SULING NAGA : JILID-50


Tadinya Hong Beng terkejut sendiri melihat betapa dorongannya membuat laki-laki yang mengaku suami Bi-kwi itu terlempar dan terjatuh, bahkan khawatir kalau-kalau orang itu terluka parah. Dia tidak tahu bahwa laki-laki yang menjadi suami seorang iblis betina seperti Bi-kwi ternyata tidak pandai ilmu silat sama sekali sehingga roboh oleh dorongan begitu saja. Akan tetapi ketika melihat munculnya Bi Lan yang kembali membela Bi-kwi, kemarahannya berkobar lagi.

"Can Bi Lan, engkau kembali berani hendak melindungi orang yang demikian jahatnya? Benar-benar engkau telah tersesat! Ia adalah iblis betina yang telah menculik adik Hong Li, dan kini ia datang untuk membikin kacau, dan engkau masih membelanya? Kalau begitu, engkau benar-benar telah berubah jahat!"

"Manusia sombong, engkau sudah buta oleh kesombonganmu. Engkaulah yang jahat!" Bi Lan membentak dan mereka berdua, seperti dikomando saja, tidak tahu siapa yang mulai, telah saling menyerang dengan marahnya.

Karena mereka berdua adalah orang yang berkepandaian tinggi, maka perkelahian itu sangat hebat dan para tamu menjauhkan diri. Diam-diam mereka merasa girang karena mereka memperoleh kesempatan untuk menonton perkelahian yang bermutu.

Para tetamu itu adalah orang-orang dari dunia persilatan, baik dari golongan hitam mau pun putih, maka tidaklah mengherankan kalau mereka suka sekali nonton adu ilmu silat, terutama kalau adu ilmu itu dilakukan oleh dua orang muda yang demikian lihai. Suara angin pukulan mengaung-ngaung dan menyambar-nyambar amat ganas, membuat para penonton menjadi kagum bukan main.

Melihat kekasihnya sudah berkelahi dengan Hong Beng, Sim Houw cepat meloncat ke depan dengan maksud untuk melerai perkelahian itu. Akan tetapi, Suma Ciang Bun yang sejak tadi sudah mendekati tempat perkelahian, siap untuk membantu muridnya kalau muridnya terdesak, merasa curiga dan mengira bahwa majunya Sim Houw tentu untuk membantu Bi Lan.

Maka, tanpa banyak cakap lagi dia pun lantas menyambut datangnya Sim Houw dengan serangan pukulannya yang ganas dan dahsyat karena dia langsung menyerang dengan pengerahan tenaga Hwi-yang Sinkang yang sangat panas. Demikian panasnya hawa serangan itu sehingga terasa oleh para tamu yang sudah menjauhkan diri.

Para tamu menjadi semakin gembira melihat dua orang itu sudah saling terjang dengan dahsyatnya. Sim Houw seperti biasa, mengalah dan hanya menangkis atau mengelak, sedangkan hatinya merasa bingung dan gelisah sekali. Tak disangkanya bahwa kembali dia dan kekasihnya terlibat perkelahian dengan guru dan murid yang galak dan selalu memusuhi Bi Lan itu.

Melihat betapa gara-gara ia dituduh menculik anak tuan rumah, kini sumoi-nya yang jelas membelanya telah berkelahi, juga Sim Houw berkelahi dengan Suma Ciang Bun, Bi-kwi menjadi bingung dan juga khawatir sekali. Ia cepat meloncat maju untuk melerai perkelahian antara Bi Lan dan Hong Beng.

Melihat ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui cepat lari menghampiri tempat perkelahian. Mereka tentu saja ingin menangkap Bi-kwi yang dituduh sebagai pembawa bingkisan yang berisi perhiasan dan rambut kepala anak mereka. Akan tetapi mereka kecelik jika tadi mengira bahwa Bi-kwi hendak membantu Bi Lan. Ternyata Bi-kwi meloncat maju bukan untuk membela Bi Lan melainkan untuk melerai. Ia memegang lengan Bi Lan dan menariknya ke belakang sambil berkata, "Sumoi, tahan dulu, sebaiknya kita bicara baik-baik!"

Perbuatan Bi-kwi ini dapat mencelakakan sumoi-nya karena ia menangkap lengan kiri Bi Lan dan menariknya ke belakang dan pada saat itu, Hong Beng yang juga mengira akan dikeroyok dua, sudah menerjang maju dan menyerang Bi Lan yang posisinya buruk karena sebelah lengannya diganduli Bi-kwi. Untung pada saat itu Kao Cin Liong sudah menangkap pundak Hong Beng.

"Hong Beng, tahan dulu!" teriak Kao Cin Liong.

Dan tentu saja Hong Beng tidak berani meronta setelah dia tahu siapa orangnya yang menahannya. Dengan muka yang masih merah karena marah dan mata bersinar-sinar memandang ke arah Bi Lan dan Bi-kwi, dia pun menghentikan gerakannya dan bahkan melangkah mundur.

Sementara itu, Suma Hui juga sudah melerai perkelahian antara Suma Ciang Bun dan Sim Houw. Jauh lebih mudah melerai perkelahian ini karena memang Sim Houw tidak melawan. Suma Hui hanya menghadang di depan Suma Ciang Bun dan minta kepada adiknya itu untuk menghentikan serangan. Suma Ciang Bun menahan gerakannya dan memandang marah kepada Sim Houw.

"Sudah jelas iblis betina Bi-kwi itulah penculik anakmu, enci Hui. Kalau mereka hendak membela, mari kita turun tangan membasmi mereka yang jahat itu!"

"Nanti dulu, Bun-te, kita bicara dulu dengan mereka, minta penjelasan," kata Suma Hui.

Kini Kao Cin Liong dan Suma Hui menghadapi Bi-kwi yang sudah menolong suaminya. Untung bahwa Yo Jin tidak terluka parah, hanya kulitnya yang lecet-lecet saja. Mereka kini berdiri berdampingan, di depan Kao Cin Liong dan Suma Hui yang melihat betapa sikap suami isteri itu sama sekali tidak kelihatan takut atau khawatir seperti orang yang berdosa. Mereka nampak tenang-tenang saja dan wajah mereka membayangkan rasa penasaran.

