SULING NAGA : JILID-49
"Juga murid dari mendiang Sam Kwi!" Tiba-tiba terdengar suara Hong Beng memotong kata-kata yang diucapkan oleh Sim Houw itu.
Semua orang terkejut dan diam-diam Suma Ciang Bun menyesalkan ucapan muridnya yang lancang itu, namun dia maklum bahwa perasaan dongkol di dalam hati muridnya yang membuat muridnya bersikap lancang seperti itu. Sejenak keadaan menjadi kaku dan tegang, akan tetapi Kam Hong yang menoleh kepada Hong Beng, kini tersenyum.
"Aihh, seorang yang sakti dan bijaksana seperti Kao-locianpwe, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, tidak mungkin salah memilih murid. Dan ia sekarang menjadi tunanganmu, Sim Houw. Selamat! Sungguh kami ikut merasa gembira sekali."
"Tunanganmu ini cantik dan gagah, Sim Houw. Selamat!" kata pula Bu Ci Sian, lega hatinya karena dengan adanya pertunangan ini, berarti ia pun terlepas dari beban batin yang merasa bersalah terhadap Sim Houw yang patah hati.
"Terima kasih, suhu dan subo," kata Sim Houw. Barulah dia dan Bi Lan menghadap takoh-tokoh lain dan memberi hormat.
Saat memberi hormat kepada Kao Cin Liong, tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan menyebutnya ‘suheng’ (kakak seperguruan). Mendengar sebutan ini, wajah Cin Liong menjadi merah dan hatinya tidak senang sekali.
"Can Bi Lan," katanya halus namun mengandung kemarahan, "engkau telah menyebut suheng kepadaku, maka aku berhak untuk menegurmu. Aku banyak mendengar hal-hal yang tidak baik tentang dirimu, dan kalau memang benar, maka berarti aku sebagai suheng-mu akan terkena lumpur dan noda pula. Benarkah engkau pernah bersekongkol dengan wanita jahat Bi-kwi dan para pemberontak Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, bahkan engkau dibantu oleh Pendekar Suling Naga sudah memusuhi keluarga Pulau Es?"
Bi Lan mengerling ke arah Hong Beng. Ingin rasanya ia pada saat itu juga menyerang pemuda itu. Ia dapat menduga bahwa tentu pemuda itulah yang menyebar fitnah, yang memburukkan namanya di depan semua orang. Tapi sentuhan tangan Sim Houw pada lengannya membuat ia menyadari bahwa di hadapan para locianpwe, tidak sepantasnya kalau ia memperlihatkan sikap kasar. Maka ia pun memberi hormat kepada Kao Cin Liong.
"Kao-suheng, tidak akan kusangkal bahwa aku dan Sim-koko pernah membantu dan membela suci Ciong Siu Kwi, akan tetapi untuk urusan itu terdapat alasan-alasannya yang kuat. Sama sekali kami tidak pernah membantu kejahatannya. Ia telah mengubah hidupnya, bertobat dan ia hanya diperalat oleh para tosu jahat yang telah menyandera calon suaminya. Akan tetapi semua hal itu akan kuceritakan lain kali saja, sekarang yang penting, aku hendak menyampaikan kepada suheng sekeluarga bahwa aku dan Sim-koko datang ke sini sebagai utusan suhu dan subo di Istana Gurun Pasir."
Mendengar ini, Kao Cin Liong tertegun. Kalau gadis ini sudah diterima orang tuanya, bahkan dijadikan utusan, itu tentu hanya berarti bahwa gadis ini tidak jahat. Sambil mengerutkan alisnya, dia bertanya, "Apakah kalian berdua mengunjungi orang tuaku?"
"Benar, suheng. Kami baru saja datang dari sana dan kami mendapat tugas dari suhu dan subo untuk memberi tahu kepada suheng berdua bahwa kalian telah kejatuhan fitnah yang amat keji, dituduh menjadi pembunuh-pembunuh dari Ang I Lama."
Bukan main kagetnya hati Kao Cin Liong mendengar ini. "Apa?! Apa maksudmu? Coba ceritakan yang jelas!"
"Suheng, ketika kami berada di istana, muncul seorang hwesio yang telah kita kenal baik karena dia adalah Tiong Khi Hwesio. Locianpwe inilah yang mengabarkan kepada suhu dan subo bahwa Ang I Lama tewas dibunuh orang, dan para pembunuhnya adalah suheng berdua..."
"Gila! Kami tidak melakukan hal itu!" Kao Cin Liong berseru keras.
"Itu fitnah keji!" Suma Hui juga berseru marah.
"Locianpwe Tiong Khi Hwesio sudah menjadi utusan para pendeta Lama di Tibet untuk menyampaikan protes kepada suhu dan subo karena mereka semua merasa yakin bahwa suheng berdua pembunuhnya. Menurut cerita locianpwe itu, sebelum tewas, dalam keadaan terluka parah dan di depan para pendeta Lama, Ang I Lama sempat menyebut nama suheng berdua."
"Ahhh...!" Wajah Kao Cin Liong berubah. Urusan ini bukanlah urusan kecil dan dia mengerutkan alisnya. "Anak kami hilang belum juga ditemukan jejaknya, dan sekarang muncul lagi fitnah keji yang menuduh kami membunuh Ang I Lama!"
"Ahh… aku mengerti sekarang!" Tiba-tiba Suma Ceng Liong yang terkenal cerdik itu berseru. "Pasti ada hubungan antara kedua peristiwa itu, cihu (kakak ipar)! Si penculik Hong Li mengaku bernama Ang I Lama dan kemudian setelah kalian datang ke barat, ternyata bukan Ang I Lama yang menculiknya. Kemudian, Ang I Lama dibunuh orang dan pendeta itu meninggalkan pesan yang menuduh kalian menjadi pembunuhnya. Bukankah jelas bahwa ada pihak ketiga yang sengaja hendak mengadu domba antara kalian dengan para pendeta Lama? Mula-mula Ang I Lama difitnah menculik Hong Li, kemudian karena tidak melihat kalian bermusuhan dengan Ang I Lama, maka fitnahnya dibalik. Pendeta itu dibunuh dan nama kalian yang kini difitnah."
