam-diam ia keluar dari tempat tidurnya kemudian melakukan pengintaian. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat Gu Hong Beng dikempit oleh seorang tosu kurus kering yang berjalan menuju ke lorong bawah tanah bersama subo-nya. Ia menanti sampai dua orang yang tertawa-tawa sambil bergandeng tangan itu keluar dari lorong bawah tanah.

Hong Li bersikap hati-hati sekali, tidak berani segera memasuki lorong itu karena dia khawatir kalau-kalau subo-nya akan kembali. Ia menanti sampai jauh malam. Setelah suasana sunyi, tidak nampak tiga orang gadis pelayan yang ia tidak tahu entah berada di mana, tidak nampak seorang pun di luar kamar, ia lalu menyelinap dan memasuki lorong bawah tanah melalui pintu rahasia yang sudah dikenalnya. Seperti yang sudah dikhawatirkannya, dia melihat pemuda itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat itu.

"Aku dulu memang diculik orang, suheng," Hong Li mulai bercerita. "Penculikku adalah seorang kakek bernama Ang I Lama. Akan tetapi, di tengah perjalanan, aku ditolong dan dilarikan oleh subo yang kemudian mengangkatku sebagai anak dan mengambil aku sebagai murid, setelah minta aku berjanji untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Karena aku merasa berhutang budi, maka aku pun berjanji dan aku menjadi muridnya sampai sekarang."

Hong Beng mengerutkan alisnya. Kalau begitu, benarlah bahwa wanita iblis itu bukan penculik Hong Li, bahkan penolongnya! Lalu ia pun teringat akan kematian Ang I Lama yang kemudian dikabarkan bahwa pembunuhnya adalah ayah ibu gadis remaja ini.

"Adik Hong Li, apakah engkau tahu apa yang selanjutnya terjadi dengan Ang I Lama, penculikmu itu?"

"Ah, dia telah datang ke sini untuk merampasku kembali, akan tetapi dalam perkelahian yang amat hebat, akhirnya dia terkena tusukan pedang subo dan dia melarikan diri, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi."

Hong Beng mengangguk-angguk, kini mengerti bahwa pembunuh Ang I Lama adalah Sin-kiam Mo-li pula.

"Dengar, adik Hong Li, engkau telah terjatuh ke tangan orang yang amat jahat. Engkau tahu, orang yang menjadi gurumu itu bersekongkol dengan para tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, orang-orang yang amat jahat walau pun mereka berpakaian pendeta. Oleh karena itu sekarang engkau pergilah meninggalkan tempat ini. Selagi ada kesempatan, sumoi. Mereka semua sedang bersenang-senang dan engkau tentu akan mampu keluar dari daerah ini dengan selamat."

"Pergi? Tapi... ke mana...?" Gadis remaja itu memandang dengan mata terbelalak. "Aku tidak tahu jalan pulang..."

"Pergilah, ke mana saja asal tidak di sini. Perlahan-lahan engkau dapat mencari jalan pulang. Percayalah kepadaku, demi keselamatanmu, pergilah dari sini malam ini juga..."

"Akan tetapi engkau sendiri menjadi tawanan..."

"Jangan hiraukan aku, sumoi. Yang paling penting engkau harus bebas dari neraka ini sebelum terjadi hal yang lebih buruk atas dirimu. Aku akan menanti kesempatan dan berusaha menyelamatkan diri."

Akan tetapi gadis cilik itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, suheng. Aku tidak mungkin pergi dari sini meninggalkan subo."

"Ehhh? Kenapa tak mungkin?" Hong Beng memandang heran.

"Lupakah kau akan ceritaku tadi? Aku telah diselamatkan subo dari tangan penculikku dan aku sudah berjanji dengan sumpah untuk menjadi muridnya selama lima tahun. Sebelum lewat waktu itu, tak mungkin aku pergi meninggalkannya."

"Akan tetapi, ia bukan orang baik-baik. Ia seorang yang jahat sekali, iblis betina yang kejam, ahh, engkau tidak dapat membayangkan betapa kejam dan jahatnya..."

Hong Beng bergidik membayangkan gadis cilik ini menjadi murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li. "Engkau pergilah dari sini!"

"Tidak, suheng, bagaimana pun juga aku tidak akan pergi, kecuali kalau subo yang menyuruh aku pergi atau... kalau subo sudah tidak ada lagi. Selama ia masih hidup dan tidak menyuruh aku pergi, aku tidak akan melanggar janji dan sumpahku sendiri!"