Melihat ini, Kao Cin Liong tidak mau sembarangan menuduh. Dia mendahului isterinya, berkata kepada Bi-kwi, "Nona Ciong," katanya, tidak mau menyebut nama julukan Bi-kwi karena dia sudah mendengar penuturan Bi Lan tentang wanita ini, "kami mengharap sukalah engkau memberi keterangan apa artinya engkau dan suamimu sebagai tamu kami memberi bingkisan seperti ini! Ini adalah hiasan rambut anak kami yang hilang diculik orang!" Berkata demikian, Kao Cin Liong dan isterinya memandang tajam kepada wajah wanita itu penuh selidik.

Bi-kwi menghela napas panjang, lalu menjura dengan hormat. "Kao-taihiap berdua yang terhormat, kiranya akan sia-sia kalau orang seperti saya yang memberi keterangan karena tentu tidak akan dipercaya dan saya pun tidak menyalahkan mereka yang tidak percaya karena saya pernah menjadi seorang tokoh sesat yang hidup menyeleweng. Akan tetapi suami saya ini, Yo Jin, adalah seorang petani yang jujur dan selamanya hidup bersih. Biarlah dia saja yang memberikan penjelasan." Berkata demikian Bi-kwi memandang kepada suaminya dengan sinar mata penuh permohonan, dan Yo Jin pun maju dan memberi hormat kepada Kao Cin Liong dan isterinya.

"Semua yang diceritakan isteri saya tadi benar belaka. Ketika mendengar undangan umum untuk menghadiri hari ulang tahun Kao-taihiap, isteri saya menyatakan keinginan hatinya untuk pergi menghadiri pesta perayaan itu. Saya sudah ragu-ragu dan telah pula menyatakan keberatan karena saya takut kalau-kalau timbul urusan lagi dengan isteri saya yang banyak dimusuhi orang. Akan tetapi isteri saya memaksa dengan alasan menghormat Kao-taihiap yang dianggap suheng dari adik Bi Lan yang kami sayang dan hormati. Terpaksa saya setuju dan saya sendiri kemudian memilih di antara kumpulan perhiasan isteri saya untuk dibawa sebagai barang bingkisan. Saya memilih sebuah hiasan bros emas permata berbentuk burung Hong. Inilah keterangan yang sebenarnya dan saya berani bersumpah akan kebenarannya. Tapi jika sekarang bungkusan sutera merah itu berisi benda lain, bagaimana kami mengetahuinya?"

Kao Cin Liong saling pandang dengan isterinya, keduanya mengerutkan alisnya.

Hong Beng yang semenjak tadi mendengarkan, tiba-tiba berkata kepada Kao Cin Liong dengan suara lantang, "Harap Kao-locianpwe dan bibi guru tak mudah ditipu oleh Bi-kwi. Ia terlalu jahat dan saya mengenal kejahatan dan kepalsuannya semenjak Sam Kwi masih hidup. Saya merasa yakin bahwa kalau bukan ia yang telah menculik adik Hong Li, setidaknya ia tentu tahu tentang penculikan itu!"

Mendengar ucapan Hong Beng itu, Bi-kwi lalu maju dan memberi hormat kepada tuan rumah. "Kao-taihiap, tidak saya sangkal bahwa saya memang pernah mengambil jalan hidup yang sesat penuh dosa. Akan tetapi walau pun demikian, belum pernah saya menjadi seorang pengecut. Andai kata benar saya yang menculik puteri taihiap, dan saya telah berani datang ke sini mengembalikan hiasan rambutnya, lalu apa perlunya saya menyangkal mati-matian? Kalau saya sudah berani melakukan hal itu, dan berani pula datang ke sini menyumbangkan hiasan rambut, tentu saya juga berani menghadapi segala resiko dan akibatnya! Dan tentu saja saya tidak akan begitu bodoh dan gila untuk mengajak suami saya yang sedikit pun tak tahu ilmu silat. Harap taihiap pertimbangkan, karena saya tahu bahwa menyangkal dan membela diri dengan kata-kata, tentu tidak akan dipercaya."

Kao Cin Liong kembali saling pandang dengan isterinya, bingung karena mereka sendiri pun bimbang. Mereka percaya kepada tuduhan Hong Beng tadi, akan tetapi mereka juga dapat menerima alasan Bi-kwi.

"Kao-suheng, saya berani menanggung kebenaran ucapan suci Ciong Siu Kwi!" tiba-tiba Bi Lan berkata dengan sikap gagah dan matanya melirik ke arah Hong Beng. "Saya yang mengenal betul keadaan hidup enci Ciong Siu Kwi sebelum ia sadar dan sekarang saya tahu betul bahwa ia telah merubah cara hidupnya. Saya yakin ia tidak bersalah sedikit pun juga dalam urusan kehilangan puteri suheng. Kalau saya menduga bahwa ia penculiknya, saya sendiri yang akan menentangnya, kalau perlu membunuhnya karena bukankah saya sudah berjanji kepada suhu dan subo, bahwa saya takkan menikah dan tidak akan kembali sebelum dapat menemukan puteri suheng? Tidak, suci Siu Kwi tidak bersalah, hal ini saya yakin benar!"

Melihat sikap dan pembelaan Bi Lan yang demikian penuh semangat, Bi-kwi merasa terharu sekali. "Sumoi, jangan engkau terlalu membelaku. Sudah kulihat betapa karena engkau menolong diriku yang kotor dengan air lumpur, maka engkau sendiri terpercik lumpur dan direndahkan orang lain."

"Tidak, suci. Aku bukan membela engkau atau pun seorang suci, melainkan membela kebenaran. Siapa pun dia kalau berada di pihak benar, sudah sepatutnya kubela."

Mendengar percakapan antara suci dan sumoi itu, Kao Cin Liong dan Suma Hui menjadi semakin ragu-ragu akan kesalahan Bi-kwi.