"Benar! Tentu ada orang yang mengatur semua ini. Akan tetapi siapa?" Kao Cin Liong berseru, penuh rasa penasaran.
"Hemm, setelah mendengar semua laporan tentang hilangnya Kao Hong Li, aku rasa ada kemungkinan lain," tiba-tiba kakek Kam Hong berkata dengan suaranya yang halus tetapi penuh wibawa sehingga semua orang menengok dan memandang kepada orang tua ini. "Mungkin Ang I Lama yang merasa tidak berdosa, setelah dituduh menculik Kao Hong Li, lalu turun tangan sendiri mencari penculiknya, bertemu akan tetapi dia kalah dan tewas."
"Akan tetapi mengapa dia meninggalkan pesan, yaitu menyebut nama cihu Kao Cin Liong berdua, ayah." Kam Bi Eng membantah pendapat ayahnya.
"Hal itu memang aneh, akan tetapi bisa juga dia bermaksud meninggalkan pesan untuk Kao Cin Liong berdua, tentang anak mereka itu, akan tetapi tidak sempat karena keburu tewas," sambung Kam Hong.
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. "Kemungkinan itu besar sekali, Kam-locianpwe. Akan tetapi tetap saja tidak dapat menemukan jejak pembunuh Ang I Lama dan penculik anak kami."
"Suheng, aku dan Sim-koko sudah ditunjuk oleh suhu dan subo untuk menemukan kembali Hong Li, dan juga membikin terang perkara fitnah atas diri suheng mengenai kematian Ang I Lama."
Mendengar ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui menatap wajah gadis itu dan wajah Sim Houw bergantian.
"Kalian...?" Cin Liong berkata, seperti pada diri sendiri, penuh kesangsian apakah dua orang muda ini akan berhasil, sedangkan dia bersama isterinya telah gagal, bahkan Suma Ciang Bun dan muridnya juga gagal, dan tokoh-tokoh lainnya tidak tahu ke mana harus mencari Hong Li. Pesta ulang tahun itu pun bahkan menjadi cara untuk mencari keterangan, sesuai dengan yang diusulkan Suma Ceng Liong.
"Suheng, kami berdua telah berjanji akan mencari Hong Li sampai dapat, kami tidak akan kembali sebelum berhasil, bahkan juga kami tak akan menikah sebelum berhasil," kata pula Bi Lan dan suaranya terdengar begitu tegas dan penuh keyakinan bahwa mereka berdua akan berhasil.
Mendengar tekad ini, diam-diam Kam Hong dan isterinya, Bu Ci Sian, menjadi terharu. Juga Kao Cin Liong dan Suma Hui merasa bersyukur dan berterima kasih mendengar dua orang itu rela mengorbankan diri sampai sedemikian besarnya untuk mencari puteri mereka yang hilang.
Kini pandang mereka terhadap Sim Houw dan Bi Lan berubah, menjadi ramah dan lenyap sudah prasangka buruk dari hati mereka. Mereka yakin bahwa kalau orang tua mereka di Istana Gurun Pasir mempercayai dua orang muda ini, tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk meragukan Sim Houw dan Bi Lan. Sebagai tuan rumah, Kao Cin Liong dan isterinya lalu membujuk agar Sim Houw dan Bi Lan suka tinggal di rumah itu sebelum pesta dimulai tiga hari lagi.
Meski merasa agak sungkan dan tidak enak karena mereka berdua bukan keluarga, dan walau pun Sim Houw melihat suhu dan subo-nya juga tinggal di situ, akan tetapi untuk menolak mereka merasa tidak berani. Maka mereka pun menerima dan mendapatkan dua buah kamar di sebelah belakang.
Hong Beng merasa tidak puas sama sekali dengan kemunculan Sim Houw dan Bi Lan di ruangan tadi. Dia menjadi gelisah di dalam kamarnya, tidak dapat mengaso pada malam hari itu. Hatinya masih panas dan penuh kemarahan kepada Sim Houw dan Bi Lan.
Jelaslah bahwa Bi Lan telah melakukan penyelewengan, berpihak kepada wanita jalang dan jahat seperti Bi-kwi, dengan alasan apa pun juga, dan sudah dua kali malah Bi Lan dan Sim Houw berkelahi melawan dia dan gurunya. Mereka berdua itu jelas bukan golongan sahabat, melainkan musuh. Akan tetapi mereka sekarang disambut sebagai tamu-tamu terhormat, bahkan diberi kamar.
Dan yang lebih menyakitkan hatinya adalah pengakuan Bi Lan bahwa gadis itu sudah bertunangan dengan Sim Houw! Nah, jelaslah bahwa apa yang dilihatnya tempo hari bukan hanya khayal belaka, pikirnya. Di antara mereka tentu terjalin tali perjinahan yang memalukan sekali! Dan mereka itu mengaku bertunangan begitu saja. Kapan resminya dan siapa pula yang menjodohkan antara mereka?
Hong Beng sudah tidak lagi mengharapkan balasan cinta dari Bi Lan, akan tetapi, melihat kenyataan betapa gadis yang menolak cintanya itu telah mendapatkan seorang kekasih, sedangkan dia masih menderita kesepian dan belum ada pengganti Bi Lan, membuat dia tanpa disadarinya merasa iri hati! Terlalu enak rasanya bagi gadis yang telah mengecewakan hatinya itu, yang selain menolak cintanya juga telah melakukan penyelewengan, jelas memihak Bi-kwi dan mewarisi watak jahat dari Sam Kwi, kini diterima pula secara terhormat seperti itu!
Selagi dia gelisah, masuklah Suma Ciang Bun ke dalam kamarnya. Hong Beng cepat bangkit duduk dan memberi hormat kepada suhu-nya.
"Engkau belum tidur?" tanya Suma Ciang Bun sambil duduk di atas kursi, sedangkan muridnya sudah turun dari atas pembaringan dan duduk pula di depan gurunya.
"Belum, suhu. Hati teecu gelisah."
"Engkau gelisah memikirkan diri Can Bi Lan itu, bukan?"
Hong Beng terkejut, namun suhu-nya yang sudah seperti ayahnya sendiri ini boleh saja mengetahui semua isi hatinya. "Benar, suhu. Teecu merasa penasaran sekali. Gadis yang melakukan penyelewengan itu, bersama Sim Houw yang sombong dan memusuhi kita, mengapa sekarang diterima dengan segala kehormatan di tempat terhormat ini? Apakah hal ini tidak akan membuat para tokoh sesat mentertawakan kita?"
Suma Ciang Bun tersenyum. "Memang, keadaan mereka cukup aneh dan meragukan, apa lagi mengingat bahwa gadis itu murid Sam Kwi dan memihak Bi-kwi. Akan tetapi engkau sudah mendengarkan semua cerita mereka. Mereka mendapatkan kepercayaan dan tugas dari locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, bahkan menjadi utusan locianpwe itu. Tentu saja Kao-cihu menerima mereka dengan baik. Hong Beng, engkau agaknya terlalu dibakar hati yang panas. Maklumlah, karena engkau pernah mencinta gadis itu dan ditolak, lalu kini gadis itu muncul dan mengumumkan pertunangannya dengan Sim Houw! Aku tidak terlalu menyalahkan kalau engkau berpanas hati. Akan tetapi engkau harus bersikap gagah dan bijaksana. Lihat contohnya sikap Pendekar Suling Naga itu dan sikap nyonya Suma-Ceng Liong."
Hong Beng memandang wajah gurunya dengan heran. "Apa maksud suhu? Ada apa dengan Sim Houw dan isteri susiok (paman guru) Suma Ceng Liong?"
"Persis seperti keadaanmu dengan nona Can Bi Lan itulah! Dahulu, isteri adikku Suma Ceng Liong bernama Kam Bi Eng dan ia oleh orang tuanya telah dijodohkan dengan Sim Houw! Mereka telah ditunangkan secara resmi atas pilihan dan kehendak orang tua. Akan tetapi, Kam Bi Eng kemudian menolak Sim Houw dan memilih Suma Ceng Liong! Dan lihat sikap mereka kini. Tidak ada apa-apa, bukan? Seharusnya demikian pula sikapmu terhadap Sim Houw dan Can Bi Lan. Jodoh hanya dapat berlangsung melalui jembatan cinta kasih, dan cinta kasih haruslah datang dari kedua pihak. Tak mungkin bertepuk tangan sebelah, muridku, dan engkau sepatutnya bergembira bahwa orang yang kau cinta itu kini berjodoh dengan seorang yang berkepandaian tinggi."
Hong Beng termangu mendengarkan keterangan suhu-nya ini. Tak disangkanya bahwa Sim Houw pun pernah menderita kasih tak sampai seperti dia! Bahkan lebih hebat lagi karena Sim Houw telah ditunangkan dengan bibi gurunya itu, pertunangan yang diikat oleh guru Sim Houw sendiri, tapi kemudian dibatalkan karena bibi gurunya itu mencinta paman gurunya, Suma Ceng Liong!
"Tetapi, biar pun pandai, apa gunanya berilmu tinggi kalau melakukan penyelewengan, suhu?"
"Jangan tergesa menduga demikian, Hong Beng. Lihat saja, kalau memang Sim Houw menyeleweng ke jalan sesat, apakah gurunya, pendekar sakti Kam Hong locianpwe akan tinggal diam saja? Pula, kalau benar Bi Lan dan Sim Houw berkelakuan buruk, kukira seorang sakti seperti Kao-locianpwe di Istana Gurun Pasir tidak akan menaruh kepercayaan kepada mereka."
"Akan tetapi jelas bahwa mereka memihak dan membela siluman betina Bi-kwi sehingga menentang kita, suhu!" bantah Hong Beng penasaran.
"Menurut mereka, siluman betina itu kini telah bertobat dan mereka membelanya karena ia sekarang telah kembali ke jalan benar."
"Ah, siapa dapat percaya keterangan itu suhu? Harap suhu bayangkan, seorang wanita yang sudah demikian bejat akhlaknya, sudah demikian jahatnya seperti Bi-kwi, yang sepak terjangnya mengerikan dan jauh lebih jahat dari pada Sam Kwi sendiri, mana mungkin iblis betina macam ia itu dapat kembali ke jalan benar? Alasan yang dicari-cari saja! Keterangan itu harus dibuktikan dulu sebelum kita menerimanya dan menelannya mentah-mentah begitu saja. Teecu tetap masih belum mau percaya!"
"Engkau percaya atau tidak itu hakmu, akan tetapi aku memperingatkan agar engkau tidak membuat gara-gara dengan panasnya hatimu itu di sini, Hong Beng! Tadi, ketika engkau memotong keterangan Bi Lan dan mengumumkan bahwa Bi Lan murid Sam Kwi, aku sudah merasa sangat malu. Engkau tidak boleh mencari keributan dengan mereka lagi, baik di sini atau pun di lain tempat!"
"Suhu...!" Hong Beng terkejut dan menjatuhkan diri berlutut, menundukkan mukanya. Tidak disangkanya bahwa kini gurunya marah kepadanya dan agaknya gurunya bahkan memihak Bi Lan!
Melihat keadaan muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. Dia merasa iba kepada muridnya ini. Semenjak kecil, muridnya ini telah bernasib malang. Ayah ibunya dibunuh orang dan hidup sebatang kara. Dia amat sayang kepada muridnya, seorang murid yang baik, patuh, rajin dan berbakat, bahkan muridnya telah membuktikan dirinya sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa. Kini, dia tahu bahwa muridnya ini rusak batinnya karena cintanya yang gagal! Muridnya menjadi pendendam, iri hati, dan iba dirinya membengkak.
"Hong Beng, apakah engkau tidak dapat melupakan kegagalanmu dalam cinta? Masih banyak wanita di dunia ini yang bahkan lebih baik dari pada Bi Lan, yang kelak dapat menjadi jodohmu..."
"Suhu...!"
Dan pendekar itu kaget sekali melihat betapa muridnya menitikkan air mata! Hong Beng, muridnya yang gagah perkasa itu, yang tidak gentar menghadapi ancaman maut, kini menangis!
"Hong Beng, ada apakah? Engkau... menangis?"