Hong Beng memandang kagum. Bagaimana pun juga, anak ini sungguh mengagumkan dan pantas menjadi puteri keluarga Kao, keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir! Masih kecil namun sudah demikian gagah dan teguh memegang janji.

"Baiklah kalau begitu, pergilah keluar dari sini, sumoi, jangan sampai ketahuan orang lain bahwa engkau masuk ke sini."

"Nanti dulu, suheng, aku harus mencari akal bagaimana untuk dapat membebaskan engkau dari sini. Kalau engkau dapat keluar dari kamar ini, lalu aku mengantarkan kau keluar dari daerah kami, tentu kau akan selamat." Anak itu mengerutkan alisnya, berpikir mencari akal. Akan tetapi ia tidak dapat menemukan akal itu.

"Aihh..." ia mengeluh dan menggeleng kepala. "Satu-satunya jalan adalah mencuri kunci itu dari subo. Akan tetapi betapa mungkin kalau kunci itu selalu dikantonginya?"

“Memang tidak mungkin, murid murtad!" Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li dan wanita itu telah berdiri di ambang pintu!

Hong Li membalikkan tubuhnya menghadapi subo-nya, sedikit pun tidak nampak takut! Bukan kebetulan saja Sin-kiam Mo-li memasuki lorong bawah tanah itu.

Tadi sebagai pengganti Hong Beng yang menolaknya ia mengajak Thian Kek Sengjin ke dalam kamarnya. Tetapi ia sama sekali tidak memperoleh kepuasan atau kesenangan bersama tosu ini, bahkan ia merasa muak dan akhirnya ia menyuruh tosu itu pindah ke kamarnya sendiri dengan alasan bahwa kepalanya pusing dan ia mau istirahat dan tidur sendiri.

Dengan sikap penuh kemenangan Thian Kek Sengjin lalu meninggalkan kamar nyonya rumah itu, tidak merasa bahwa sebenarnya dia telah diusir oleh wanita cantik itu karena sikap Sin-kiam Mo-li yang halus. Setelah tosu itu pergi, Sin-kiam Mo-li gelisah tidak mampu pulas karena ia masih teringat kepada Hong Beng dan merasa penasaran.

Akhirnya, ia tidak tahan lagi dan keluar dari kamarnya, memasuki lorong bawah tanah dan ia mendengar ucapan terakhir dari muridnya. Tentu saja ia marah sekali melihat muridnya berada di situ dan bercakap-cakap dengan tawanannya, apa lagi mendengar ucapan terakhir muridnya yang menyatakan ingin mencuri kunci kamar tahanan itu.

Akan tetapi, Hong Li menghadapi subo-nya dan sinar mata anak ini sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut. Ia menentang mata subo-nya yang mencorong itu dengan membuka matanya lebar-lebar penuh rasa penasaran.

"Subo, kenapa subo menangkap suheng-ku? Suheng Gu Hong Beng ini adalah murid dari pamanku, dan dia datang ke sini karena hendak mencari aku yang hilang diculik orang. Subo harus membebaskan dia agar dapat melapor kepada ayah ibuku bahwa aku berada dalam keadaan selamat dan menjadi murid subo di sini!"

Sin-kiam Mo-li memandang dengan muka merah. Dalam keadaan biasa, tentu ia pun merasa kagum melihat keberanian muridnya. Akan tetapi ia sedang kecewa dan marah karena penolakan Hong Beng, maka kini ia menjadi marah sekali.

"Bocah setan! Engkau malah hendak membela musuh? Dia melanggar daerahku tanpa ijin, bahkan telah menentang orang-orangku. Dan engkau malah hendak mencuri kunci membebaskannya. Anak tak mengenal budi kau!"

Tiba-tiba tangannya menyambar dan biar pun Hong Li berusaha mengelak, tahu-tahu lengannya telah dapat ditangkap dan Sin-kiam Mo-li menyeretnya dan melemparkannya ke dalam kamar tahanan kosong di sebelah kamar tahanan Hong Beng itu, kemudian mengunci pintunya dari luar.

"Nah, kalau engkau berpihak kepada musuh, berarti engkau memusuhi aku dan menjadi anak angkat dan murid yang durhaka dan murtad. Biarlah engkau merasakan hukuman selama beberapa hari di situ!" Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li meninggalkan lorong itu. Keinginannya untuk kembali membujuk Hong Beng telah menjadi hilang oleh kemarahannya terhadap Hong Li.

"Ahh, sungguh celaka. Aku tidak mampu menolongmu, bahkan aku yang membuatmu dimarahi subo-mu dan sekarang engkau pun ditangkap dan dihukum," kata Hong Beng dengan hati menyesal bukan main.