"Nona Ciong, bagaimana pun juga, bingkisan ini tadi adalah pemberianmu. Oleh karena itu, kami yang telah kehilangan anak perempuan kami, jika tidak menuduhmu yang tadi memberi bingkisan ini, lalu sekarang harus menuduh siapa lagi?" kata Suma Hui sambil memandang tajam kepada Bi-kwi.

Wanita ini lalu melangkah maju. "Saya merasa bertanggung jawab, oleh karena itu, saya mohon sukalah Kao-taihiap menyerahkan barang itu kepada saya untuk saya selidiki sebentar."

Tanpa ragu-ragu Kao Cin Liong menyerahkan bungkusan berisi perhiasan rambut dan segumpal rambut itu kepada Bi-kwi, berikut bungkusannya, yaitu sutera merah. Bi-kwi menerimanya, lalu memeriksanya dengan teliti. Mula-mula dia memeriksa kain sutera pembungkusnya, kemudian isinya. Sinar matanya mencorong dan ia pun memandang ke kanan kiri.

"Kao-taihiap, penculik anak taihiap itu berada di sini, di antara kita semua! Dia seorang di antara para tamu!"

Mendengar ucapan ini, Kao Cin Liong dan isterinya, juga para anggota keluarga dan para tamu, terkejut dan suasana pun menjadi bising. Bi-kwi lalu berkata kepada tuan rumah, "Kalau Kao-taihiap percaya kepada saya dan suka meluluskan permintaan saya, marilah kita berunding di dalam saja."

Kao Cin Liong dan isterinya mengangguk, lalu minta kepada Hong Beng dan gurunya untuk mewakili pihak tuan rumah melayani para tamu, sedangkan dia bersama isterinya, juga diikuti oleh para keluarga, yaitu Kam Hong dan Bu Ci Sian, Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng, lalu Sim Houw dan Bi Lan juga diajak masuk bersama Bi-kwi dan Yo Jin.

Setelah tiba di dalam, Bi-kwi lalu cepat memberi keterangan. "Kao-locianpwe, jelaslah bahwa bingkisan kami tadi ada yang mengambil dan menukarnya dengan bingkisan ini. Hal itu tentu terjadi ketika orang-orang datang merubung meja tempat hadiah dan orang itu tentu pandai sekali sehingga tidak ada yang melihat perbuatannya. Karena kami tadi datang terlambat dan bingkisan kami berada di atas, maka hal itu mudah dia lakukan."

"Bagaimana engkau dapat mengatakan bahwa bingkisanmu itu telah ditukar orang? Apa tandanya?" tanya Suma Hui.

"Sutera merah ini berbeda dengan sutera merah yang kami pakai untuk membungkus perhiasan bros itu. Dan pula, sebelum dibungkus sutera merah, kami membungkusnya dengan kertas kuning lebih dulu. Akan tetapi bungkusan ini tidak ada kertas kuningnya. Jelaslah, ada seorang yang sengaja memalsukannya."

"Akan tetapi, apa maksudnya?" tanya Kao Cin Liong.

"Hemm, jika memang benar demikian, maksud orang itu sudah jelas!" kata Suma Ceng Liong. "Pertama, untuk mengacaukan pesta, ke dua untuk mengadu domba. Kita cari dan tangkap dia selagi masih berada di sini!" Pendekar ini bangkit.

"Nanti dulu!" tiba-tiba Sim Houw berkata. "Saya harap cuwi tidak tergesa-gesa dalam hal ini. Sudah jelas bahwa di antara para tamu terdapat seorang atau lebih musuh yang bergerak secara rahasia. Dan di antara sekian banyaknya tamu, bagaimana kita dapat mengetahui yang mana orangnya? Tidak ada bukti apa pun padanya dan dia yang menukar bingkisan tadi tentu tidak begitu bodoh untuk membiarkan bingkisan itu masih ada padanya kalau dilakukan penggeledahan. Kita akan gagal, bahkan mungkin sekali menyinggung perasaan para tokoh yang tidak berdosa. Juga berarti kita mengejutkan ular yang berada di dalam rumput dan semak-semak kalau kita menggebrak rumput dan semak-semak itu. Kalau hendak menangkap ular yang bersembunyi di dalam rumput, harus dengan hati-hati jangan sampai dia kaget dan siap siaga."

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk. "Pendapat ini memang tepat, akan tetapi aku tidak melihat lain jalan untuk dapat menangkap penculik Hong Li."

"Menangkap penculik itu adalah tugas kami berdua dan kami sudah menemukan jejak. Memang sebaiknya kalau orang yang membikin kacau pesta ini dibiarkan saja agar dia tidak membuat laporan kepada atasannya. Saya yakin bahwa yang datang menukar bingkisan itu hanyalah kaki tangan penculik itu, bukan si penculik sendiri karena kalau ia yang muncul, mungkin kami berdua dapat mengenalnya," kata Bi Lan.

Mendengar ini, Kao Cin Liong dan isterinya jadi terkejut, juga girang. "Sumoi, siapakah penculik jahanam itu?" tanya Kao Cin Liong.

"Suheng, kami memperoleh petunjuk pada saat melakukan perjalanan dari Gurun Pasir, tentang seorang wanita berjuluk Sin-kiam Mo-li. Ia adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa Nionio, dan menurut pendengaran kami, ia selain amat lihai dalam ilmu silat, juga pandai ilmu sihir. Kami hendak menyelidik ke sana dan mudah-mudahan kami bisa berhasil. Sebaiknya, urusan penukaran bingkisan ini tidak dibikin ribut agar penculik itu tidak menjadi terkejut dan bersiap siaga sehingga justru menyusahkan kita sendiri untuk mencarinya."

"Hemmm, kalau begitu, aku akan ikut membantumu, sumoi!" kata Bi-kwi. "Urusan ini sekarang menjadi urusanku pula karena aku telah dilibatkan orang sehingga namaku dicemarkan dan aku yang dituduh menculik. Untuk membersihkan ini, tiada jalan lain kecuali aku bertindak menangkap si penculik." Lalu ia berkata kepada Yo Jin, "Suamiku, kuharap engkau suka pulang sendiri terlebih dulu, karena aku harus membantu sumoi dan Sim-taihiap untuk menangkap penculik."