Pertanyaan ini memperbanyak keluarnya air mata dari kedua mata Hong Beng. Pemuda ini cepat menekan perasaannya, menghapus semua air mata dari mata dan pipinya, menggunakan punggung tangan. Setelah semua air mata terhapus, dia pun memberi hormat sambil berlutut.
"Ampunkan kelemahan hati teecu, suhu. Akan tetapi perkataan suhu tadi mengingatkan teecu bahwa teecu selamanya tak akan mungkin dapat menikah... agaknya... teecu... akan terpaksa mengikuti jejak suhu, tidak akan menikah selamanya."
Wajah Suma Ciang Bun berubah dan alisnya berkerut, pandang matanya penuh selidik ditujukan kepada wajah muridnya. Selama menjadi muridnya, Hong Beng tidak pernah mendapat kesempatan untuk mengerti akan keadaan dirinya yang tidak normal.
Dia telah berjaga diri, dan muridnya itu tidak pernah tahu bahwa dia tidak menikah bukan karena tidak ada wanita yang mau menjadi isterinya, melainkan dia sendiri yang tidak mau menikah karena dia tak suka berdekatan dengan wanita! Ucapan Hong Beng itu tentu saja mengejutkan hatinya. Apakah Hong Beng kini tahu akan ketidak wajaran dirinya?
"Apa maksudmu, Hong Beng? Kenapa engkau terpaksa tak akan menikah selamanya?" pancingnya dengan hati tegang.
"Karena cinta pertama teecu (murid) telah gagal, dan untuk menikah dengan wanita lain, tidak mungkin! Teecu telah terikat janji dengan seseorang bahwa teecu harus menikah dengan seorang gadis. Padahal, perjodohan ini tidak akan mungkin terjadi, dan untuk melanggar janji kepada orang yang teecu hormati dan yang sudah tidak ada di dunia ini, teecu juga tidak berani."
Lega rasa hati Suma Ciang Bun, perasaan lega yang timbul karena dengan jawaban itu terbukti bahwa Hong Beng tidak tahu akan keadaan dirinya yang tidak wajar. Namun dia juga merasa heran sekali.
"Sungguh aneh! Kepada siapakah engkau berjanji, dan siapa pula gadis yang harus kau jadikan calon isteri itu dan kenapa pula hal itu tak mungkin terjadi?"
Hong Beng menundukkan mukanya, merasa bingung sebab ia tidak berani melanjutkan bicaranya. Gurunya menjadi makin heran melihat muridnya yang hanya menundukkan muka dan tidak menjawab itu.
"Hong Beng, jawablah pertanyaanku tadi!" dia mendesak, penasaran.
"Teecu... teecu tidak berani, suhu."
"Hong Beng, bukankah aku telah menjadi gurumu dan pengganti orang tuamu? Siapa lagi yang akan mengurus dan membela dirimu kalau bukan aku? Akulah yang akan melamarkan gadis yang kau pilih, dan akulah yang akan menikahkan engkau. Katakan, kepada siapa engkau berjanji dan siapa pula gadis itu!"
Hong Beng tadi tidak sengaja hendak membongkar rahasia hatinya itu. Dia tadi bicara karena dilanda duka, dan kini sudah terlanjur. Dia harus membuka rahasia itu kepada suhu-nya. Pula, kalau diingat benar, siapa lagi kalau bukan suhu-nya yang akan dapat membereskan persoalan itu?
"Harap suhu maafkan teecu. Sesungguhnya, teecu telah berjanji kepada... mendiang locianpwe Teng Siang In."
"Bibi Teng Siang In? Ibu kandung Ceng Liong?" Suma Ciang Bun berseru kaget. "Dan siapa gadis yang akan kau jadikan jodohmu itu?"
"Teecu sudah berjanji kepada mendiang locianpwe itu untuk kelak... menjadi suami nona Suma Lian..."
"Ehhh...?" Suma Ciang pun menjadi semakin heran dan memandang wajah muridnya dengan mata terbelalak.
Dia takkan ragu akan kebenaran pengakuan muridnya sebab selama menjadi muridnya, dia sudah mengenal benar watak Hong Beng yang tidak akan suka berbohong. Karena kepercayaan dan keyakinan inilah maka dia membela Hong Beng ketika bentrok dengan Bi Lan dan Sim Houw. Dia tidak dapat membayangkan muridnya itu berbohong dan membuat keterangan palsu.
"Bagaimana pula ini? Coba ceritakan, bagaimana asal mulanya maka engkau berjanji kepada mendiang bibi Teng Siang In untuk kelak berjodoh dengan Suma Lian."
Dengan panjang lebar dan jelas Hong Beng lalu bercerita kepada suhu-nya tentang pengalamannya pada waktu dia berkunjung ke dusun Hong-cun untuk pertama kalinya, di mana dia melihat Suma Lian diculik oleh Sai-cu Lama yang berkelahi melawan nenek Teng Siang In. Betapa dia membantunya sampai Sai-cu Lama melarikan diri.
Akan tetapi Suma Lian dibawa oleh Lama yang jahat itu, sedangkan nenek Teng Siang In menderita luka yang amat parah. Betapa kemudian Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng melakukan pengejaran terhadap penculik anak perempuan itu dan dia merawat nenek Teng Siang In yang terluka parah di pahanya oleh pedang Ban-tok-kiam, pedang yang dirampas dari tangan Bi Lan oleh Sai-cu Lama.
"Ketika itulah, suhu, locianpwe Teng Siang In yang siuman dan menghadapi kematian, minta kepada teecu untuk mencari nona Suma Lian dan minta teecu berjanji agar kelak teecu suka berjodoh dengan nona Suma Lian. Melihat keadaan locianpwe itu, yang dalam sekarat menghadapi maut, bagaimana teecu tega untuk menolak permintaannya yang terakhir itu? Sayang bahwa ketika itu, susiok Suma Ceng Liong dan isterinya tidak ada. Kalau mereka ada, tentu dengan mudah teecu menyerahkan persoalannya kepada mereka. Melihat betapa locianpwe itu menghadapi saat terakhir, terpaksa teecu penuhi permintaannya dan teecu mengucap janji itu. Baru kemudian teecu menyesal. Orang seperti teecu ini, mana mungkin menjadi jodoh nona Suma Lian? Teecu tidak berani..., memikirkan pun tidak berani, dan teecu juga tidak berani melanggar janji teecu sendiri, apa lagi janji terhadap seorang locianpwe yang sudah meninggal dunia..."
Suma Ciang Bun termenung, lalu mengangguk-angguk. "Muridku, aku sendiri tidak tahu bagaimana sikap adikku Ceng Liong dan isterinya mengenai persoalan ini. Akan tetapi, menghadapi setiap masalah, kita harus bersikap jujur dan berani, dalam arti kata, berani menghadapi segala akibatnya. Diterima atau ditolaknya oleh mereka jika urusan ini kita ajukan, hanya merupakan akibat saja dan andai kata ditolak, berarti bukan engkau yang melanggar janjimu terhadap bibi Teng Siang In, melainkan pesan itu tidak terlaksana karena pihak orang tua Suma Lian tidak setuju. Nah, tenangkan hatimu. Setelah pesta ulang tahun cihu selesai, aku akan bicara dengan Ceng Liong dan isterinya tentang pesan terakhir bibi Teng Siang In itu."
"Akan tetapi, suhu, teecu takut..."
"Takut apa? Hong Beng, jangan engkau terlalu merendahkan diri. Engkau muridku, tahu? Engkau cukup gagah dan tampan, cukup berharga untuk menjadi jodoh gadis mana pun juga, termasuk Suma Lian! Nah, sekarang mengasolah dan sedapat mungkin hapuskan rasa tidak sukamu kepada Bi Lan dan Sim Houw. Aku pun ingin beristirahat. Ceritamu sungguh membuat hatiku menjadi tegang dan kaget tadi."
Setelah percakapan dengan gurunya ini, hati Hong Beng menjadi tenang kembali dan dia dapat tidur nyenyak. Juga perasaan tidak suka dalam hatinya terhadap Bi Lan dan Sim Houw seolah olah menjadi padam atau setidaknya berkurang banyak…..
********************
Semenjak membuka rahasia itu kepada gurunya, Hong Beng merasa lebih tenang dan selama beberapa hari ini, dia bahkan selalu menghindarkan pertemuan dengan Sim Houw dan Bi Lan, walau pun mereka tinggal serumah. Mereka hanya saling bertemu pada waktu tuan rumah dan para tamunya makan siang atau malam saja, dan dalam kesempatan itu pun Hong Beng tidak pernah bicara dengan Sim Houw atau Bi Lan.
Seperti telah diduga semula, banyak tamu datang membanjiri tempat pesta ketika hari yang ditentukan tiba. Nama besar Kao Cin Liong cukup terkenal, baik sebagai bekas panglima mau pun sebagai pendekar, dan semua orang tahu bahwa selain pendekar ini putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, juga isterinya adalah keluarga Pulau Es.
Maka, banyaklah tokoh-tokoh kang-ouw datang membanjiri tempat pesta itu. Orang tua Kao Cin Liong sendiri tidak nampak. Memang Cin Liong tidak mengabari, ia tidak ingin membuat orang tuanya yang sudah tua sekali itu melakukan perjalanan yang demikian jauhnya. Pula, ulang tahunnya itu sendiri tidak penting, yang penting adalah maksud yang tersembunyi di balik pesta ulang tahun itu. Maka, Kao Cin Liong sama sekali tidak mengharapkan kunjungan ayah ibunya.
Di antara para tamu, terdapat pula tokoh-tokoh yang membawa bingkisan sebagai hadiah ulang tahun. Bungkusan-bungkusan besar kecil diterima oleh pihak tuan rumah dan diatur rapi di atas meja di tengah ruangan yang luas itu, di mana para tamu telah berkumpul.
Setelah matahari naik tinggi, tidak kurang dari lima ratus orang tamu hadir di tempat itu. Mereka datang dari tempat-tempat yang jauh, mewakili daerah-daerah terpencil. Biar pun tokoh-tokoh sesat, asal tidak mempunyai permusuhan dengan keluarga Kao Cin Liong, memerlukan datang untuk menghormati tuan rumah, juga untuk mempergunakan kesempatan yang sangat baik ini untuk bertemu dengan tokoh-tokoh dunia persilatan yang lain.
Bahkan banyak pula pembesar-pembesar yang memiliki kedudukan penting, baik dari daerah mana pun dari kota raja, memerlukan hadir dalam pesta ini. Tentu saja mereka bukan hanya mengingat bahwa Kao Cin Liong adalah bekas panglima yang sudah banyak jasanya terhadap kerajaan, melainkan juga diam-diam mengintai apa yang akan dilakukan bekas panglima ini dengan mengadakan pesta besar mengundang banyak tokoh kang-ouw.
Yang menarik perhatian banyak tamu, juga menggembirakan hati keluarga Pulau Es adalah hadirnya sepasang pendekar yang terkenal dengan julukan Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda dari Beng-san), yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, sepasang saudara kembar putera-putera dari pendekar sakti Gak Bun Beng yang kini berjulukan Bu-beng Lokai.
Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng adalah mantu pertama dari Pendekar Super Sakti, suami dari mendiang Puteri Milana. Seperti telah diceritakan di bagian depan, sepasang pendekar kembar yang usianya sudah hampir lima puluh tahun ini sekaligus menjadi suami dari murid mereka sendiri yang bernama Souw Hui Lan, yang kini hadir pula.
Souw Hui Lan merupakan seorang wanita muda berusia hampir tiga puluh tahun, yang cantik manis dan gagah, juga mencinta dua orang suaminya yang baginya merupakan satu tokoh saja, biar pun memiliki dua tubuh. Setelah menjadi isteri dari saudara kembar ini selama tiga tahun, kini Souw Hui Lan telah mempunyai seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Anak ini mereka ajak pula dan pertemuan antara keluarga Pulau Es itu mendatangkan kegembiraan besar.
Sayang bahwa kakek Gak Bun Beng atau Bu-beng Lo-kai tidak hadir, padahal Suma Ceng Liong dan isterinya sudah merasa rindu kepada puteri mereka, Suma Lian, yang dibawa pergi oleh paman mereka itu untuk digembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi. Sudah setahun mereka ditinggalkan puteri mereka yang ikut bersama kakeknya itu ke puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san.
Pihak tuan rumah sibuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan dan setelah tidak ada lagi yang datang, tempat itu sudah hampir penuh. Para pembantu sibuk mengeluarkan hidangan dan suasana di situ amat meriah. Keluarga tuan rumah berkelompok di bagian tengah ruangan itu, menghadap ke luar, sedangkan para tamu memilih teman sendiri-sendiri, berkelompok dengan kelompok masing-masing.
Seperti biasa, para tamu yang baru datang tentu mencari-cari teman yang cocok lalu dihampirinya. Ada pula tamu yang datang lebih dahulu memanggil tamu yang baru tiba untuk bergabung satu meja dengan mereka. Kawan-kawan lama yang sudah lama tak pernah saling berjumpa, kini bertemu dalam pesta itu, maka suasana menjadi semakin riuh dan gembira.
Ketika para tamu sudah disuguhi arak beberapa cawan, Kao Cin Liong lalu bangkit berdiri di atas panggung yang telah disediakan, sehingga semua tamu dapat melihatnya dari tempat duduk masing-masing.
"Cu-wi sekalian, kami sekeluarga menghaturkan terima kasih atas kedatangan cu-wi, juga atas semua hadiah yang diberikan kepada saya. Semoga Thian membalas semua kebaikan cu-wi itu. Setelah cu-wi hadir di sini, kami ingin mohon bantuan cu-wi, untuk membantu kami yang sedang prihatin menghadapi peristiwa yang sudah membuat kami bingung. Hendaknya cuwi ketahui bahwa puteri kami yang bernama Kao Hong Li, anak tunggal kami, telah beberapa bulan yang lalu lenyap diculik orang..."
Suasana menjadi gaduh ketika para tamu mendengar pengumuman ini. Kao Cin Liong membiarkan keadaan gaduh itu berlangsung sebentar, kemudian ia mengangkat kedua tangan memberi hormat dan minta agar suasana menjadi tenang kembali. Setelah para tamu diam, dia melanjutkan.
"Anak kami baru berusia dua belas tahun lebih, dan kami tidak tahu siapa penculiknya. Selagi kami kebingungan dan belum berhasil menemukan anak kami, kembali terjadi hal yang semakin membingungkan. Locianpwe Ang I Lama di Tibet sudah dibunuh orang, dan kami suami isteri yang tidak berdosa dituduh sebagai pembunuhnya."
Kembali suasana menjadi riuh. Setelah semua orang diam, Kao Cin Liong melanjutkan kata-katanya, "Karena kami kebingungan, tak menemukan jejak puteri kami, maka kami mohon dengan hormat kepada cuwi, apabila ada yang mengetahui atau mendengar di mana adanya puteri kami itu, sukalah memberi kabar kepada kami. Atas kebaikan itu, sebelumnya kami menghaturkan banyak terima kasih kepada cuwi."
Setelah Cin Liong menyelesaikan pengumumannya, para tamu menjadi semakin gaduh, bercakap-cakap di antara kelompok sendiri. Ada pula yang cuma diam termangu-mangu dan menduga-duga siapa adanya orang yang demikian nekat dan berani mengganggu keluarga Kao ini dengan menculik puterinya.
Kao Cin Liong adalah seorang bekas panglima yang terkenal dan gagah perkasa, juga dia adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Isterinya juga bukan orang sembarangan, melainkan cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan kini ada orang berani menculik puteri mereka, bahkan menjatuhkan fitnah kepada keluarga ini yang dituduh membunuh Ang I Lama. Apakah peristiwa ini menjadi tanda bahwa nama besar Pulau Es dan Gurun Pasir akan berakhir atau menjadi suram?
Pesta dilanjutkan dengan cukup meriah dan kini percakapan para tamu adalah tentang pengumuman tuan rumah. Mereka saling bertanya, akan tetapi agaknya tiada seorang pun di antara mereka yang tahu di mana adanya anak perempuan yang diculik itu.
Selagi pihak tuan rumah dan keluarganya melayani para tamu makan minum, tiba-tiba penjaga pintu memberi tahu kepada Kao Cin Liong bahwa telah datang lagi tamu baru, sepasang suami isteri she Yo. Karena tidak mengenal siapa suami isteri she Yo ini, Kao Cin Liong dan isterinya bangkit menyambut, sedangkan keluarganya ikut memandang dengan penuh perhatian untuk melihat siapa adanya tamu yang datang agak terlambat itu.
Pada saat Bi Lan yang juga ikut menengok melihat bahwa yang muncul sebagai tamu terlambat itu adalah Bi-kwi dan Yo Jin, jantungnya berdebar tegang penuh kegirangan, akan tetapi juga penuh kekhawatiran. Tidak disangkanya bahwa suci-nya itu berani datang pula ke pesta ulang tahun ini! Akan tetapi hal ini bahkan membuktikan bahwa suci-nya memang benar telah mengubah cara hidupnya dan tentu suci-nya datang karena menaruh perasaan hormat terhadap keluarga Kao yang gagah perkasa.
Keluarga para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir yang berada di situ, banyak yang mengenal Bi-kwi dan mereka semua memandang dengan alis berkerut. Terutama sekali Gu Hong Beng dan Suma Ciang Bun yang pernah bertempur melawan wanita yang mereka anggap sebagai wanita iblis yang amat jahat itu.
Juga Kao Cin Liong sendiri dan isterinya, Suma Hui, ketika terjadi pertempuran antara para pendekar melawan Sai-cu Lama dan gerombolannya, telah pula mengenal Bi-kwi sebagai murid Sam Kwi. Demikian pula Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Mereka tidak mengira bahwa wanita ini berani muncul sebagai tamu, dan mereka teringat akan pembelaan Bi Lan terhadap suci-nya yang pernah menjadi seorang wanita iblis itu.
Bagaimana pun juga, mereka berdua itu datang sebagai tamu, apa lagi melihat sikap Yo Jin yang demikian sopan dan jujur, juga sikap Bi-kwi yang melihatkan sikap hormat terhadap pihak tuan rumah, Kao Cin Liong dan isterinya terpaksa menyambut. Mereka datang sebagai tamu, dan memang undangan itu ditujukan kepada semua tokoh dunia persilatan tanpa memilih bulu, baik dari golongan putih mau pun dari golongan hitam.
Setelah memberi hormat dan menghaturkan selamat kepada pihak tuan rumah, yang disambut oleh Kao Cin Liong dan isterinya dengan hormat pula, Bi-kwi dan Yo Jin yang menjadi suaminya, menyerahkan sebuah bingkisan yang berupa bungkusan kecil dari sutera merah. Bungkusan itu diterima oleh Suma Hui dan diletakkan di atas tumpukan barang-barang hadiah lain dalam bungkusan-bungkusan besar kecil.
Mereka berdua lalu dipersilakan duduk, tapi karena tempat duduk di bagian depan telah penuh tamu, Bi-kwi dan Yo Jin mencari tempat duduk kosong agak di sudut belakang. Ketika Bi-kwi melihat Bi Lan bersama Sim Houw, ia hanya mengangguk dan tersenyum, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw juga tersenyum kepada mereka.
Semua ini dilihat oleh Hong Beng dengan hati yang tidak puas. Jelaslah bahwa ada hubungan baik antara kedua orang itu, pikirnya dan walau pun kini Bi-kwi datang untuk menghormati Kao Cin Liong dan datang sebagai tamu, akan tetapi ketika memandang wanita itu, sinar mata Hong Beng penuh rasa tidak senang. Juga Suma Ciang Bun yang pernah berkelahi melawan Bi-kwi, memandang dengan alis berkerut. Bi-kwi tahu akan sikap mereka itu, akan tetapi pura-pura tidak tahu saja.
Sebelum berangkat mengunjungi pesta perayaan itu, Bi-kwi memang sudah menduga bahwa di tempat pesta itu tentu akan menghadapi banyak orang yang mengambil sikap memusuhinya. Namun ia tak peduli akan hal itu. Suaminya, Yo Jin yang telah membuka kehidupan baru di suatu dusun terpencil, tadinya merasa tidak setuju ketika Bi-kwi yang mendengar tentang undangan yang disebar Kao Cin Liong itu menyatakan hendak ikut datang bertamu.
"Isteriku yang baik, apakah perlunya mengunjungi tempat ramai itu? Aku khawatir hanya akan mengundang datangnya urusan dan keributan belaka," demikian antara lain suami yang jujur ini berkata.
"Tidak, suamiku, aku tahu benar bahwa urusan dan keributan hanya timbul karena diri sendiri. Dan aku telah berjanji kepada diri sendiri tidak akan mencari keributan, seperti telah kuputuskan untuk merubah cara hidupku. Bukankah selama berbulan-bulan ini kita hidup aman dan tenteram di sini tanpa pernah terjadi sesuatu seolah-olah aku hanyalah isterimu yang sederhana, seorang wanita tani yang tidak mengerti ilmu silat?"
"Kuharap engkau akan begini seterusnya, isteriku sayang. Akan tetapi kenapa engkau mengajak aku untuk pergi ke Pao-teng untuk menghadiri pesta ulang tahun seorang pendekar? Biar pun engkau tidak mencari keributan, bagaimana kalau orang lain yang mencari keributan terhadap dirimu? Engkau tahu bahwa aku tidak memiliki kepandaian untuk melindungi dirimu."
Bi-kwi tersenyum, merangkul suaminya dan merebahkan kepalanya di dada suaminya yang bidang. Biar pun Yo Jin tidak pandai ilmu silat, namun suaminya mempunyai jiwa pendekar yang gagah perkasa dan ia selalu merasa aman tenteram hidup di samping suaminya.
"Jangan khawatir, suamiku. Bentrokan hanya mungkin terjadi kalau kedua belah pihak menghendakinya. Api tidak akan membakar sesuatu yang basah kuyup. Walau pun ada orang mencari gara-gara, jika tidak kita layani, bagaikan api dia akan kehabisan bahan bakar dan pasti akan padam sendiri. Aku ingin bertamu ke sana bukan untuk mencari perkara, melainkan untuk menghormati pendekar Kao Cin Liong yang merayakan hari ulang tahun. Dia mengundang para ahli silat pada umumnya tanpa pandang bulu, tanpa melihat golongan, dan aku ingin datang mengingat bahwa dia adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, masih terhitung suheng dari adik Bi Lan. Bi Lan pasti datang dan hadir pula. Karena aku pun sudah rindu padanya, dan ingin melihat perkembangan dunia sekarang. Sekali lagi jangan khawatir, bentrokan hanya dapat terjadi kalau kedua pihak maju, seperti sepasang tangan yang bertepuk. Tak mungkin sebelah tangan saja bertepuk menimbulkan panas dan bunyi kalau tidak menemukan lawan."
Demikianlah, akhirnya Yo Jin mengalah dan menemani isterinya melakukan perjalanan ke Pao-teng. Mereka datang agak terlambat, setelah pesta dimulai sehingga kehadiran mereka menarik perhatian banyak orang. Akan tetapi ketika suami isteri ini memilih tempat duduk di sudut belakang dan tenggelam di antara para tamu yang memenuhi tempat itu, suasana menjadi meriah kembali.
Banyak di antara para tamu mendekati dan merubung meja, agaknya ingin tahu sekali macamnya barang-barang sumbangan yang bertumpuk itu. Melihat ini, Suma Hui yang menjadi gembira karena belum pernah semenjak menikah dia mengadakan pesta, dan ternyata pesta ulang tahun suaminya yang hanya diadakan untuk mengumpulkan orang dunia persilatan dan mengumumkan tentang hilangnya anaknya itu dikunjungi demikian banyak orang dan menerima banyak sumbangan, segera mengusulkan pada suaminya untuk membukai bungkusan-bangkusan itu di depan para tamu.
Suaminya setuju dan ketika mereka berdua, dibantu oleh para anggota keluarga, mulai membukai bungkusan dan mengumumkan nama penyumbangnya sambil mengangkat tinggi setiap buah benda sumbangan, para tamu menjadi gembira sekali. Tiada hentinya para tamu menyatakan kekaguman mereka setiap kali melihat barang sumbangan yang amat berharga dan beraneka warna itu.
Memang bermacam-macam benda sumbangan para tamu, dan rata-rata merupakan benda berharga. Ada perhiasan-perhiasan, senjata yang baik, guci-guci berukir, cawan perak, dan banyak lagi macamnya. Ketika tiba giliran bungkusan sutera merah kecil pemberian Bi-kwi dan Yo Jin hendak dibuka, pembukanya kebetulan adalah Suma Hui sendiri.
Dan di antara para anggota keluarga, yang paling memperhatikan ketika bungkusan ini dibuka adalah Gu Hong Beng dan gurunya, Suma Ciang Bun. Mereka berdua yang masih merasa penasaran kepada Bi-kwi, ingin sekali melihat barang macam apa yang dibawa oleh tamu yang mereka anggap sebagai siluman betina yang amat jahat itu. Bungkusan itu kecil saja, entah apa isinya. Ketika jari-jari tangan Suma Hui membuka bungkusan itu, guru dan murid ini mendekat dan melihat dengan hati tegang.
Suma Hui sendiri tadi tidak memperhatikan dari siapa pemberian sumbangan dalam bungkusan merah yang kecil ini, maka ketika ia membukanya, ia tersenyum dan tidak merasakan ketegangan seperti yang dirasakan adiknya dan murid adiknya itu. Ketika bungkusan itu dibuka dan Suma Hui mengamatinya, tiba-tiba wajahnya berubah pucat dan wanita perkasa ini menahan jeritnya, tetapi tetap saja masih terdengar seruannya.
"Aihhh...!"
Kao Cin Liong terkejut, cepat mendekati isterinya dan dengan kedua tangan gemetar Suma Hui memperlihatkan benda yang terbungkus sutera merah itu. Sebuah perhiasan rambut dari emas yang diikat dengan segumpal rambut hitam.
Benda itu sendiri adalah merupakan perhiasan rambut yang biasa saja bagi orang lain, akan tetapi suami isteri itu terbelalak memandang karena mereka mengenal perhiasan rambut yang biasanya menghias rambut Kao Hong Li, puteri mereka yang lenyap diculik orang. Dan rambut itu... rambut siapa lagi kalau bukan rambut Hong Li?
"Enci Hui, ada apakah?" Suma Ciang Bun yang melihat perubahan muka enci-nya dan kakak iparnya segera bertanya.
"Ini... ini... perhiasan rambut milik Hong Li..." Suma Hui berkata dengan masih gemetar dan gugup.
"Hemmm, siapakah tadi pengirim sumbangan ini?" Kao Cin Liong juga berkata dengan suara geram dan memandang ke sekeliling.
Mendengar keterangan nyonya rumah bahwa isi bungkusan itu ialah perhiasan rambut yang biasa dipakai anak perempuan yang hilang diculik orang, tentu saja para tamu yang merubung meja sumbangan itu menjadi gempar. Mereka yang duduk di belakang segera mendengar dari mereka yang duduk di depan dan sebentar saja seluruh tamu mengetahui bahwa telah terjadi hal yang aneh, yaitu bahwa seorang di antara para tamu menyumbang perhiasan milik anak tuan rumah yang tadi dikabarkan telah hilang diculik orang. Tentu saja suasana menjadi gempar seketika.
"Iblis betina itulah yang tadi menyumbangkan bungkusan merah!" Tiba-tiba Gu Hong Beng berseru dan dia pun sudah melompat dan lari menghampiri Bi-kwi dan Yo Jin yang masih ikut bingung dan bertanya-tanya mendengar peristiwa yang meributkan itu.
Begitu berhadapan dengan Bi-kwi, Gu Hong Beng menudingkan telunjuknya ke arah muka Bi-kwi dan berkata dengan suara lantang, "Iblis betina, sungguh engkau jahat dan keterlaluan sekali, berani menghina kami! Engkaulah yang menculik adik Kao Hong Li, kemudian engkau berani mati datang untuk membawa perhiasan dan rambut adik Hong Li sebagai barang sumbangan!"
"Apa... apa maksudmu? Harap jangan sembarang menuduh. Bukan kami yang memberi barang seperti itu. Kami menyumbangkan sebuah benda lain!" kata Bi-kwi dengan sikap masih sabar walau pun pemuda itu memandang dengan mata melotot dan sikap bengis, siap hendak menerjangnya.
"Iblis betina, siapa tidak mengenalmu? Bi-kwi terkenal sebagai seorang wanita iblis yang jahat dan keji. Kiranya engkaulah yang menculik adik Hong Li dan kini datang sengaja hendak membikin kacau!"
Berkata demikian, pemuda ini menyerang. Serangannya sangat hebat sehingga Bi-kwi yang tidak ingin membalas, dan tidak ingin melayani, ketika mengelak ke kiri masih saja tersentuh pundaknya oleh serangan itu dan wanita ini pun terhuyung menabrak meja sehingga semua mangkok dan panci di atas meja itu terlempar dan jatuh berantakan.
Tentu saja para tamu cepat berloncatan menjauhi perkelahian itu. Dan melihat isterinya diserang, Yo Jin segera melangkah maju. Dengan sikap sabar dia menghadapi Hong Beng.
"Saudara yang gagah, harap bersabar dulu. Sesungguhnya, apa yang dikatakan isteriku tadi benar belaka. Kami datang dengan iktikad baik, demi penghormatan kami terhadap tuan rumah yang masih terhitung suheng dari adik Can Bi Lan, dan kami berdua tadi memang memberi bingkisan sutera merah, isinya sebuah bros dari emas permata. Aku sendiri yang memilihkan di antara perhiasan milik isteriku, maka harap saudara suka bersabar dan jangan salah sangka..."
Mendengar bahwa laki-laki ini suami Bi-kwi, tentu saja Hong Beng tidak mau menerima keterangannya. Seorang suami tentu saja membela isterinya, pikirnya dan dia pun lalu mendorong tubuh laki-laki itu ke samping sambil berkata, "Minggirlah kau!"
Dorongan Hong Beng adalah dorongan seorang ahli silat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tenaga sinkang yang hebat, maka tentu saja Yo Jin yang tidak pandai ilmu silat itu, sekali tersentuh dorongan itu, tubuhnya lantas terlempar menabrak beberapa buah kursi kosong dan jatuh terbanting dengan kerasnya.....
Komentar
Posting Komentar