SULING NAGA : JILID-44


Tentang kematian Ang I Lama terbunuh orang, tentang suami isteri Kao Cin Liong yang sebelumnya datang minta keterangan dari para Lama tentang Ang I Lama. Kemudian para pimpinan Lama menyatakan pendapat mereka yang juga merupakan tuduhan mereka bahwa suami isteri pendekar itulah yang membunuh Ang I Lama.

"Saudara Tiong Khi Hwesio tentu sudah mengenal siapa adanya Ang I Lama, yang sudah sejak puluhan tahun hidup bertapa dan tidak pernah mencampuri urusan dunia sehingga tidak mungkin menanam permusuhan dengan siapa pun juga. Akan tetapi, beberapa hari sebelum dia terbunuh, pendekar Kao Cin Liong dan isterinya datang ke sini minta keterangan tentang Ang I Lama. Dan melihat sikap mereka, terutama sekali isteri Kao-taihiap, jelas bahwa mereka sedang marah atau tidak suka kepada Ang I Lama yang mereka ketahui adalah sute dari Sai-cu Lama. Tidak lama setelah mereka berdua pergi mencari Ang I Lama, ternyata ia pun sudah dibunuh orang dan sebelum menghembuskan napas terakhir, Ang I Lama hanya dapat menyebutkan nama Kao Cin Liong dan isterinya. Semua ini kami anggap sudah cukup kuat untuk dapat menjadi bukti kebenaran pendapat kami bahwa mereka berdua yang sudah membunuh Ang I Lama. Terutama harus diingat bahwa Ang I Lama memiliki kepandaian yang tinggi, dan hanya orang-orang seperti suami isteri itu sajalah yang kiranya akan mampu membunuhnya."

Tiong Khi Hwesio mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa dia akan menghadapi urusan seperti itu. Memang semua alasan para pimpinan Lama ini masuk di akal, dan bagaimana pun juga, Kao Cin Liong masih terhitung keponakannya sebab ibu kandung pendekar itu, Wan Ceng, adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.

Dengan sikap tenang Tiong Khi Hwesio menanti sampai keterangan para Lama itu selesai, barulah dia bicara, sikapnya masih tenang, suaranya halus. "Lalu apa maksud para saudara Lama sekarang mengundang pinceng datang ke sini. Apa yang dapat pinceng lakukan dalam urusan ini?"

"Kami sedang merasa bingung. Urusan pembunuhan ini tidak mungkin didiamkan saja. Akan tetapi kami pun tidak ingin menanam permusuhan dengan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir, maka kami pun teringat kepada saudara Tiong Khi Hwesio yang menjadi saudara kami yang amat baik. Terutama sekali bila mengingat akan adanya tali kekeluargaan saudara dengan mereka, maka kami mengharapkan bantuan saudara untuk menjadi perantara di antara kami dan mereka untuk menuntut keadilan."

Tiong Khi Hwesio mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. Dalam usia yang sudah tua ini, yang ingin dihabiskannya dalam kedamaian dan ketenteraman, ternyata masih ada saja urusan yang mengejarnya. Akan tetapi, semua itu dianggapnya sudah sewajarnya, maka dia pun tak mengeluh dan tidak pula merasa penasaran atau kecewa.

"Omitohud..., kehendak Thian jadilah! Pinceng akan pergi menemui keluarga itu untuk membicarakan urusan ini."

Para pimpinan Lama merasa lega. Kalau tidak ada Tiong Khi Hwesio yang menjadi perantara, mereka khawatir kalau-kalau akan terjadi permusuhan yang semakin hebat. Para pimpinan maklum bahwa banyak di antara pendeta Lama yang masih belum dapat menguasai dorongan perasaan sehingga kematian Ang I Lama itu dapat menimbulkan kemarahan dan dendam yang besar.

Beberapa hari kemudian, Tiong Khi Hwesio pergi meninggalkan Pegunungan Himalaya menuju ke timur. Ia berjalan seorang diri seperti orang melamun. Ia melihat kenyataan yang amat aneh dalam kehidupan ini.

Seorang seperti Ang I Lama, bagaimana pula sampai tertimpa mala petaka seperti itu, dibunuh orang? Pada hal, dia tahu benar bahwa Ang I Lama adalah seorang pendeta yang sejak puluhan tahun sudah mundur dari semua urusan dan keramaian dunia, tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, bahkan tidak pernah meninggalkan tempat-tempat yang sunyi dan sepi.

Hidup dan mati adalah urusan Tuhan. Manusia tidak menguasai kedua hal itu. Manusia hanya wajib mengisi kehidupan dan tergantung dari dirinya sendirilah akan bagaimana jadinya dengan hidupnya. Dia sendirilah yang akan mewarnai kehidupannya. Namun bukan dia yang menentukan segalanya.

Betapa pun pandainya seseorang, betapa pun kuatnya seseorang, dia tidak mungkin dapat mempertahankan hidupnya jika Tuhan sudah menghendaki kematiannya. Namun, hal ini bukan berarti bahwa kita lalu begitu saja ‘menyerahkan nasib’ kepada Tuhan. Ini sama saja dengan mempersatukan Tuhan demi untuk kepentingan diri sendiri, bahkan condong untuk memperbudak kekuasaan tertinggi di alam mayapada ini.

Tidak ada kekuasaan apa pun di dunia ini yang akan mau menolong kita kalau kita sendiri tidak mau menolong diri sendiri, karena sesungguhnya di dalam diri kita terdapat pula kekuasaan itu, melalui panca indriya kita, melalui pikiran kita, melalui seluruh urat syaraf di tubuh kita. Semua kekuasaan itu sudah ada pada kita, maka kalau tidak kita pergunakan, tentu saja tidak ada lagi kekuasaan yang akan menolong diri kita.

‘Percaya kepada Tuhan’ atau yang lazimnya disebut iman bukan hanya permainan lidah belaka, seperti yang kita lihat dalam kehidupan kita ini. Iman tanpa perbuatan hanya merupakan kemunafikan terselubung saja. Sebaliknya, perbuatan tanpa iman, dalam arti kata kesadaran sepenuhnya, keyakinan sedalamnya akan kekuasaan tertinggi yang menentutan segala-galanya, maka perbuatan itu akan bisa menyeleweng tanpa kemudi, hanya didorong oleh naluri dan kepentingan diri sendiri, sama saja dengan perbuatan binatang-binatang yang tidak memiliki akal budi dan pikiran.