Yo Jin mengerutkan alisnya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepala, lalu berkata, "Sebenarnya hatiku amat berat melepas engkau pergi, isteriku, akan tetapi aku melihat bahwa memang fitnah itu membuat engkau terpaksa bertindak. Inilah jadinya kalau mendekati keramaian kota, ada saja urusan menyusahkan diri!"

Suma Ceng Liong yang sejak tadi ikut mendengarkan, mengangguk-angguk. "Mudah-mudahan saja semua dugaan itu benar. Memang jelaslah bahwa penculik itu sengaja hendak menyusahkan keluarga kita. Pertama dengan menculik Hong Li, lalu berusaha mengadu domba dan mengacau pesta. Oleh karena Hong Li merupakan keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir, maka si penculik itu tentulah seorang yang memusuhi kedua keluarga itu, atau setidaknya satu di antaranya. Kalau yang disebut Sin-kiam Mo-li itu adalah benar anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio, memang kuat alasannya jika dia memusuhi kita. Karena itu, sebaiknya jika kita semua turun tangan menyerbu ke tempat tinggalnya."

"Saudara Suma Ceng Liong, saya kira hal itu tidak perlu karena kami baru menduga saja, dan belum ada bukti-bukti nyata bahwa Sin-kiam Mo-li penculiknya. Biarlah kami menyelidiki lebih dulu. Kalau kami cukup kuat, kami akan merampas kembali nona Kao Hong Li, kalau kami melihat bahwa pihak musuh terlalu kuat, baru kami akan mohon bantuan cu-wi."

Kao Cin Liong mengangguk-angguk. Sebagai ayah, tentu saja dia menyetujui tiap usaha untuk menemukan kembali puterinya.

"Aku percaya kepada kalian berdua," katanya kepada Sim Houw dan Bi Lan, "dan kalau nona Ciong suka membantu, itu akan lebih baik lagi agar hati kami tidak ragu-ragu lagi terhadap namanya."

"Supaya tidak menimbulkan kecurigaan, sebaiknya kalau saya dan suami saya pergi meninggalkan tempat ini dari belakang saja, agar para tamu mengira bahwa memang sayalah yang bersalah dan pihak tuan rumah telah mengambil tindakan. Hal ini penting agar orang yang melakukan penukaran bingkisan tadi merasa telah berhasil dan akan melapor ke atasannya," kata Bi-kwi. "Dan aku menunggumu di luar kota sebelah barat, sumoi," tambahnya kepada Bi Lan.

Kao Cin Liong dan isterinya setuju. Kam Hong yang sejak tadi cuma menjadi pendengar saja, diam-diam merasa kagum dan bangga akan sepak terjang orang-orang muda itu. Terutama sekali sikap Sim Houw yang demikian tenang, serta pendiriannya demikian teguh sehingga tidak ragu-ragu bersama Bi Lan yang menjadi calon isterinya berjanji tidak akan menikah sebelum menemukan kembali Hong Li. Dan pembelaan mereka terhadap Bi-kwi walau pun wanita ini pernah menjadi tokoh sesat karena mereka yakin bahwa Bi-kwi kini telah merubah cara hidupnya dan kembali ke jalan benar.

"Pendapat dan keputusan kalian memang tepat," kata Kam Hong. "Akan tetapi kalian harus berhati-hati karena ingat, kalau ada musuh yang sengaja menyerang keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir dengan perbuatan rahasia dan fitnah, juga adu domba, berarti bahwa mereka itu telah siap siaga menyusun kekuatan. Karena itu, Sim Houw, dalam melakukan penyelidikan, berhati-hatilah dan jika sekiranya keadaan pihak musuh terlalu kuat, jangan segan-segan untuk minta bantuan kedua keluarga itu."

Sim Houw memberi hormat kepada kakek perkasa itu. "Baiklah, suhu, teecu pasti akan mentaati semua pesan suhu."

Akhirnya Bi-kwi dan suaminya lebih dahulu pergi melalui pintu belakang, tanpa diketahui oleh para tamu. Baru kemudian tuan rumah dan keluarganya keluar ke tempat ruangan pesta. Akan tetapi baru saja mereka keluar, terjadi keributan lain. Terdengar teriakan-teriakan para pelayan dan ketika keluarga itu lari ke dalam, mereka melihat seorang di antara para pelayan telah mati dengan tubuh kaku dan muka hitam. Keracunan!

"Tahan semua hidangan! Jangan dikeluarkan lagi sebelum kami periksa!" Lalu Kao Cin Liong yang mengeluarkan perintah ini dibantu oleh para keluarga yang gagah perkasa untuk melakukan penyelidikan.

Semua makanan ternyata bersih, akan tetapi ternyata guci-guci arak yang masih belum dihidangkan telah keracunan! Ada sepuluh guci arak yang keracunan. Agaknya pelayan itu tadi minum secawan arak dari guci yang keracunan. Jelaslah bahwa ada orang yang sengaja menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu.

"Apakah tadi ada di antara tamu yang masuk ke sini?" tanya Kao Cin Liong.

Para pelayan itu saling bertanya dan akhirnya seorang di antara mereka teringat bahwa memang tadi ada seorang tamu yang bercambang bauk lebat masuk ke situ, setengah mabok sambil membawa cawan dan sambil tertawa-tawa memuji lezatnya masakan dan harumnya arak. Dia minta arak karena guci di depan sudah kosong.

"Dia datang sendiri ke tempat di mana ditaruh guci-guci itu, kemudian dia keluar sambil membawa seguci arak sambil tertawa-tawa dan terhuyung-huyung setengah mabok," demikian antara lain pelayan itu menerangkan.

Kini ada beberapa orang pelayan lainnya yang juga teringat akan tamu berjenggot dan berkumis brewok itu yang memasuki dapur dalam keadaan setengah mabok.

"Cepat ikut aku dan tunjukkan yang mana tamu itu!" kata Kao Cin Liong mengajak empat orang pelayan itu keluar. Akan tetapi, mereka tidak menemukan orang brewokan itu di antara para tamu.

"Tentu dia sudah pergi," kata Kam Hong yang tadi ikut pula mengadakan pemeriksaan dengan teliti terhadap semua makanan. "Agaknya setelah dia melihat bahwa usahanya yang pertama untuk mengadu domba itu tidak memperlihatkan hasil seperti yang telah diharapkan, dia lalu menaruh racun ke dalam guci-guci arak itu. Aih, masih untung racun itu hanya mengorbankan nyawa seorang pelayan. Jika sampai dihidangkan dan banyak tamu kang-ouw tewas oleh arak beracun tadi, tentu namamu akan menjadi rusak dan keadaan benar-benar akan menjadi kacau balau."

Kao Cin Liong bergidik dan Suma Hui mengepal tinju.

"Keparat jahanam!" kata Suma Hui. "Siapakah orangnya yang demikian membenci kami sehingga melakukan perbuatan kejam dan terkutuk secara bertubi-tubi terhadap kami? Kalau saja aku tahu siapa orangnya!"

Kematian pelayan karena keracunan itu dirahasiakan dan tidak diketahui oleh para tamu sehingga pesta itu berakhir dengan tenang. Para tamu mulai berpamit meninggalkan tempat itu dan selain menghaturkan ucapan terima kasih, tidak lupa Kao Cin Liong juga mengharapkan supaya para tamu ikut bantu mendengarkan kalau-kalau ada di antara mereka yang dapat mengetahui di mana adanya Kao Hong Li yang lenyap itu. Dengan adanya pesta ini, nama Kao Hong Li segera terkenal di seluruh dunia kang-ouw karena menjadi pokok percakapan dan perbincangan.

Sim Houw dan Bi Lan segera berpamit dari keluarga itu dan memperoleh doa restu, kecuali, tentu saja, dari Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang bagaimana pun juga masih merasa tidak puas. Hong Beng masih merasa tidak puas dan masih tetap saja ada keraguan akan kebersihan Bi-kwi, sedangkan Suma Ciang Bun yang biar pun mulai meragukan kesalahan Bi-kwi, Bi Lan dan Sim Houw karena dia tahu betapa muridnya diracuni iri hati dan cemburu, tetap saja terseret oleh sikap muridnya yang memusuhi Bi-kwi tadi.

Memang tadi dia pun mempunyai dugaan bahwa Bi-kwi bersalah, apa lagi karena dia pernah diserang oleh Bi-kwi yang bersekongkol dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw sehingga hampir saja dia tewas. Kini, kembali ternyata bahwa agaknya dugaan muridnya itu keliru dan Bi-kwi bahkan telah diterima oleh kedua keluarga para pendekar itu untuk bantu mencari Hong Li sampai dapat. Namun, hati pendekar ini tidak merasa puas.

Setelah Bi Lan dan Sim Houw pergi, Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya untuk bicara dengan Ceng Liong dan isterinya. Tentu saja Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merasa heran ketika Ciang Bun minta kepada mereka untuk bicara di antara mereka berempat sendiri. Mereka memilih sebuah kamar kosong dan begitu mereka duduk di dalam kamar tertutup itu, Suma Ceng Liong tersenyum memandang kepada kakak misannya.

"Bun-ko, engkau sungguh aneh dan membikin kami merasa heran dan ingin tahu sekali! Ada urusan apakah maka engkau bersikap begini penuh rahasia dan mengajak kami bicara tertutup seperti ini?"

Suma Ciang Bun juga tersenyum, maka legalah hati Suma Ceng Liong dan isterinya. Sikap Ciang Bun yang santai itu tidak membayangkan adanya urusan yang amat gawat, walau pun kakak itu mengajak mereka bicara di dalam kamar tertutup.

"Ahhh, hanya urusan kekeluargaan, Liong-te, akan tetapi kurang enak kalau didengar anggota keluarga lain karena hal ini hanya menyangkut keluargamu dan keluargaku saja," jawab Ciang Bun.

Kini Kam Bi Eng tak dapat menahan ketawanya. Sungguh aneh kakak misan ipar ini. Jelas bahwa Suma Ciang Bun tidak pernah menikah, maka tentu saja tidak mempunyai keluarga selain keluarga suaminya juga.

"Aihhh, Bun-ko, bukankah keluargamu juga berarti keluarga kami? Mana ada keluarga kami dan keluarga Bun-ko!"

Ciang Bun juga tersenyum. "Yang aku maksudkan dengan keluargaku adalah aku dan muridku ini, karena dia sudah aku anggap sebagai anakku sendiri, Nah, kini aku ingin membicarakan tentang muridku ini dan anak kalian."

Suami isteri itu saling pandang. Keduanya hampir berbareng bertanya, "Suma Lian...?"

Gu Hong Beng hanya menundukkan mukanya saja. Kalau tidak dipaksa oleh gurunya, sampai bagaimana pun juga dia tentu tidak akan berani membuka mulut! Kini dengan jantung berdebar keras dia menanti suhu-nya yang mulai membuka rahasia itu.

"Aku ingin membicarakan tentang perjodohan antara Suma Lian dan muridku Gu Hong Beng ini..."

"Bun-ko...!" Ceng Liong berseru kaget. Dia merasa heran, pandang matanya tajam dan terbelalak.

"Apa maksudmu? Kapankah Bun-ko mengajukan pinangan dan..."

"Anakku Lian-ji masih begitu muda, baru juga dua belas tahun lebih usianya!" Kam Bi Eng juga berseru heran.

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk. Memang agak sukar dia mengatur kata-kata, maklum karena selama hidupnya baru sekali ini dia bicara tentang perjodohan, apa lagi dia kini bertindak sebagai orang tua yang ingin menjodohkan muridnya yang dianggap sebagai anaknya sendiri.

"Aku tahu... aku tahu... akan tetapi ikatan perjodohan antara anak kalian dan muridku telah terjadi semenjak kematian ibumu, yaitu bibi Teng Siang In, Liong-te..."

"Bun-ko, apa pula maksudmu? Sungguh aku tidak mengerti," Ceng Liong bertanya lagi, memandangi guru dan murid itu dengan heran.

"Muridku tidak berani memberi tahukan kepada kalian, dia yang merasa rendah hati itu hanya berani menceritakan kepadaku. Begini, Liong-te, kalian tentu masih ingat ketika terjadi penculikan atas diri puterimu, Suma Lian, oleh Sai-cu Lama yang merobohkan bibi Teng Siang In dengan pedang Ban-tok-kiam yang dirampasnya dari gadis she Can itu."

Ceng Liong dan Bi Eng mengangguk tanpa menjawab, tapi mendengarkan dengan hati penuh rasa tegang.

"Nah, pada waktu muridku membawa ibumu pulang dalam keadaan terluka, kalian lalu melakukan pengejaran terhadap Sai-cu Lama yang melarikan puterimu, meninggalkan bibi Teng Siang In berdua dengan Hong Beng. Dalam saat terakhirnya itulah bibi Teng Siang In meninggalkan pesan kepada Hong Beng."

"Ibuku meninggalkan pesan terakhir kepadamu? Mengapa engkau tidak menyampaikan pesan itu kepadaku, Hong Beng?" Suma Ceng Liong bertanya dan menegur pemuda itu yang tidak mampu menjawab.

"Maafkan muridku, Liong-te. Dia tidak berani melapor dan hanya berani menyampaikan kepadaku, itu pun baru-baru ini saja dia katakan. Ibumu berpesan supaya kelak Hong Beng suka menjadi suami anakmu, dan ia bahkan menyuruh Hong Beng mengucapkan janjinya untuk mematuhi pesan terakhir itu! Dan Hong Beng telah mengucapkan janji itu!"

"Aihhh...!" Suami isteri itu berseru kaget dan Suma Ceng Liong mengerutkan alisnya. "Kenapa ibu meninggalkan pesan seperti itu? Dan kenapa pula engkau mau berjanji seperti itu, Hong Beng?"

"Saya... saya tidak berani menolak permintaan locianpwe yang sudah hampir meninggal dunia itu...," kata Hong Beng sambil menundukkan mukanya.

Mendengar jawaban ini, Ceng Liong dan Bi Eng saling pandang dan mereka pun tidak dapat terlalu menyalahkan Hong Beng. Pesan dan permintaan seseorang yang hampir putus nyawanya memang sukar ditolak.

"Dan dia tidak berani melaporkan kepada kalian karena dia merasa rendah diri. Dia merasa tidak pantas menjadi calon suami puterimu, takut kalau-kalau kalian menjadi marah kalau dia menyampaikan pesan itu. Akan tetapi di samping itu, dia pun gelisah sekali karena dia sudah berjanji kepada bibi Teng Siang In, dan dia akan selalu merasa berdosa kalau kelak tidak memenuhi janjinya itu. Karena itu, dia menjadi gelisah dan menyampaikan pesan itu kepadaku. Nah, adik Suma Ceng Liong, kurasa engkau akan cukup mengerti jika sekarang aku minta kalian untuk membicarakan urusan perjodohan antara puterimu dan muridku."

Suma Ceng Liong mengangguk-angguk dan Kam Bi Eng mengerutkan alisnya. "Bun-ko, memang tindakanmu ini wajar dan tepat. Dan kami pun bukan bermaksud mengabaikan pesan ibu kandungku sendiri. Akan tetapi, engkau sendiri pun tentu telah mengetahui riwayat dari pada perjodohan kami berdua. Pilihan orang tua akhirnya tidak cocok dan tidak jadi, dan kami memilih jodoh atas dasar pilihan hati sendiri, bukan pilihan orang tua atau siapa pun juga. Oleh karena itu, sudah sejak mempunyai anak, kami suami isteri telah bersepakat untuk memberi kebebasan pula kepada anak kami Suma Lian. Ialah yang kelak akan menentukan dengan siapa ia akan menikah. Tidak seorang pun boleh memaksanya, bahkan andai kata ibuku masih ada pun, beliau tidak akan kubenarkan kalau memaksa anak kami berjodoh dengan orang yang dipilih ibuku."

Suma Ciang Bun mengangguk-angguk, mengerti. "Jadi kalau begitu, kalian tidak setuju kalau anak kalian Suma Lian berjodoh dengan muridku Gu Hong Beng?"

"Tidak setuju kalau perjodohan itu tidak dikehendaki oleh Suma Lian, tentu saja," kata Kam Bi Eng yang membenarkan keputusan suaminya itu.

"Bagaimana kalau kelak Suma Lian setuju berjodoh dengan Gu Hong Beng?" desak Suma Ciang Bun.

"Kalau memang kehendak anak kami demikian, tentu saja kami pun tidak akan merasa keberatan, Bun-ko," kata Suma Ceng Liong dengan suara mantap.

"Bagus, kita telah bicara dengan hati terbuka. Nah, Hong Beng. Sekarang tidak ada yang perlu kau susahkan. Pesan terakhir mendiang bibi Teng Siang In kini telah kita sampaikan kepada orang tua Suma Lian dan mereka pun setuju kalau anak itu kelak suka menjadi jodohmu. Kini bebaslah penanggungan hatimu. Kalau kelak Suma Lian suka menjadi isterimu, berarti engkau telah memenuhi pesan terakhir bibi Teng Siang In dan ayah ibu anak itu tidak akan menghalangi dan akan menyetujuinya sehingga semua akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi, andai kata Suma Lian tidak setuju dan menolak untuk menjadi isterimu, maka tentu saja tali perjodahan itu gagal, akan tetapi kegagalan itu bukan karena kesalahanmu sehingga engkau tidak perlu merasa berdosa kepada bibi Teng Siang In."

Hong Beng cepat menghaturkan terima kasih kepada suhu-nya, juga kepada Suma Ceng Liong dan isterinya. Hatinya memang terasa lega bukan main. Ketika dia berjanji di depan nenek itu dalam saat terakhir, dia terpaksa sekali dan setelah berjanji, dia merasa terikat. Kini, ikatan itu melonggar dan dadanya terasa lega.

Tinggal mudah saja baginya. Dia akan menanti sampai Suma Lian menjadi seorang gadis dewasa, sekitar lima enam tahun kemudian, lalu dia akan menemui gadis itu, menceritakan tentang pesan terakhir nenek Teng Siang In dan melihat bagaimana sikap dan tanggapan Suma Lian.