Bagaimana dia tidak akan menyesal? Tadinya, biar pun menjadi murid iblis betina, Hong Li hidup bebas dan gembira. Setelah dia datang dengan usahanya membebaskan Hong Li, dia sendiri tertangkap dan gadis cilik ini ditawan pula karena dia!

"Sudahlah, suheng tidak perlu menyesal dan mengeluh. Aku malah ingin melihat apa yang akan dilakukan subo terhadap diriku, supaya aku memperoleh keyakinan orang macam apa adanya subo dan bagaimana perasaan hatinya terhadap diriku."

"Hemm, engkau tidak tahu, sumoi. Subo-mu itu adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nionio, seorang di antara tokoh-tokoh pemberontak jahat yang tewas di tangan para pendekar termasuk keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir! Kurasa ia tak bermaksud baik terhadap dirimu, karena ia adalah musuh besar dari para pendekar."

"Akan tetapi buktinya ia selalu bersikap baik kepadaku, dan baru sekarang ia marah kepadaku. Hal ini pun karena kesalahanku sendiri. Biarlah, aku akan melihat bagaimana sikapnya selanjutnya."

Dan anak yang berhati tabah sekali ini lalu dengan tenang saja merebahkan diri di atas lantai dingin dan memejamkan matanya! Melihat ini, Hong Beng semakin kagum. Dia pun lalu duduk bersila untuk bersemedhi, mempersiapkan diri untuk menghadapi apa pun juga.....

********************

"Sin-kiam Mo-li...! Aku Bi-kwi murid Sam Kwi datang berkunjung. Keluarlah dan temui aku karena aku tidak ingin melanggar daerahmu!"

Wanita itu adalah Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, wanita yang cantik. Berbeda dari hari-hari kemarin semenjak ia menjadi isteri Yo Jin, kini ia kembali seperti sebelum itu, seperti pada saat ia masih menjadi Bi-kwi yang sesat dan jahat. Kini ia mengenakan pakaian mewah sehingga membuat dirinya semakin cantik, apa lagi ia menambah pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Sebatang pedang tergantung di punggungnya.

Ini merupakan siasat yang telah diaturnya bersama Sim Houw dan Bi Lan. Untuk dapat mendekati Sin-kiam Mo-li dan menyelidiki apakah puteri keluarga Kao benar berada di situ, ia harus kembali menjadi Bi kwi murid Sam Kwi yang jahat, seorang tokoh dunia sesat yang ditakuti orang.

Sekarang ia berdiri di luar hutan pertama dari daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li dan beberapa kali ia mengeluarkan seruan itu dengan teriakan melengking nyaring karena didorong oleh tenaga khikang. Ia harus pandai bersandiwara, apa lagi di tempat itu terdapat para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang pernah bermusuhan dengannya karena ia membela Yo Jin.

Baru tiga kali ia mengulangi teriakannya, muncullah seorang gadis berpakaian serba hitam yang berwajah manis dan bersikap genit. Gadis ini adalah Hek Nio, seorang di antara tiga gadis pelayan Sin-kiam Mo-li. Ia diberi tugas untuk turun menyambut tamu itu.

Ketika Sin-kiam Mo-li mendengar suara itu, ia teringat bahwa mendiang ibu angkatnya memang bekerja sama dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang terkenal. Karena nama Bi-kwi juga sudah sangat terkenal di dunia kaum sesat, maka Sin-kiam Mo-li menganggapnya sebagai teman segolongan dan ia pun mengutus Hek Nio untuk keluar menyambut, sedangkan Ang Nio dan Pek Nio sibuk bekerja di dapur setelah mereka bertiga semalam suntuk melayani tujuh orang tosu yang tak mengenal lelah itu.

Melihat munculnya Hek Nio, Bi-kwi cepat maju menghampiri dan memberi hormat yang dibalas Hek Nio dengan hormat pula karena pelayan ini pun sudah pernah mendengar akan nama Bi-kwi yang lihai. Ia belum pernah bertemu dengan Bi-kwi, juga majikannya belum, akan tetapi tadi ia telah diberi tahu akan ciri-ciri Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li yang sudah mendengar pula tentang keadaan diri Bi -kwi.

"Benarkah saya berhadapan dengan Setan Cantik (Bi-kwi) Ciong Siu Kwi?" Hek Nio berkata, sikapnya tetap menghormat.

"Benar, akan tetapi aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li sendiri, bukan orang lain," kata Bi-kwi hati-hati. Dia sengaja memperlihatkan sikap angkuh, seperti sikapnya dahulu sebelum ia menjadi nyonya Yo Jin.

Hek Nio menjura. "Maafkan, saya adalah pelayan bernama Hek Nio yang diutus oleh majikan saya untuk menyambut tamu. Akan tetapi, bagaimana saya dapat yakin bahwa engkau adalah benar Bi-kwi Ciong Siu Kwi? Kata majikan saya, kalau bukan Bi-kwi yang sesungguhnya, tidak boleh masuk."

"Huh, apakah Sin-kiam Mo-li begitu bodoh sehingga tidak mengenal mana orang asli dan mana palsu? Mau bukti? Nah, inilah buktinya!"

Tiba-tiba saja, secepat kilat menyambar, tubuh Bi-kwi sudah bergerak ke depan, akan tetapi yang meluncur maju hanya tangannya saja, sedangkan tubuhnya tetap di tempat. Jarak antara ia dan pelayan itu ada satu setengah meter, tetapi lengannya dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah mencengkeram tengkuk pelayan itu dan mengangkatnya lalu melemparkannya ke atas!

Tentu saja Hek Nio terkejut setengah mati. Ia pun seorang yang sudah memperoleh latihan yang cukup lihai. Pada saat tangan Bi-kwi tadi bergerak ke depan, ia membuat perhitungan bahwa tangan itu tidak akan mencapai dirinya. Akan tetapi siapa kira bahwa lengan itu dapat mulur dan tahu-tahu tengkuknya ditangkap dan tubuhnya dilempar ke atas. Ia segera berjungkir balik dan dapat turun lagi di atas tanah dengan baik sehingga Bi-kwi mengangguk-angguk.

"Pelayan Sin-kiam Mo-li boleh juga!" katanya.

Kini Hek Nio tidak berani main-main lagi. Semua tanda-tanda yang diberikan majikannya memang cocok dengan keadaan tamu ini. Maka dia pun memberi hormat lagi sambil berkata, "Marilah, toanio. Majikan kami telah menanti di ruangan tamu," katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah ke depan.

Bi-kwi tersenyum mendengar dirinya disebut nyonya besar, dan ia pun mengikuti Hek Nio, akan tetapi dengan hati-hati dan menjaga agar ia selalu menginjak tanah bekas injakan pelayan itu. Di sepanjang perjalanan ini ia membuat cacatan dalam hatinya agar hafal akan jalan-jalan di tempat penuh rahasia itu. Karena ia memang seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuat peta di dalam ingatannya, dan tahulah ia bahwa rahasia tempat itu berdasarkan hitungan pat-kwa sehingga lebih mudah untuk mengenal rahasianya.

Ketika ia dibawa masuk ke dalam rumah sampai ke ruangan tamu, di situ telah menanti Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu. Dua di antara mereka amat dikenalnya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bi-kwi pernah bentrok dengan dua orang tosu ini ketika memperebutkan Yo Jin yang ditawan oleh dua tosu itu. Dengan sikap tenang, senyum manis di mulut, Bi-kwi berjalan memasuki ruangan tamu dan langsung saja ia menghampiri Sin-kiam Mo-li yang duduk tegak dengan sikap angkuh. Pandang matanya tajam penuh selidik mengamati wajah Bi-kwi yang cantik.

Bi-kwi segera menjura ke arah Sin-kiam Mo-li dan berkata dengan sikap ramah sekali, "Benarkah aku berhadapan dengan Sin-kiam Mo-li yang terkenal itu? Sungguh sangat mengagumkan, ternyata lebih cantik dari pada yang pernah kudengar!"

Senang juga hati Sin-kiam Mo-li mendapatkan pujian ini dan ia pun bangkit berdiri, mempersilakan duduk sambil berkata, "Kiranya engkau yang berjuluk Bi-kwi? Memang julukan yang pantas, engkau cantik dan engkau cerdik, tentu juga pandai seperti setan!"

Bi-kwi tertawa. "Aih, Sin-kiam Mo-li sungguh pandai memuji, membikin aku merasa malu saja."

"Siancai...! Murid tercinta dari Sam Kwi tentu saja pandai!" tiba-tiba Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai berkata sambil tertawa. "Sebelum mati, tentu ketiga Sam Kwi juga telah mewariskan semua ilmu kepandaiannya kepada murid mereka yang sangat tercinta!"

Kakek ini memberi penekanan kepada kata ‘tercinta’ dan para tosu yang berada di situ tertawa, karena mereka semua sudah mendengar bahwa selain menjadi murid Sam Kwi, Bi-kwi juga menjadi kekasih mereka. Akan tetapi hal seperti ini dianggap tidak aneh oleh kaum sesat, maka dengan sikap enak saja, tanpa malu-malu atau kikuk, Bi-kwi menatap wajah kakek itu dengan tersenyum mengejek.