Kalau kita ingin berhasil, kita harus bertindak. Kalau ingin selamat, harus menjaga diri. Dan apa bila semua itu sudah kita lakukan, namun ternyata akhirnya gagal, maka kita harus mencari sebab kegagalan itu dalam diri sendiri! Karena semua hal baik mau pun kegagalan bersumber dari diri sendiri, bukan karena kesalahan orang lain, dan adalah licik untuk berkeluh kesah dan melontarkan semua ratapan kepada Tuhan, seolah-olah Tuhan yang bertanggung jawab atas kegagalan kita!

Kalau ada kegagalan, tentu ada kesalahan dalam tindakan kita, walau pun mungkin saja mata kita tidak melihat adanya kesalahan itu. Kita selalu condong untuk membenarkan diri sendiri. Kita merasa amat sulit untuk mengoreksi diri, untuk meneliti tindakan sendiri, untuk menemukan kesalahan dalam diri sendiri.

Cara yang ditempuh Tuhan kadang-kadang bahkan sering kali sukar untuk dimengerti oleh akal manusia yang amat terbatas ini. Kita biasanya hanya menerima segala akibat penempuhan cara yang penuh rahasia itu, kalau menyenangkan kita bersyukur, kalau menyusahkan kita mengeluh, karena semua pendapat kita didasari untung-rugi bagi diri sendiri. Padahal, belum tentu kalau sesuatu yang kita anggap buruk menimpa diri kita itu memang benar buruk. Belum tentu!

Banyak sudah buktinya bahwa peristiwa buruk yang menimpa kita itu justru merupakan penghindaran yang luar biasa pada diri kita dari ancaman bahaya yang lebih hebat lagi! Seperti sebuah operasi pada tubuh kita, nampaknya menyusahkan, padahal operasi itu penting sekali untuk melenyapkan penyakit yang jauh lebih ganas yang ada pada diri kita.

Oleh karena itu, orang bijaksana selalu akan menerima segala macam peristiwa yang menimpa dirinya tanpa menilainya sebagai baik mau pun buruk, selalu menerima apa adanya tanpa membanding-bandingkan, dengan penuh kesadaran bahwa segala yang terjadi sudah dikehendaki oleh Tuhan, maka sudah wajarlah!

Orang bijaksana akan selalu mengerti dan yakin bahwa ‘semua kehendak Tuhan jadilah’ sementara dia selalu waspada akan segala perbuatannya, lahir batin, termasuk jalan pikirannya, ucapannya, gerak-geriknya. Tidak menginginkan atau menyesali yang sudah lalu, tidak mengharapkan atau menjauhi hal yang belum datang. Bahkan sama sekali tidak memusingkan masa lalu dan masa depan, melainkan sepenuhnya hidup saat ini, sekarang ini, detik demi detik

.

Semua hal inilah yang menjadi isi batin Tiong Khi Hwesio ketika dia berjalan seorang diri dengan tenangnya. Kewaspadaannya membuat ia dapat melihat segala hal yang terjadi di dalam dirinya, di luar dirinya dan apa yang terjadi dalam kehidupan manusia pada umumnya di dunia ini.

Dia melihat kepalsuan-kepalsuan menyelimuti hampir seluruh sendi kehidupan manusia, kebaikan-kebaikan palsu karena kebaikan-kebaikan itu dilakukan orang sebagai cara untuk memperoleh sesuatu sebagai imbalan, kehormatan dipuja-puja, agama dipakai sebagai alat untuk mencapai kemenangan, dipakai untuk menutupi kebencian yang membakar batin terhadap golongan lain, dipakai untuk menangkat diri dan golongan sendiri ke tempat yang lebih tinggi dan bersih, dipakai untuk mencemooh mereka yang dianggap kotor dan lebih rendah.

Kesucian digunakan sebagai kebersihan pakaian yang membungkus diri, yang dianggap akan dapat menyucikan dan membersihkan tubuh yang sebenarnya kotor. Peradaban menjadi hal yang paling tidak beradab, namun menang karena disahkan oleh umum. Kesopanan hanya sebatas kulit, kesopanan terletak pada pangkat, pakaian, senyum dan ucapan belaka.

Tidak pernah lagi ada kesatuan antara pikiran, ucapan dan perbuatan. Apa yang dipikir lain dari apa yang di ucapkan, dan apa yang diucapkan tidak cocok dengan apa yang diperbuat. Kemunafikan dan kepalsuan di mana-mana. Tidak ada lagi cinta kasih yang tulus ikhlas, tanpa memihak, tanpa memilih, yang ada hanyalah cinta nafsu, cinta yang didorong demi kepentingan, demi kesenangan diri pribadi.

Dia bahkan melihat betapa orang-orang melarikan diri ke goa-goa, ke gunung-gunung atau mengubur diri di dalam kelenteng atau kuil-kuil, menyiksa diri, tapi sebagian besar di antara mereka itu melakukan semua itu hanya sebagai cara untuk memperoleh sesuatu yang mereka harap-harapkan, tentu saja sesuatu yang akan menyenangkan hati mereka, akan memberi kepuasan terhadap keinginan mereka.

Atau ada pula yang melakukan hal itu karena ingin melarikan diri dari kehidupan yang membuat mereka muak, berduka, kecewa dan sakit hati. Dan tentu saja pelarian ini pun merupakan cara untuk mencari sesuatu yang lebih menyenangkan! Semua perbuatan manusia sudah menjadi palsu karena selalu menyembunyikan pamrih demi kepentingan dan kesenangan diri pribadi

.

"Ya Tuhan, apa akan jadinya dengan kita para manusia ini?" Akhirnya Tiong Khi Hwesio berbisik dalam hatinya. "Mungkinkah kita mampu menanggalkan semua kepalsuan dan kemunafikan itu, melenyapkan semua pamrih mencari kesenangan dan kepuasan diri pribadi itu, dan menanggalkan semuanya sehingga kita dapat menghadap Tuhan dalam keadaan telanjang, dalam keadaan kosong sama sekali? Mungkinkah kita menjadi diam dan kosong hingga menjadi jernih, sehingga sinar-Mu dapat menembus dan memasuki batin. Sehingga kita mengenal cinta kasih yang suci murni?"

Angin bersilir menimbulkan suara bisik-bisik pada daun-daun di pepohonan. Tiong Khi Hwesio menghentikan langkah, menengadah dan memandang daun-daun pohon yang bergoyang-goyang. Bagaikan menari-nari sambil saling bergeseran menimbulkan suara bisik-bisik seperti berdendang dan dia pun tersenyum.....

********************

Sim Houw dan Bi Lan telah tiba di daerah Tembok Besar. Bi Lan telah bersikap biasa kembali, merupakan seorang gadis yang bagi Sim Houw sukar untuk dijajaki isi hatinya. Kadang Sim Houw seperti melihat dengan jelas bahwa gadis itu membalas perasaan hatinya, membalas cintanya. Ada kemesraan yang hangat dalam senyum dan pandang matanya, namun Sim Houw membantah sendiri kenyataan ini. Tak mungkin, katanya.

Bagaimana mungkin seorang gadis remaja seperti Bi Lan, yang usianya tidak akan lebih dari delapan belas atau sembilan belas tahun dapat jatuh cinta kepada dia yang sudah menjelang tua? Usianya sudah hampir tiga puluh lima tahun! Bi Lan tentu memandang dia sebagai seorang sahabat baik, bahkan mungkin sebagai seorang kakak yang selalu melindunginya!

Kalau dia mempunyai pikiran yang bukan-bukan, bagaimana nanti pendapat Bi Lan? Bukankah dia seakan-akan menjadi pagar makan tanaman, seorang pelindung yang hendak mengganggu gadis yang dilindunginya? Tidak, dia tidak akan melakukan hal itu, sampai mati pun tidak! Kecuali kalau memang Bi Lan cinta padanya, akan tetapi, tak mungkin hal itu terjadi.

Kedukaan kadang-kadang melanda hati Sim Houw, akan tetapi hanya sebentar karena saat melihat kelincahan dan kegembiraan Bi Lan yang jenaka, lenyaplah kedukaannya. Bagaimana pun juga, melakukan perjalanan bersama gadis itu, pahit mau pun manis dialami bersama Bi Lan, merupakan kebahagiaan yang menghapus segala duka dan keprihatinan hatinya. Dia tidak akan memikirkan hal lain, takkan memikirkan hal yang belum terjadi, apa akan jadinya kelak. Yang penting, sekarang Bi Lan selalu berada di sampingnya dan itu sudah cukup baginya!

Musim salju baru saja lewat dan kini mereka memasuki bulan musim semi. Walau pun pemandangan amat indah dan bunga-bunga sudah mulai ada yang berkembang, tetapi musim salju masih meninggalkan hawa dingin menyusup tulang. Sering kali, walau pun sudah mengenakan pakaian tebal dan sudah mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin, tetap saja Bi Lan merengek kedinginan sehingga terpaksa Sim Houw yang merasa kasihan menghentikan perjalanan untuk membuat api unggun, biar pun pada tengah hari.

Karena itu perjalanan menjadi amat lambat dan baru setelah mereka tiba di daerah Tembok Besar, hawa tidak begitu dingin seperti ketika mereka melalui puncak-puncak pegunungan yang tinggi. Berkali-kali Bi Lan berhenti untuk menikmati pemandangan yang amat ajaib. Tembok Besar itu nampak seperti seekor naga, memanjang dari barat ke timur seperti tiada habisnya. Nampak indah dan kokoh kuat.

Setelah hari menjadi malam baru mereka mencapai Tembok Besar dan hawa kembali menjadi amat dinginnya di malam hari itu. Mereka berlindung di bawah tembok dan Sim Houw segera membuat api unggun, memanggang bekal makanan yang terdiri dari roti kering dan daging kering. Setelah makan dan minum secara sederhana, mereka lalu duduk beristirahat di dekat api unggun.

"Begini sunyi...," kata Bi Lan dan tubuhnya agak menggigil, bukan akibat kedinginan lagi karena api unggun itu bernyala dengan indahnya, melainkan merasa ngeri juga.

Ia berada di dalam alam yang begitu luasnya hanya bersama Sim Houw, seolah-olah mereka berdua sajalah manusia-manusia yang hidup di dunia ini. Sunyi dan kadang-kadang terdengar suara-suara binatang yang aneh-aneh, yang belum pernah didengar sebelumnya. Ketika terdengar bunyi lolong yang mengerikan dan panjang berkali-kali, seperti saling sahut dari sebelah kanan dan kiri, Bi Lan berbisik.

"Toako... suara apakah itu?"

Sim Houw menatap wajah yang cantik kemerahan di bawah sinar api unggun itu sambil tersenyum. "Itulah suara serigala-serigala yang berkeliaran di daerah ini, Lan-moi."

"Serigala? Aku pernah mendengar namanya akan tetapi belum pernah melihatnya."

"Seperti seekor anjing biasa, tidak berapa besar, namun dia adalah anjing liar yang buas. Lebih kuat dan tangkas dari pada anjing biasa karena sejak lahir berada di alam bebas yang mempunyai hukum rimba, sudah biasa dengan perkelahian mati-matian, baik untuk membela diri mau pun untuk mencari makan."

Bi Lan menarik napas lega. "Suaranya demikian mengerikan, ternyata hanya seperti seekor anjing biasa, sama sekali tidak berbahaya."

Kembali Sim Houw tersenyum dan suaranya terdengar lembut, bukan untuk menakut-nakuti ketika dia memperingatkan, "Moi-moi, biar pun serigala hanya merupakan seekor anjing biasa, namun dia jauh lebih berbahaya dari pada anjing. Selain kuat dan tangkas, yang paling berbahaya adalah karena mereka licik dan cerdik, juga biasanya hanya menyerbu dengan gerombolan yang cukup banyak. Karena itu, binatang lain yang lebih besar dan kuat, takut menghadapi serigala. Bahkan harimau pun akan lari menjauhkan diri, takut dikeroyok."

Bi Lan terbelalak dan kembali ia menoleh ke kanan kiri dengan sikap ketakutan. Hal ini menggelikan hati Sim Houw dan dia pun berkata, "Lan-moi, kalau serigala-serigala itu mengenalmu, tentu mereka yang akan menggigil ketakutan."

"Aku ngeri membayangkan kelicikan mereka. Mereka itu seperti segerombolan orang jahat yang curang dan licik, yang beraninya hanya melakukan pengeroyokan."

"Memang, dan di dunia kang-ouw, orang-orang macam itu memang ada yang disebut sebagai gerombolan serigala."

Mendadak suara lolong serigala itu berubah menjadi suara gonggongan dan menyalak-nyalak yang riuh, seolah ada banyak anjing yang marah-marah dan menggonggong secara berbareng, tidak seperti tadi, melolong saling sahut. Mendengar ini, Sim Houw mengerutkan alisnya. Sebagai keturunan ahli-ahli pemburu binatang buas dia pun dapat menduga apa artinya suara riuh rendah itu.

"Celaka, mereka telah menyerbu sesuatu. Mari kita lihat!" kata Sim Houw.

"Ihh, untuk apa melihat? Paling-paling mereka itu sedang mengeroyok seekor binatang buas yang lebih besar."

"Siapa tahu? Aku khawatir kalau-kalau mereka itu mengeroyok manusia yang perlu kita tolong. Lihat, bulan sudah muncul dan cuaca tidak begitu gelap. Kita dapat mencari ke arah suara hiruk-pikuk itu."

"Mana ada manusia di tempat seperti ini, toako?"

"Engkau tidak tahu. Biar pun jarang, kadang-kadang ada saja rombongan saudagar yang berlalu-lalang di sini, yaitu mereka yang membawa barang dagangan keluar dan masuk Tembok Besar. Marilah."

Mereka lalu menggendong buntalan pakaian mereka dan memadamkan api unggun. Dengan Sim Houw berada di depan dan Bi Lan di belakangnya, mereka lalu berloncatan dengan hati-hati, menuju ke arah suara hiruk-pikuk yang terdengar di sebelah timur. Mereka menyusuri sepanjang Tembok Besar karena suara ribut-ribut itu terdengar di sebelah dalam tembok, bukan di luar.

Akhirnya, setelah mendengar betapa suara gonggongan serigala itu kini bercampur dengan suara menguik dan ketakutan sehingga Sim Houw menduga tentu binatang-binatang itu mengeroyok seekor binatang lain yang kuat, mereka tiba di tempat terbuka, di kaki tembok.

Masih nampak ada api unggun kecil menyala di dekat kaki tembok, dan tidak jauh dari situ, di atas rumput yang kuning dan baru bersemi setelah layu selama berbulan-bulan karena musim salju, nampaklah seorang laki-laki sedang dikepung dan dikeroyok oleh gerombolan anjing serigala yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh ekor! Melihat betapa di sekitar tempat itu terdapat banyak bangkai-bangkai serigala berserakan, dapat diketahui bahwa pengeroyok itu tadinya jauh lebih banyak lagi!

Bi Lan hendak meloncat untuk membantu, akan tetapi Sim Houw memegang lengannya.
"Sssttt... lihat betapa gagahnya dia. Dia tidak membutuhkan bantuan..."

Bi Lan memandang dan ia pun menjadi kagum. Lelaki itu bertubuh tinggi tegap, berdiri kokoh, kuat di atas tanah. Lengan kanannya ditekuk dengan tangan di bawah pinggang, jari-jari tangan terbuka dan terlentang, lengan kirinya diangkat dengan tangan di depan dada, juga terbuka, kedua kaki terpentang lebar ke kanan kiri. Sedikit pun lelaki ini tidak bergerak walau pun serigala-serigala itu mengepungnya sambil menyalak-nyalak dan meringis memperlihatkan taring-taring yang runcing dan memandang dengan mata yang merah beringas dan buas.

Tiba-tiba dua ekor serigala menubruk dari arah belakang lelaki itu sambil mengeluarkan suara gerengan dahsyat.

"Licik...!" Bi Lan memaki lirih.

"Bukk! Desss!"

Laki-laki itu memutar tubuhnya, seolah-olah di belakang kepalanya ada matanya yang melihat gerakan dua ekor binatang itu, kakinya menendang dan tangannya menyambar. Robohlah dua ekor binatang itu, berkelojotan dan berkuik-kuik seperti anjing-anjing kena gebuk.

"Bagus...!" Bi Lan memuji.

"Kau melihat gerakan itu? Dia murid Siauw-lim-pai atau setidaknya menguasai ilmu silat Siauw-lim-pai," kata Sim Houw, juga kagum.

Laki-laki yang tidak dapat dilihat jelas mukanya karena cuaca tidak cukup terang itu memang gagah sekali. Sedikit pun dia tidak nampak gugup, tenang-tenang saja dia menanti serigala-serigala yang mengepungnya menyerang dari berbagai arah. Namun, setiap kali ada serigala yang menerjangnya, tentu disambut pukulan tangan miring atau tendangan dan sekali pukul atau satu kali tendang saja sudah cukup untuk membuat seekor serigala roboh dan tidak mampu bangun kembali.

Serigala-serigala itu agaknya tidak menjadi jera, mereka kini menerjang dari empat penjuru. Laki-laki itu nampak menggerakkan tubuh ke sana-sini sambil menendang dan menampar dan kini ada delapan ekor serigala yang terpelanting ke sana-sini. Barulah sisa gerombolan itu menjadi jeri, mereka mengeluarkan suara seperti menangis dan mundur-mundur, lalu melarikan diri sambil melolong-lolong, seolah-olah merasa kecewa dan menangisi kesialan mereka malam itu.

Laki-laki itu tidak mengejar, sejenak berdiri tegak memandang ke sekelilingnya. Tidak kurang dari lima belas ekor anjing serigala yang berserakan menjadi bangkai di sekitar tempat itu, ada pula yang masih berkelojotan lemah. Laki-laki itu lalu melompat dan memanjat naik ke atas tembok sambil menatap bulan yang sudah naik agak tinggi di timur.

Sim Houw dan Bi Lan hanya memandang dengan kagum. Betapa gagahnya laki-laki itu, seperti sebuah patung seorang pendekar yang gagah perkasa berdiri di tempat sunyi itu, diterangi sinar bulan. Tiba-tiba lelaki itu bicara dengan suara nyaring, kata-katanya jelas dan satu-satu, teratur seperti sajak.

Melihat kejam dan buasnya serigala
mengganggu dan membunuh orang tak berdosa
kenapa tidak turun tangan dan membasminya?
Penjajah lebih kejam dari pada serigala
mencekik dan menindas rakyat jelata
mengapa orang-orang gagah
tidak bangkit dan mengusirnya?