Kalau gadis itu setuju, berarti dia akan menjadi suami gadis itu, mantu dari pendekar Suma Ceng Liong, suatu hal yang merupakan penghormatan besar sekali baginya. Kalau sebaliknya gadis itu menolak, maka dia akan bebas dari janjinya terhadap pesan nenek itu dan dia akan bebas berjodoh dengan wanita mana pun juga tanpa merasa berdosa dan melanggar janji.

Akhirnya keluarga keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir itu saling berpisah dan kembali Kao Cin Liong dan isterinya ditinggal berdua saja, melamun dan terbenam kedukaan kehilangan anak mereka walau pun kini mereka mempunyai harapan karena Pendekar Suling Naga sendiri bersama Bi Lan dan dibantu oleh Bi-kwi pula, yang akan mencari anak mereka sampai dapat. Mereka percaya penuh akan kemampuan Pendekar Suling Naga Sim Houw, apa lagi dibantu oleh dua orang wanita yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi itu. Mereka hanya dapat menanti dan berdoa…..

********************

"Lihat baik-baik, Hong Li, hari ini akan ada pertunjukan yang amat menarik hati," kata Sin-kiam Mo-li setelah mengajak muridnya meloncat naik ke atas menara.

Kini, setelah memperoleh gemblengan setiap hari dari Sin-kiam Mo-li, gadis cilik itu telah mampu melompat naik ke atas menara itu, bahkan di atas menara itu ia diajar untuk berlatih semedhi oleh gurunya.

"Apakah akan terjadi penyerbuan lagi seperti yang dilakukan lima orang tempo hari, subo?" tanya Hong Li sambil memandang ke sekeliling.

Dari menara itu, nampaklah seluruh daerah kekuasaan gurunya. Rumah tempat tinggal mereka yang dikelilingi semak-semak belukar dan hutan-hutan kecil buatan yang aneh aneh, yang penuh dengan jebakan rahasia dan perangkap-perangkap maut, pasir dan lumpur maut yang mengerikan. Dari atas menara itu Hong Li dapat melihat sampai jauh ke bawah, ke kaki bukit dan sampai ke luar hutan-hutan buatan yang penuh jebakan itu. Akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa. Daerah sekitar tempat itu nampak seperti biasa, sunyi saja dan hanya ada burung-burung yang beterbangan dari pohon ke pohon.

"Aku tidak melihat apa-apa, subo," katanya.

"Bukan ke situ, lihatlah ke sungai sana."

Hong Li menengok ke kiri dan terkejutlah ia melihat lima buah perahu menyusuri Sungai Cin-sa. Ia tadi hanya memperhatikan daerah daratan saja, tidak memperhatikan sungai itu sama sekali.

Di dalam lima buah perahu itu terdapat orang-orang yang jumlahnya semua tiga puluh dua orang! Tidak dapat ia melihat dengan jelas keadaan orang-orang itu walau pun ia dapat menghitung mereka dengan mudah. Sekarang tepat di bagian yang paling dekat dengan tempat tinggal subo-nya, lima buah perahu itu minggir dan semua orang lalu berloncatan ke darat, menyeret perahu-perahu itu naik ke atas daratan.

"Hemm, mereka tentu orang-orang Cin-sa-pang yang tolol!" Hong Li mendengar suara subo-nya berkata lirih. "Dan sekarang agaknya mereka dibantu dua orang kakek pandai, entah pimpinan mereka sendiri ataukah orang lain."

Hong Li memandang penuh perhatian dan kini ia pun melihat bahwa semua orang telah berkumpul, membuat lingkaran mengelilingi tiga orang yang sedang bercakap-cakap dengan dua orang kakek. Melihat betapa tiga orang itu berdiri berhadapan dengan dua orang kakek, Hong Li dapat mengerti apa yang dimaksudkan subo-nya.

Agaknya tiga orang itu tentu para pimpinan Cin-sa-pang dan dua orang kakek itulah yang oleh gurunya disebut dua orang kakek pandai. Dilihat dari atas menara, mudah diduga bahwa para pimpinan itu sedang mengadakan perundingan, mereka itu mungkin sedang mengatur siasat untuk menyerbu ke atas.

Hong Li merasa betapa jantungnya berdebar saking tegangnya. Teringat dia akan lima orang penyerbu dan diam-diam ia bergidik. Jangan-jangan kembali subo-nya juga akan membunuh tiga puluh dua orang pendatang itu!

Seolah-olah dapat membaca jalan pikirannya, terdengar Sin-kiam Mo-li berkata, "Orang-orang Cin-sa-pang sungguh tolol dan jahat, berani sekali memusuhi aku yang hidup tenteram di tempat ini."

"Subo, sebenarnya mengapa mereka itu memusuhi subo?" Hong Li bertanya, teringat betapa lima orang Cin-sa-pang telah dibunuh subo-nya. "Maksudku, kelima orang dari Cin-sa-pang yang dahulu itu, karena yang sekarang ini tentulah ingin membalas atas kematian atau hilangnya lima orang pertama."

Gurunya mengangguk-angguk. "Engkau benar, tentu saja mereka itu datang menyerbu karena kehilangan lima orang teman mereka itu dan mereka dapat menduga bahwa lima orang itu tentu tewas di sini. Ada pun lima orang dahulu itu, ahhh, apa lagi yang mereka kehendaki kecuali niat buruk terhadap kita? Mereka adalah penjahat-penjahat dan agaknya mereka mendengar bahwa yang tinggal di sini hanyalah wanita-wanita cantik tanpa pria dan tentu mereka membayangkan bahwa kita mempunyai banyak harta. Mereka menyerbu untuk merampok dan memperkosa, apa lagi? Engkau tentu masih ingat betapa jahatnya mereka. Seorang di antara mereka kau selamatkan dari ancaman bahaya, dan apa yang telah dia lakukan sebagai balasan? Dia menawanmu!"

Hong Li bergidik. Alangkah jahatnya orang-orang itu, pikirnya. Sama sekali ia tidak tahu bahwa subo-nya menyembunyikan kenyataan yang berlainan sama sekali dari apa yang dikatakannya tadi.

Cin-sa-pang adalah perkumpulan orang-orang kasar. Mereka adalah nelayan-nelayan, juga bajak-bajak sungai, dan ‘pemungut pajak paksaan’ dari para nelayan dan petani di sepanjang Sungai Cin-sa. Perkumpulan ini diketuai seorang lelaki berusia empat puluh tahun bernama Louw Pa, seorang bekas bajak laut tunggal yang dapat mengumpulkan para bajak laut, menundukkan mereka dan mendirikan perkumpulan Cin-sa-pang itu.

Louw Pa adalah seorang ahli silat yang cukup tangguh, terkenal dengan julukan Cin-sa Pa-cu (Macan Tutul Sungai Cin Sa), mungkin karena wajahnya yang bopeng dan totol-totol. Tubuhnya tinggi kurus dan dia lihai sekali memainkan sepasang golok besar. Louw Pa memiliki seorang anak laki-laki berusia dua puluh tahun lebih yang berwajah tampan dan bertubuh gagah, bernama Louw Heng Siok.

Pada suatu hari, ketika Louw Heng Siok sedang naik perahu memancing ikan seorang diri dan perahunya tiba di dekat tempat tinggal Sin-kiam Mo-li. Wanita ini melihatnya dan tergeraklah hatinya.

Walau pun ia bukan seorang yang gila laki-laki, namun kehidupan yang kesepian dari wanita ini membuat ia sekali waktu suka mencari hiburan. Setiap kali bertemu dengan pria yang menarik hatinya, tentu ia akan menggunakan kecantikan dan kepandaiannya untuk memikat hati pria itu dan memaksanya menjadi kekasihnya untuk beberapa hari, beberapa minggu atau beberapa bulan saja. Setelah merasa bosan, ia akan membunuh pria itu agar jangan mengabarkan hal-hal yang memalukan tentang dirinya.

Demikianlah, ketika melihat Louw Heng Siok, Sin-kiam Mo-li merasa tertarik dan tanpa kesukaran ia berhasil memikat hati pemuda itu karena Louw Heng Siok juga bukanlah seorang pemuda alim.

Bagaikan seekor laba-laba berhasil menangkap seekor lalat, Sin-kiam Mo-li membawa pemuda itu ke sarangnya. Seperti biasa, setelah ia kekenyangan mengisap darahnya dan menjadi bosan, pemuda itu dibunuhnya dan dilemparkannya ke dalam lumpur maut sehingga lenyap tanpa bekas. Hal itu terjadi beberapa bulan sebelum ia menculik Hong Li.

Meski pun pembunuhan itu tidak meninggalkan jejak, namun akhirnya Louw Pa yang kehilangan puteranya, merasa curiga. Lima orang anak buahnya kemudian melakukan penyelidikan dan mereka pun lenyap di tempat yang penuh rahasia itu.

Louw Pa sudah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa di bukit yang berada di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu tinggal seorang wanita cantik dan berjuluk Sin-kiam Mo-li. Dia merasa yakin bahwa wanita inilah yang telah melenyapkan puteranya.

Apa lagi ketika lima orang anak buahnya yang melakukan penyelidikan juga lenyap, hatinya penuh dengan kemarahan dan dia pun mengumpulkan semua anak buahnya yang berjumlah tiga puluh orang termasuk dia dan dua orang pembantunya. Bahkan dia kemudian minta bantuan dua orang temannya yang menjadi bajak di Sungai Lan-cang (Mekong), yaitu dua kakek yang kini sudah datang bersama dia dan anak buahnya.

"Kalau kau ingin nonton pertunjukan, kau tinggallah saja di sini menjadi penonton," kata Sin-kiam Mo-li kepada muridnya. "Aku akan mengajak tiga pelayanku untuk menyambut para penyerbu itu!" Habis berkata demikian, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat turun dari atas menara.

Gerakannya demikian ringan seperti seekor burung yang terbang saja, diikuti pandang mata muridnya penuh kagum. Hong Li merasa amat kagum pada wanita yang menjadi ibu angkatnya dan juga gurunya itu, menganggapnya seorang wanita cantik jelita, lemah lembut, dan berhati baik di samping ilmu kepandaiannya yang sangat tinggi. Kadang-kadang ia suka membandingkan gurunya dengan orang tuanya. Ia tidak tahu siapa yang lebih lihai antara gurunya dengan mereka.

Kini ia melihat betapa gurunya diikuti oleh Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio keluar dari dalam rumah menuju ke pantai di mana para penyerbu itu tadi berkumpul. Dari menara itu ia dapat melihat jelas apa yang terjadi di bawah sana. Orang-orang Cin-sa-pang itu ternyata kini dibagi menjadi dua kelompok dan masing-masing kelompok dipimpin oleh seorang di antara dua kakek itu. Kelompok pertama yang disertai pula oleh pimpinan Cin-sa-pang menyerbu dari arah sungai itu, yaitu dari timur sedangkan kelompok ke dua mengambil jalan memutar, dan memasuki daerah berbahaya itu dari arah selatan.

Dengan jantung berdebar Hong Li melihat dari atas menara betapa gurunya dan tiga orang pelayannya itu menyelinap dan menuju ke bagian timur, menyelinap antara pohon dan semak-semak belukar. Nampak gurunya sedang memberi petunjuk, jari tangannya menuding ke sana-sini dan ketiga orang pembantu itu lalu berpencaran, menyelinap di antara pohon-pohon. Pedang telanjang mengkilat di tangan tiga orang wanita pembantu yang cantik-cantik akan tetapi juga lihai itu. Diam-diam Hong Li merasa ngeri.

Ia tahu bahwa akan terjadi pembunuhan-pembunuhan lagi. Melihat demikian banyaknya jumlah lawan yang datang menyerbu, ia dapat membayangkan betapa tempat itu akan menjadi tempat pembantaian. Tentu banyak sekali darah yang akan mengalir dan mayat bertumpuk-tumpuk walau pun semua mayat dapat dilempar ke dalam kubangan lumpur atau pasir dan akan lenyap tanpa meninggalkan bekas. Ia bergidik.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga