SULING NAGA : JILID-51
Akan tetapi, kakek yang memimpin rombongan itu ternyata cukup cerdik juga. Ia telah mengambil segulung tali yang agaknya memang sudah dipersiapkan dan melemparkan ujung tali ke arah orang yang terperosok. Orang itu menangkap ujung tali dan dia pun ditarik keluar dari kubangan pasir maut.
Hong Li menarik napas lega. Betapa pun jahatnya orang-orang itu, hati kecilnya tidak menyetujui niat subo-nya yang agaknya hendak membunuh mereka semua. Biar pun ia suka sekali mempelajari ilmu silat, namun ia tidak suka melihat pembunuhan, apa lagi kalau pembunuhan itu dilakukan hanya karena urusan sepele saja. Kalau para penyerbu itu memang jahat, ia lebih suka melihat gurunya menghajar mereka saja tanpa perlu membunuh. Pembunuhan mendatangkan suatu rasa ngeri dalam hatinya.
Kini kakek yang memimpin rombongan itu, yang jenggotnya putih dan panjang, memberi aba-aba pada para anak buahnya untuk menyerbu terus dan jangan takut menghadapi jebakan-jebakan! Melihat betapa seorang temannya yang tadi terjebak dapat ditolong ke luar, anak buah Cin-sa-pang itu menjadi berani dan mereka menggunakan golok untuk membabati semak-semak yang menghadang di depan mereka.
Berhamburanlah daun-daun dan semak-semak sehingga Hong Li mengerutkan alisnya. Celaka, pikirnya, orang-orang itu hendak merusak tumbuh-tumbuhan dan tempat tinggal gurunya akan menjadi buruk dan rusak keindahannya.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan empat orang di antara rombongan itu roboh, berkelojotan dan tidak mampu bangun kembali. Kakek berjenggot panjang dan anak buahnya yang lain terkejut, cepat memeriksa dan mereka terkejut melihat bahwa empat orang itu ternyata telah tewas dan di leher mereka nampak luka kecil menghitam. Di dalam luka itu masih nampak ujung sebatang jarum yang seluruhnya telah masuk ke dalam leher! Jelaslah bahwa empat orang itu tewas karena serangan senjata gelap, jarum-jarum beracun yang amat berbahaya.
"Awas senjata rahasia!" teriak kakek itu.
Sisa anak buahnya yang tinggal sebelas orang itu kini bersiap siaga dengan golok di tangan. Akan tetapi yang muncul bukan senjata rahasia, melainkan empat orang wanita yang tadi melepas jarum-jarum beracun itu. Sin-kiam Mo-li dan tiga orang pembantunya sudah berloncatan keluar dari balik semak-semak. Sin-kiam Mo-li marah bukan main melihat rombongan itu membabati tumbuh-tumbuhan di situ.
Kakek berjenggot putih panjang, bajak tunggal yang lihai dari Lan-cang itu lalu berseru, "Inilah siluman itu!" Dan dia pun sudah menggerakkan pedangnya menyerang Sin-kiam Mo-li.
Sedangkan Louw Pa yang berjuluk Cin-sa Pa-cu, sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya untuk menyerbu. Ia sendiri juga menggerakkan sepasang goloknya, membantu kakek berjenggot panjang untuk mengeroyok Sin-kiam Mo-li. Anak buahnya yang tinggal sepuluh orang lagi itu kini menerjang tiga orang wanita cantik yang berpakaian merah, putih, dan hitam dan segera terjadi perkelahian yang amat seru.
Melihat serangan pedang kakek berjenggot putih, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan dari hidungnya. Biar pun kakek itu termasuk seorang bajak tunggal yang lihai, namun melihat gerakan pedangnya, Sin-kiam Mo-li maklum bahwa kepandaian kakek itu tak ada artinya baginya. Dengan amat mudahnya ia pun mengelak dari sambaran pedang.
Louw Pa, ketua Cin-sa-pang telah menggerakkan sepasang goloknya lagi. Menghadapi serangan sepasang golok ini, Sin-kiam Mo-li dengan mudahnya meloncat mundur untuk mengelak. Ketika dua orang lawannya itu menerjang lagi, Sin-kiam Mo-li telah mencabut pedangnya. Begitu sinar pedang ini berkelebat, terdengar suara nyaring dan sepasang golok di tangan Louw Pa patah-patah!
Louw Pa menjadi pucat sekali dan dia sudah siap untuk meloncat ke belakang, namun terlambat. Ada berkas sinar terang menyambar dan tahu-tahu tubuhnya telah terjungkal dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Darah muncrat-muncrat dari leher yang terbabat putus oleh pedang di tangan Sin-kiam Mo-li itu!
Melihat ini, tentu saja kakek berjenggot putih terkejut bukan main. Tingkat kepandaian Louw Pa hanya selisih sedikit dengan kepandaiannya dan dalam segebrakan saja Louw Pa tewas dengan leher putus! Maklumlah dia bahwa wanita itu sungguh lihai bukan main. Akan tetapi hal ini sudah terlambat diketahuinya dan tidak ada lain jalan baginya kecuali memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.
"Tranggg... krekkk!"
Kembali pedang di tangan bajak laut itu patah. Sebelum dia sempat mengelak, pedang di tangan Sin-kiam Mo-li sudah terbenam ke dalam dadanya! Sin-kiam Mo-li mencabut pedangnya sambil menendang tubuh di depannya itu. Tubuh kakek itu terlempar diikuti ceceran darah dari dadanya dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam kubangan lumpur. Sebentar saja ular-ular sudah menyeretnya tenggelam ke dalam lumpur itu.
Melihat betapa ketiga orang pelayannya dikepung oleh sepuluh orang anak-anak buah Cin-sa-pang, dengan geram Sin-kiam Mo-li menerjang maju. Pedangnya berkelebatan dan berturut-turut terdengar orang menjerit dan empat orang di antara para pengeroyok itu roboh mandi darah terkena sambaran pedang Sin-kiam Mo-li. Menggiriskan sekali memang gerakan pedang wanita ini, dahsyat dan panas sehingga tidak mengherankan kalau ia dijuluki Iblis Betina Pedang Sakti.
Pada saat itu, di bagian selatan nampak ada asap tebal bergulung-gulung. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li terkejut dan tahulah ia bahwa rombongan ke dua telah beraksi. Melihat bahwa jumlah pengeroyok tinggal enam orang dan tiga orang pelayannya cukup kuat untuk mengatasi keenam orang itu, Sin-kiam Mo-li lalu berkata kepada mereka, "Bunuh mereka semua, jangan sampai ada yang lolos!" Dan setelah berkata demikian ia pun meloncat dan berlari cepat menuju ke tempat kebakaran di selatan.
Dari atas menara, Hong Li nonton semua itu dan mukanya berubah agak pucat, alisnya berkerut dan hatinya diliputi kengerian. Ia tadi melihat betapa gurunya menyebar maut dan dia masih bergidik melihat orang tinggi kurus yang memegang sepasang golok itu dibabat buntung lehernya oleh pedang subo-nya. Melihat pembantaian itu, beberapa kali ia memejamkan matanya dan hatinya terasa kacau dan gelisah.
Rasa sayang yang mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap subo-nya sekarang menjadi dingin. Tidak disangkanya, subo-nya yang demikian ramah tamah, lemah lembut dan nampaknya penuh kasih sayang, dapat bertindak sekejam itu, membunuhi orang seperti membunuh nyamuk saja!
Pada hal, semenjak kecil ayah dan ibunya selalu mengajarnya supaya menjadi seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, bukan menjadi pembunuh manusia mengandalkan ilmu silat yang dipelajarinya. Bahkan ayah dan bundanya selalu mencela perbuatan orang yang menggunakan ilmu silat sembarangan membunuh orang lain.
Antara lain ayahnya pernah berkata bahwa mungkin sekali kita membunuh orang lain dalam usaha membela diri dan membasmi kejahatan, tetapi bukan membunuh dengan tangan dingin terhadap lawan yang jelas-jelas tidak mampu melawan. Membunuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut dan membunuh untuk melawan perbuatan jahat yang dilakukan orang, berbeda dengan membunuh lawan yang tidak berdaya atau tidak mampu melawan.
Subo-nya tadi membunuhi lawan yang jelas bukan menjadi lawannya. Baru segebrakan saja subo-nya sudah membunuh tujuh orang, termasuk yang diserang dengan jarum beracun, dan kini tiga orang pelayan itu sedang berusaha keras untuk membunuh enam orang lagi, setelah mereka pun sudah membunuh tiga orang lawan dengan jarum-jarum mereka.
Akan tetapi perhatian Hong Li tertarik oleh gerakan subo-nya yang berlari cepat menuju ke selatan. Di sana ia melihat rombongan yang lainnya dari orang-orang Cin-sa-pang sedang membabati semak-semak, bahkan menumbangkan pohon-pohon dan sebagian malah membakar semak-semak! Ada pula tadi di antara mereka yang terperosok ke dalam kubangan lumpur dan pasir maut, namun teman-temannya, dipimpin oleh kakek berkepala botak, menyelamatkan mereka yang terperosok itu dengan tali.
Dan kini, sambil membabat dan membakar sana-sini, rombongan ini terus
maju menuju ke rumah yang nampak gentengnya dari tempat mereka merusak
tumbuh-tumbuhan itu.
Akan tetapi tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang
wanita cantik yang memegang pedang telah berada di depan mereka. Wanita
cantik itu mengerutkan alisnya dan memandang dengan sepasang mata
berkilat-kilat.
Akan tetapi hal lain yang menarik perhatian Hong Li. Agaknya hanya ia seorang yang dapat melihat munculnya belasan orang dari arah selatan. Belasan orang ini berpakaian putih-putih dan di depan mereka berjalan tujuh orang yang berpakaian seperti pendeta dengan jubah panjang, rambut panjang digelung tinggi di atas kepala dan dari jauh saja Hong Li dapat menduga bahwa tujuh orang itu, yang bentuk tubuhnya berbeda-beda, tentulah pendeta-pendeta To, sedangkan belasan orang berpakaian seragam putih itu berjalan berpasangan seperti sebuah pasukan kecil!
Saat tiba di luar hutan yang menjadi batas daerah tempat tinggal subo-nya, rombongan orang itu berhenti, kemudian hanya tujuh orang pendeta itu yang terus memasuki hutan dan diam-diam Hong Li terkejut melihat betapa tujuh orang pendeta itu amat lihainya, meloncati begitu saja tempat-tempat jebakan dan kubangan-kubangan maut seolah-olah mereka telah hafal akan keadaan di tempat itu. Dan tak lama kemudian tujuh orang pendeta itu telah mendekati tempat di mana subo-nya sedang berhadapan dengan rombongan orang Cin-sa-pang.
Dengan kemarahan meluap karena melihat tempatnya dirusak orang, Sin-kiam Mo-li membentak, "Orang-orang Cin-sa-pang, kalau hari ini aku tidak dapat menumpas kalian semua, jangan sebut aku Sin-kiam Mo-li!"
Melihat munculnya wanita ini, kakek botak yang memimpin pasukan orang Cin-sa-pang itu memberi aba-aba dan belasan orang itu lalu mengepung Sin-kiam Mo-li. Sebelum Sin-kiam Mo-li bergerak, mendadak terdengar suara orang dan ternyata di situ telah muncul tujuh orang tosu.
"Siancai, Sin-kiam Mo-li yang gagah perkasa tak perlu turun tangan sendiri. Pinto dan teman-teman akan membasmi tikus-tikus kurang ajar ini!"
Sebelum Sin-kiam Mo-li sempat menjawab, tujuh orang itu telah menerjang. Mereka semua bertangan kosong menerjang kepungan itu dari luar. Orang-orang Cin-sa-pang terkejut dan menggerakkan golok untuk menyambut, akan tetapi mereka itu bagaikan sekumpulan laron melawan api saja.
Dalam beberapa gebrakan saja, enam belas orang termasuk kakek botak telah roboh semua terkena tamparan-tamparan tangan tujuh orang tosu tadi. Demikian mudahnya tujuh orang tosu itu memukul roboh dan menewaskan enam belas orang itu sehingga Sin-kiam Mo-li sendiri terkejut.
Kini ia memandang kepada tujuh orang tosu itu dengan alis berkerut, penuh curiga, juga khawatir. Ia maklum bahwa jika ia harus melawan tujuh orang tosu ini, tentu berbahaya karena mereka ini adalah lawan-lawan berat, bukan seperti orang-orang Cin-sa-pang yang tak tahu diri itu.
"Hemm, siapakah cu-wi totiang (bapak pendeta sekalian), dan mengapa mencampuri urusanku tanpa kuminta?" Sikapnya cukup hormat, tetapi juga tegas dan mengandung teguran-teguran karena hatinya merasa tidak senang bahwa ada orang-orang yang memperlihatkan kepandaian menolongnya, seolah-olah ia tadi terancam bahaya dan tak akan mampu menolong diri sendiri.
Seorang di antara mereka, kakek tinggi kurus berwibawa yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, membawa sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya, kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih tapi masih nampak segar dan penuh semangat, segera menjura.
"Sin-kiam Mo-li, harap maafkan pinto sekalian. Sudah lama pinto sekalian mendengar nama besar toanio (nyonya), akan tetapi belum sempat berkenalan. Kebetulan kami lewat bersama teman-teman dan timbullah keinginan untuk bertamu dan menyampaikan hormat kami. Melihat toanio dihadapi orang-orang kurang ajar itu, kami sebagai tamu merasa berkewajiban untuk turun tangan, mewakili toanio menghajar mereka. Harap mau memaafkan kelancangan kami dan menganggap hal itu sebagai uluran tangan persahabatan kami."
Sin-kiam Mo-li merasa senang melihat sikap yang hormat dari kakek itu, dan kini ia dapat melihat tanda gambar pat-kwa di dada kakek itu, dan gambar bunga teratai di dada beberapa orang kakek lain. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan tosu-tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, dua perkumpulan yang amat besar pengaruhnya, memiliki banyak orang-orang pandai, pandai silat dan pandai sihir, dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah.
Maka, dia pun tidak berani main-main. Lebih baik bersahabat dari pada bermusuhan dengan orang-orang seperti mereka. Lagi pula, mereka ini sudah memperlihatkan sikap bersahabat, maka ia pun membalas penghormatan mereka.
"Terima kasih, cu-wi totiang baik sekali. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang membawa cuwi datang mengunjungi tempatku yang sunyi terpencil ini?"
"Toanio, bagaimana kalau kita bicara saja di dalam rumah? Kami membawa bahan percakapan yang amat penting."
Pada saat itu, muncullah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Mereka telah selesai pula membunuh enam orang sisa rombongan musuh yang tadi ditinggalkan Sin-kiam Mo-li. Melihat tiga orang pelayannya, Sin-kiam Mo-li cepat bertanya.
"Bagaimana dengan musuh-musuh itu?"
"Semua sudah tewas dan mayat-mayatnya sudah kami lenyapkan," kata Ang Nio.
"Bagus, sekarang Pek Nio berdua Hek Nio menyingkirkan mayat-mayat ini, dan engkau Ang Nio ikut bersamaku menyambut para tamu! Marilah, cuwi totiang, kita bicara di dalam rumah saja," katanya mempersilakan tujuh orang tosu itu.
Dengan wajah gembira tujuh orang pendeta itu mengikuti Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang di antara mereka tadi memandangi tiga orang pelayan cantik itu dengan mata mengandung gairah.
Sementara itu, Hong Li yang menyaksikan langsung pembunuhan yang dilakukan oleh rombongan tosu itu, menjadi makin ngeri dan heran. Bagaimana ada pendeta-pendeta yang demikian kejamnya, dalam waktu singkat membunuh enam belas orang demikian mudahnya dengan pukulan-pukulan tangan dan tendangan kaki mereka.
Selain lihai bukan main, juga para pendeta itu ternyata amat ganas dan kejam, hal yang sama sekali tidak dimengertinya. Menurut apa yang diceritakan ayah bundanya, para pendeta adalah orang-orang yang taat beragama, yang menjauhkan perbuatan jahat.
Akan tetapi mengapa sejak pertemuannya dengan Ang I Lama, juga seorang pendeta, sampai sekarang melihat tujuh orang tosu itu, para pendeta itu demikian jahatnya? Dan bagaimana pula subo-nya yang dianggap sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa, kini mau menerima bantuan para pendeta kejam itu, bahkan kini mengajak tujuh orang pendeta itu menuju ke rumah sebagai tamu yang dihormati? Dengan hati mengandung perasaan tidak enak dan penasaran, Hong Li turun dari menara itu dan masuk pula ke dalam rumah.
Setelah tiba di dalam, ia langsung menuju ke ruangan dalam di mana ia mendengar suara para pendeta itu tengah bercakap-cakap dengan gurunya. Ia masuk dan melihat subo-nya duduk bersama tujuh orang pendeta itu menghadapi sebuah meja bundar dan Ang Nio sibuk mengeluarkan arak dan hidangan.
Kembali Hong Li terkejut. Para pendeta itu minum arak pula! Dan hidangan-hidangan itu pun semuanya berdaging!
Percakapan mereka terhenti ketika mereka yang sedang bercakap-cakap itu melihat munculnya Hong Li, dan Sin-kiam Mo-li lalu berkata kepada muridnya, "Hong Li, engkau bantulah Pek Nio dan Hek Nio berjaga-jaga di luar, waspadalah kalau-kalau ada lagi musuh datang menyerbu. Jangan masuk ke sini sebelum kupanggil karena aku sedang membicarakan urusan penting dengan para pendeta yang terhormat ini."
Hong Li mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada tujuh orang pendeta yang kesemuanya juga menengok kepadanya.
"Baik, subo," katanya lalu pergi dari ruangan itu. Akan tetapi ia masih dapat mendengar ucapan-ucapan para tosu itu yang membuatnya mendongkol.
"Itu muridmu? Aih, ia cantik dan berbakat sekali!"
"Manis dan mungil!"
Kemudian terdengar kata-kata pujian lain yang ditujukan untuk memuji kecantikan dan kemanisannya. Sungguh menyebalkan, pikirnya. Biar pun pujian bahwa ia cantik manis merupakan pujian biasa, akan tetapi di dalam suara para tosu itu terkandung sesuatu yang menyebalkan hatinya, juga pandang mata mereka tadi yang disertai senyuman menyeringai! Seketika timbul rasa tidak suka di dalam hatinya terhadap para pendeta ini, mungkin pertama kali timbul melihat mereka membunuhi orang-orang Cin-sa-pang tadi.
Setelah keluar dari ruangan itu, Hong Li keluar dari dalam rumah, akan tetapi ia tidak pergi mencari Pek Nio dan Hek Nio. Hatinya sedang mengkal dan ia pun tidak bernapsu lagi untuk membantu dua orang itu. Ia bukan hanya kecewa dan mendongkol terhadap subo-nya yang membunuhi orang, terhadap tujuh orang pendeta itu, akan tetapi juga mendongkol terhadap tiga orang pelayan yang dianggapnya juga kejam dan pembunuh-pembunuh berdarah dingin!
Maka ia kemudian pergi ke taman bunga di belakang, tempat yang paling disenanginya, tempat di mana dia selalu pergi menghibur diri di waktu ia merasa rindu kepada orang tuanya. Dan sekarang ini ia merasa amat rindu akibat guncangan batin yang dideritanya menyaksikan pembantaian tadi.
Rombongan para tosu itu memimpin belasan orang anak buah Pek-lian-pai. Tujuh orang tosu itu adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dan dalam kunjungan mereka kepada Sin-kiam Mo-li dipimpin sendiri oleh wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu Thian Kong Cinjin. Di antara mereka terdapat pula sute-nya, yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai. Ada pun yang empat orang lain adalah tokoh-tokoh Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Thian Kek Sengjin dan tiga orang adalah sute-nya, Coa-ong Sengjin si ahli ular, dan dua orang sute lain yang bernama Ang Bin Tosu si muka merah dan Im Yang Tosu yang congkak.
Tujuh orang pendeta ini merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari Pat-kwa-pai dan juga Pek-lian-pai. Mereka sengaja diutus oleh kedua pimpinan partai itu untuk menghubungi Sin-kiam Mo-li dan membujuk wanita sakti itu untuk mau bergabung dengan mereka dan memperkuat pasukan pemberontak mereka.
Dengan panjang lebar, para tosu itu menceritakan tentang perjuangan mereka, tentang harapan-harapan dan pamrih yang muluk-muluk dalam gerakan mereka, sambil tak lupa memamerkan kekuatan pasukan mereka. Mereka berusaha keras membujuk wanita itu untuk bergabung.
Mula-mula Sin-kiam Mo-li merasa ragu-ragu, akan tetapi ketika diingatkan bahwa wanita ini memiliki musuh-musuh yang berpihak kepada Kerajaan Mancu, yaitu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, diingatkan betapa ibu angkatnya, Kim Hwa Nionio, juga tewas di tangan keluarga itu dan kalau bergabung dengan mereka maka wanita itu lebih kuat dan lebih mudah membalas dendam, akhirnya Sin-kiam Mo-li menerima uluran tangan itu.
Dengan gembira para tosu itu kemudian mengatur rencana bersama Sin-kiam Mo-li, dan mengangkat wanita itu menjadi pemimpin pasukan yang terdiri dari anggota-anggota kedua partai itu bersama rakyat yang dapat mereka bujuk, untuk memimpin pasukan dan bergerak dari barat. Mereka terus bercakap-cakap dengan asyiknya sambil makan minum.
Tak lama kemudian, para tosu yang lihai itu sudah terpengaruh arak. Wajah mereka sudah menjadi merah, mereka tertawa-tawa dan kata-kata mereka semakin terlepas bebas. Tidak lama kemudian Ang Nio yang tadi hanya seorang diri saja melayani para tamu, kini telah dibantu oleh Pek Nio dan Hek Nio yang sudah kembali setelah selesai menyingkirkan semua mayat musuh yang berserakan. Datangnya dua orang pelayan cantik ini menambah kegembiraan para tosu dan mereka lalu berpesta pora dengan gembira.....
********************
Pada waktu para tosu itu membunuhi enam belas orang Cin-sa-pang, ada dua orang bersembunyi dan mengintai dari puncak sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat itu. Kedua orang ini adalah Sim Houw dan Bi Lan.
Mereka berdua sempat nonton pembantaian yang dilakukan tujuh orang tosu itu tanpa mampu turun tangan mencampuri karena ketika mereka naik ke atas pohon besar dan mengintai lalu dapat melihat perkelahian itu, hampir semua anggota Cin-sa-pang sudah terbunuh. Kedua orang pendekar ini bergidik penuh kengerian menyaksikan kekejaman itu, akan tetapi mereka juga amat terkejut melihat kehadiran para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu.
"Wah, kiranya mereka baru datang," kata Sim Houw kepada kekasihnya. "Kalau mereka sudah menggabungkan diri dengan wanita itu, keadaan di sini tentu sangat kuat. Kita tak boleh sembrono memasuki tempat ini, harus menyelidiki lebih dahulu apakah benar nona Hong Li berada di sini seperti yang kita duga."
Bi Lan mengangguk. "Memang berbahaya sekali tempat ini. Para tosu itu sudah amat lihai dan kalau mereka itu memilih Sin-kiam Mo-li sebagai sekutu, tentu wanita itu pun lihai bukan main. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio yang sakti. Kita memang harus berhati-hati. Lihat itu!"
Keduanya memandang dan kini melihat betapa Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu bersama tujuh orang tosu, diikuti oleh pelayan berpakaian merah yang cantik itu. Lalu mereka melihat betapa dua orang gadis lain, yang berpakaian serba putih dan serba hitam, juga cantik-cantik, menyeret mayat-mayat yang berserakan dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam dua kubangan, pasir dan lumpur. Dan mereka melihat dengan hati ngeri betapa mayat-mayat itu disedot masuk dan tenggelam ke dalam kubangan-kubangan itu, kemudian lenyap tanpa meninggalkan bekas.
"Hemm, kubangan-kubangan itu sangat berbahaya," kata Sim Houw. "Merupakan suatu perangkap yang mengerikan, sekali kaki terperosok, akan sukarlah untuk keluar lagi. Dan lihat, kedudukan semak-semak belukar dan pohon-pohon itu, demikian teratur rapi merupakan barisan yang aneh. Aku yakin bahwa tempat ini memang merupakan tempat berbahaya yang mengandung penuh rahasia dan jebakan. Lihat, bukankah pepohonan itu tumbuh secara teratur dan dari sini berbentuk pat-kwa (segi delapan)! Pernah aku mendengar tentang ilmu mengatur barisan yang ditrapkan untuk membuat lorong-lororg rahasia yang menyesatkan dan berbahaya. Agaknya Sin-kiam Mo-li ahli pula dalam ilmu ini. Kita selidiki dulu dari luar, baru besok menyelinap ke dalam dengan hati-hati. Syukur kalau tujuh orang tosu itu sudah meninggalkan tempat ini."
Dua orang pendekar itu lalu turun dan mulai melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu. Dalam penyelidikan inilah mereka melihat belasan anak buah Pek-lian-pai sedang bergerombol dan menanti kembalinya para pimpinan mereka yang kini menjadi tamu Sin-kiam Mo-li. Juga mereka melihat lima buah perahu kosong yang tadi dipergunakan orang-orang Cin-sa-pang untuk menyerbu tempat itu.
"Lihat itu," Sim Houw tiba-tiba menunjuk ke sebuah jalur air yang berkelak-kelok seperti ular. "Itu merupakan jalan air yang mengalir dari atas bukit menuju ke Sungai Cin-sa ini. Tentu air hujan yang turun di atas bukit itu mengalir melalui jalan air itu dan kiranya jalan itulah yang paling aman."
"Akan tetapi, perlukah kita demikian berhati-hati sehingga kita harus masuk melalui jalan yang aman dan tersembunyi bagaikan pencuri? Koko, mengapa kita tidak masuk saja melalui jalan biasa, menghadapi semua jebakan dan terang-terangan minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, dan kita minta dikembalikannya Hong Li?"
Sim Houw menggelengkan kepala tanda tidak setuju. "Lan-moi, kita berurusan dengan pembebasan seorang tawanan, maka kita harus berlaku hati-hati supaya jangan sampai kita gagal menyelamatkan nona Hong Li. Kalau kita masuk berterang, maka terdapat banyak bahaya. Sin-kiam Mo-li bisa saja lebih dulu menyembunyikan anak itu sehingga tidak terdapat bukti bahwa ia yang menculiknya. Bahkan dapat saja ia membunuh anak itu untuk menghilangkan jejak. Pula, dengan adanya ketujuh orang tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, lawan kita akan menjadi semakin berat."
"Akan tetapi kita dibantu oleh suci! Ahhh, mana suci Siu Kwi? Kenapa ia belum juga muncul?"
"Aku di sini, sumoi!"
Sesosok bayangan berkelebat dan Bi-kwi telah berdiri di depan mereka. Wajah wanita ini menjadi agak pucat. "Apakah kalian melihat apa yang kusaksikan tadi?"
Ia bergidik ngeri. Tadi ia memang sengaja berpencar dengan Bi Lan dan Sim Houw. Kalau kedua orang itu melakukan penyelidikan dengan jalan memutar dari barat lalu ke selatan, dan ke timur, Bi-kwi melakukan penyelidikan dari barat ke utara, lalu ke timur dan kini mereka bertemu di sebelah timur tempat itu.
"Pembantaian yang dilakukan oleh ketujuh orang tosu itu terhadap belasan orang yang menyerbu?" tanya Bi Lan.
Bi-kwi mengangguk. "Bukan cuma itu, juga di dekat sungai telah dibantai pula belasan orang. Sedikitnya ada tiga puluh orang yang tewas di tangan Sin-kiam Mo-li dan kawan-kawannya. Ihhh, wanita itu sungguh lihai bukan main, juga memiliki kekejaman yang mengerikan!"
Diam-diam Bi Lan merasa heran dalam hatinya. Suci-nya memang benar telah berubah kalau dibandingkan dengan dahulu. Dahulu, sebelum suci-nya bertemu dengan Yo Jin, perbuatan yang tadi dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li itu belum tentu membuat matanya berkedip, apa pula merasa ngeri! Agaknya kini perasaan hati Bi-kwi juga sudah berubah sama sekali sehingga menyaksikan perbuatan kejam dilakukan orang, wajahnya sampai menjadi pucat dan suaranya agak gemetar.
"Dan tujuh orang pendeta itu pun mempunyai kepandaian tinggi. Tadi kami juga sempat menyaksikan pada waktu mereka membunuh belasan orang itu. Gerakan mereka jelas membuktikan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan," kata Sim Houw.
Bi-kwi mengangguk. "Kita harus mengatur siasat, tak boleh bertindak sembrono karena tempat ini penuh dengan jebakan-jebakan berbahaya. Dahulu, tiga orang suhu Sam Kwi pernah bicara tentang lorong rahasia yang mempergunakan bentuk pat-kwa. Sayang aku belum pernah mempelajarinya karena ketika itu kuanggap tidak perlu. Siapa kira kini kita dihadapkan dengan tempat yang dilindungi oleh lorong-lorong rahasia pat-kwa yang sulit dan berbahaya."
"Sebaiknya kalau kita berunding dulu di tempat penginapan kita. Besok saja kita turun tangan karena sebentar lagi tentu hari menjadi gelap dan lebih berbahaya lagi masuk ke tempat seperti ini. Mudah-mudahan besok para tosu itu telah pergi sehingga gerakan kita akan berhasil tanpa banyak kesukaran," kata Sim Houw.
Dua orang wanita itu setuju dan mereka pun cepat meninggalkan tempat itu menuju ke kota Teken di sebelah barat, kota yang kecil akan tetapi cukup ramai. Mereka bermalam di satu-satunya rumah penginapan yang terdapat di kota itu. Setelah tiba di tempat penginapan dan makan sore, malam itu mereka bertiga mengadakan perundingan dan mengatur siasat.
"Tidak ada lain jalan yang lebih baik," akhirnya Bi-kwi berkata setelah mendengarkan pendapat Sim Houw dan Bi Lan, "kecuali menggunakan siasat bersahabat. Kalau kita mempergunakan kekerasan menyerbu, tentu anak itu akan disingkirkan lebih dulu dan kalau sudah demikian, sukarlah bagi kita untuk mencarinya. Tanpa bukti adanya anak itu, kita tidak mampu berbuat apa-apa terhadap Sin-kiam Mo-li. Maka, mengingat bahwa ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nionio, paling baik kalau aku datang berkunjung sebagai seorang sahabat, sebagai seorang dari satu golongan."
"Akan tetapi, suci! Siapa bilang engkau satu golongan dengan orang macam Sin-kiam Mo-li yang kini bergabung dengan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw? Mereka adalah orang-orang jahat, dari golongan sesat, sedangkan engkau..."
Bi-kwi melambaikan tangan. "Sudahlah, sumoi. Lupakah engkau siapa aku ini dahulu? Memang aku telah mencuci tangan dan hatiku, akan tetapi semua ini hanya digunakan sebagai siasat saja. Mengingat bahwa aku adalah murid Sam Kwi, mudah-mudahan ia mau menerimaku sebagai tamu, apa lagi mengingat bahwa aku pernah bekerja sama dengan ibu angkatnya. Tentu ia ingin sekali mendengar dari mulutku sendiri yang dulu bekerja sama dengan Kim Hwa Nionio, tentang perkelahian itu dan juga bagaimana ibu angkatnya tewas. Nah, sebagai tamu, aku tentu akan dapat bertemu dengan anak itu kalau memang benar anak itu berada di sana. Ia tentu tidak akan merahasiakan adanya anak itu di sana terhadapku yang sama sekali tidak akan dicurigainya. Dan kalau sudah demikian, berarti kita akan memperoleh dua keuntungan. Pertama, akan ada kepastian apakah anak itu berada di sana dan ke dua, aku sudah mengenal jalan yang aman memasuki daerah itu."
Sim Houw mengangguk-angguk dan Bi Lan merasa girang sekali. "Ahh, bagus sekali, suci. Agaknya memang itulah jalan terbaik bagi kita. Untung sekali bahwa engkau telah ikut membantu kami, suci."
"Aihh, sumoi, jangan memuji dulu. Ini baru rencana, simpanlah pujianmu sampai kita berhasil."
Mereka bercakap-cakap sampai jauh malam dan diam-diam Sim Houw mau pun Bi Lan melihat kenyataan betapa wanita yang dulunya menjadi iblis betina itu kini benar-benar telah berubah. Apa lagi ketika Bi-kwi bercerita tentang Yo Jin, di dalam kata-katanya itu penuh berhamburan nada cinta kasih yang mendalam terhadap suaminya itu sehingga Bi Lan merasa terharu sekali.
Kebaikan tak mungkin dilatih atau dipelajari. Kebaikan tidak mungkin dilakukan dengan sengaja karena kalau kebaikan dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa perbuatan itu merupakan kebaikan, maka itu bukan lagi kebaikan namanya, melainkan perbuatan yang sudah teratur dan karenanya berpamrih. Dan perbuatan apa pun yang mengandung pamrih, dapatkah dinamakan kebaikan? Yang dinamakan pamrih adalah harapan untuk mencapai sesuatu demi keuntungan diri pribadi, baik itu keuntungan lahir mau pun keuntungan batin.
Segala bentuk perbuatan, yang dinamakan baik mau pun buruk, adalah akibat dari pada keadaan pikiran, keadaan batin. Baik buruknya tiap perbuatan ditentukan oleh keadaan batin. Oleh karena itu, bukan perbuatan yang harus dirubah, yang harus dilatih atau dipelajari karena perbuatan hanya merupakan akibat dari keadaan batin. Yang perlu dirubah adalah batin sendiri, keadaan batin itu sendiri. Bukan dirubah oleh kita, karena kalau demikian, hal itu merupakan suatu perbuatan berpamrih yang lain. Bukan dirubah, melainkan BERUBAH!
Jadi, perbuatan yang dinamakan perbuatan baik tidak terpisah dari keadaan batin kita, demikian pula perbuatan yang dinamakan buruk atau jahat. Batinlah yang menentukan, keadaan batin yang mendorong setiap perbuatan. Kalau batin tenang dan bersih, dapatkah kita melakukan perbuatan yang buruk dan jahat? Sebaliknya, kalau batin keruh dan kacau, mana mungkin kita dapat melakukan perbuatan bersih dan baik?
Dan batin baru dalam keadaan hening, tenang, bersih, berimbang, tegak dan lurus, bersih dan bening, kalau tidak dikeruhkan dan disibukkan oleh pikiran! Pikiranlah yang membentuk AKU dan si aku inilah yang merajalela mengaduk batin, dengan segala keinginannya, mengejar dan mengulang kesenangan, mengelak dan menjauhi yang tak menyenangkan.
Si aku menyeret batin ke dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan antara baik dan buruk, senang dan susah, puas dan kecewa, suka dan duka, dan setiap saat batin menjadi keruh, menjadi sumber dari segala rasa takut, marah, benci, cemburu, tamak, iri, prasangka yang menjadi permainan si aku dan akhirnya hanya duka dan sengsara yang menjadi bunga kehidupan kita.
Untuk dapat menyelami semua ini, kita hanya tinggal menjenguk isi batin kita sendiri, mengamati batin kita sendiri saat demi saat, hidup hanya dalam keadaan sekarang ini, menghapus yang lalu dan menyingkirkan yang akan datang agar kita dapat sepenuhnya hidup di saat ini. Pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin sajalah yang akan dapat membuat kita waspada, tidak lagi menjadi boneka permainan nafsu, tidak ada lagi si aku merajalela dan yang ada hanyalah kewaspadaan dan kesadaran
.....********************
Belum lama setelah Sim Houw, Bi Lan dan Siu Kwi (Bi-kwi) pergi meninggalkan daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li, menjelang sore, nampaklah seorang pemuda datang ke tempat itu seorang diri saja. Pemuda yang berusia dua puluh satu tahun kurang lebih, bertubuh tegap dengan muka bersih cerah, tampan, dengan pakaian sederhana warna biru. Pemuda ini adalah Gu Hong Beng!
Bagaimana pemuda itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini?
Kiranya Hong Beng mendengar ketika Kao Cin Liong bercerita kepada Suma Ciang Bun tentang Sin-kiam Mo-li seperti yang diceritakan oleh Bi Lan. Betapa Bi Lan dan Sim Houw hendak melakukan penyelidikan kepada wanita iblis itu yang mencurigakan, dan mengingat bahwa wanita itu adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio maka patut dicurigai sebagai penculik Hong Li dengan tujuan untuk membalas dendam kematian ibu angkatnya.
Hati Hong Beng amat tertarik mendengar cerita tentang Sin-kiam Mo-li ini, yang menurut penuturan dalam percakapan itu tinggal di kaki Heng-tuan-san di tepi Sungai Cin-sa tapal batas Propinsi Se-cuan. Penculik itu telah diketahui, dan kini Bi Lan, Bi-kwi dan Sim Houw pergi ke sana! Hatinya merasa tidak puas dan bahkan tidak enak. Bagaimana keluarga Kao percaya kepada tiga orang itu, terutama kepada Bi-kwi?
Tidak sepatutnya dan tak semestinya jika tugas menyelamatkan diserahkan kepada tiga orang yang masih amat meragukan itu. Siapa tahu mereka itu bahkan akan bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li, maklum sama-sama sesat! Dan timbul pula rasa iri di dalam hatinya. Sepantasnya dialah yang pergi menyelamatkan Hong Li dan mempertaruhkan nyawa untuk membela keluarga itu! Bukan orang orang macam Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi!
Pikiran inilah yang mendorong Hong Beng untuk segera berpamit pada gurunya setelah mereka meninggalkan Pao-teng. Kepada suhu-nya dia hanya mengatakan bahwa dia ingin merantau meluaskan pengetahuannya dan minta waktu selama satu tahun, baru dia akan menyusul suhu-nya. Suma Ciang Bun menyetujui kemudian mereka pun saling berpisah.
Setelah melakukan perjalanan seorang diri, Hong Beng mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke barat. Dia ingin mendahului Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi untuk lebih dulu sampai di tempat tujuan dan lebih dahulu menyelamatkan Kao Hong Li.
Maka, pada siang hari menjelang sore itu ketika dia tiba di tempat tujuan, dia segera akan memulai dengan usahanya mencari Hong Li. Dia tidak tahu bahwa baru beberapa jam yang lalu, tiga orang yang hendak didahuluinya itu baru saja meninggalkan tempat itu. Juga dia tidak tahu bahwa kini di rumah Sin-kiam Mo-li terdapat tujuh orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang amat lihai. Kalau saja Hong Beng bertindak lebih hati-hati, tentu dia akan memeriksa keadaan sekeliling dan akan melihat belasan anak buah Pek-lian-kauw yang berada di sebelah selatan hutan.
Dengan penuh semangat, penuh keberanian akan tetapi cukup berhati-hati, Hong Beng memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu. Dari jauh tadi dia telah melihat genteng rumah besar di antara gerombolan pohon di lereng itu dan menduga bahwa itulah rumah Sin-kiam Mo-li yang dicarinya. Dia pun melihat hutan yang pohon-pohonnya tumbuh teratur, bukan seperti hutan biasa dan dia dapat menduga bahwa hutan ini adalah hutan buatan, maka dia harus bersikap hati-hati sekali.
Dia masuk daerah itu dari bagian yang belum pernah didatangi orang. Jebakan-jebakan di sini berbeda sifatnya dengan yang pernah menjebak orang-orang Cin-sa-pang, walau pun ada pula persamaannya. Ketika Hong Beng memasuki hutan pertama, dia melihat pohon-pohon besar dan tempat itu nampak gelap akan tetapi seperti tak pernah ada bahaya apa pun.
Dengan santai namun cukup waspada, Hong Beng melangkah di antara pohon-pohon besar itu, melalui lorong yang agaknya akan membawanya ke tengah hutan, menuju ke rumah yang gentengnya tadi pernah dilihatnya. Akan tetapi setelah melewati belasan pohon, tiba-tiba lorong itu terhenti dan tertutup oleh pohon besar yang memenuhi jalan.
Hong Beng melihat bahwa di belakang pohon itu penuh semak-semak belukar, berarti bahwa lorong itu memang berhenti sampai di situ saja! Tentu saja dia menjadi sangat penasaran. Melanjutkan perjalanan melalui lorong itu tak mungkin lagi karena semak-semak belukar di belakang pohon itu penuh dengan duri. Pasti ada jalan lain, pikirnya. Dengan hati-hati sekali Hong Beng lalu meloncat ke atas pohon, dengan maksud untuk mencari jalan dengan mengintai dari atas pohon.
Akan tetapi, baru saja dia melihat-lihat ke kanan dan kiri, tiba-tiba hampir dia berteriak kesakitan dan tangannya menggaruk ke arah betis kirinya yang tiba-tiba terasa gatal dan panas sekali. Kiranya ada seekor semut merah yang besar sekali merayap dan menggigit betisnya. Sekali tepuk, semut itu pun mati, tetapi rasa gatal pada betisnya itu semakin menghebat.
"Aduhh...! Aduhh...!" Hong Beng berseru ketika merasa betapa paha dan pundaknya juga terasa gatal panas digigit semut!
Cepat dia meloncat turun dari atas pohon, melepaskan pakaiannya bagian luar dan sibuklah dia membunuhi belasan ekor semut merah yang sudah merayap ke dalam pakaiannya. Untung baru tiga tempat saja tergigit, di betis, paha dan pundak. Akan tetapi semut itu memiliki racun yang ampuh dan berbeda dengan semut-semut lain.
Bekas gigitannya nampak membengkak merah dan rasanya gatal dan panas bukan main. Hong Beng cepat mengeluarkan obat anti racun yang selalu dibawanya, buatan suhu-nya, dan obat berupa minyak itu setelah digosokkan pada bekas gigitan seketika nyerinya hilang. Dia pun mengenakan lagi pakaiannya setelah mengebut-ngebutkannya sampai bersih.
Sambil memandang ke atas pohon, diam-diam dia bergidik. Entah berapa banyaknya semut-semut itu berada di sana, pikirnya. Dia masih belum menyangka bahwa semut-semut itu merupakan jebakan yang sengaja diatur oleh Sin-kiam Mo-li.
Semut-semut itu didatangkannya dari lain tempat, dibiarkan hidup berkembang biak di pohon-pohon besar itu untuk mencegah musuh melakukan pengintaian dari atas pohon. Tentu saja tidak semua pohon menjadi tempat tinggal semut-semut merah beracun ini, hanya pohon di bagian hutan itu saja, karena pohon-pohonnya memang pohon yang disukai semut-semut itu.
Terpaksa Hong Beng kembali lagi, akan tetapi betapa herannya ketika dia mendapat kenyataan bahwa jalan yang dilaluinya sekarang nampaknya seperti bukan lorong yang dimasukinya tadi! Entah apanya yang berubah, akan tetapi lain sama sekali. Ketika ada jalan simpang empat, dia mengambil jalan ke kanan karena jalan ini yang nampaknya paling rapi dan bersih, dan memasuki taman rumput yang indah dan di sebelah sana nampak lagi hutan kecil dengan sebuah telaga kecil di tengahnya.
Hong Beng bersikap hati-hati sekali. Sambil mengerahkan ginkang-nya, dia berjalan di atas lapangan rumput. Baru beberapa langkah dia memasuki taman, mendadak rumput yang diinjaknya itu ambles ke bawah. Ternyata di bawah rumput itu terdapat lubang jebakan berupa sumur dan rumput itu hanya tumbuh di atas sumur dengan akar yang saling berkaitan saja!
Untung bahwa semenjak tadi Hong Beng sudah bersikap waspada. Begitu kakinya yang melangkah di sebelah depan merasa menginjak tempat kosong, cepat-cepat dia segera memindahkan tenaga dan berat tubuh ke kaki belakang sehingga dia mampu menarik kembali kaki depannya.
Dengan sebuah ranting yang dipungutnya di tepi jalan, ia mengorek rumput di depannya dan terbukalah lubang jebakan itu yang lebarnya satu setengah meter persegi! Ketika menjenguk ke bawah, dia bergidik ngeri melihat benda bergerak-gerak di dasar sumur. Ular-ular sedang menanti jatuhnya korban di bawah sana!
"Jahanam keji!" Dia menggerutu dan melanjutkan langkahnya, mengitari sumur itu, akan tetapi kini setiap langkahnya dilakukan dengan lebih hati-hati dan waspada lagi.
Dia melewati dua lagi sumur jebakan yang tertutup rumput, dan pada sumur terakhir, bahkan ketika dia mengorek rumput membuka lubang, terdengar suara berdesing dan dari dalam lubang itu, mungkin alatnya dipasang di bawah rumput, menyambar tiga batang anak panah ke atas. Kalau dia kurang hati-hati, tentu luput terjeblos tetapi sukar untuk terhindar dari sambaran anak panah beracun!
Kembali dia memasuki hutan dengan pohon yang besar-besar dan kini cuaca di dalam hutan agak gelap karena memang matahari sudah condong ke barat dan sinarnya yang tidak begitu kuat agaknya tidak mampu menerobos daun-daun yang lembab. Ketika dia melangkah lagi, dia tidak melihat bahwa di depan kakinya terdapat sehelai tali hitam yang tingginya dua jengkal sehingga kalau ada orang lewat, bagaimana pun juga kakinya tentu akan tersangkut tali.
Demikian pula dengan Hong Beng. Dia sudah waspada, akan tetapi dalam cuaca yang mulai remang-remang di dalam hutan lebat itu, bagaimana dia mampu melihat tali di bawah yang berwarna hitam dengan latar belakang tanah hitam dan rumput hijau tua? Tahu-tahu, kakinya tersangkut dan dari atas turun menimpa batu yang besar sekali! Kiranya tali itu kalau ditarik, mengakibatkan jatuhnya sebuah batu yang besarnya seperut kerbau bunting dan kalau menimpa kepala, tentu kepala itu akan remuk dan tubuh akan ikut menjadi gepeng!
Namun Hong Beng tidak menjadi gugup. Dengan cekatan, dia melompat ke depan dan batu itu jatuh dengan mengeluarkan suara keras sekali ke atas tanah, membuat tanah tergetar dan pepohonan bergoyang-goyang. Agaknya jatuhnya batu ini menimbulkan akibat lain dan mengerjakan alat-alat rahasia yang dipasang di situ karena tiba-tiba saja dari atas pohon-pohon di sekeliling Hong Beng juga berjatuhan batu yang besar-besar!
Kini Hong Beng tidak berani meloncat lagi. Meloncat tanpa mengetahui apa yang akan diinjaknya di tempat lain, amat berbahaya, maka dia pun memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk dan dia pun siap menanti datangnya hujan batu.
"Darrrr!"
Sebongkah batu besar yang menimpa kepalanya, dihantamnya dengan tangan terbuka dan batu itu pun pecah dan terlempar jauh. Masih ada lagi beberapa buah batu yang menghantamnya, namun semua dapat ditangkis oleh Hong Beng sehingga terlempar ke kanan kiri sedangkan tubuhnya sedikit pun tidak terguncang, hanya kedua kakinya yang ambles ke dalam tanah sampai pergelangan kaki saking beratnya batu yang menimpa dirinya tadi!
Setelah tidak ada lagi batu besar yang melayang turun, Hong Beng melanjutkan langkahnya dengan gagah, sedikit pun tidak merasa takut atau gentar walau pun dia tetap berhati-hati. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri, seluruh urat syarafnya siap siaga.....
Komentar
Posting Komentar