Mendengar ucapan itu, Sim Houw dan Bi Lan merasa disindir. Jangan-jangan laki-laki itu memang sengaja menyindir mereka! Memang selama ini Sim Houw mendengar akan adanya orang-orang gagah, terutama dari Siauw-lim-pai, yang mengadakan gerakan, bangkit menentang pemerintah penjajah. Gerakan ini mereka namakan ‘berjuang untuk kemerdekaan rakyat’.

Tentu saja pihak pemerintah menganggapnya sebagai pemberontakan-pemberontakan kecil dan semua gerakan itu ditindas oleh pasukan besar sehingga sampai demikian jauh, belum ada gerakan yang berhasil.

Mereka berdua, Sim Houw dan Bi Lan, tidak pernah mencampuri urusan itu. Dan kalau baru-baru ini mereka membantu para pendekar untuk membasmi komplotan Sai-cu Lama yang menjadi kaki tangan pembesar lalim Hou Seng, maka hal itu mereka lakukan tanpa ada hubungannya sama sekali dengan pemerintahan, melainkan semata-mata karena mereka memusuhi komplotan jahat itu.

Selagi Bi Lan hendak keluar dari tempat persembunyiannya, tiba-tiba saja Sim Houw memegang lengannya dan memberi tanda agar gadis itu tidak bergerak, kemudian dia menuding ke depan. Bi Lan mengikuti arah yang ditunjuk dan kini ia pun dapat melihat bergeraknya beberapa bayangan orang ke arah tembok. Kemudian, nampak lima sosok tubuh yang bergerak dengan gesitnya, berloncatan ke atas tembok besar itu dan di tangan mereka nampak pula senjata tajam berkilauan tertimpa sinar bukan. Akan tetapi bukan itu saja, masih nampak bayangan banyak orang di bawah tembok. Sim Houw dan Bi Lan mengintai dan memandang dengan hati tertarik.

"Lie Tek San, engkau sudah kami kepung! Menyerahlah sebelum kami mempergunakan kekerasan!" Seorang di antara lima penyerbu itu membentak.

Di bawah sinar bulan, nampak lima orang tua yang berpakaian sebagai perwira-perwira kerajaan. Tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa laki-laki itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah, entah berapa jumlah mereka. Sim Houw juga kaget mendengar disebutnya nama Lie Tek San itu.

Dia pernah mendengar bahwa Lie Tek San adalah seorang pendekar gagah perkasa yang melakukan gerakan menentang pemerintah, menentang penjajah Bangsa Mancu. Ia hanya mendengar bahwa Lie Tek San ialah seorang pendekar dari daerah Hok-kian, seorang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang di antara mereka yang berhasil lolos ketika pemerintah menyerbu dan membakar kuil Siauw-lim-si. Biar pun Sim Houw tak pernah mencampuri urusan perjuangan menentang pemerintah, tetapi diam-diam hatinya telah merasa kagum terhadap pendekar itu, maka kini dia memandang dengan hati tegang.

Laki-laki tinggi tegap yang disebut Lie Tek San itu kini menghadapi kelima orang tadi, sikapnya tenang dan tetap gagah. Sejenak dia memandang mereka, kemudian tertawa. "Ha-ha-ha, kalian minta aku menyerah? Dengarlah, Lie Tek San telah bersumpah untuk menentang kaum penjajah, melepaskan bangsaku dari cengkeraman kuku penjajah Mancu dan kalian minta aku menyerah? Ha-ha-ha!"

Pemimpin rombongan itu membentak, "Lie Tek San, berbulan-bulan kami mencarimu. Engkau pemberontak hina, kami harus menangkapmu hidup atau mati dan menyeretmu untuk dihadapkan pada pengadilan yang akan menghukum seorang pemberontak hina!"

Sambil bertolak pinggang, Lie Tek San menjawab, suaranya amat lantang dan ini saja membuktikan bahwa dia memiliki tenaga khikang yang kuat. "Mendengar suaramu, engkau tentu seorang Han. Akan tetapi engkau merendahkan diri menghamba pada penjajah Mancu! Apakah sudah tidak ada lagi darah Han mengalir di dalam tubuhmu? Apakah engkau tidak melihat betapa bangsa kita diinjak-injak selama berpuluh-puluh tahun oleh orang-orang Mancu? Ingat baik-baik. Bangsa kita adalah bangsa yang besar, dengan jumlah yang amat banyak. Menurut sejarah, karena Bangsa Han dipimpin oleh orang-orang yang hanya mengejar kesenangan, dan karena perpecahan antara bangsa sendiri, maka bangsa kita yang besar sampai dapat ditundukkan dan dikuasai, dijajah oleh Bangsa Mancu, suku bangsa yang jumlahnya kecil itu, suku bangsa yang biadab dan terbelakang. Ratusan juta Bangsa Han yang mendiami tanah air yang amat luas dapat diperhamba oleh sekelompok orang Mancu sampai seratus tahun lebih! Mengapa bisa demikian? Tak lain karena adanya anjing-anjing penjilat macam engkau inilah yang sudah membantu penjajah Mancu untuk menginjak-injak bangsa sendiri. Tidak malukah engkau kepada nenek moyangmu dan anak cucumu kelak yang akan mengutuk dan memaki-maki namamu?" Suara Lie Tek San penuh semangat dan kemarahan.

Sim Houw dan Bi Lan yang sedang mencuri dengar, merasa betapa bulu tengkuknya meremang, merasa seolah-olah ucapan itu ditujukan kepada mereka.

"Lie Tek San pemberontak hina! Engkau melawan pemerintah yang sah!" Si kumis tebal yang menjadi pemimpin pasukan itu, membentak marah.

"Pemerintah penjajah Mancu kau bilang sah? Siapa yang mengesahkan? Anjing-anjing penjilat macam kau? Tak tahu malu!"

"Tangkap pemberontak ini!" Si kumis tebal berteriak.

Mereka berlima telah mengurung orang tinggi besar yang gagah itu dengan golok besar di tangan. Mereka mengurung dengan membentuk ngo-eng-tin (barisan lima unsur). Dengan rapi dan dengan gerakan ringan mereka mengepung dan siap menyerang, menutup semua jalan keluar.

Melihat gerakan dan barisan ini, Lie Tek San berseru nyaring, suaranya penuh teguran dan ejekan.

"Kiranya kalian ini yang terkenal dengan julukan Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga dari Sungai Huang-ho), bukan? Kalian adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai, orang-orang Han asli yang telah sudi merendahkan diri menjadi anjing-anjing penjilat para penjajah Mancu. Menjijikkan sekali! Kalian hanya mengotorkan nama Bu-tong-pai yang besar!"

Lima orang itu memang benar Huang-ho Ngo-liong yang namanya terkenal sekali di sepanjang lembah Huang-ho dan mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai yang berilmu tinggi. Mendengar makian itu, mereka menjadi semakin marah.

"Lie Tek San manusia sombong, pemberontak hina! Bu-tong-pai tak ada hubungan apa pun dengan kedudukan kami sebagai perwira, dan Bu-tong-pai juga bukan pemberontak macam Siauw-lim-pai!" Si kumis tebal itu menggerakkan goloknya menyerang, diikuti oleh empat orang pembantunya yang semua masih terhitung sute (adik seperguruan) sendiri.

Laki-laki tinggi besar yang baru saja dengan kedua tangan kosong membasmi serigala-serigala yang menyerbunya, kini menghadapi lima orang itu dengan tangan kosong pula. Dengan geseran-geseran kaki yang kokoh kuat dan cepat, tokoh Siauw-lim-pai ini mengelak dan membalas serangan dengan pukulan dan tendangan kaki. Akan tetapi, lima orang itu dapat bergerak saling bantu dengan rapi sekali, merupakan barisan lima orang yang saling melindungi dan saling memperkuat serangan.

Karena maklum bahwa lima orang pengeroyoknya ini sama sekali tak boleh disamakan dengan segerombolan serigala yang menyerang dengan buas tanpa perhitungan hanya mengandalkan kecepatan dan kekuatan, melainkan merupakan pengeroyok-pengeroyok yang lihai dan berbahaya, Lie Tek San kemudian mainkan Ilmu Silat Kong-jiu-jip-pek-to (Dengan Tangan Kosong Memasuki Barisan Seratus Golok). Tubuhnya bergerak amat gesitnya, menyelinap di antara sambar sinar golok dan berusaha untuk masuk ke dalam barisan dan mematahkan lingkaran yang saling melindungi itu.

Namun, lima orang murid Bu-tong-pai itu ternyata lihai bukan main dan betapa pun kuatnya Lie Tek San berusaha mengacaukan rangkaian lima batang golok itu, usahanya selalu gagal dan barisan lima golok itu menjadi semakin kuat dan berbahaya saja. Beberapa kali hampir saja tubuh pendekar Siauw-lim-pai itu tercium golok kalau saja ia tidak cepat melempar diri dan beberapa kali dia harus bergulingan. Akhirnya Lie Tek San meloncat sambil menggerakkan tangan dan nampak sinar berkilauan ketika ia telah mencabut senjatanya, yaitu sebatang pedang panjang.

Terdengar bunyi berdencingan nyaring saat pedang itu bergerak menangkis golok-golok yang datang bagaikan hujan. Nampak bunga api berpijar menyilaukan mata dan kini perkelahian menjadi semakin seru terjadi di atas tembok yang lebar itu.

Si kumis tebal mengeluarkan aba-aba dan kini pasukan yang tadinya hanya mengepung dan menonton, mulai memperketat kepungan, bahkan banyak yang sudah naik ke atas tembok dan menggunakan bermacam senjata mereka, ada tombak, golok atau pedang, untuk mengeroyok Lie Tek San.

Pendekar Siauw-lim-pai itu mengamuk dengan pedangnya. Namun, jumlah pengeroyok terlalu banyak. Pasukan itu terdiri lebih dari lima puluh orang, dan merupakan pasukan istimewa yang bertugas mengadakan pembersihan di perbatasan.

Akan tetapi yang membuat Lie Tek San terdesak adalah Ngo-heng-tin yang dilakukan oleh Huang-ho Ngo-liong itu. Barisan lima orang ini ganas sekali, setelah kini dibantu oleh pasukan, gerakan mereka menjadi semakin tangkas dan kuat sehingga dua kali Lie Tek San tercium ujung golok pada pundak dan pahanya sehingga dua bagian tubuh itu terobek kulit dagingnya dan berdarah. Akan tetapi, biar pun dia telah terluka, Lie Tek San masih mengamuk terus dan sedikitnya sudah ada sepuluh orang anggota pasukan yang roboh oleh pedangnya.

Sementara itu, Sim Houw dan Bi Lan menonton perkelahian itu dengan hati tegang. Sejak tadi, mereka berdua mengadakan perundingan sambil mata mereka tak pernah meninggalkan perkelahian itu.

"Tidak semestinya kita mencampuri urusan perjuangan atau pemberontakan," kata Sim Houw yang maklum betapa hati Bi Lan condong untuk membantu Lie Tek San. "Sangat tidak enak jika sampai dicap pemberontak kemudian menjadi orang buruan pemerintah. Kehidupan kita tidak akan leluasa lagi."

"Tapi... betapa mungkin kita memeluk tangan saja melihat orang sedemikian gagahnya terbunuh? Lihat, dia mulai terdesak, terlalu banyak lawan dan juga terlalu banyak darah keluar dari luka di pahanya itu," Bi Lan berkata.

Sim Houw tak dapat menjawab. Bagaimana pun juga, semua ucapan Lie Tek San yang penuh semangat tadi telah membakar hatinya dan menyentuh perasaan halusnya. Dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan itu.

Memang, Bangsa Han sedang dijajah dan dipermainkan oleh orang-orang Mancu yang sesungguhnya adalah bangsa biadab yang datang jauh dari utara, dari luar Tembok Besar. Andai kata semua orang Han sikapnya seperti Lie Tek San ini dan bangkit, akan bisa apakah orang-orang Mancu itu? Perbandingan rakyat mereka mungkin satu lawan seratus. Sayang, banyak di antara orang Han yang mabok kesenangan dan kemuliaan, tidak segan-segan membantu orang-orang Mancu, memperkuat pemerintah penjajah.

"Sim-ko, lihat... dia terluka lagi. Apakah kita harus membiarkan seorang gagah terbunuh begitu saja oleh gerombolan anjing itu?"

Sim Houw melihat betapa tubuh Lie Tek San terhuyung karena sebatang tombak di tangan seorang prajurit telah mengenai punggungnya. Dia masih mampu melindungi punggung itu dengan sinkang, namun mata tombak itu sudah terlanjur melukainya dan masuk setengah jari dalamnya. Dia membalik tubuhnya dan dengan tendangan kilat ia merobohkan prajurit itu, mencabut tombaknya dan melontarkan tombak itu ke depan, menyerang si kumis tebal.

"Tranggg...!"

Si kumis tebal menangkis dan tombak itu melesat ke samping, mengenai dada seorang prajurit sehingga prajurit itu pun roboh berkelojotan!

"Mari kita bantu dia!" Akhirnya Sim Houw mengambil keputusan.

Sedangkan Bi Lan yang sejak tadi sudah merasa gatal tangan akan tetapi belum mau mencampuri perkelahian sebelum Sim Houw menyetujuinya, begitu mendengar ucapan ini langsung saja meloncat ke depan dan melayang naik ke atas Tembok Besar. Karena dia maklum betapa lihainya Huang-ho Ngo-liong (Lima Naga Sungai Huang-ho) yang mengeroyok Lie Tek San, sambil meloncat dia sudah mencabut pedang Ban-tok-kiam dan ia pun mengamuk.

Begitu pedangnya berkelebat, empat lima batang senjata para pengeroyok patah-patah dan kakinya yang terayun ke kanan kiri merobohkan empat lima orang pengeroyok. Kemudian Bi Lan menyerbu lima orang pemimpin pasukan yang mulai mendesak Lie Tek San dengan hebatnya.

"Lan-moi, jangan bunuh orang!" Sim Houw masih mengingatkan Bi Lan.

Gadis ini pun ingat bahwa dia memegang Ban-tok-kiam dan tidak boleh sembarangan membunuh orang. Dan dia pun naik ke situ bukan untuk membunuh orang. Dia tidak pernah bermusuhan dengan anak buah pasukan itu atau pun lima orang perwira yang mengeroyok Lie Tek San. Ia naik hanya untuk menyelamatkan pendekar Siauw-lim-pai yang gagah perkasa itu.

"Larikan dia, toako, biar aku yang menahan mereka!" teriaknya dan pedangnya diputar menyerang lima orang itu.

Huang-ho Ngo-liong terkejut sekali melihat munculnya seorang gadis yang memutar sebatang pedang yang mengandung hawa yang mengerikan, apa lagi melihat betapa dengan mudahnya gadis itu merobohkan beberapa orang prajurit. Juga kemunculan gadis ini disusul munculnya seorang laki-laki yang dengan tangan kosong merampasi senjata para prajurit, dan merobohkan banyak prajurit hanya dengan dorongan tangan yang nampaknya tidak menyentuh lawan! Mereka kemudian bersatu menyambut gadis berpedang yang menyerang mereka.

“Tranggggg…!”

Terdengar bunyi nyaring dan lima orang itu terkejut bukan main. Dua batang golok di antara mereka patah menjadi dua, sedangkan tiga yang lain merasa betapa telapak tangan mereka panas seperti dibakar oleh gagang golok mereka sendiri! Ketika mereka meloncat ke belakang, Sim Houw lalu meloncat ke depan, menyambar tangan Lie Tek San yang masih terhuyung dan agaknya nanar karena luka-lukanya.

"Lie-enghiong, mari kita pergi saja!" Sim Houw menariknya dan membantunya meloncat turun dari tembok.

Lie Tek San maklum bahwa dalam keadaan luka-luka itu, melanjutkan perkelahian sama halnya bunuh diri. Kini muncul dua orang yang menolongnya, maka dia pun tak banyak cakap, membiarkan dirinya ditarik dan diajak lari oleh laki-laki tampan yang tangannya lembut namun mengandung tenaga besar itu.

Sementara itu, Bi Lan terus memutar pedangnya melindungi dari belakang. Huang-ho Ngo-liong berteriak memberi aba-aba. Mereka sendiri pun lalu melakukan pengejaran, namun sinar pedang Ban-tok-kiam membuat mereka bergidik dan gentar. Sementara itu, Lie Tek San yang melihat betapa gadis itu memutar pedang yang mengandung sinar menyilaukan dan hawa yang mengerikan, terkejut dan kagum bukan main.

Akhirnya lima orang Huang-ho Ngo-liong tak melanjutkan pengejarannya karena selain mereka sendiri jeri menghadapi pedang di tangan Bi Lan, juga anak buah mereka sudah merasa gentar dan hanya melakukan pengejaran dari jauh dengan ragu-ragu saja.

Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca menjadi gelap…..

"Sebaiknya kita berhenti dulu untuk mengobati luka-lukamu, Lie-enghiong," berkata Sim Houw ketika mereka melihat bahwa pasukan itu tidak mengejar lagi dan mereka sudah tiba agak jauh dari tempat itu di kaki sebuah bukit.

Mereka berhenti dan Sim Houw cepat mengeluarkan obat luka dan mengobati luka-luka di punggung, pundak dan paha orang gagah itu. Biar pun luka-luka itu terasa nyeri dan perih, namun Lie Tek San sama sekali tidak mengeluh ketika Sim Houw merawatnya. Di bawah sinar api unggun yang dibuat Bi Lan, mereka bercakap-cakap sambil mengobati luka-luka itu.

"Siapakah ji-wi dan bagaimana dapat mengenalku?" tanya Lie Tek San. Ia memandang gadis dan orang muda itu bergantian dengan sinar mata kagum.

"Maafkan kami, terus terang saja sejak engkau dikeroyok gerombolan serigala itu kami sudah mengintaimu, Lie-enghiong. Kami sedang melakukan perjalanan dan kemalaman di sini, lalu kami mendengar suara serigala menyalak-nyalak. Kami datang dan melihat engkau dikeroyok. Kami tidak membantu karena engkau pasti bisa membasmi serigala-serigala itu. Kemudian, kami melihat munculnya lima orang itu yang menyebut namamu. Namamu sebagai seorang pejuang tokoh Siauw-lim-pai telah sering kami dengar."

"Akan tetapi, ji-wi (kalian berdua) memiliki ilmu silat yang amat tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kepandaianku, dan pedang pusaka nona ini... hemm, sungguh luar biasa. Siapakah ji-wi?"

"Nama saya Sim Houw..."

"Ahhh...! Apakah pendekar yang baru muncul dengan julukan Suling Naga? Aih benar, aku sekarang dapat melihat suling di ikat pinggangmu. Sungguh mengagumkan sekali, Sim-taihiap yang masih muda sudah membuat nama besar di dunia kang-ouw!"

Sim Houw tersenyum. "Lie-enghiong terlalu memuji. Usiamu mungkin hanya beberapa tahun saja lebih tua dari pada usiaku, dan engkau sudah membuat nama besar dalam perjuangan."

"Dan siapakah nona yang gagah perkasa ini?" tanya Lie Tek San, girang bahwa dia dapat berkenalan dengan seorang pendekar yang mulai terkenal dengan julukan Suling Naga.

"Lie-enghiong, nama saya Can Bi Lan dan saya tidaklah begitu terkenal seperti Sim-toako," kata Bi Lan tersenyum.

"Akan tetapi... ilmu kepandaian nona hebat, dan terutama pedang itu. Apakah nama pedang pusakamu itu, nona Can?"

Karena yang dihadapinya adalah seorang pendekar dan pejuang ternama, Bi Lan tidak ragu-ragu untuk memberi keterangan yang sebenarnya.

"Pedang ini adalah Ban-tok-kiam..."

"Wahhh...! Pernah aku mendengar dari para suhu di kuil Siauw-lim-si bahwa pedang Ban-tok-kiam ialah sebuah di antara pusaka dari Istana Gurun Pasir! Benarkah pusaka ini milik locianpwe Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir seperti yang pernah kudengar bagai dongeng dari para suhu di kuil?" tanya Lie Tek San girang.

Bi Lan mengangguk. "Pusaka ini milik isteri pendekar itu yang kebetulan sekali adalah subo-ku dan beliau meminjamkan pusaka ini kepadaku. Sekarang kami sedang menuju ke sana untuk mengembalikan pusaka ini."

Mendengar ini, kembali jagoan Siauw-lim-pai terkejut dan girang sekali. Dia memandang wajah gadis itu penuh kagum, kemudian menatap wajah Sim Houw dan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Ya Tuhan, sungguh tidak kusangka bahwa malam ini aku dapat bertemu dengan orang-orang muda yang sakti! Sungguh aku merasa amat gembira dan terhormat sekali!"

"Ah, aku hanya menjadi murid suhu dan subo dari Istana Gurun Pasir selama satu tahun saja," kata Bi Lan merendah.

"Dan kami yang merasa amat kagum, girang dan terhormat sudah dapat berkenalan dengan seorang pejuang perkasa. Nama Lie Tek San telah menggetarkan kolong langit dan kami merasa kagum bukan main," kata Sim Houw dengan suara sungguh-sungguh.

Tiba-tiba Lie Tek San memandang tajam dan bertanya, "Benarkah Sim-taihiap kagum terhadap para pejuang?"

"Kenapa tidak? Bagi kami para pejuang adalah pendekar-pendekar yang menggunakan ilmunya untuk kebaikan."

Orang gagah itu mengerutkan alis. "Hanya sebegitu sajakah pengertian pejuang bagi Sim-taihiap?"

Tiba-tiba Sim Houw menarik tangan Lie Tek San. Bersama Bi Lan dia sudah mengajak orang gagah itu melompat menjauhi api unggun, bahkan Bi Lan menggunakan kakinya menendang tumpukan kayu terbakar itu sehingga cerai-berai dan padam.

Pada saat mereka berlompatan itu, terdengar suara berdesing dan banyak sekali anak panah meluncur dan menyerang ke tempat di mana mereka tadi duduk. Dan serangan anak panah ini disusul oleh teriakan-teriakan banyak orang dan ternyata tempat itu telah dikepung oleh pasukan pemerintah.

"Tangkap pemberontak-pemberontak hina!" terdengar bentakan nyaring dan suara ini penuh wibawa.

Ketika tiga orang itu memandang, ternyata ada belasan orang perwira, yang dipimpin oleh seorang panglima brewokan tinggi besar yang tadi mengeluarkan suara bentakan itu, sedangkan di luar kepungan mereka terdapat pula puluhan orang pasukan yang bersenjata lengkap!

Obor-obor segera bernyala dan dipegang oleh banyak prajurit sehingga tempat yang terkepung itu sekarang menjadi terang dan nampak jelas wajah-wajah tiga orang yang dikepung itu. Dan kini Sim Houw dan Bi Lan juga dapat melihat wajah para perwira dan panglima itu, dan mereka mengenal pula bahwa yang memimpin pasukan ini adalah Coa-ciangkun, perwira tinggi yang pernah mereka jumpai ketika mereka bersama para pendekar lainnya membasmi komplotan Sai-cu Lama dan Bhok Gun!

Coa-ciangkun inilah yang dahulu memimpin pasukan pemerintah yang akan membantu Bhok Gun dan kawan-kawannya, tetapi oleh pendekar Kao Cin Liong, bekas seorang panglima pemerintah, Coa-ciangkun dibuat tak berdaya sehingga ia tidak berani campur tangan dalam bentrokan antara dua kelompok kang-ouw itu. Dan kini, Coa-ciangkun yang memimpin pasukan mengejar-ngejar Lie Tek San dan telah mengurung mereka bertiga!

Sementara itu, agaknya Coa-ciangkun juga mengenal Sim Houw dan Bi Lan, karena dia berkata dengan lantang, "Ahhh, kiranya pemberontak Lie Tek San bersekutu dengan Pendekar Suling Naga dan gadis ini... hemmm, bukankah engkau gadis yang dikatakan sumoi dari nona Ciong Siu Kwi, murid dari Sam Kwi, yang telah berkhianat itu? Bagus! Kiranya sekarang para pendekar dan juga murid datuk sesat telah menjadi kaki tangan pemberontak. Tangkap mereka, hidup atau mati!" bentak Coa-ciangkun.

Dan pengepungan itu diperketat. Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan hendak membantah bahwa mereka bukanlah pemberontak. Namun mereka tahu bahwa akan sia-sia saja mereka membantah, dan pula, perlu apa membantah terhadap perwira ini?

Kini nampak oleh mereka betapa para perwira dan prajurit Bangsa Han yang membantu kerajaan Mancu memang merupakan lawan yang cukup tangguh. Juga prajurit yang mengepung tempat itu amat banyak.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga