SULING NAGA : JILID-45
"Basmi semua anjing penjilat Mancu!"
Terseret oleh sepak terjang Lie Tek San yang penuh semangat, Sim Houw dan Bi Lan juga mengamuk. Namun dua orang ini masih selalu berjaga-jaga agar jangan sampai mereka membunuh lawan. Biar pun lawan amat banyak, namun berkat ilmu kepandaian mereka yang tinggi, terutama sekali Sim Houw, mereka dapat merobohkan lawan tanpa membunuh mereka, hanya melukai saja.
Para prajurit gentar sekali menghadapi sinar pedang Ban-tok-kiam dan sinar senjata pedang berbentuk suling Liong-siauw-kiam. Kalau sinar pedang Ban-tok-kiam sangat mengerikan karena mengandung hawa yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin, maka sinar pedang Suling Naga itu pun membuat mereka gentar karena setiap kali bertemu dengan senjata lawan, seperti halnya Ban-tok kiam, tentu senjata lawan patah atau terlempar!
Melihat kehebatan tiga orang itu yang membuat kepungan anak buahnya kocar-kacir, bahkan para prajurit menjadi gentar dan tidak ada yang berani mendekat, Coa-ciangkun terkejut bukan main. Jika saja dia tahu bahwa Lie Tek San sekarang dibantu dua orang pendekar sakti itu, tentu tadi dia mengerahkan sedikitnya dua ratus orang prajurit!
Kini, untuk minta bala bantuan sudah tidak keburu lagi, maka dia pun tidak mendesak anak buahnya ketika belasan orang pembantunya sudah roboh terluka dan tiga orang yang dikepung itu kini melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Dia hanya mencatat dalam laporannya bahwa Sim Houw dan Can Bi Lan, dua nama yang sudah dikenalnya ketika terjadi bentrokan antara para pendekar dengan para pembantu Hou Seng dulu, kini telah menjadi pemberontak, bersekutu dengan Lie Tek San!
Sementara itu, Lie Tek San yang mengenal jalan mengajak dua orang pendekar yang telah menyelamatkannya itu untuk melarikan diri ke sebuah perkampungan besar yang berada di balik bukit. Hari telah pagi ketika mereka tiba di perkampungan itu dan dari cara penduduk perkampungan itu berpakaian, tahulah Sim Houw bahwa tempat itu ialah perkampungan suku Bangsa Hui!
Sebagian besar kaum pria suku Bangsa Hui ini mengenakan sorban putih di kepalanya dan semua orang Hui, hanya sebagian kecil saja yang tidak beragama Islam. Mereka adalah kelompok suku bangsa yang bahasanya hanya sedikit berbeda dengan Bangsa Han, bahkan segalanya tidak berbeda dengan Bangsa Han, kecuali agama mereka.
Suku Bangsa Hui tersebar di daerah utara yang amat luas, sampai ke sudut-sudut barat utara Propinsi Sin-kiang dan sudut timur utara Propinsi Mongol dan Mancuria. Suku Bangsa Hui terkenal sebagai peternak-peternak, pejagal-pejagal dan terkenal pandai pula membuat masakan yang lezat.
Akan tetapi di samping itu, juga mereka terkenal sebagai pejuang-pejuang yang gagah dan gigih. Di mana-mana nampak mereka itu bangkit menentang penjajah Mancu dan banyak pula yang secara terbuka membantu perjuangan Bangsa Han dalam usaha mengusir penjajah Mancu.
Kedatangan Lie Tek San yang menjadi sahabat para penduduk perkampungan Hui itu disambut meriah. Setelah diperkenalkan, Sim Houw dan Bi Lan juga disambut dengan penuh kehormatan. Mereka bertiga dianggap sebagai tamu-tamu agung dan menerima hidangan yang serbaneka dan lezat dan terutama sekali daging domba.
Diam-diam Sim Houw dan Bi Lan kagum sekali melihat mereka. Mereka adalah suku bangsa yang ramah, yang taat beragama, akan tetapi berjiwa patriotik dan gagah, walau pun dalam hanyak hal, terutama sekali kebudayaan dan pendidikan, mereka masih agak terbelakang. Kehidupan mereka sebagian besar sebagai kelompok nomad yang suka berpindah-pindah mencari daerah yang subur.
Mereka bertiga lalu disambut oleh para pimpinan suku bangsa Hui dan Lie Tek San bercakap-cakap dengan mereka, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Sim Houw dan Bi Lan. Yang dibicarakan adalah mengenai perjuangan dan dalam percakapan ini sepasang pendekar itu mendengar banyak sekali hal yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui.
Tentang kegagahan para pejuang, tentang perjuangan mereka yang mulia. Jika tadinya Sim Houw dan Bi Lan menganggap para pejuang tiada bedanya dengan para pendekar, kini setelah mendengar keterangan Lie Tek San, mereka dapat melihat betapa terdapat perbedaan besar sekali.
"Perjuangan para pendekar dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, juga dalam membela kaum lemah tertindas dan menentang kejahatan, hanya memiliki daerah yang amat sempit. Para pendekar hanya mengurus masalah perorangan yang tidak begitu besar artinya bagi bangsa dan tidak mungkin para pendekar menyelesaikan masalah perorangan yang teramat banyak. Permusuhan dan dendam pribadi terjadi di mana-mana. Biar pun para pendekar turun tangan mempertahankan kebenaran dan keadilan akan tetapi kejahatan tidak akan pernah berakhir. Keadaan kacau-balau dan munculnya kejahatan itu terjadi karena keadaan, maka yang perlu dirubah adalah keadaan itu sendiri. Perjuangan para pendekar hanya seperti usaha mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri, tapi sebaliknya usaha kami para pejuang adalah melenyapkan penyakitnya!" demikian antara lain Lie Tek San berkata penuh semangat.
Para pemimpin suku Bangsa Hui mengangguk-angguk mengerti. Mereka memandang kepada Lie Tek San penuh kagum.
Tetapi Sim Houw, dan terutama sekali Bi Lan, merasa bigung. "Lie-enghiong, apakah bedanya antara keduanya itu?" tanya Bi Lan penasaran karena mendengar betapa tindakan para pendekar tidak dihargai seperti tindakan para pejuang.
Lie Tek San tersenyum. "Besar sekali bedanya. Keadaan masyarakat bagaikan orang sakit yang tentu saja menderita nyeri karena penyakitnya. Kalau hanya rasa nyeri itu saja yang dilenyapkan, tanpa mengobati penyakitnya, maka rasa nyeri itu hanya akan lenyap untuk sementara saja dan akan muncul kembali. Sebaliknya, kalau penyakitnya yang diobati, begitu penyakitnya sembuh, otomatis rasa nyeri itu pun akan lenyap. Bukankah demikian?"
"Apa hubungannya urusan penyakit dengan urusan sepak terjang para pendekar?" Bi Lan mendesak karena masih belum mengerti.
"Can-lihiap (pendekar wanita Can), biar pun engkau memiliki ilmu kepandaian tinggi, agaknya belum begitu luas pengetahuanmu sehingga belum dapat menangkap apa yang kumaksudkan. Para pendekar bertindak menolong sesama manusia, berarti hanya mengurus masalah perorangan yang kecil saja dan selama hidupnya takkan pernah dia mampu menyelamatkan seluruh manusia dari pada tekanan kejahatan. Akan tetapi para pejuang bertindak menolong negara, menolong bangsa dan rakyat pada umumnya. Rakyat kita terjajah, tertindas dan hidup dalam kemelaratan dan kesengsaraan karena diperas dan ditindas oleh penjajah, dan dari keadaan inilah timbul banyak perbuatan yang menyeleweng dari kebenaran. Kaum pejuang bergerak untuk menyembuhkan penyakit ini, penyakit tertindas penjajah. Sekali penjajah lenyap dan rakyat kita hidup merdeka, keadaan menjadi adil dan makmur, maka kejahatan pun akan berkurang atau lenyap dengan sendirinya. Kalau para pendekar hanya menolong perorangan, maka para pejuang menolong seluruh rakyat dan bangsa, bahkan menolong pula anak cucu bangsa kita. Mengertikah engkau sekarang, lihiap?"
Bi Lan menjadi bengong. Baru sekarang inilah dia mendengar tentang persoalan yang begitu besar, menyangkut seluruh rakyat, menyangkut bangsa. Ia hanya mengangguk, pada hal masih banyak hal yang meragukan hatinya karena belum dapat dimengertinya benar.
"Karena itu, banyak sekali para pendekar yang dianggap sebagai pendekar besar dan budiman, tapi sebenarnya mereka itu kosong, bahkan banyak pula yang menyeleweng tanpa mereka sadari karena mereka sama sekali tak pernah memperhatikan tentang kesengsaraan seluruh rakyat, hanya memperhatikan kesengsaraan perorangan bahkan yang tidak ada artinya."
Sim Houw mengerutkan alisnya, merasa tak setuju mendengar orang gagah ini mencela para pendekar besar yang budiman. "Maaf, Lie-enghiong, setahuku, para locianpwe yang gagah perkasa selalu hidup melalui jalan kebenaran. Siapa yang tidak mendengar akan sepak terjang yang gagah dari keluarga Pulau Es misalnya, atau keluarga Istana Gurun Pasir, juga keluarga besar Siauw-lim-pai dan lain-lainnya?"
"Keluarga Pulau Es?" Lie Tek San menarik napas panjang dan mengerutkan alisnya. "Siapa yang tidak tahu bahwa mereka adalah keluarga para pendekar yang gagah perkasa dan sakti? Tetapi semua orang pun tahu bahwa mereka itu condong untuk memihak penjajah Mancu! Bahkan di dalam darah mereka terdapat darah keluarga kerajaan Mancu! Mana bisa mereka dibandingkan dengan para pejuang yang setiap saat siap mengorbankan nyawa untuk negara dan bangsa? Tidak, bagaimana pun juga, aku tidak dapat mengagumi keluarga Pulau Es! Siapa tidak tahu betapa isteri pertama dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es adalah seorang puteri Mancu, bahkan seorang panglima terkenal yaitu Puteri Nirahai, dan puteri mereka pun menjadi panglima terkenal yaitu Puteri Milana? Dan isterinya yang ke dua, yaitu Nenek Lulu juga seorang berdarah Mancu! Keturunan mereka memiliki darah Mancu dan betapa pun gagahnya mereka itu, tentu mereka setia kepada Mancu dan membela penjajah yang menindas rakyat kita. Bangsa Han dari suku-suku bangsa lainnya!" Lie Tek San bicara penuh semangat.
Sim Houw dan Bi Lan mendengarkan dengan mata terbelalak. Baru sekarang
mereka mendengar ada orang gagah yang terang-terangan berani mencela
keluarga Pulau Es!
"Bagaimana dengan keluarga Istana Gurun Pasir?" tanya Bi Lan, suaranya
menantang, ingin melihat apakah pejuang itu berani mencela keluarga
kedua gurunya.
"Hemmm, tidak banyak bedanya. Bukankah putera tunggal mereka, pendekar Kao Cin Liong, pernah menjadi seorang panglima kerajaan Mancu?"
"Akan tetapi sekarang dia sudah mengundurkan diri!" Bi Lan membantah.
Lie Tek San mengangguk-angguk dan tersenyum. "Maaf, lihiap, bukan maksudku untuk secara membabi-buta mencela para pendekar. Mereka adalah orang-orang sakti yang mengagumkan, tetapi sayang bahwa mereka itu hanya tertarik oleh urusan pribadi. Jika saja orang-orang sakti seperti mereka itu memikirkan nasib rakyat dan bersama-sama maju menentang penjajah, tentu pemerintah penjajah akan segera dapat dihancurkan dan rakyat kita terbebas dari pada cengkeramannya! Memang benar bahwa akhirnya pendekar Kao Cin Liong mengundurkan diri, tetapi kapankah keluarga itu menentang penjajah? Tidak pernah! Bahkan mereka itu, para pendekar yang gagah perkasa itu, baru-baru ini melakukan suatu kesalahan besar sekali ketika mereka membasmi kaki tangan pembesar Hou Seng!"
"Ahhh...!?!" Sim Houw dan Bi Lan terkejut dan berbareng mereka mengeluarkan seruan kaget sambil menatap wajah pejuang itu. Ada pun para pimpinan suku Bangsa Hui sejak tadi hanya mendengarkan saja dan kadang-kadang mengangguk-angguk membenarkan ucapan Lie Tek San.
"Kebetulan sekali kami berdua juga membantu para pendekar membasmi kaki tangan Hou Seng yang amat jahat itu! Kenapa perbuatan itu dianggap suatu kesalahan besar?"
Kembali pejuang itu menarik napas panjang. Mencela para pendekar bukan merupakan tugas yang menyenangkan, tetapi harus dia lakukan untuk membangkitkan semangat mereka yang dianggapnya melempem. "Dipandang secara umum, memang perbuatan menentang dan membasmi kaki tangan Hou Seng itu benar dan gagah, akan tetapi kalau dikaitkan dengan kepentingan perjuangan rakyat yang hendak membebaskan diri dari cengkeraman penjajah, maka perbuatan para pendekar itu sungguh merupakan suatu kesalahan besar yang amat merugikan perjuangan."
"Ehh, bagaimana mungkin bisa demikian?" Bi Lan penasaran.
"Lihiap, kami sudah menyelidiki keadaan Hou Seng. Dia seorang pembesar yang korup dan berambisi, dia memelihara jagoan-jagoan yang terdiri dari datuk-datuk sesat yang lihai. Dia menyuruh jagoan-jagoannya untuk menculik dan membunuh para pembesar yang menentangnya. Semua perbuatannya sungguh amat menguntungkan perjuangan rakyat. Bukankah dengan demikian kedudukan kerajaan Mancu menjadi makin lemah? Hou Seng merupakan penyakit yang menggerogoti dari dalam, melemahkan pemerintah penjajah. Walau pun aku pribadi amat membencinya, akan tetapi perbuatannya itu justru menguntungkan kita, merusak pihak lawan. Seyogianya dia itu dibiarkan saja, biar dia merusak kedudukan kerajaan penjajah, biar terjadi saling hantam di kalangan mereka sendiri. Akan tetapi, para pendekar muncul, membasmi kaki tangan Hou Seng, dan keadaan di istana kerajaan menjadi aman dan bersih kembali, yang berarti memperkuat kerajaan dan kami para pejuang yang rugi. Di dalam diri Hou Seng kami seolah-olah menemukan pembantu yang amat berharga. Mengertikah sekarang ji-wi yang gagah?"
Sim Houw dan Bi Lan saling pandang dan memang mereka mulai mengerti. Kiranya perjuangan membutuhkan pemikiran yang mendalam. Perjuangan harus menyingkirkan perasaan dan urusan pribadi dan semua harus ditujukan demi kepentingan perjuangan rakyat itu sendiri. Betapa besar dan mulianya! Memang jauh lebih besar dari pada sikap dan tindakan para pendekar yang hanya memikirkan nasib orang yang dihadapinya dan ditolongnya. Betapa kecil bantuan kepada perorangan ini kalau dibandingkan dengan perjuangan yang mengingat akan nasib rakyat jelata!
Akan tetapi, Sim Houw adalah seorang pendekar yang luas pengetahuannya dan dalam pemikirannya sudah banyak pula dia membaca dan merenungkan permasalahan dunia dan kehidupan manusia pada umumya. Menghadapi perbandingan antara pejuang dan pendekar, dia melihat perbedaan lainnya yang membuat para pendekar nampak lebih unggul baginya. Dia pun melihat betapa Bi Lan amat tertarik dan dia tidak akan merasa heran kalau gadis yang masih muda itu akan lebih mudah terseret dan terjun dalam perjuangan dan untuk menyadarkan gadis itu, dia harus mengemukakan pendapatnya sekarang juga.
"Akan tetapi maafkan saya, Lie-enghiong. Saya juga melihat kesalahan besar sekali dilakukan orang dalam perjuangan, yang membuat tindakan pejuang-pejuang menjadi tidak murni lagi."
Lie Tek San memandang tajam, tetapi mulutnya tersenyum tanda kelapangan hatinya. "Tidak ada gading yang tidak retak, tidak ada manusia tanpa cacat, Sim-taihiap. Akan tetapi apakah kesalahan itu?"
"Kalau sebagian besar perbuatan para pendekar menentang kejahatan dan menolong orang-orang lemah tertindas timbul dari dorongan hati pada saat dia melihat ketidak adilan itu, pada saat itu pendekar bertindak memberantas kejahatan tanpa pamrih. Sebaliknya tindakan para pejuang merupakan tindakan yang telah direncanakan dan diatur untuk jangka waktu yang lama dan panjang. Dan biasanya, di dalam tindakan berencana ini, terdapat pamrih untuk diri sendiri walau pun nampaknya mereka berjuang untuk membela rakyat. Bukankah perjuangan itu bermaksud mengalahkan pemerintah penjajah yang lama dan bukankah perjuangan itu bercita-cita untuk menang dan kalau sudah menang, para pejuang tentu saja memperoleh kekuasaan dan kedudukan? Nah biasanya, walau pun ketika pejuang-pejuang itu masih melakukan perjuangan, cita-cita mereka murni dan ditujukan untuk membebaskan rakyat jelata dari penindasan. Tetapi, kalau sudah memperoleh kemenangan dan para pejuang itu memperoleh kedudukan dan kekuasaan, mereka menjadi lupa diri. Mereka akan mabok kemenangan, mabok kekuasaan dan hanya menjejali diri sendiri dengan kesenangan yang mereka anggap sebagai hasil dan upah dari perjuangan mereka."
Para pimpinan suku Bangsa Hui saling pandang, dan Lie Tek San mengangguk-angguk dan menarik napas panjang, wajahnya nampak berduka dan khawatir. "Ah, engkau telah membuka dan menelanjangi kekotoran manusia dalam perjuangan. Sim taihiap! Akan tetapi tak dapat disangkal akan kebenaran ucapanmu itu. Memang terdapat perbedaan antara kemenangan pendekar dan kemenangan pejuang. Kemenangan pendekar dari musuhnya tidak mendatangkan suatu keuntungan, maka tidak akan menyelewengkan hati pendekar itu, dan sebaliknya kemenangan pejuang memang dapat mendatangkan pahala besar yang mudah menyelewengkan hati manusia yang lemah. Akan tetapi, kiranya tak semua manusia seperti itu. Dan kita akan menjadi manusia yang berbahagia kalau teringat akan kelemahan itu sehingga penyakit itu tidak akan menghinggapi batin kita. Mudah-mudahan saja kita tidak akan seperti mereka yang kelak dimabok oleh kemenangan dan kekuasaan."
Setelah bercakap-cakap dan berjanji kepada Lie Tek San bahwa mereka akan berpikir tentang perjuangan setelah menyelesaikan urusan pribadi mereka, dan setelah mereka mendapat petunjuk tentang letak Istana Gurun Pasir yang mereka cari, Sim Houw dan Bi Lan meninggalkan perkampungan suku Bangsa Hui.....
********************
Istana Gurun Pasir terletak di tengah-tengah gurun pasir, di suatu daerah yang aneh karena di tengah-tengah gurun pasir yang luas itu terdapat sebidang tanah yang subur! Istana tua itu terpencil jauh dari pedusunan. Meski mereka lihai, Sim Houw dan Bi Lan tentu akan mengalami kesukaran menemukan tempat ini sungguh pun Bi Lan pernah mendapatkan keterangan yang cukup jelas dari subo-nya. Untung saja mereka sudah memperoleh petunjuk dari suku Bangsa Hui.
Suami isteri sakti yang tinggal di istana tua dan kuno itu kini sudah menjadi seorang kakek dan nenek yang usianya sudah lanjut. Kakek Kao Kok Cu yang namanya pernah menggemparkan dunia persilatan sebagai Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, kini telah menjadi seorang kakek yang usianya hampir delapan puluh tahun. Walau pun dia masih nampak gagah dan sehat, namun dia sudah jarang sekali keluar dari istana tua itu, kecuali untuk keluar ke kebun merawat tanaman sayuran sambil menikmati hawa segar dan sinar matahari yang menyehatkan. Isterinya yang dahulunya merupakan seorang pendekar wanita yang lihai, kini pun sudah menjadi seorang nenek berusia kurang lebih tujuh puluh lima tahun.
Mereka berdua hidup damai di tempat terpencil dan sunyi itu. Masa gemilang kehidupan mereka telah lalu. Dulu mereka adalah sepasang suami isteri yang gagah perkasa dan disegani kawan ditakuti lawan, akan tetapi sekarang mereka hanya sepasang kakek dan nenek yang sudah menjauhkan diri dari keramaian dunia, makin hari semakin lemah dan tua dimakan usia dari dalam.
Yang menemani mereka hanyalah sepasang suami isteri berusia empat puluh tahun lebih dari suku bangsa Mongol peranakan Han, yang menjadi pelayan dan membantu pekerjaan di kebun dan di rumah. Tanah di daerah itu memang subur, bahkan terdapat sumber air sehingga kehidupan empat orang ini cukup makan dari tumbuh-tumbuhan yang mereka tanam sendiri. Untuk keperluan barang lain, mereka dapat memperoleh dari pedagang-pedagang keliling di balik bukit, atau bertukar barang dengan penghuni dusun di balik bukit.
Agaknya suami isteri tua renta itu memang hanya menanti saat panggilan Tuhan saja dan mereka memilih tempat sunyi ini dari pada kota yang ramai. Berkali-kali putera tunggal mereka, Kao Cin Liong minta agar ayah dan ibu ini suka ikut tinggal bersama keluarganya di kota, akan tetapi kakek dan nenek itu tidak mau, sudah terlanjur betah tinggal di tempat yang sunyi itu. Meski keduanya sudah tua, untuk menjaga kesehatan mereka tidak pernah lupa untuk tetap melatih otot-otot tubuh mereka di samping duduk bersemedhi untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan lain di alam baka.....
********************
Ketika Sim Houw dan Bi Lan tiba di puncak bukit dan melihat istana tua itu di kejauhan, di tengah-tengah gurun pasir, mereka memandang kagum bukan main. Seperti dalam dongeng saja. Sebuah istana yang dari jauh nampak indah sekali, berdiri megah di tengah-tengah padang pasir yang luas dan mati. Dan di sekitar istana itu nampak nyata tumbuh-tumbuhan yang segar dan kehijauan. Benar-benar mentakjubkan.
"Mari kita cepat ke sana!" Bi Lan berteriak girang.
Gadis ini membayangkan bahwa ia akan segera bertemu dengan kakek dan nenek yang telah menjadi guru-gurunya, dan yang telah menyelamatkannya dari maut ketika dirinya keracunan oleh ilmu-ilmu yang sengaja diajarkan secara keliru dan menyeleweng oleh Bi-kwi, suci-nya.
Sim Houw tersenyum, maklum akan ketegangan dan kegembiraan hati gadis itu. Dia sendiri merasa tegang, akan tetapi bukan gembira melainkan khawatir. Istana kuno itu demikian megah dan nama besar suami isteri sakti itu membuat dia merasa seolah-olah kedatangannya akan merupakan gangguan terhadap kehidupan mereka yang tenteram seperti kehidupan sepasang dewa.
Dia khawatir kalau-kalau Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya akan merasa terganggu oleh kunjungannya dan dia merasa terasing. Tapi dia menghibur diri sendiri. Bagaimana pun juga, kunjungannya ini hanya untuk mengantar Bi Lan, dan bukankah Bi Lan merupakan murid dari mereka?
Saking gembiranya dan besar keinginannya untuk segera dapat bertemu dengan suhu dan subo-nya, Bi Lan mengerahkan tenaganya dan berlari cepat menuju ke istana itu, menuruni bukit. Kedua kakinya bergerak cepat ketika berlari di atas pasir dan Sim Houw mengikutinya sambil tersenyum, terbawa oleh kegembiraan Bi Lan. Sekejap saja Bi Lan sudah tiba di depan istana, di dalam pekarangan depan yang penuh dengan tanaman bunga beraneka ragam dan warna.
Seorang laki-laki bangsa Mongol dengan wajah dingin sedang mencangkul, membuang rumput-rumput liar yang tumbuh di sekitar bunga-bunga itu. Laki-laki itu adalah pelayan di istana itu dan dia sama sekali tidak menengok ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pekarangan. Wajahnya tetap dingin bagaikan arca, sehingga Bi Lan yang tadinya ingin menegurnya dan bertanya, tak jadi membuka mulut, hanya memandang dengan penuh harapan ke arah pintu depan istana itu yang nampak terbuka sebagian.
Sinar matanya berseri gembira ketika yang diharapkannya muncul. Seorang kakek dan seorang nenek, keduanya sudah sangat tua akan tetapi wajah mereka masih nampak segar dan tubuh mereka masih lurus, muncul dari dalam pintu, melangkah ke luar dan berdiri di serambi.
"Suhu! Subo...!" Bi Lan berseru dan cepat ia lari naik ke atas serambi dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.
Sim Houw melihat betapa kakek dan nenek itu berdiri tegak dengan sikap agung dan berwibawa, maka dia pun cepat mengikuti Bi Lan dan menjatuhkan diri berlutut pula di depan mereka.
"Suhu dan subo, teecu datang berkunjung," berkata Bi Lan dengan suara mengandung kegembiraan dan keharuan. "Suhu dan subo selama ini dalam sehat saja, bukan?"
Kakek dan nenek itu diam saja. Sampai beberapa lamanya mereka hanya mengamati Bi Lan dan Sim Houw dengan penuh perhatian. Akhirnya terdengar juga nenek Wan Ceng berkata, suaranya lembut akan tetapi dingin dan tidak terkandung kegembiraan seperti yang diharapkan Bi Lan.
"Bi Lan, keluarkan Ban-tok-kiam dan berikan kepadaku."
Diam-diam Bi Lan terkejut bukan main. Dulu biasanya sikap subo-nya terhadap dirinya amat ramah dan manis, bahkan terkandung rasa sayang di dalam kata-katanya kalau bicara kepadanya. Ia masih ingat benar. Akan tetapi kenapa sekarang di dalam suara subo-nya terkandung nada yang dingin dan seperti orang marah. Akan tetapi ia tidak membantah.
"Baik, subo."
Dikeluarkannya Ban-tok-kiam dari dalam buntalan pakaiannya. Dengan kedua tangan, diserahkannya pedang pusaka Ban-tok-kiam itu kepada subo-nya. Ketika melakukan ini, ia menengadah dan memandang wajah subo-nya penuh perhatian. Kembali ia terkejut. Wajah subo-nya itu kelihatan tidak senang! Juga wajah suhu-nya yang biasanya penuh kesabaran dan kecerahan agak muram.
Tanpa memandang lagi kepada muridnya, nenek Wan Ceng mencabut Ban-tok-kiam dari sarungnya, kemudian mendekatkan pedang itu kepada hidungnya. Ia mengerutkan alisnya dan berkata dengan galak.
"Hemm, Ban-tok-kiam ternoda darah yang masih baru! Can Bi Lan, darah siapa yang menodai Ban-tok-kiam dan kenapa engkau menggunakannya untuk membunuh orang?"
Gadis itu terkejut dan cepat memberi hormat. "Harap subo sudi mengampuni teecu. Sesungguhnya, belum lama ini teecu mempergunakan Ban-tok-kiam dalam perkelahian. Teecu terpaksa mempergunakannya karena lawan berjumlah banyak dan cukup kuat."
"Hemm, masih ingatkah engkau apa pesanku dahulu ketika meminjamkan Ban-tok-kiam ini kepadamu?" kembali suara nenek itu terdengar melengking tinggi tanda kemarahan hatinya.
"Teecu masih ingat, subo," kata Bi Lan, jantungnya berdebar tegang dan merasa tidak enak, tidak mengira bahwa kunjungannya diterima dengan kemarahan oleh suhu dan subo-nya, tidak seperti yang dibayangkannya semula, yaitu melihat suhu dan subo-nya menerimanya dengan gembira. "Subo dahulu memesan agar pedang pusaka itu teecu pergunakan untuk menjaga diri dan hanya mempergunakan jika keadaan terdesak dan teecu berada dalam bahaya."
"Hemm, bagus kalau kau masih ingat. Apakah saat engkau menggunakan Ban-tok-kiam baru-baru ini, engkau juga dalam ancaman bahaya?"
Ditanya demikian, Bi Lan menjadi bingung. Sejenak ia melirik ke arah Sim Houw yang juga menundukkan muka dengan hati merasa tidak enak.
"Maaf, subo. Teecu tidak terancam bahaya, akan tetapi ada orang lain yang terancam bahaya dan teecu harus menolongnya. Dia dikepung banyak anak buah pasukan yang dipimpin oleh perwira-perwira yang lihai. Akan tetapi teecu berani bersumpah bahwa Ban-tok-kiam tidak teecu pergunakan untuk membunuh, hanya melukai ringan saja..."
"Cukup!" Nenek Wan Ceng membentak. "Walau pun hanya luka sedikit, kalau terkena Ban-tok-kiam, tanpa kau beri obat kau kira mereka itu akan dapat hidup?"
Dengan penuh semangat karena mengharapkan supaya sekali ini dia dibenarkan kedua gurunya, Bi Lan berkata, "Dia adalah seorang pendekar perkasa, seorang pejuang yang gagah berani bernama Lie Tek San. Waktu itu teecu melihat dia sedang dikeroyok di dekat Tembok Besar, maka teecu turun tangan membantunya."
"Lie Tek San pemberontak dari Siauw-lim-pai itu?" tanya Kao Kok Cu.
"Benar, suhu!" kata Bi Lan gembira karena gurunya ternyata juga mengenal nama besar pejuang itu.
"Hemm, kiranya bocah ini malah sudah membantu pemberontak!" Tiba-tiba nenek Wan Ceng berseru marah, mengejutkan Bi Lan dan Sim Houw. "Dan orang muda ini tentulah yang bernama Sim Houw dan berjuluk Pendekar Suling Naga. Benarkah?"
Sim Houw terkejut dan cepat memberi hormat, lalu memandang wajah nenek itu.
"Benar sekali, locianpwe, saya bernama Sim Houw..."
"Dan berjuluk Pendekar Suling Naga?" nenek itu menyambung.
"Hal itu adalah karena saya suka mempergunakan senjata Pedang Suling Naga, maka orang-orang menyebut saya demikian," Sim Houw mengaku.
"Bi Lan, semenjak kita saling berpisah, kami banyak mendengar hal-hal buruk tentang dirimu! Dan sekarang aku melihat kenyataannya sendiri bahwa bukan saja engkau telah meninggalkan kesusilaan, namun juga engkau sudah menggunakan Ban-tok-kiam untuk membunuh banyak orang, dan engkau bahkan telah menjadi seorang pemberontak."
"Subo...!" Bi Lan berseru kaget.
"Diam!" bentak nenek Wan Ceng, kini tidak lagi menyembunyikan kemarahannya. "Kami dahulu telah keliru sangka terhadap dirimu, sehingga bersusah payah menyembuhkan dan mendidikmu. Kiranya engkau masih tetap menjadi murid yang baik dari Sam Kwi, tindakanmu memang seperti golongan hitam. Engkau membantu suci-mu yang jahat itu, bahkan membantunya berhadapan dengan keluarga Pulau Es yang gagah perkasa! Sungguh kami merasa ikut malu bukan main. Nah, katakan, tidak benarkah engkau dan Pendekar Suling Naga ini telah membantu suci-mu yang berjuluk Bi-kwi itu melakukan kejahatan dan melawan keluarga Pulau Es? Jawab!"
"Teecu memang membantu suci Bi-kwi, subo, akan tetapi... teecu membantunya hanya karena suci sekarang sudah sadar dan menjadi orang baik. Teecu bukan membantu ia melakukan kejahatan, melainkan melindunginya dari ancaman. Teecu sama sekali tidak menggunakan Ban-tok-kiam untuk kejadian itu..."
"Hemmm, karena keteledoranmu menjaga Ban-tok-kiam, pedang pusaka ini terjatuh ke tangan Sai-cu Lama sehingga Teng Siang In menjadi korban oleh Ban-tok-kiam! Bi Lan, sungguh aku kecewa dan menyesal sekali telah mengambilmu sebagai murid. Maka, sekarang engkau sudah datang dan membawa Ban-tok-kiam yang sudah ternoda, aku akan mencabut kepandaian yang pernah kuberikan kepadamu. Bersiaplah engkau!"
Nenek itu lalu menggerakkan tangannya untuk menotok ke arah pundak Bi Lan. Totokan itu mengarah jalan darah pusat di dekat leher dan kalau terkena tentu gadis itu akan menjadi lumpuh dan kehilangan seluruh tenaga dalamnya, bahkan kemungkinan besar membahayakan keselamatan nyawanya.
"Dukkk...!"
Totokan nenek itu yang tidak berani dielakkan atau ditangkis oleh Bi Lan, kini tertangkis oleh tangan Sim Houw. Dia tadi terkejut sekali dan melupakan segalanya, menangkis totokan maut itu untuk melindungi Bi Lan.
Nenek Wan Ceng melangkah mundur, matanya mencorong ditujukan kepada Sim Houw yang masih berlutut. Tangkisan tadi menyadarkan nenek Wan Ceng betapa kuat tenaga sinkang yang dipergunakan pemuda itu untuk menangkisnya tadi. Ia menjadi marah, merasa ditantang.
"Sim Houw, Pendekar Suling Naga, berani engkau mencampuri urusan antara aku dan muridku sendiri. Apakah engkau menantangku?"
"Maaf, locianpwe, saya masih belum begitu gila untuk berani menantang locianpwe. Akan tetapi, kalau locianpwe bersikeras untuk menghukumnya, biarlah saya saja yang mewakilinya. Hukumlah saya, locianpwe, karena selama ini dia hanya mengikuti jejak saya. Sayalah yang bertanggung jawab sebab sayalah yang bersalah. Locianpwe boleh menghukum atau membunuh saya, akan tetapi mohon bebaskan Lan-moi."
Sikap dan suara Sim Houw demikian tegas dan mantap sehingga nenek itu terbelalak tidak percaya.
"Engkau menyerahkan diri untuk menggantikan Bi Lan, dan engkau tak akan melawan?" tanyanya heran.
"Saya bersumpah tidak akan melawan. Hukumlah saya sebagai pengganti adik Bi Lan."
"Hemm, kalau begitu agaknya memang benar engkaulah yang menjadi biang keladinya sehingga murid kami menjadi jahat dan menyeleweng. Nah, terimalah hukumannya!"
Akan tetapi sebelum nenek Wan Ceng melancarkan pukulan yang lebih hebat dari pada tadi, tangannya telah disentuh suaminya. "Perlahan dulu, aku ingin bicara dengannya," kata kakek Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu.
Wan Ceng memandang heran. Biasanya, suaminya sudah tidak mau peduli lagi dengan semua urusan. Jika sekarang dia mencampuri, itu berarti bahwa suaminya sebenarnya merasa sayang kepada Bi Lan, murid mereka yang hanya setahun berguru kepada mereka itu. Maka ia pun melangkah mundur, membiarkan suaminya yang agaknya akan menghadapi sendiri dua orang muda itu.
Kao Kok Cu melangkah perlahan ke depan. "Orang muda, bangkitlah, aku ingin bicara denganmu," katanya lirih, namun suaranya penuh wibawa yang memaksa Sim Houw untuk bangkit dan dengan sopan dia mengangkat muka memandang wajah kakek itu.
Dia merasa kagum dan tunduk sekali melihat seorang kakek yang meski lengan kirinya buntung dan pakaiannya sederhana, namun penuh dengan wibawa yang amat kuat ini. Wajah kakek itu nampak bersih dan terang, sepasang matanya seperti mata naga saja, lembut namun mencorong penuh kekuatan.
"Pendekar Suling Naga Sim Houw, apamukah Can Bi Lan ini?"
Ditanya demikian, Sim Houw lalu menjawab dengan sopan, "Bukan apa-apa, locianpwe, kami hanya teman seperjalanan. Saya mengantarnya untuk mencari Istana Gurun Pasir karena ia hendak mengembalikan Ban-tok-kiam."
"Kalau bukan apa-apa, mengapa engkau hendak berkorban diri, rela dihukum bahkan dibunuh untuk menyelamatkannya?"
Wajah Sim Houw menjadi merah. Beberapa kali dia melirik ke arah Bi Lan yang masih menundukkan mukanya. Menghadapi seorang tokoh besar seperti Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini, tentu saja dia harus berterus terang. Berbohong pun tidak akan ada gunanya, dan dia berpendapat bahwa sekaranglah saatnya dia berterus terang kepada Bi Lan pula, sebelum terlambat, yaitu sebelum seorang di antara mereka atau keduanya tewas di tangan suami isteri yang sakti ini.
"Locianpwe, terus terang saja, saya rela berkorban nyawa untuk melindunginya karena saya amat mencintanya."
Mendengar ucapan itu, kakek dan nenek itu saling pandang. Saat mereka memandang kepada Bi Lan, mereka melihat betapa gadis itu makin menunduk, akan tetapi tetap saja ada dua butir air mata mengalir turun di sepanjang pipi Bi Lan.
Gadis itu merasa terharu bukan main mendengarkan pengakuan Sim Houw. Memang ia sudah dibisiki suci-nya, Bi-kwi, bahwa Sim Houw mencintanya, akan tetapi betapa pun ia memancing pengakuan Sim Houw, selalu gagal dan orang muda itu tidak pernah menyatakan cintanya melalui mulut. Baru sekarang Sim Houw membuat pengakuan, di depan suhu dan subo-nya, dengan suara lantang. Hal ini mendatangkan kegembiraan, kelegaan akan tetapi juga keharuan hatinya sehingga walau pun ia sudah menundukkan mukanya, ia tidak dapat menahan beberapa butir air mata mengalir turun.
Kakek itu kemudian mundur selangkah dan dengan sepasang mata yang mencorong, ia memperhatikan Sim Houw. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa orang muda ini benar-benar ‘berisi’, mudah saja nampak oleh pandang matanya yang tajam dalam sikap dan pandangan mata pemuda itu.
"Demi cinta engkau berani melindungi Bi Lan. Aku sudah pernah mendengar akan nama besarmu. Karena itu, ingin aku melihat apakah benar engkau mencintanya, dan sampai di mana pembelaanmu terhadap Bi Lan. Engkau majulah dan lawan aku, baru aku akan mempertimbangkan nanti apakah engkau cukup berharga untuk melindungi Bi Lan. Nah, bersiaplah untuk melayani aku bertanding, orang muda!"
Sim Houw mengerti. Sikap Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir ini tidaklah mengherankan karena banyak tokoh persilatan yang sakti mempunyai kelemahan terhadap ilmu silat. Agaknya kakek ini pun ingin menguji kepandaiannya, dan kalau memang merasa bahwa dia memiliki kepandaian cukup, kakek itu tentu akan merasa sayang untuk membunuh atau mencabut kepandaiannya dan mungkin sekali mereka akan dapat mengampuni Bi Lan. Jadi nasib Bi Lan ditentukan oleh perlawanannya terhadap kakek sakti itu.
"Baiklah, locianpwe, saya mentaati perintah!" Setelah berkata demikian, Sim Houw juga melangkah mundur sampai ke pekarangan yang luas di bawah serambi itu.
Sim Houw sudah mencabut senjatanya, yaitu Liong-siauw-kiam atau Pedang Suling Naga, dipegang dengan tangan kanannya dan dia berdiri dengan sikap hormat menanti lawannya yang melangkah lambat menuruni anak tangga itu ke serambi.
Kini kedua orang itu sudah saling berhadapan, keduanya tidak memasang kuda-kuda, seperti halnya dua orang yang hendak bertanding ilmu silat. Hal ini saja menunjukkan bahwa keduanya bukanlah ahli silat sembarangan dan tidak lagi memerlukan kuda-kuda yang khusus. Setiap posisi merupakan kuda-kuda yang baik bagi mereka, karena dari segala posisi mereka dapat saja melakukan gerakan silat, baik membela diri mau pun menyerang.
Sejak tadi, Bi Lan sudah mengangkat muka dan memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia tahu benar betapa lihainya kakek berlengan buntung sebelah itu. Bagaimana pun juga, Sim Houw pasti bukan lawannya dan timbul perasaan ngeri dan takut dalam hatinya. Maka, melihat betapa keduanya sudah berdiri dan siap untuk saling serang, tiba-tiba ia mengeluarkan suara tertahan. Ia pun meloncat turun dari keadaan berlutut tadi dan tahu-tahu ia sudah berdiri di antara Sim Houw dan Kao Kok Cu, lalu ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki suhu-nya sambil menangis!
"Suhu...ahhh, suhu... jangan suhu menyerang Sim-toako. Lebih baik suhu bunuh saja teecu. Dia tentu akan tewas di tangan suhu dan teecu... teecu tidak mungkin dapat hidup tanpa dia suhu. Teecu... mencintanya... ahhh, teecu amat mencintanya..." Bi Lan menangis tersedu-sedu di depan kaki kakek itu.
Sim Houw berdiri dengan muka pucat dan kedua kakinya menggigil. Benarkah apa yang didengarnya itu? Benarkah itu Bi Lan yang mengaku cinta padanya di depan kakek itu? Tanpa malu-malu menyatakan cinta kepadanya, bahkan menangis karena khawatir dia akan terbunuh dalam pertandingan ini? Mendadak dia ingin merangkul Bi Lan, ingin dia menghiburnya, akan tetapi tentu saja dia tidak berani melakukan hal itu di depan kakek dan nenek yang nampaknya masih marah itu.
"Siapa yang akan membunuh orang? Anak bodoh, minggirlah dan biarkan aku menguji kepandaian Pendekar Suling Naga. Setelah itu, kalian berdua boleh pergi," kata Kao Kok Cu.
Mendengar ini, bukan main girangnya hati Bi Lan dan ia pun cepat mundur dan berdiri di pinggiran untuk menonton. Ia percaya bahwa suhu-nya akan memegang teguh janjinya, tidak akan membunuh Sim Houw!
Tanpa disengaja, ia berdiri di dekat Wan Ceng yang juga sudah turun dari serambi, dan melihat subo-nya, Bi Lan berbisik, "Subo, teecu bersumpah bahwa kami berdua tidak pernah menyeleweng, tidak pernah melakukan kejahatan."
Nenek Wan Ceng melirik padanya dan menjawab lirih, suaranya masih dingin. "Hemm, akan tetapi apa yang kami dengar tentang dirimu tidak seperti yang kau katakan ini, Bi Lan."
"Subo, untuk setiap persoalan, teecu pasti dapat menjawab dan memberi penjelasan. Setidaknya teecu berhak untuk membela diri, Subo, dari segala berita yang dijatuhkan kepada teecu."
"Sudahlah, nanti saja kita bicara lagi," kata nenek itu yang memperhatikan dua orang yang sudah mulai bergerak saling mendekati.
Bi Lan memandang ke arah Sim Houw dan Kao Kok Cu yang sudah saling mendekati. Sim Houw memegang sulingnya. Kakek itu seperti biasa, tidak memegang senjata apa pun kecuali kedua ujung lengannya. Melihat betapa gagahnya Sim Houw, dan betapa gurunya itu sudah nampak tua dan lemah, agak berkurang kekhawatiran di hati Bi Lan.
Ia tidak khawatir kalau Sim Houw akan melukai gurunya. Ia mengenal benar siapa Sim Houw, tahu benar akan kebaikan hati Sim Houw dan kegagahannya. Sudah jelas bahwa pendekar itu tidak akan mau melukai kakek yang tua renta itu.
"Engkau mulailah, orang muda!" kata Kao Kok Cu.
Tadinya Sim Houw merasa sungkan untuk mendahului, akan tetapi mendengar ucapan kakek itu yang dianggapnya sebagai perintah, dia pun lalu menggerakkan sulingnya dan berkata,
"Baik, locianpwe, saya mulai menyerang!" Berkata demikian, suling itu berkelebat dan menotok ke arah pundak kiri yang tak berlengan itu!
Kakek itu tersenyum dan cepat meloncat ke belakang untuk menghindarkan pundaknya. Orang muda ini amat cerdik, pikirnya, agaknya bisa menduga bahwa justru lengan baju kiri tanpa isi itulah yang berbahaya, maka dalam serangan pertama itu dia menyerang pundak kiri yang berarti melemahkan bagian yang berbahaya dan kuat!
Sambil meloncat ke belakang, kaki kakek itu melayang dengan tendangan yang sangat cepat dan tak terduga datangnya dari samping menyerong ke arah lambung Sim Houw. Namun pemuda ini sudah dapat mengelak dengan baik, bahkan sulingnya telah kembali berkelebat lagi menotok ke arah lutut dari kaki yang menendang. Kao Kak Cu sudah menarik kembali kakinya dan kini tangan kanannya menampar dengan amat dahsyatnya dari atas, mengarah ubun-ubun kepala Sim Houw dan hampir berbareng, ujung lengan baju kiri menyambar dari bawah, menotok ke ulu hati pemuda itu dengan kecepatan luar biasa.
Sim Houw terkejut, akan tetapi dia tidak menjadi gugup. Sudah diduganya bahwa kakek itu merupakan lawan yang amat lihai, maka semenjak tadi pun dia sudah tidak berani memandang ringan, selalu waspada dan setiap urat syarafnya siap siaga menghadapi serangan yang aneh dan hebat.
"Takkkk...!"
Sulingnya menangkis tangan yang menampar dari atas sedangkan totokan ujung lengan baju kiri itu pun disampoknya dengan tangan kirinya sambil memutar tubuh. Sekarang sulingnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung, mengeluarkan bunyi menderu lalu melengking seperti ditiup, mendatangkan angin keras dan hawa yang panas.
Kini Sim Houw mulai mengeluarkan kepandaiannya, memainkan sulingnya dengan ilmu gabungan dari Koai-liong-kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas). Kedua ilmu ini telah digabung dan menjadi ilmu yang dinamakan Liong-siauw-kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga) dan amat cocok dimainkan dengan pedang suling naga itu sebagai pengganti sepasang senjata yang sudah dia kembalikan kepada keluarga Cu di Lembah Naga Siluman, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang pusaka Koai-liong-kiam.
"Bagus...!" Nenek Wan Ceng sampai memuji dan memandang kagum sekali ketika ia melihat sinar bergulung-gulung bagaikan seekor naga sedang mengamuk di sekeliling tubuh suaminya. Belum pernah ia melihat ilmu pedang sehebat itu, apa lagi ditambah dengan suara melengking seolah-olah ada orang yang sedang meniup suling dengan amat pandai dan merdunya.
Juga kakek Kao Kok Cu merasa kagum bukan main. Orang ini masih muda, akan tetapi telah menguasai ilmu yang demikian tingginya! Demikian hebatnya ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu.
Suaranya merupakan serangan tenaga khikang melalui suara, menggetarkan jantung dan membuyarkan pencurahan perhatian lawan. Anginnya juga mengandung hawa panas yang dahsyat dan dapat membingungkan lawan, sedangkan suling aneh itu dapat dipergunakan untuk menotok, akan tetapi juga membacok dan menusuk seperti pedang. Di tangan pemuda itu, suling itu bergerak dengan gulungan sinar seperti seekor naga bermain-main di angkasa.
Kakek itu segera terdesak oleh sinar bergulung-gulung itu dan hanya karena dia telah menguasai ilmu yang matang dan mendarah daging maka dia dapat mengenal atau menangkis dengan tepat pada saat terancam bahaya. Beberapa kali usahanya untuk melilit pedang atau suling itu dengan ujung lengan baju kiri tidak pernah berhasil karena begitu terlilit begitu pula terlepas seolah-olah benda berupa suling atau pedang itu licin seperti tubuh ular. Karena terdesak, kakek itu lalu merubah gerakannya dan kini dia mainkan ilmu silatnya yang paling ampuh, yaitu Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Tangan Naga Sakti).
Barulah keadaan mereka seimbang. Sim Houw terkejut bukan main ketika melihat kakek buntung itu memainkan ilmu silat yang luar biasa kuatnya. Dia merasa seperti sedang menghadapi tembok benteng baja yang amat kuat, sama sekali sukar ditembus oleh sinar senjatanya, bahkan setiap kali sulingnya bertemu dengan lengan atau lengan baju kiri, tangannya terasa panas dan lengannya tergetar. Bergidik dia membayangkan ada kekuatan sinkang sehebat itu.
Setelah lewat lima puluh jurus, tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara melengking dan tiba-tiba tubuhnya seperti rebah memanjang, bagai seekor naga saja. Begitu bergerak, tangan kanannya mengeluarkan angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya.
Sim Houw berusaha mempertahankan dengan tangkisan putaran sulingnya, tapi tenaga itu mendorong terlampau dahsyat. Itulah ilmu sakti Sin-liong-hok-te yang hanya dapat dilakukan dengan sempurna oleh seseorang yang berlengan sebelah! Sim Houw yang mempertahankan diri, tetap saja terdorong ke belakang dan terhuyung-huyung!
Kalau kakek itu berniat jahat dan melanjutkan desakannya, agaknya sulit baginya untuk menyelamatkan diri. Dengan demikian, jelaslah bahwa dengan ilmu terakhir itu, kakek Kao Kok Cu masih menang satu dua tingkat dibandingkan Sim Houw yang kalah tenaga dalam dan kalah pengalaman.....
Komentar
Posting Komentar