SULING NAGA : JILID-52
Ketika melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio menjadi bengong terpesona. Apa lagi ketika mereka menyaksikan betapa dengan tenaganya Hong Beng dapat menghadapi dan mengatasi semua jebakan yang dilaluinya, mereka bertiga memandang semakin kagum.
Tiga orang gadis cantik ini baru berusia dua puluh lima tahun kurang lebih, dan mereka hidup di tempat terasing itu, maka tentu saja kadang-kadang mereka merasa kesepian dan butuh akan kehadiran seorang pria di samping mereka. Kadang-kadang Sin-kiam Mo-li membawa pulang seorang pemuda tampan dan kalau sudah bosan, sebelum dibunuh pemuda itu diberikan kepada mereka bertiga.
Kadang-kadang mereka bertiga pun diperkenankan mencari hiburan di dusun-dusun di bawah pegunungan. Akan tetapi yang mereka dapatkan di sana hanya pemuda-pemuda dusun yang bodoh dan kasar. Maka, begitu melihat ada seorang pemuda yang demikian ganteng seperti Hong Beng, tentu saja mereka terpesona. Apa lagi melihat kegagahan pemuda itu.
"Ehhh, kenapa kalian bengong saja? Kalau dibiarkan, bisa rusak semua alat jebakan rahasia kita dan kita akan mendapat hukuman dan marah besar," kata Ang Nio kepada kedua orang temannya.
"Hayo kita serang dia!" kata Pek Nio.
"Akan tetapi jangan dibunuh, sayang kalau dibunuh...," kata Hek Nio sambil menarik napas panjang.
"Tolol, apa kau kira kami pun tidak dapat melihat kehebatan seorang pria? Akan tetapi jangan harap, Hek Nio. Pria seperti ini tentu takkan dilewatkan saja oleh majikan kita!" kata Pek Nio.
"Sudahlah, jika kelak kita memperoleh sisanya pun masih untung!" kata Ang Nio sambil meloncat keluar. "Hayo serbu!"
Hong Beng menjadi terkejut, akan tetapi tidak gugup ketika tiba-tiba nampak tiga sosok bayangan berloncatan keluar dari balik batang pohon dan dia telah dihadang oleh tiga orang gadis yang cantik. Pakaian mereka menarik perhatiannya. Seorang berpakaian serba merah, ke dua serba putih dan ke tiga serba hitam. Akan tetapi, mengenakan pakaian warna apa pun, mereka itu nampak anggun dan cantik.
Betapa pun juga, Hong Beng adalah seorang pemuda yang sudah terbiasa bersikap sopan, apa lagi terhadap wanita. Dia merasa betapa dia telah melanggar wilayah orang lain, memasuki tempat orang tanpa ijin, maka dengan sedikit kikuk dia pun menjura dengan hormat karena dia tidak tahu siapa adanya tiga orang gadis ini.
"Maafkan aku," katanya lembut. "Bukan maksudku untuk memasuki tempat orang tanpa ijin, akan tetapi sesungguhnya aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Benarkah ia bertempat tinggal di daerah ini? Dan siapakah nona bertiga?"
Tiga orang gadis itu saling pandang dan tersenyum manis. Biasanya, mereka bersikap galak, akan tetapi menghadapi seorang pemuda tampan dan gagah, mendadak saja sikap dingin mereka mencair dan berubah hangat dan genit.
"Sobat yang gagah, engkau datang tanpa ijin tetapi membawa pertanyaan-pertanyaan! Apakah ini tidak terbalik? Bukankah sepatutnya kami yang bertanya kepadamu siapa engkau dan apa maksud kedatanganmu ini?" jawab Ang Nio dengan pertanyaan dan suaranya terdengar merdu dan nadanya naik turun seperti orang bernyanyi, bibirnya tersenyum, wajahnya cerah dan matanya bermain dengan lincahnya.
Melihat sikap orang yang manis budi, Hong Beng kembali menjura kepada gadis yang pakaiannya serba merah itu. "Maaf, aku bernama Gu Hong Beng, akan tetapi aku tidak mempunyai urusan dengan nona bertiga. Aku datang untuk mencari Sin-kiam Mo-li, dan sekali lagi aku mengharapkan keterangan nona, apakah Sin-kiam Mo-li tinggal di sini?"
"Sicu (orang gagah) Gu Hong Beng, aku bernama Ang Nio."
"Aku Pek Nio," kata si baju putih.
"Dan aku Hek Nio," sambung si baju hitam.
Kini Hong Beng merasa dipermainkan. Mana ada orang-orang mempunyai nama yang disesuaikan dengan warna pakaiannya? Tentu nama samaran. Apa lagi melihat betapa tadi mereka bertiga memperkenalkan nama sambil tertawa-tawa kecil, dia menganggap bahwa tiga orang gadis ini tentu sedang mempermainkannya.
"Gu-sicu, ada keperluan apa engkau mencari beliau?" tanya Ang Nio sambil memainkan matanya yang jeli.
Hong Beng mulai mengerutkan alisnya. "Aku rasa tidak ada urusannya dengan kalian bertiga. Katakan saja di mana Sin-kiam Mo-li, karena aku mempunyai urusan pribadi dengannya."
Ang Nio tersenyum. "Tidak mungkin, sicu. Setiap orang tamu yang hendak berkunjung, haruslah berurusan dengan kami bertiga terlebih dulu. Kami mewakili toanio, dan kami yang berhak menerima atau menolak tamu. Kalau sicu bersikap manis kepada kami, tentu kami akan mengantarmu menghadap beliau."
"Ada kami bertiga kenapa hendak menghadap toanio?" tiba-tiba Pek Nio dengan sikap genit berkata. "Kami akan dapat membuatmu merasa gembira!"
"Benar, sicu Gu Hong Beng yang ganteng, mari bersenang-senang dulu dengan kami bertiga, besok kami baru akan mengantarmu menghadap toanio," kata Hek Nio dengan manis pula, dengan pandang mata penuh gairah.
Kerut merut di antara alis mata Hong Beng semakin mendalam. Barulah dia tahu apa artinya sikap manis dari tiga orang gadis ini. Kiranya mereka adalah gadis-gadis tidak tahu malu yang hendak merayunya! Dan agaknya mereka ini murid-murid atau juga pelayan dari Sin-kiam Mo-li. Bangkitlah kemarahannya.
"Kalian perempuan-perempuan tak bermalu! Kalian kira aku ini orang macam apa? Jika kalian memang tidak mau mengantarkan aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, biarlah aku mencarinya sendiri!"
Berkata demikian, Hong Beng melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi, ketiga orang wanita itu menghadang di tengah lorong dan di tangan mereka masing-masing sudah memegang sebatang pedang.
"Agaknya engkau seorang yang tak tahu dicinta orang! Baiklah, hendaknya kau ketahui bahwa tanpa perkenan toanio, siapa pun juga tidak mungkin dapat mendatangi rumah kami! Apakah engkau memilih mati di tangan kami dari pada menikmati kesenangan bersama kami?" kata Ang Nio.
"Ang-cici, jangan dibunuh, sayang, dia begitu tampan dan gagah," kata Pek Nio.
"Kita tawan dia dan seret ke depan toanio!" kata pula Hek Nio.
Tiga orang wanita itu lalu menerjang Hong Beng. Mereka hanya menyimpan pedang di balik lengan kanan sambil menyerang dengan tangan kiri. Ada yang mencengkeram ke arah pundak, ada yang menampar ke arah leher dan memukul ke arah dada. Gerakan mereka cukup cepat dan gerakan tangan itu pun mengandung tenaga yang kuat.
Akan tetapi, bagi Hong Beng serangan mereka itu tiada bedanya dengan serangan tiga orang anak kecil saja. Sekali dia memutar tubuh dan menggerakkan tangan, dia telah dapat mengelak dan menangkis tiga serangan itu. Bahkan Hek Nio dan Ang Nio yang terkena tangkisan lengan Hong Beng, hampir saja terpelanting jatuh saking kuatnya tenaga tangkisan pemuda itu.
Kini yakinlah tiga orang wanita itu bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, maka mereka pun cepat memutar pedang dan menggunakan senjata mereka untuk kembali menyerang. Setelah mereka bertiga itu menyerang dengan pedang, Hong Beng melihat betapa ilmu pedang mereka hebat dan berbahaya. Teringatlah dia akan julukan majikan mereka, yaitu Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti).
Kalau majikan atau gurunya berjuluk Pedang Sakti, tidaklah mengherankan kalau tiga orang wanita ini memiliki ilmu pedang yang demikian hebat. Tiga batang pedang itu berubah menjadi tiga sinar bergulung-gulung yang menyerangnya dengan dahsyat dari tiga jurusan. Hong Beng harus mengerahkan ginkang-nya untuk membuat tubuhnya dapat bergerak dengan ringan dan cepat, mengelak ke sana-sini menyelinap di antara sambaran sinar-sinar pedang itu.
Memang dalam hal ilmu pedang, tiga orang gadis pelayan ini sudah mencapai tingkat yang cukup tinggi. Sin-kiam Mo-li telah melatih jurus-jurus ampuh kepada tiga orang pembantunya ini agar mereka menjadi pembantu dan penjaga yang lihai. Jarang ada orang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka, apa lagi kalau mereka itu maju bersama seperti sekarang ini.
Tidaklah terlalu aneh kalau kini Gu Hong Beng, murid dari keluarga Pulau Es, merasa repot didesak oleh tiga gulungan sinar pedang yang lihai itu. Hong Beng maklum bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini dengan kedua tangan kosong saja menghadapi tiga batang pedang itu, dia dapat celaka.
Maka, ketika kembali tiga pedang itu menyerangnya dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri, tiba-tiba tubuhnya melayang ke belakang, bukan hanya untuk mengelak, melainkan dia berjungkir balik sampai jauh, kemudian menyambar sebatang ranting pohon yang dipatahkannya. Kini, dengan ranting yang sebesar lengan dan sepanjang pedang biasa, dengan terhias daun-daun, dia menghadapi tiga orang lawan itu dan begitu dia memutar ranting, tiga orang lawannya terkejut.
Biar pun hanya sebatang ranting, karena berada di tangan seorang ahli, maka ranting itu dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Tiga batang pedang itu menyambar dan mencoba untuk membabat ranting itu supaya patah. Namun, ranting itu dialiri tenaga sinkang dari Hong Beng yang mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).
"Tak! Tak! Tringgg...!"
Tiga batang pedang itu tertangkis dan akibatnya, tiga orang wanita itu mengeluh dan terhuyung ke belakang. Nampak wajah mereka berubah pucat dan tangan mereka agak menggigil. Hawa dingin yang masuk tulang telah menyusup ke dalam tubuh mereka, terutama bagian lengan kanan yang memegang pedang.
Tiga orang pelayan itu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Memang tadi pun mereka sudah tahu bahwa pemuda ini amat lihai, akan tetapi sungguh sukar mereka dapat percaya bahwa hanya dengan sebatang ranting di tangan, dalam segebrakan saja pemuda itu mampu membuat mereka terhuyung, melalui serangan tenaga sinkang dingin yang demikian kuatnya!
"Bunuh orang berbahaya ini!" bentak Ang Nio.
"Orang tak mengenal kebaikan orang lain!" bentak Pek Nio.
"Engkau sudah bosan hidup!" Hek Nio juga berteriak.
Tiga orang wanita itu kemudian menggerakkan tangan kiri mereka dan sinar-sinar kecil menyambar ke arah Hong Beng. Namun pemuda ini tidak merasa gugup. Dengan amat tenangnya, ranting di tangannya digerakkan sehingga sekaligus jarum-jarum halus yang menyambar dari jarak dekat itu dapat dipukul runtuh semua. Tetapi, tiga batang pedang yang gerakannya cepat dan mengandung tenaga sinkang itu telah menyerangnya dari tiga jurusan karena tiga orang wanita cantik itu telah membentuk barisan segi tiga.
Hong Beng maklum bahwa tiga orang lawannya tidak boleh dipandang ringan, apa lagi dia berada di sarang harimau, di daerah lawan yang amat berbahaya karena tempat itu penuh dengan perangkap dan jebakan-jebakan rahasia. Dia pun cepat menggerakkan rantingnya untuk menangkis sambil mengelak ke sana-sini, sangat hati-hati oleh karena khawatir kalau-kalau kakinya akan terjeblos.
Dia pun tidak berniat membunuh tiga orang wanita yang tidak dikenalnya itu. Mereka ini, menurut dugaannya, tentulah pelayan pribadi atau murid-murid tokoh yang bernama Sin-kiam Mo-li itu. Dan dia belum melihat bukti bahwa Sin-kiam Mo-li benar orang yang telah menculik puteri keluarga Kao, maka tidak baik jika sampai ia membuat gara-gara membunuh tiga orang wanita ini.
Ketika dia memperoleh kesempatan, ujung tongkat yang terbuat dari ranting sederhana itu berkelebat dengan kecepatan kilat, tiga kali menyambar sehingga pedang tiga orang wanita itu pun terlepas dari pegangan disusul teriakan mereka karena lengan kanan mereka mendadak menjadi kaku tidak dapat digerakkan untuk beberapa detik lamanya. Ujung ranting itu telah menotok jalan darah di lengan mereka secara luar biasa sekali.
Maklum bahwa mereka bukan lawan pemuda yang amat lihai itu, tiga orang pelayan cepat berloncatan dan menghilang di balik semak-semak tanpa mempedulikan pedang mereka. Mereka ingin cepat melapor kepada Sin-kiam Mo-li yang masih bercakap cakap dengan tujuh orang tosu itu.
Hong Beng hendak mengejar tiga orang wanita itu untuk memaksa seorang di antara mereka mengantarnya bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Tanpa pengantar, dia tentu akan menghadapi jebakan-jebakan rahasia yang berbahaya. Akan tetapi, begitu dia meloncat ke dekat semak-semak, jalan itu buntu dan tidak nampak bayangan tiga orang wanita itu yang sudah menghilang seperti ditelan bumi saja.
Selagi dia kebingungan, mendadak terdengar suara ketawa merdu. Cepat dia bersiap siaga dan memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang gadis remaja berusia tiga belas atau empat belas tahun. Gadis yang wajahnya manis sekali, kedua matanya lebar dengan sinar berkilat dan bergerak-gerak lincah, tanda bahwa dia seorang gadis remaja yang lincah cerdik dan bengal.
"Hi-hik, engkau merasa bangga telah mengalahkan tiga orang tadi, ya? Hemmm, tak perlu menjadi sombong, karena tanpa penunjuk jalan, jangan harap engkau akan dapat memasuki daerah kami ini, hi-hi-hik!"
Setelah berkata demikian, gadis cilik itu lalu meloncat ke kanan di mana terdapat sebuah lorong yang merupakan jalan setapak. Tentu saja Hong Beng tertarik sekali. Dia maklum bahwa ucapan anak itu memang benar, dan kini dia memperoleh seorang penunjuk jalan, yaitu gadis cilik itulah!
"Haiii, berhenti dulu!" teriaknya dan cepat dia mengejar.
Girang hatinya melihat gadis cilik itu tidak begitu cepat larinya. Hong Beng bersikap cerdik. Tak perlu menyusul dan menangkap gadis itu, pikirnya, karena siapa tahu kalau ditangkap dan dipergunakan kekerasan untuk menjadi penunjuk jalan, gadis cilik itu malah tidak mau. Kini, mengikuti saja di belakang gadis itu tentu dia akan sampai juga ke tempat tinggal Sin-kiam Mo-li.
Maka ia pun pura-pura mengejar sambil berseru menyuruh berhenti, akan tetapi sengaja bergerak perlahan sehingga selalu berada di belakang gadis itu, terus mengikuti jejak kakinya, seakan-akan dia tidak pernah dapat menangkapnya! Gadis itu berlari terus, berloncatan ke sana-sini dan selalu diikuti jejaknya oleh Hong Beng.
"Haii, tunggu! Aku mau bicara denganmu!" teriak Hong Beng berkali-kali, teriakan yang merupakan siasatnya untuk membuat gadis itu berlari terus agar dia dapat mengikuti di belakangnya dengan aman. Tentu gadis ini sudah hafal akan jalan rahasia di tempat berbahaya ini dan mengikuti jejak gadis itu berarti aman.
Gadis cilik itu bukan lain adalah Kao Hong Li. Tadi ia melihat munculnya pemuda itu dan melihat pula betapa pemuda itu mengalahkan Ang Nio, Pek Nio, dan Hek Nio. Timbullah kekhawatirannya karena pemuda itu ternyata lihai sekali. Tentu dia seorang musuh, mungkin seorang tokoh Cin-sa-pang yang amat lihai, yang berani datang seorang diri, tanpa senjata, dan hanya bersenjata ranting kayu namun dapat mengalahkan tiga orang pelayan yang lihai itu.
Melihat ini, Hong Li merasa bahwa ia tak boleh tinggal diam saja. Sebagai murid dari subo-nya ia harus bertindak mencegah musuh ini. Akan tetapi, ia pun maklum bahwa ilmu silatnya masih belum banyak selisihnya dengan tingkat para pelayan tadi sehingga menghadapi musuh ini dengan ilmu silat tidak akan ada artinya. Ia harus menggunakan siasat dan akal, pikirnya. Maka muncullah gadis cilik itu mengejek dan memancing Hong Beng.
Hong Beng merasa girang dan mengira bahwa tentu kini tempat tinggal Sin-kiam Mo-li sudah dekat. Tiba-tiba gadis yang dikejarnya itu berhenti di depannya karena di depan gadis itu membentang sebuah kubangan lumpur yang amat lebar. Kiranya tak mungkin untuk melompati kubangan yang demikian lebarnya.
Akan tetapi di sana-sini nampak terdapat batu-batu menonjol. Batu-batu itu cukup untuk dipergunakan sebagai loncatan, pikir Hong Beng, sama sekali dia tidak khawatir. Dan dugaannya memang tepat, gadis cilik itu melompat ke atas sebuah di antara batu-batu itu. Akan tetapi agaknya batu itu licin sekali sehingga tubuh gadis cilik itu nampak terhuyung dan bergoyang, hampir jatuh.
"Aduh, tolong...!" Gadis itu berseru.
"Jangan takut, aku menolongmu!" kata Hong Beng dan tanpa ragu lagi dia pun meloncat ke arah sebuah batu besar yang menonjol pula, tak jauh dari batu yang diinjak gadis itu, yang nampak ketakutan dan berdiri tegak di atasnya.
Akan tetapi pada saat kaki Hong Beng hinggap di atas batu itu, tiba-tiba saja tubuh anak perempuan itu pun melesat dengan cepatnya ke atas batu lain di dekat seberang. Dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Beng ketika batu yang diinjaknya itu terjeblos ke dalam lumpur bersama tubuhnya. Dia hendak meloncat, namun terlambat karena kedua kakinya sudah terbenam ke dalam lumpur yang seolah-olah mempunyai kekuatan menyedot.
Dia mengerahkan sinkang, meronta. Akan tetapi karena tidak ada lagi tempat kokoh untuk berpijak, kekuatannya ini malah memberatkan tubuhnya dan dia pun ambles sampai dada! Maklumlah Hong Beng bahwa dia telah terjeblos ke dalam lumpur yang berbahaya sekali dan makin kuat dia meronta, makin dalam pula dia terbenam. Maka dia pun bersikap tenang, tidak lagi meronta dan tubuhnya tetap saja terbenam sampai ke dada, tidak turun lagi, akan tetapi juga sama sekali tidak ada jalan untuk menarik tubuhnya ke luar dari lumpur!
Dia memandang ke arah gadis cilik itu dan tahulah dia bahwa dia telah terpancing dan terjebak oleh gadis cilik yang amat cerdik itu karena kini dia melihat gadis itu tadi hanya bersandiwara dan ternyata dia terjebak! Tiga orang wanita dewasa yang lihai tidak mampu menangkapnya, juga perangkap-perangkap berbahaya mampu dihindarkannya. Siapa kira sekarang dia jatuh oleh seorang anak perempuan yang menggunakan akal bulus!
Diam-diam Hong Beng merasa penasaran sekali, juga memaki kebodohan diri sendiri, juga kagum akan kecerdikan anak itu. Masih begitu muda akan tetapi telah memiliki kecerdikan luar biasa. Agaknya anak itu telah memperhitungkan segalanya sehingga dia dengan mudah dapat ditipunya.
Hong Li tertawa-tawa kecil di tepi kubangan lumpur. Melihat lawannya telah terbenam sampai ke dada dan kini diam saja, sama sekali tidak bergerak, ia menggoda, "Hayo berontaklah! Makin kau meronta, semakin dalam kau tersedot, dan sebentar lagi lumpur akan menutupi mulutmu, hidungmu, matamu!"
Hong Beng merasa panas. "Hemm, bocah setan, jangan mengira aku takut mati! Aku hanya menyesalkan kebodohanku, mudah saja dapat tertipu oleh bocah setan macam engkau!"
"Ehh? Kau tidak takut? Tidak merasa ngeri? Kenapa engkau tidak minta ampun padaku dan minta pertolonganku agar aku menarikmu keluar?"
Hong Beng maklum bahwa anak setan itu hanya menggodanya, maka tentu saja dia tidak sudi memberi kepuasan kepada anak itu dengan memperlihatkan rasa takutnya.
"Sudah kukatakan, aku tidak takut mati. Akan tetapi, siapakah engkau ini dan masih ada hubungan apa antara engkau dan Sin-kiam Mo-li?"
"Hemm, siapa aku tidaklah penting. Yang penting siapa engkau dan mau apa engkau memaksakan kehendakmu memasuki daerah ini?"
Kembali Hong Beng kagum. Anak ini masih amat muda, akan tetapi sikapnya sudah dewasa dan cukup berwibawa. Seorang anak yang cerdik sekali, dan juga mempunyai sepasang mata yang tajam dan bening, sama sekali tak nampak bayangan watak jahat dari sepasang mata seperti itu.
"Namaku Gu Hong Beng dan aku datang untuk bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Karena menghalangi keinginanku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, maka aku berkelahi dengan tiga orang wanita itu."
"Mau apa engkau minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li?" tanya pula Hong Li dan dia makin kagum karena kini tubuh pemuda itu sudah terbenam semakin dalam, sampai ke pundak, akan tetapi orangnya masih tetap nampak tenang saja.
Hong Beng mempertimbangkan pertanyaan ini. Perlukah dia berterus terang kepada anak perempuan ini? Akan tetapi, nyawanya tergantung di sehelai rambut, dan agaknya dia tak akan terbebas dari cengkeraman maut ini, maka apa salahnya kalau dia berterus terang?
Setidaknya, dia tidak akan lenyap begitu saja dan gadis ini menjadi saksi kematian dan kehilangannya. Siapa tahu, dari mulut gadis cilik ini kelak, suhu-nya dan semua orang akan mengetahui nasibnya. Biar mereka semua tahu bahwa dia tewas dalam usahanya menyelamatkan puteri keluarga Kao yang diculik orang.
"Sebelum aku menjawab pertanyaanmu itu, siapakah engkau ini sesungguhnya?" Hong Beng bertanya.
"Aku adalah anak angkat, juga murid Sin-kiam Mo-li yang kau cari itu."
Mendengar jawaban ini, lemaslah rasa hati Hong Beng. Celaka, pikirnya, pantas anak ini demikian cerdik dan lihainya. Dan harapan untuk memperoleh pertolongan semakin tipis dan jauh.
"Baiklah biar ceritaku ini merupakan pesan terakhir bagi siapa saja melalui engkau. Aku datang ke sini mencari Sin-kiam Mo-li untuk bertanya apakah ia telah menculik seorang anak perempuan. Kalau benar demikian, aku akan merampas kembali anak perempuan yang terculik itu!"
Mendengar ini, Hong Li nampak terkejut dan matanya terbelalak. Mata yang memang sudah lebar itu nampak semakin lebar, seperti matahari kembar. "Ih, subo tidak pernah menculik orang! Siapakah anak perempuan yang diculiknya itu?"
"Ia puteri dari pendekar Kao Cin Liong, namanya Kao Hong Li. Apakah engkau melihat anak itu di sini?"
Tiba-tiba Hong Li meloncat bangkit dari jongkoknya dan wajahnya berubah, alisnya pun berkerut. "Siapakah engkau sesungguhnya? Masih ada hubungan apa antara engkau dan keluarga Kao itu?" Pertanyaannya penuh nafsu dan mendesak sekali.
Pertanyaan aneh, pikir Hong Beng. Akan tetapi karena dia mengharapkan anak ini kelak menceritakan kepada semua orang tentang dirinya, dia pun menjawab sejujurnya. "Isteri pendekar Kao yang bernama Suma Hui adalah bibi guruku karena guruku, Suma Ciang Bun, adalah adik kandungnya."
"Ahhh...!" Gadis cilik itu berseru kaget dan tiba-tiba ia bertanya, "Apakah engkau mampu mengeluarkan kedua tanganmu?"
"Apa...? Apa... maksudmu?"
"Cepat keluarkan kedua tanganmu ke atas lumpur supaya dapat aku menarikmu keluar dari situ."
Tentu saja ucapan ini mengejutkan akan tetapi juga mengherankan dan terutama sekali menyenangkan hati Hong Beng yang secara tiba-tiba memperoleh harapan baru. Dia menarik kedua lengannya yang terpendam, akan tetapi walau pun dia berhasil menarik kedua tangannya ke atas, tubuhnya semakin tenggelam dan kini lumpur telah mencapai dagunya, hanya satu senti saja di bawah mulut! Bau lumpur yang busuk menyengat hidungnya.
Akan tetapi Hong Beng tetap bersikap tenang saja walau pun sedikit lagi, kalau lumpur sudah menutup hidungnya, berarti berakhirlah riwayat hidupnya. Dan pada saat itu, dia merasa ada benda yang licin bergerak meraba-raba kakinya. Dia terkejut dan dapat menduga bahwa di dalam lumpur itu terdapat binatang, mungkin semacam belut, ikan atau ular!
Teringat akan ini dia cepat mengerahkan sinkang-nya dan mengerahkan hawa panas dari Hwi-yang Sinkang untuk melindungi tubuhnya dari gigitan binatang. Dan untung dia melakukan ini karena pada saat itu, banyak sekali ular di dalam lumpur yang telah siap menggigitnya akan tetapi binatang-binatang itu mundur teratur ketika merasa betapa dari tubuh yang terbenam lumpur itu keluar hawa yang amat panas!
Sementara itu, Hong Li sudah memutar otak, bagaimana untuk menolong Hong Beng yang sebentar lagi tentu tewas kalau tidak cepat ditarik keluar. Tidak ada tali di situ. Akan tetapi ia seorang gadis yang amat cerdik. Ditumbangkannya sebatang pohon yang tidak berapa besar namun cukup panjang, dan diseretnya batang pohon berikut cabang dan daun-daunnya itu ke tepi kubangan lumpur.
Kemudian, ia memotong sebagian ikat pinggangnya yang terbuat dari sutera yang kuat. Diikatnya ujung batang pohon itu dengan ikat pinggang, kemudian ujung ikat pinggang ia ikatkan pada sebatang pohon besar yang kokoh kuat. Setelah itu, ia menyeret batang pohon tadi dan melemparkannya ke tengah kubangan sambil berseru kepada Hong Beng yang kini mulutnya sudah mulai tertutup lumpur!
"Tangkap ini dan tarik keluar dirimu melalui batang pohon!"
Tanpa diberi tahu pun, Hong Beng sudah maklum apa yang harus dilakukannya. Sejak tadi ia melihat saja dan bukan main kagumnya melihat usaha anak itu. Dia sendiri tentu akan bingung untuk menolong orang keluar dari lumpur tanpa adanya tali. Akan tetapi anak perempuan itu telah memperoleh akal yang amat baik.
Dia segera menangkap cabang pohon itu dan segera dengan hati-hati dan perlahan-lahan agar jangan sampai cabang itu putus atau ikat pinggang di ujung sana itu putus, dia mulai menarik tubuhnya ke atas. Dan dia berhasil! Perlahan-lahan, mulai nampaklah tubuhnya bagian atas yang berlepotan lumpur.
Kini, perlahan-lahan, dia merayap melalui batang pohon itu, menarik tubuhnya semakin tinggi keluar dari lumpur dan akhirnya, dengan terengah-engah, dia sampai juga ke tepi dan naik ke tepi kubangan lumpur, lalu menjatuhkan diri ke atas tanah saking lelahnya dan tegangnya.
"Ahh, engkau berhasil!" Hong Li berseru gembira.
Hong Beng mencoba membersihkan leher dan bagian bawah mukanya dari lumpur. "Ya, berkat pertolonganmu, adik yang baik. Engkau telah menyelamatkan nyawaku..."
"Tidak, karena aku yang membuat engkau terperosok tadi. Aku hanya ingin menebus kesalahanku saja!"
Hong Beng tersenyum. Benar juga, dan dia semakin kagum akan kejujuran anak ini. "Engkau anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li, kenapa malah menolongku? Siapakah engkau adik yang begini cerdik, lihai dan baik hati?"
"Namaku? Aku... Kao Hong Li!"
"Ihhh...!"
Hong Beng meloncat dan lupa akan kekotoran tubuhnya yang terbungkus lumpur. Dia terbelalak memandang gadis cilik itu, penuh keheranan, penuh kejutan dan kekaguman. "Engkau... engkau adik Kao Hong Li? Akan tetapi, bagaimana engkau dapat menjadi anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li?"
Hong Li tersenyum manis. "Amat panjang ceritanya, suheng. Bukankah engkau menjadi suheng-ku karena engkau murid paman Suma Ciang Bun?"
"Ya, panjang ceritanya. Akan tetapi engkau telah berani masuk ke sini tanpa ijin, karena itu engkau harus menyerah sebagai tawanan kami," tiba-tiba terdengar suara orang.
Ketika Hong Beng menoleh, di situ telah berdiri seorang wanita cantik, bertubuh tinggi ramping dan matanya mencorong. Yang mengejutkan hati Hong Beng adalah ketika dia melihat betapa di belakang wanita itu nampak pula tujuh orang tosu, di antaranya adalah tosu-tosu yang sudah dikenalnya, yaitu para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang berilmu tinggi.
"Subo, dia ini suheng-ku sendiri...!" Hong Li mencoba untuk mencegah subo-nya.
"Hong Li, masuk kau! Belum juga kau kapok menolong orang yang hendak mengacau di sini!" bentak Sin-kiam Mo-li dengan marah.
Hong Li mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi dan sambil mengepalkan tinju, ia pun lari meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam bangunan dan mengunci diri di dalam kamarnya sendiri dengan marah.
Sementara itu, Hong Beng berdiri dengan siap siaga, bingung apa yang harus dilakukan karena setelah mendengar bahwa Hong Li adalah anak angkat dan juga murid Sin-kiam Mo-li, tidak mungkin dia menuduh wanita ini menculiknya. Akan tetapi, kenyataan bahwa Sin-kiam Mo-li datang bersama-sama tujuh orang tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai itu membuat dia semakin ragu karena dia mengenal tujuh orang ini sebagai orang-orang yang datang dari golongan hitam dan sesat, yang menggunakan agama dan perjuangan untuk menipu rakyat.
"Ha-ha-ha!" Terdengar Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang bermuka merah itu tertawa. "Kiranya murid keluarga Pulau Es, Suma Ciang Bun, kini menjadi seekor belut yang suka bermain di dalam lumpur!"
"Mo-li, dia ini murid keluarga Pulau Es, kebetulan dia datang mengantar nyawa, biar pinto membunuhnya untukmu!" kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai yang sudah menggerakkan tongkatnya yang panjang.
"Nanti dulu, totiang!" Sin-kiam Mo-li berseru dan kakek itu pun menahan tongkatnya. "Dia melanggar daerahku, dan akulah yang berhak untuk menghukumnya! Dia adalah tawananku!"
Sin-kiam Mo-li mencegah wakil ketua Pat-kwa-pai itu turun tangan, bukan semata-mata untuk mempertahankan kekuasaannya di daerahnya sendiri, melainkan karena dia telah melihat wajah dan bentuk tubuh yang tertutup lumpur itu dan dia merasa amat tertarik. Pemuda ini amat tampan dan gagah! Inilah yang membuatnya ingin menangani sendiri pemuda itu, membuatnya tunduk dan tidak membunuhnya. Sekarang dia melangkah maju menghadapi Hong Beng.
"Nah, orang muda. Apakah engkau sudah tahu akan dosa-dosamu, ataukah aku harus mengingatkanmu dengan kekerasan?" tanya Sin-kiam Mo-li, suaranya amat lembut dan pandang matanya berkilat.
Tujuh orang tosu itu bukan orang bodoh dan mereka pun tersenyum-senyum maklum, akan tetapi Sin-kiam Mo-li tidak peduli akan sikap mereka itu.
Hong Beng maklum bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, dia akan kalah. Baru menghadapi wakil ketua Pat-kwa-pai yang bermuka merah itu saja dia akan menemui lawan tangguh yang sukar dikalahkan, apa lagi di situ terdapat tujuh orang tosu dan agaknya wanita ini sendiri memiliki kepandaian yang tinggi.
Melawan dengan kekerasan berarti mengantar nyawa. Pula, apa gunanya melawan? Bukankah anak perempuan yang dicarinya telah berada di situ dan ternyata sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menurut pengakuan Hong Li, tidak pernah anak itu diculik oleh Sin-kiam Mo-li? Apa alasannya untuk mengamuk di situ?
Dia pun menjura dengan sikap hormat. "Aku telah melakukan kesalahan, memasuki daerah kekuasaan orang lain tanpa ijin. Semua ini terjadi karena salah sangka. Aku sedang mencari puteri bibi guruku yaitu Kao Hong Li yang kabarnya diculik orang. Ternyata ia berada di sini sebagai muridmu, oleh karena itu, aku kecelik dan mengaku salah. Terserah kepadamu, Sin-kiam Mo-li, kalau engkau hendak menawan aku karena kesalahanku."
Wanita itu tersenyum dan biar pun usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi ia kelihatan masih muda dan masih cantik menarik. Memang wanita ini luar biasa, dapat menjaga kemudaannya sehingga ia kelihatan seperti baru berusia kurang dari tiga puluh tahun, masih cantik dengan sepasang matanya yang tajam penuh gairah dan semangat, mulutnya yang manis dengan bibir yang padat merah. Kulit mukanya yang masih halus kemerahan belum ada keriput, sedangkan tubuhnya masih padat dan langsing, tinggi ramping dan padat.
"Engkau adalah murid keluarga Pulau Es, seorang pendekar yang gagah perkasa. Dan kesalahanmu tidak kau sengaja, maka tentu saja aku dapat memaafkan. Akan tetapi sebagai balasannya, engkau harus bersikap bersahabat dengan kami. Sekarang tinggal engkau pilih, ehhh, siapa namamu, orang muda?"
"Namaku Gu Hong Beng."
"Nah, Gu-taihiap..."
"Ahhh, harap tidak berlebihan, aku bukan seorang pendekar besar," kata Hong Beng, merasa malu karena baru saja dia tidak berdaya dan bahkan nyawanya diselamatkan oleh seorang anak perempuan, bagaimana sekarang dia bisa menerima sebutan taihiap (pendekar besar)?
"Engkau memang patut disebut taihiap sebagai pewaris ilmu-ilmu yang hebat dari keluarga Pulau Es," kata Sin-kiam Mo-li sambil memainkan matanya yang tajam dan jeli.
Kalau menurut keinginan hatinya, ia ingin membasmi semua keluarga pendekar Pulau Es. Akan tetapi kini dipaksanya mulutnya untuk memuji-muji keluarga itu karena ia ingin sekali merayu dan menjatuhkan hati pemuda yang telah membuatnya mengilar dan tergila-gila ini.
"Sekarang tinggal engkau pilih. Kalau memang engkau menyesali kesalahanmu dan beriktikad baik, jadilah engkau tamuku yang terhormat selama satu bulan dan engkau boleh ikut berunding bersama kami mengenai urusan perjuangan yang sangat penting. Sebaliknya, kalau engkau memilih menjadi tawananku untuk menerima hukuman atas kesalahanmu, terserah."
Hong Beng mengerutkan alisnya. Andai kata di situ tidak ada tujuh orang tosu itu, agaknya ada keberatan baginya untuk memilih yang pertama, yaitu menjadi tamu wanita aneh ini. Akan tetapi, tujuh orang tosu pemberontak itu berada di situ dan mereka hendak bicara tentang perjuangan! Dia tahu benar apa artinya perjuangan itu bagi para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Memang benar mereka itu selalu bermusuhan dengan pemerintah Mancu, namun di samping ini mereka pun terkenal sebagaai orang-orang sesat yang mengelabui rakyat dan tidak segan melakukan segala macam bentuk kejahatan yang kejam. Akan tetapi, kalau hanya menjadi tamu, apa salahnya. Dia boleh mendengarkan tanpa mencampuri, tanpa melibatkan dirinya.
Dia merasa serba salah, akan tetapi karena keadaan mendesak, dia pun menjura dan berkata, "Aku sudah melakukan kesalahan, oleh karena itu terserah kepadamu. Kalau kesalahanku dimaafkan dan aku dianggap sebagai tamu, aku merasa terhormat sekali dan mengucapkan terima kasih."
Sin-kiam Mo-li tertawa dan tidak peduli lagi akan sikap tujuh orang tosu yang rata-rata mengerutkan alis tanda tidak setuju. Akan tetapi karena yang menjadi pemilik tempat itu adalah Sin-kiam Mo-li, mereka pun tidak mampu mencegah. Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw itu, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha, kami bertujuh adalah tamu kehormatan dari Sin-kiam Mo-li, dan sekarang Gu-taihiap juga telah menjadi tamu kehormatan, berarti di antara kita sudah terikat tali persahabatan yang akrab. Gu-taihiap, terimalah hormat pinto, Thian Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw!"
"Pinto Coa-ong Sengjin, sute-nya," berkata kakek kecil bongkok bermuka monyet yang memegang seekor ular hijau itu.
"Pinto Ang-bin Tosu dari Pek-lian-kauw juga," kata tosu kecil muka merah.
"Dan pinto adalah saudaranya yang berjuluk Im Yang Tosu," kata tosu yang wajahnya membayangkan kecongkakan, dengan mata sipit dan mulut tersenyum sinis.
"Ha-ha, kita sudah pernah berkenalan, Gu-taihiap. Pinto Ok Cin Cu dari Pat-kwa-pai dan dia itu Lam Cin Cu sute-ku, dan wakil ketua kami Thian Khong Cinjin. Perkenalkan kami dari Pat-kwa-pai, ha-ha-ha!"
Hong Beng dengan perasaan sangat tidak enak membalas penghormatan mereka dan menjawab, "Kita sama-sama menjadi tamu di sini, bukan berarti ada ikatan apa-apa di antara kita."
Para tosu itu hanya tertawa dan dengan gembira Sin-kiam Mo-li lalu memberi tanda kepada tiga orang pelayannya yang cepat bermunculan dari belakang pohon karena sejak tadi mereka pun berada di situ, siap menanti perintah pimpinan mereka setelah mereka tadi melaporkan tentang kemunculan pemuda lihai itu.
"Kalian layani Gu-taihiap untuk membersihkan diri. Berikan ia pakaian bersih, kemudian ajak dia menemuiku di ruangan tamu. Sediakan sebuah kamar untuk dia, kamar yang berada di sebelah kamarku. Layani dia baik-baik dan jangan ada yang berani kurang ajar! Awas, dia ini tamuku yang terhormat!"
Tiga orang wanita cantik itu saling pandang dan tersenyum, lalu mengangguk. Mereka sudah cukup mengenal watak guru dan majikan mereka, dan mereka juga tahu bahwa Sin-kiam Mo-li sudah tergila-gila kepada pemuda ini. Ucapannya tadi memperingatkan supaya mereka bertiga tidak berusaha untuk ‘mendekati’ pemuda itu yang sudah diaku sebagai milik pribadi Sin-kiam Mo-li! Sambil tersenyum ramah mereka menggandeng tangan Hong Beng dan diajaknya pemuda itu pergi bersama mereka.
Ingin Hong Beng memberontak ketika kedua tangannya digandeng dengan sikap genit dan manja oleh Ang Nio dan Pek Nio, akan tetapi Hek Nio yang berjalan di belakangnya berbisik, "Taihiap, tanpa bimbingan kami, mana mungkin engkau akan dapat tiba di rumah kami dengan selamat?"
Hong Beng pun melemaskan kedua tangannya dan menurut saja dituntun oleh kedua orang wanita cantik itu. Dia merasa tidak berdaya, dan merasa seperti seekor domba dituntun ke pejagalan. Apa gunanya meronta? Dia sudah menjadi tamu, dan terpaksa harus menerima pelayanan nyonya rumah!
Ia diajak melalui lorong yang berputar-putar, melalui lorong setapak dan kadang-kadang menyeberangi semak-semak, tidak melanjutkan jalan menurut lorong, dan akhirnya Hong Beng yang diam-diam mencurahkan perhatian, dapat mengetahui rahasia jalan itu. Ternyata lorong itu dibuat menurut garis-garis pat-kwa dan selanjutnya, setiap kali membelok atau memilih jalan bercabang, dia menduga terlebih dahulu dan memang cocok. Giranglah hatinya dan dia lupa bahwa dia masih berada di bawah kekuasaan Sin-kiam Mo-li.
Hong Beng diajak ke kamarnya, sebuah kamar yang besar dan mewah, dan dia pun dipersilakan mandi membersihkan lumpur kemudian berganti pakaian kering yang telah disiapkan pula. Akan tetapi dia menolak keras ketika tiga orang gadis cantik itu hendak turun tangan memandikannya!
"Apakah kalian berani hendak bersikap kurang ajar kepadaku? Akan kulaporkan kepada Mo-li!"
Benar saja, ancamannya ini berhasil baik. Tiga orang gadis itu mundur dengan wajah takut dan Ang Nio berkata, "Gu-taihiap tidak perlu marah. Kami bertiga tidak berniat kurang ajar, hanya bermaksud untuk membantu saja. Kalau taihiap tidak mau dilayani, silakan mandi sendiri, akan tetapi yang bersih karena kalau tidak bersih tentu ada bau busuk dari lumpur itu dan kami akan mendapat marah besar."
Hong Beng merasa diperlakukan seperti anak kecil, dimanja, akan tetapi walau pun dia merasa panas di dalam hatinya, dia diam saja dan segera mandi. Segar rasa badannya, apa lagi setelah mengenakan pakaian bersih dan kering, pikirannya menjadi semakin tenang dan diam-diam dia bertanya di dalam hati, apa sebetulnya yang telah terjadi dengan diri Hong Li maka kini ia dapat menjadi anak angkat dan murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li.
Dia teringat akan cerita Kao Cin Liong bahwa tadinya Hong Li diculik oleh seorang pendeta dari Tibet yang berjuluk Ang I Lama yang lihai ilmu silatnya dan pandai ilmu sihir pula. Kemudian, ketika bertemu dengan pendeta itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui tidak mampu mendapatkan jejak Hong Li dan ternyata kakek pendeta itu tidak pernah melakukan penculikan. Bahkan kemudian kakek itu kabarnya tewas terbunuh dan para pendeta Lama menuduh suami isteri Kao itu yang telah membunuhnya.
Dan kini, tahu-tahu Hong Li berada di tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, bukan sebagai anak yang diculik, melainkan sebagai anak angkat dan juga murid! Ingin sekali dia dapat bertemu dengan anak itu dan mendengar keterangannya. Kalau sudah mendengarkan keterangan anak itu, barulah dia akan bertindak sedapat dan sekuat mungkin untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li sebagaimana mestinya.
Apakah Sin-kiam Mo-li penolong anak itu? Kalau benar demikian, tentu saja dia tidak akan memusuhinya. Sementara ini dia akan bersikap biasa saja, sebagai seorang tamu yang dihormati dan menghormati nyonya rumah. Diam-diam dia akan memperhatikan bagaimana hubungan antara Sin-kiam Mo-li dengan tujuh orang tosu itu dan apa saja yang akan mereka bicarakan tanpa mencampuri urusan mereka.
Begitu dia selesai berpakaian, tiga orang gadis pelayan itu telah memasuki kamarnya lagi dan mengatakan bahwa kini mereka bertugas mengantar Hong Beng ke ruangan makan seperti yang diperintahkan majikan mereka. Hong Beng mengangguk dan keluar bersama mereka tanpa membantah.
Hatinya panas kembali dan merasa kesal sekali ketika dia melihat betapa ketiga orang gadis itu mengamatinya penuh perhatian. Bahkan Ang Nio lalu mengembang-kempiskan hidung sambil mendekatinya. Jelas gadis itu mencium-cium ke arah tubuhnya!
"Hemm, taihiap sudah tidak kotor lagi, tidak ada lagi bau lumpur yang busuk dan amis," katanya lirih.
"Sekarang baunya sedap!" sambung Pek Nio dengan genit sekali.
Akan tetapi Hong Beng tidak menanggapi, hanya cemberut saja dan ini sudah cukup untuk membuat mereka diam dan tidak berani melanjutkan godaan. Diam-diam Hong Beng bergidik.
Sin-kiam Mo-li memiliki tiga orang pelayan yang cantik-cantik dan genit-genit. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana kalau dia terjatuh ke dalam kekuasaan tiga orang gadis ini. Mereka bersikap bagaikan tiga ekor harimau kelaparan menghadapi seekor kelinci saja. Tentu dia akan diterkam mereka dan dirobek-robek!
Ketika dia tiba di ruangan makan yang lebar dan mewah juga, dengan perabot yang serba mahal, Sin-kiam Mo-li sudah duduk di situ bersama tujuh orang tosu itu. Sekarang Sin-kiam Mo-li nampak lebih cantik, sudah berganti pakaian dan rambutnya disisir rapi, digelung dan dihias dengan tusuk konde berlian dan jepit rambut batu kemala.
Ketika melihat Hong Beng yang mengenakan pakaian bersih berwarna biru itu, pakaian yang banyak dimiliki Sin-kiam Mo-li untuk diberikan kepada laki-laki yang diculiknya dan menjadi korbannya, wanita ini bangkit berdiri. Sepasang mata yang mencorong itu memandang kagum dan menyapu seluruh tubuh dan wajah Hong Beng tanpa berkedip, membuat pemuda itu merasa salah tingkah dan mengerutkan alisnya, berdiri saja dan balas memandang. Sin-kiam Mo-li tersenyum manis sekali.
"Gu-taihiap, setelah bertukar pakaian dan bersih, ternyata nampak tampan dan gagah bukan main, seperti tokoh Si Jin Kwi!" Ia memuji terang-terangan tanpa malu-malu lagi di depan para tosu yang tertawa-tawa.
Hong Beng mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu semakin dalam, dan wajahnya yang putih bersih itu mendadak berubah merah. Dia merasa malu dan juga marah sebab pujian itu melampaui batas, tak patut keluar dari mulut seorang wanita baik-baik, apa lagi di depan banyak orang. Orang macam apakah wanita ini, pikirnya. Dia tidak menjawab, hanya berdiri dengan kikuk.
Melihat ini, hati Sin-kiam Mo-li menjadi semakin gembira. Jelas seorang pemuda yang masih hijau, seorang perjaka yang agaknya belum pernah berdekatan dengan wanita. Pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan kalau tidak ditahannya, tentu air liurnya keluar dari tepi mulut seperti seekor sapi kelaparan melihat rumput muda menghijau.
"Gu-taihiap, silakan duduk," katanya menunjuk ke sebuah bangku di sisi kanannya yang kosong.
Dan karena tidak ada bangku lain yang kosong, semua sudah ditempati para tosu dan Sin-kiam Mo-li, hanya sebuah yang kosong di sebelah kanan wanita itu, dan agaknya memang sudah diatur demikian, terpaksa Hong Beng lalu duduk di situ. Baru saja dia duduk, dia telah merasa betapa lutut kirinya bersentuhan dengan lutut kanan wanita itu. Cepat dengan gerakan halus dia menarik lututnya dan merapatkan kedua pahanya.
Sin-kiam Mo-li tersenyum dan memberi isyarat kepada tiga orang pelayannya. Ang Nio datang membawa seguci arak dan dengan sikap manis ia menuangkan arak merah ke dalam sebuah cawan kosong. Sin-kiam Mo-li menyerahkan secawan arak itu kepada Hong Beng.....
Komentar
Posting Komentar