"Apa salahnya? Kalau kedua pihak sudah saling setuju, cinta boleh dimainkan oleh siapa saja, bukan? Tidak benar demikiankah, Mo-li?"

"Hi-hi-hik, sekali ini Thian Kong Cinjin termakan pertanyaannya sendiri yang usil," kata Sin-kiam Mo-li, senang dan merasa cocok dengan Bi-kwi.

"Akan tetapi nanti dulu! Jangan kita terlalu percaya kepada wanita ini!" Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata dengan lantang sambil bangkit berdiri dari bangkunya, memandang kepada Bi-kwi.

"Harap kalian semua ketahui bahwa pinto berdua Thian Kek Sengjin, pernah bentrok dengan Bi-kwi, dan dalam bentrokan itu, dia bekerja sama dengan seorang pendekar! Jangan-jangan kedatangannya ini adalah sebagai mata-mata dari para pendekar yang mengutusnya!"

Semua orang terkejut dan Sin-kiam Mo-li juga bangkit, meraba gagang pedang di punggungnya sambil memandang kepada Bi-kwi dan membentak, "Keparat! Benarkah itu, Bi-kwi?"

Bi-kwi memang sudah memperhitungkan serangan yang datang dari dua orang tosu itu sebelum ia datang ke tempat ini, maka ia pun bersikap tenang saja, malah tersenyum mengejek tanpa bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, kemudian menghadapi Sin-kiam Mo-li.

"Tidak kusangkal bahwa memang pernah aku bentrok dengan dua orang tua bangka tak tahu malu ini, akan tetapi sayang tosu Ok Cin Cu yang terhormat ini sama sekali tidak menceritakan sebab bentrokan. Nah, Mo-li, aku mau bercerita, dan dua orang tosu tua bangka boleh mendengarkan dan membantah kalau ceritaku behong."

Sin-kiam Mo-li mulai bimbang dan kecurigaannya menipis melihat sikap Bi-kwi yang demikian tenang. Orang yang mengandung niat buruk tidak mungkin dapat setenang itu. "Ceritakanlah sebenarnya!"

"Begini, Mo-li. Pada suatu hari aku mendapatkan seorang kekasih baru yang sangat kucinta. Akan tetapi pemuda kekasihku itu karena suatu percekcokan, telah ditawan orang yang dibantu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin! Nah, karena aku harus membebaskan kekasihku itu, maka terjadi bentrok antara aku dan mereka berdua sehingga terjadi perkelahian. Engkau tentu tahu sendiri bagaimana sakitnya rasa hati kalau kekasih diganggu orang, Mo-li. Apakah engkau pun tidak akan menjadi marah kalau kekasihmu yang baru saja kau peroleh dan sangat kau cinta, diganggu orang?"

Sin-kiam Mo-li mengangguk-angguk membenarkan. "Akan tetapi, bagaimana kau dapat bekerja sama dengan orang dari golongan pendekar? Benarkah itu?"

"Itu pun ada ceritanya. Biar Ok Cin Cu melanjutkan keterangannya yang bermaksud melemparkan fitnah tadi. Ok Cin Cu, siapakah pendekar yang kau maksudkan bekerja sama dengan aku itu?"

"Ha-ha-ha, jangan pura-pura menyangkal, manis. Dia adalah Pendekar Suling Naga!"

"Ahhhh...!"

Sin-kiam Mo-li terkejut karena dia pun sudah mendengar akan kehebatan pendekar ini yang kabarnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Dengan alis berkerut dan mata mengandung kecurigaan ia memandang kembali kepada Bi-kwi.

"Benarkah engkau telah bekerja sama dengan Pendekar Suling Naga dalam bentrokan melawan kedua orang totiang ini, Bi-kwi?"

Bi-kwi masih tetap tenang dan tersenyum simpul mengandung ejekan kepada dua orang tosu itu.

"Tidak kusangkal, tapi hal itu pun ada penjelasannya. Biarlah kulanjutkan ceritaku, Mo-li, dan juga para totiang yang lain agar mendengarkan dan mempertimbangkan secara adil…"

Bi-kwi berhenti sebentar, dan kepada para tosu yang hadir dia memandang bergantian dengan sinar mata bercahaya terang dan senyuman manis sehingga di luar kesadaran mereka, para tosu yang terpesona oleh kecantikan wanita ini mengangguk.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga