SULING NAGA : JILID-43


"Nona, sungguh engkau hebat sekali!"

Hong Li cemberut. Baru teringat ia bahwa ia sudah menolong musuh gurunya, merasa bagaikan seorang pengkhianat. "Mengapa engkau melanggar wilayah kami? Engkau memang bersalah dan sepatutnya dihukum. Akan tetapi aku kasihan padamu, tidak tega melihat orang terjatuh ke kolam pasir maut. Nah, sekarang pergilah, akan kutunjukkan jalan keluar untukmu.”

Tiba-tiba orang itu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu Hong Li sudah ditangkapnya. Gadis cilik terkejut, meronta dan hendak melawan, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena laki-laki itu sudah menotoknya, menotok jalan darahnya yang membuat ia tidak mampu berkutik lagi. Hong Li terkejut dan marah bukan main.

"Apa yang kau lakukan ini?!" bentaknya.

Laki-laki itu menyeringai dan secara kurang ajar mengelus dagu Hong Li. "Engkau anak yang cantik dan manis sekali! Sekarang engkau menjadi tawananku dan engkau harus menunjukkan jalan keluar yang akan menyelamatkan diriku. Kalau tidak, aku pasti akan mencekikmu sampai mampus!"

Hong Li terbelalak. Kalau saja ia tadi bercuriga, kiranya tidak akan demikian mudahnya ia tertawan dan tertotok. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang yang baru saja diselamatkannya dari ancaman maut mengerikan berbalik malah bertindak curang dan jahat kepadanya. Namun ia tidak mempunyai waktu lagi untuk berheran dan penasaran karena kini laki-laki itu telah mengikat kedua tangannya ke belakang tubuhnya, menotok jalan darah yang membuat ia tak mampu mengeluarkan suara, akan tetapi kini tubuhnya dapat bergerak lagi.

"Hayo cepat tunjukkan jalan itu kepadaku, kalau engkau menipuku, tentu engkau akan kusiksa sampai mampus!" kata laki-laki itu sambil mencengkeram pundak Hong Li.

Gadis cilik ini merasa penasaran dan marah sekali sampai dua matanya mengeluarkan air mata. Bukan air mata karena takut, melainkan karena marah dan penasaran sekali.

"Sudah, jangan menangis dan cepat tunjukkan jalannya!" laki-laki itu mengira bahwa anak perempuan itu menangis karena takut. Dia mendorong tubuh Hong Li dan anak perempuan ini terpaksa melangkah maju.

Hong Li tahu bahwa dalam keadaan kedua tangannya terbelenggu, melawan pun tidak akan ada gunanya. Dan ia pun tidak dapat mengeluarkan suara. Sesungguhnya hal ini tidak perlu dilakukan orang itu. Walau pun tidak ditotok, ia pun tidak mau mengeluarkan suara. Untuk apa? Minta tolong kepada suhu-nya dan tiga orang pelayan?

Ia telah mengkhianati mereka, dan ia yakin bahwa gurunya yang berada di menara itu tentu melihat semua peristiwa yang dialaminya ini. Perlu apa minta tolong? Memalukan saja. Biarlah, ia telah bersalah, dan biarlah kini ia menerima hukumannya. Ia melangkah terus, pundaknya masih dicengkeram laki-laki yang mengikutinya dari belakang.

Hong Li tidak membawa laki-laki itu melalui jalan yang akan menyelamatkannya. Sama sekali tidak. Di dalam dadanya kini membawa api kemarahan yang membuat ia ingin membalas perbuatan laki-laki ini yang dianggapnya terlalu jahat.

Mudah saja baginya untuk menjerumuskan laki-laki ini ke dalam perangkap-perangkap maut, akan tetapi ia pun tentu akan ikut terjebak dan mati bersama laki-laki ini. Dan ia tidak takut mati, hanya ia tidak sudi kalau harus mati bersama laki-laki ini. Tidak mau melakukan perjalanan ke alam baka berbareng dengan dia, bahkan dari tempat yang sama. Tidak, dia harus dapat mencari perangkap yang lebih baik.

Akhirnya tibalah Hong Li di jalan buntu! Di depan nampak jurang yang amat curam, yang tidak mungkin dilalui. Di situ terdapat dua jalan bercabang ke kiri dan ke kanan. Kedua lorong ke kanan dan ke kiri ini tertutup daun-daun kering, nampaknya aman dan mudah dilewati.

Akan tetapi, Hong Li yang sudah hafal akan rahasia lorong-lorong itu, maklum bahwa melangkah ke kiri berarti akan membawa mereka jatuh ke dalam sumur yang dasarnya tidak kurang dari lima belas meter dalamnya, di mana terdapat batu-batu meruncing yang akan menyambut tubuh mereka! Di balik daun-daun kering yang ke kiri itu terdapat lubang sumur itu.

Kalau melangkah ke kanan, mereka akan terjatuh ke dalam kolam lumpur yang juga berbahaya sekali karena tubuh akan terus tenggelam semakin dalam dan akhirnya akan tewas pula. Tetapi, tidaklah secepat kalau terjatuh ke dalam sumur itu matinya. Hanya di sana ada ular-ular lumpur yang sebetulnya semacam belut yang gemar makan daging manusia, yang membuat dirinya bergidik ngeri membayangkan betapa tubuhnya bagian bawah akan digerogoti binatang-binatang itu sebelum ia mati.

Ia tahu bahwa jalan satu-satunya adalah melompati sumur sebelah kiri. Sumur itu tidak lebar, paling lebar satu setengah meter saja. Sekali melompat juga akan melampauinya dan selamat. Tidak, ia tidak boleh membawa laki-laki itu melompat, karena begitu melompat, laki-laki itu tentu akan mudah turun dan keluar dari daerah berbahaya.

Melihat anak perempuan itu berdiri termangu-mangu dan ragu-ragu, laki-laki itu segera mengguncang pundaknya dan membentaknya dengan nyaring, "Hayo cepat tunjukkan jalan!"

Dia pun bingung melihat betapa jalan itu yang bagian depan buntu, menuju ke jurang yang amat curam, sedangkan jalan kanan dan kiri sama saja tertutup daun-daun kering. Dia tahu betapa berbahayanya lorong-lorong di situ dan dia tidak tahu mana jalan yang benar, yang kanan ataukah yang kiri.

Tanpa ragu-ragu Hong Li menudingkan telunjuknya ke kanan! Laki-laki itu nampak lega dan dia pun memperkuat cengkeramannya di pundak Hong Li mendorong tubuh anak itu membelok ke kanan dan menghardik, "Hayo jalan!"

Hong Li sudah hafal benar akan rahasia tempat itu. Paling banyak lima langkah mereka akan terjeblos. Ia memperhitungkan langkahnya dan setelah empat langkah, tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, meloncat ke belakang dan menendang dengan cepat sekali.

Laki-laki itu terkejut, melangkah ke samping akan tetapi ketika cengkeraman tangannya terlepas, dia masih sempat menangkap lagi pundak itu, maka begitu tubuhnya terjeblos, dia membawa Hong Li ikut pula terpelanting dan terjeblos ke dalam kolam lumpur!

"Auhhhhh, toloonggg...!" Laki-laki yang merasa ngeri dan ketakutan itu, perasaan takut yang sudah sejak tadi menghantuinya, tidak dapat menahan lagi mulutnya dan berteriak minta tolong.

Dalam kagetnya tadi, dia melepaskan cengkeramannya dan tubuh Hong Li terpelanting sehingga terjeblos sejauh dua depa di sebelah depannya. Kalau laki-laki itu yang tadi meronta tenggelam sampai dada, Hong Li tenggelam sampai ke pinggang dan mereka sekarang saling berpandangan. Laki-laki yang terbelalak dengan muka pucat dan berkaok-kaok minta tolong itu melihat betapa tubuh anak perempuan itu nampak tenang-tenang saja, bahkan tersenyum mengejek memandangnya!

Meski Hong Li tidak mampu mengeluarkan suara, namun pandang matanya mengejek sepenuhnya dan rasa puas membayang di sepasang matanya. Gadis cilik ini kehilangan rasa takutnya, lupa akan adanya ular-ular di dalam lumpur, karena girangnya dapat membuat laki-laki yang jahat itu kini tidak berdaya.

Hong Li teringat ketika tiba-tiba ia melihat benda mengkilap bermunculan di permukaan lumpur yang tertutup daun-daun kering itu. Ular atau belut lumpur! Matanya terbelalak dan hampir saja dia menjerit saking ngeri dan jijiknya, apa lagi ketika ada seekor ular atau belut itu yang muncul tidak jauh dari hidungnya, seolah-olah binatang itu ingin berkenalan dulu dengan wajah-wajah para calon korbannya.

Akan tetapi ia menahan perasaan ngeri ini dan menggigit bibir. Tidak demikian dengan laki-laki itu. Dia mengeluarkan pekik yang mengerikan karena memang pada saat itu, ada bagian bawah tubuhnya yang mulai dijilati atau digigit.

Berbareng dengan dengan jeritan laki-laki itu, nampak bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu tubuh Hong Li telah terlibat kain hitam dan tubuh itu kemudian terbetot naik oleh kain yang melilitnya, kemudian tubuh Hong Li ditarik keluar dari lumpur oleh tangan Sin-kiam Mo-li yang sudah berdiri di tepi kolam lumpur itu, menggunakan sabuk hitam menolong muridnya.

Begitu tiba di tepi kolam, Hong Li menubruk kaki gurunya. "Subo, maafkan aku... tidak... hukumlah aku, subo...," katanya setengah menangis saking kesal dan marah terhadap laki-laki jahat itu.

Sin-kiam Mo-li tersenyum. "Engkau sudah cukup terhukum, Hong Li."

Pada saat itu, kembali terdengar teriakan-teriakan mengerikan. Hong Li menengok dan melihat betapa laki-laki itu dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali, menjerit-jerit dan meronta-ronta, akan tetapi karena dia keras meronta, maka tubuhnya cepat sekali tersedot semakin dalam dan lumpur sudah mencapai lehernya!

Hong Li tidak dapat melihat lebih lanjut dan dia pun menyembunyikan mukanya di balik kedua tangannya. Akan tetapi telinganya masih mendengar jeritan-jeritan itu, kemudian pekik itu pun terhenti tiba-tiba, seolah-olah orang itu tiba-tiba dicekik.

Dia tahu apa yang terjadi. Tentu mulut yang berteriak itu kini sudah terbenam ke dalam lumpur. Dia tidak berani menengok. Baru setelah tidak ada lagi suara terdengar dari belakangnya, ia berani menengok dan kolam lumpur itu telah tenang, tidak ada suara apa-apa lagi, tidak ada gerakan apa-apa lagi dan lumpur telah tertutup kembali oleh daun-daun kering.

Hong Li bergidik dan ia tetap berlutut. Tubuhnya agak menggigil, bukan hanya karena kedinginan. Sebuah tangan lembut menyentuh kepalanya dan terdengar suara Sin-kiam Mo-li.

"Hong Li, sejak tadi aku melihat keadaanmu, dan kalau aku menghendaki, sejak tadi aku tentu dapat membebaskanmu dari cengkeraman jahanam itu. Akan tetapi aku sengaja membiarkan saja, hanya membayangi supaya engkau memperoleh pengalaman. Ketika engkau menipunya masuk lumpur, aku lantas tahu bahwa engkau tentu sudah merasa menyesal dan mendapat kenyataan betapa jahatnya orang ini. Nah, pelajaran ini agar selalu kau ingat, muridku. Jangan percaya kepada orang lain begitu saja, dan selalu bersikaplah hati-hati terhadap orang lain, apa lagi yang belum kau ketahui benar bagai mana wataknya."

"Akan tetapi, subo. Aku sungguh tidak dapat membayangkan bagaimana ada orang sejahat itu. Ditolong malah membalas dengan kekejaman dan kejahatan!"

Sin-kiam Mo-li tertawa, kemudian berkata dengan suara tegas, "Semua orang di dunia ini juga begitu, Hong Li. Setiap orang bertindak demi kebaikan dan keuntungan bagi diri sendiri, karena itu, siapa kalah cerdik, siapa kalah kuat, dia menjadi korban. Engkau harus kuat dan cerdik, dan kalau perlu mendahului lawan sebelum engkau yang menjadi korban. Yang ada bukan baik dan jahat, melainkan cerdik dan bodoh, muridku."

Diam-diam Hong Li merasa tidak setuju dan heran sekali mendengar nasehat gurunya ini, akan tetapi ia tidak mau membantah. Alangkah bedanya nasehat gurunya ini dari nasehat ayah ibunya!

Ayah ibunya selalu mengajarkan agar ia menggunakan kepandaiannya untuk menolong sesama manusia yang menderita, untuk membela kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan. Akan tetapi, gurunya ini agaknya hanya mengajarkan agar ia selalu bersikap cerdik dan tidak mempercaya semua orang, bahkan turun tangan lebih dahulu sebelum menjadi korban kejahatan orang lain.

Gurunya kemudian mengajaknya pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika ia memperoleh kesempatan bicara dengan tiga orang pelayan itu, ia memperoleh keterangan bahwa tiga orang penyerbu yang lain, yang telah tewas di tangan mereka, mayatnya tidak mereka kubur melainkan mereka lemparkan begitu saja ke dalam kolam lumpur!

Hong Li hanya menyimpan rasa ngeri dan tidak setujunya, dan mulai saat itu ia lebih banyak menutup mulut, walau pun diam-diam ia merasa heran akan keadaan guru dan tiga orang pelayan itu. Namun ia memang pandai menggunakan kesempatan dan sejak ia mengetahui bahwa tiga orang pelayan wanita itu lihai, ia mulai mengajak mereka untuk menemaninya berlatih silat.

Dan ternyata memang mereka itu lihai sekali dan merupakan teman berlatih yang baik, walau pun dari mereka ia tidak dapat memperoleh ilmu baru. Setidaknya, setiap orang dari mereka itu dapat melayaninya dalam latihan silat.

Mulai hari itu, gurunya sering kali mengajak Hong Li naik ke menara dan menganjurkan muridnya untuk berlatih siu-lian di dalam panggung tertutup di puncak menara. Dan anak itu memang suka naik ke menara karena dari situ ia dapat melihat pemandangan yang luas, dan juga dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling tempat tinggal gurunya. Kadang-kadang, meski baru beberapa hari tinggal di situ, kalau sedang berdiri melamun di puncak menara dan memandang gunung-gunung yang jauh, timbul perasaan rindu kepada ayah ibunya.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali saat matahari sudah naik dan menebarkan cahayanya yang keemasan dan masih lembut ke permukaan bumi, Hong Li sudah berlatih silat seorang diri di bawah menara, kemudian naik ke atas menara. Ia masih belum mampu dengan sekali meloncat naik ke atas, melainkan hanya meloncat sampai setengah tiang, menyambar tiang dan memanjat naik.

Kini ia berdiri di puncak, di depan pondok, memandang ke arah timur di mana matahari membuat angkasa di timur cemerlang dan indah bukan main. Beberapa kelompok awan membentuk raksasa-raksasa aneh, akan tetapi warnanya yang biru keabuan itu mulai memudar tertimpa cahaya matahari.

Tiba-tiba perhatian Hong Li tertarik oleh sesosok tubuh yang mendaki kaki gunung dan menuju ke arah rumah gurunya. Orang itu berjalan perlahan dan kini sudah tiba di luar daerah berbahaya yang mengelilingi rumah gurunya. Tadinya disangka oleh Hong Li bahwa orang itu hanya kebetulan lewat saja dan tak akan memasuki daerah berbahaya, akan tetapi ketika orang itu mulai memasuki lorong yang menuju ke daerah yang penuh bahaya, ia pun terkejut dan merasa khawatir sekali.

Siapakah orang itu, pikirnya. Lawan atau kawan? Dan ia merasa ngeri membayangkan betapa akan jatuh korban lagi di tempat berbahaya itu. Bagaimana pun juga, hatinya tak setuju dengan adanya daerah rahasia yang penuh dengan bahaya maut itu. Betapa pun jahatnya lima orang yang menyerbu tempo hari, cara mereka menemui kematian benar-benar amat mengerikan dan terlalu kejam.

Akan tetapi, perasaan khawatirnya segera berubah menjadi perasaan heran dan kagum. Orang yang baru datang itu, walau pun hanya dengan langkah-langkah yang perlahan, namun ternyata orang itu selalu mengambil jalan yang benar! Dari tempat tinggi itu Hong Li dapat melihat dengan mudah.

Dari situ ia dapat melihat keadaan lorong-lorong rahasia itu seperti melihat peta dan ia pun sudah hafal mana yang benar dan mana yang menyesatkan dan berbahaya. Dan orang itu selalu membelok melalui lorong yang benar, seakan-akan sudah mengenal dengan baik jalan-jalan yang penuh dengan rahasia itu.

Langkah-langkahnya teratur dan kakinya bagaikan sudah mengenal tempat berbahaya, selalu berjalan melalui tempat aman dan menghindarkan jebakan-jebakan rahasia yang banyak terdapat di situ. Kalau begitu, tentu seorang sahabat baik gurunya yang sudah sering datang ke sini, pikir Hong Li. Hatinya tertarik sekali dan cepat-cepat ia turun dari menara untuk melihat dari dekat siapa adanya orang yang baru datang itu.

Ia berlari menuju ke rumah dan heranlah ia melihat bahwa orang yang tadi dilihatnya dari menara itu ternyata sekarang sudah tiba di depan rumah. Dari atas nampaknya dia berjalan perlahan, tetapi ternyata sudah tiba di depan rumah dengan selamat, berarti bahwa orang itu benar-benar telah mampu melalui lorong-lorong rahasia yang sangat berbahaya itu.

Dan kini orang itu telah berhadapan dengan gurunya. Juga tiga orang pelayan wanita berada di situ, akan tetapi mereka berdiri agak jauh sambil memandang dengan sikap khawatir. Hong Li lari mendekati tiga orang pelayan itu dan kini ia dapat melihat wajah pendatang itu dengan jelas.

Begitu melihatnya, Hong Li terbelalak dan merasa terkejut bukan main saat ia mengenal bahwa pendatang itu bukan lain adalah Ang I Lama, orang yang dahulu menculiknya dari kebun rumah orang tuanya! Tidak salah lagi. Ia mengenal wajah itu, mengenal tubuh tinggi kurus yang memakai jubah pendeta berwarna merah itu. Melihat munculnya kakek ini, kemarahan muncul dalam hati Hong Li.

Agaknya kakek itu tahu pula akan kehadiran Hong Li dan ia memandang dengan penuh perhatian.

"Omitohud, agaknya inilah anak itu. Ehhh, anak baik, ke sinilah dan mari engkau ikut pinceng pulang ke rumah orang tuamu. Ke sinilah...!" Kakek itu melambaikan tangan ke arah Hong Li.

Anak perempuan ini terkejut bukan main karena biar pun hatinya tidak menghendaki, namun kedua kakinya di luar kehendaknya sudah melangkah menghampiri kakek itu! Melihat ini, gurunya membentak.

"Hong Li, kembali ke tempatmu!" Dan dalam bentakan ini terkandung kekuatan yang agaknya membuyarkan pengaruh panggilan kakek itu.

Hong Li seperti baru dapat menguasai kedua kakinya sendiri dan ia berhenti melangkah, terkejut melihat keadaan dirinya. Dia pun berlari kembali mendekati tiga orang pelayan yang segera merangkulnya.

"Siocia, engkau di sini saja dan jangan bergerak," bisik Ang Nio.

Hong Li mengangguk dan melepaskan diri dari rangkulan mereka. Ingin ia melihat bagai mana gurunya menghadapi kakek aneh itu. Ia tidak merasa khawatir karena bukankah gurunya pernah menang dari kakek itu ketika merampas dirinya dari tangan kakek itu yang dikalahkannya di dalam kuil tua dahulu?

Sementara itu, Ang I Lama sudah menghadapi Sin-kiam Mo-li dan terdengar suaranya yang lemah lembut, "Sekali lagi, Sin-kiam Mo-li, pinceng minta dengan hormat dan sangat agar engkau suka menyerahkan anak itu kepada pinceng."

"Ang I Lama, tidak malukah engkau mengeluarkan kata-kata seperti itu? Apakah engkau lupa akan nasib Sai-cu Lama yang menjadi suheng-mu? Hemm, tak kusangka bahwa engkau yang dianggap sebagai seorang pertapa yang memiliki kesaktian, ternyata sama sekali tidak mengenal budi antara saudara, dan tidak setia, bahkan ingin mengkhianati golongan sendiri. Pergilah dan jangan mencampuri urusan pribadiku!" Sikap Sin-kiam Mo-li ketus dan tegas.

"Omitohud... untuk kembali ke jalan benar masih belum terlambat. Kenapa engkau tidak mau melihat kenyataan? Sadarlah dan serahkan anak itu kepada pinceng."

"Kakek tua bangka! Kini ia telah menjadi murid dan anak angkatku! Dengar baik-baik, ia telah menjadi anakku! Lihatlah baik-baik, aku adalah seekor harimau betina, mana sudi melepaskan anaknya?"

Mendadak Hong Li terkejut bukan main melihat bahwa gurunya telah berubah menjadi seekor harimau yang besar. Harimau itu mengeluarkan auman yang menggetarkan tanah di mana ia berdiri. Hong Li melirik ke arah tiga orang pelayan wanita itu. Mereka juga berdiri dengan mata terbelalak memandang, akan tetapi mereka bersikap tenang saja, agaknya tak merasa heran melihat betapa majikan mereka telah berubah menjadi seekor harimau besar dan buas!

Kao Hong Li bukanlah anak sembarangan. Ia keturunan dua orang keluarga besar yang amat terkenal di dunia persilatan, yaitu ayahnya adalah keturunan dari keluarga Istana Gurun Pasir sedangkan ibunya keturunan keluarga Pulau Es, gudangnya orang-orang sakti. Tentu saja ia, biar pun usianya baru tiga belas tahun, tahu benar bahwa gurunya berubah menjadi harimau hanya merupakan hasil ilmu sihir belaka, bukanlah sungguh-sungguh menjadi harimau!

Betapa pun juga, ia masih belum kuat untuk menembus pengaruh sihir ini, maka dalam penglihatannya, gurunya berubah menjadi harimau, sesuai dengan ucapannya tadi! Dan sekarang, ‘harimau betina’ yang hendak mempertahankan anaknya itu dengan buasnya, sambil mengeluarkan suara mengaum dahsyat, menyerbu, menerjang dan menubruk ke arah Ang I Lama!

"Omitohud, engkau semakin jauh tersesat!" Ang I Lama menggerakkan tubuhnya, jubah merahnya berkibar saat dia meloncat ke belakang dan menghindarkan diri dari tubrukan harimau. Pada saat harimau itu membalik dan hendak menubruk lagi, Ang I Lama yang telah menyambar segenggam tanah, menyambitkan tanah itu ke arah harimau.

"Siancai, kembalilah kepada keaslianmu, Sin-kiam Mo-li!"

Harimau itu hendak mengelak tetapi terlambat. Ketika ada tanah menyentuh tubuhnya, terdengar suara ledakan keras dan harimau itu mengaum, akan tetapi segera lenyap dan berubah kembali menjadi Sin-kiam Mo-li yang nampak terhuyung. Wanita ini marah sekali. Dia mengangkat kedua tangan ke atas dan dari tubuhnya keluarlah asap hitam bergulung-gulung yang segera menutupi tubuhnya sehingga membuat keadaan di situ menjadi gelap.

Diam-diam Hong Li merasa ngeri menyaksikan ini. Sungguh hebat ilmu sihir gurunya, akan tetapi kakek itu pun memiliki ilmu kepandaian tinggi yang ternyata juga sanggup menaklukkan harimau jadi-jadian tadi. Akan tetapi kembali Ang I Lama tidak nampak gugup.

"Omitohud...!" serunya berkali-kali dan dia pun merangkap kedua tangan di depan dada, kemudian mulutnya meniup dan buyarlah asap hitam itu, makin lama semakin menipis dan akhirnya nampaklah kembali Sin-kiam Mo-li yang menjadi semakin penasaran.

Wanita cantik ahli sihir ini maklum bahwa agaknya ia tidak akan mampu mengalahkan kakek itu jika menggunakan sihir, maka ia segera menerjang maju, sekali ini menyerang dengan pukulan tangan terbuka. Bukan main hebatnya pukulan yang dilontarkan oleh dua tangan wanita itu. Angin menyambar dahsyat dan terdengar bunyi bercuitan ketika kedua tangan itu menyambar.

Kembali kakek itu mengelak ke samping kemudian kedua lengannya digerakkan untuk menangkis dari samping.

"Dukkk!"

Kedua pasang lengan itu bertemu di udara. Seperti ada halilintar saja yang menyambar terasa oleh Hong Li akibat dari adu kekuatan dahsyat itu. Angin pukulan membuat dia mundur dua langkah sambil terbelalak memandang. Ia melihat gurunya agak terhuyung, sedangkan kakek itu tetap berdiri tegak sambil tersenyum. Senyum lembut itu sejak tadi tak pernah meninggalkan wajah Ang I Lama.

Sin-kiam Mo-li menjadi semakin marah dan kembali ia menyerang dengan pukulan yang bertubi-tubi. Pendeta Lama itu dengan tenang menyambut, maka terjadilah perkelahian yang hebat.

Gerakan Sin-kiam Mo-Ii amat cepat, berloncatan menyambar-nyambar bagaikan seekor burung yang menyerang seekor ular. Tetapi pendeta itu bagaikan seekor ular melingkar, dengan gerakan tenang akan tetapi mantap menyambut setiap serangan dari mana pun juga datangnya, menangkis sambil balas menyerang. Walau pun dia hanya membalas dengan tamparan-tamparan atau cengkeraman, tapi semua serangannya mengandung kekuatan yang membuat lawannya harus cepat menghindarkan diri.

Biar pun gerakan gurunya itu amat cepatnya, namun Hong Li yang sudah menguasai dasar ilmu silat tinggi dapat mengikuti gerakannya sehingga ia pun dapat melihat betapa tangguhnya kakek yang bernama Ang I Lama itu. Kalau ia tak salah menduga, gurunya kalah dalam hal tenaga oleh kakek itu. Hal ini terbukti betapa gurunya selalu berusaha menghindarkan bentrokan lengan kalau serangannya akan ditangkis lawan, dan tiap kali terpaksa kedua lengan mereka bertemu, tentu tubuh gurunya terdorong ke belakang atau terhuyung.

Dugaan anak perempuan itu memang tepat. Sin-kiam Mo-li merasa betapa dahsyatnya tenaga lawan dan ia maklum bahwa kalau ia harus selalu menghindarkan bentrokan, maka akhirnya ia akan terdesak. Cepat kedua tangannya bergerak ke balik bajunya dan di lain saat, tangan kiri wanita itu telah memegang sebuah kebutan bergagang emas dengan bulu merah, sedangkan tangan kanannya memegang sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.

Kiranya Sin-kiam Mo-li memiliki sepasang senjata yang amat hebat, yaitu kebutan dan pedang. Nama julukannya, Sin-kiam (Pedang Sakti) saja sudah menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli pedang yang pandai, sedangkan kebutan di tangan kirinya itu pun sama sekali tidak boleh dipandang ringan, karena ujung setiap lembar bulu kebutan itu telah dicelup racun sehingga orang yang terkena sabetan ujung kebutan itu tentu akan keracunan!

"Sing-sing... wuuuuttt...!"

Nampak gulungan sinar putih dan merah dari pedang serta kebutan ketika wanita itu menyerang dengan cepatnya ke arah lawan.

"Siancai...!" Ang I Lama berseru.

Cepat dia membuat langkah-langkah yang aneh untuk menghindarkan diri. Beberapa kali dia berhasil mengelak, kemudian tiba-tiba tangannya memegang seuntai tasbeh dan dengan benda ini yang diputar-putar, dia berhasil menangkis kebutan dan pedang.

"Trik! Trik! Tranggg...!"

Nampak api berpijar pada saat pedang bertemu dengan biji-biji tasbeh itu. Dan kembali pertemuan tenaga melalui senjata itu membuat Sin-kiam Mo-li terdorong ke belakang.

Perkelahian berlangsung semakin seru. Kadang tubuh dua orang itu lenyap terbungkus gulungan sinar senjata mereka yang menjadi satu. Agaknya tingkat kepandaian mereka memang seimbang, hanya kakek pendeta itu memiliki tenaga yang lebih kuat walau pun mungkin dia kalah dalam hal kecepatan gerakan.

Juga di antara mereka terdapat perbedaan besar dalam hal serangan. Kalau Sin-kiam Mo-li menyerang dengan hebatnya, tiap serangannya merupakan serangan maut yang mengarah nyawa, sebaliknya pendeta itu selalu berhati-hati dalam serangannya dan jelas bahwa dia banyak mengalah dan tidak bermaksud memburuh lawan.

Betapa pun juga, karena kalah tenaga, nampaknya Sin-kiam Mo-li makin terdesak dan terhimpit, dan kadang-kadang terhuyung ke belakang. Kenyataan ini membuat Hong Li memandang khawatir.

"Majulah, bantulah subo," desaknya berulang-ulang kepada tiga orang pelayan itu.

Tiga orang pelayan itu semua memegang sebatang pedang, akan tetapi mereka tidak berani maju, merasa betapa ilmu kepandaian mereka masih terlampau rendah untuk membantu majikan mereka mengeroyok pendeta Lama yang demikian saktinya. Melihat ini, Hong Li menjadi tidak sabar lagi. Dirampasnya pedang dari tangan Ang Nio dan ia pun berkata, "Kalau begitu, biarlah aku saja yang membantu subo!" Ia pun meloncat ke depan.

Tiga orang pelayan itu terkejut.

"Siocia...!” mereka berseru, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah menerjang maju dan masuk ke dalam arena perkelahian mereka pun tak dapat mencegah lagi.

"Lama jahat!" Hong Li membentak dan pedangnya menusuk ke arah lambung pendeta itu.

Ang I Lama terkejut melihat anak perempuan itu menyerangnya dengan pedang. Dia tidak mengelak, membiarkan pedang itu mengenai lambungnya dan berkata, "Omitohud, anak baik, pinceng datang untuk membebaskanmu!"

"Takkk!"

Pedang itu membalik dan Hong Li merasa tangannya nyeri karena pedangnya seperti menusuk baja saja. Sebelum ia mampu mengelak, tiba-tiba tangan kiri pendeta Lama itu telah menangkap pundaknya.

"Mari ikut bersama pinceng, anak baik!" kata pula Ang I Lama.

Akan tetapi Hong Li menjadi marah dan meronta. "Lepaskan aku, pendeta jahat!" dan kembali pedangnya menusuk, kini mengarah dada kakek itu.

"Trakkk!"

Pedangnya patah menjadi dua potong! Dan sekali Ang I Lama menggerakkan tangan kirinya, tubuh Hong Li telah terlempar ke atas dan berada dalam podongan kakek itu.

"Lepaskan anakku!" Sin-kiam Mo-li membentak dan pedangnya lalu membacok ke arah kepala Ang I Lama.

"Tranggg...!"

Tasbeh itu menyambar dan menangkis pedang, membuat pedang terpental.

Tiba-tiba Sin-kiam Mo-li membentak dan kebutannya kini menyambar ke arah... kepala Hong Li yang dipondong pendeta itu. Tentu saja Ang I Lama terkejut bukan main, sama sekali tidak menyangka bahwa wanita itu akan menyerang anak yang dipondongnya. Dengan agak tergesa-gesa dia pun menggerakkan tasbehnya melindungi Hong Li dan menangkis kebutan.

"Prattt!"

Bulu-bulu kebutan itu sekarang melibat tasbeh dan terjadi tarik menarik. Pada saat itu, Hong Li yang tidak tahu bahwa baru saja nyawanya terancam maut pada saat wanita itu menyerangnya dengan kebutan, kini ingin membantu gurunya. Melihat betapa mereka saling tarik senjata masing-masing, Hong Li menggunakan tangannya, mencengkeram ke arah mata Ang I Lama!

"Siancai...!" Ang I Lama terkejut bukan main.

Anggota tubuhnya tidak akan takut menghadapi serangan seorang anak kecil seperti Hong Li, akan tetapi kalau yang diserang itu matanya, tentu saja mata itu tidak dapat dibuat kebal! Untuk mempergunakan sihir mempengaruhi anak itu, sudah tidak keburu lagi. Terpaksa dia menarik kepalanya ke belakang untuk mengelak.

Pada saat itu, pedang di tangan kanan Sin-kiam Mo-li sudah menyambar dan menusuk lambung pendeta Lama itu. Demikian cepat gerakan ini, dilakukan pada saat yang tepat, menggunakan kesempatan selagi pendeta itu repot mengelak dari cengkeraman tangan Hong Li sehingga tak mungkin dapat dihindarkan lagi.

"Cappp...!"

Biar pun pendeta itu mempergunakan sinkang, namun sudah tidak keburu dan pedang itu menancap sampai dalam dan ketika dicabut, darah pun muncrat dan pada saat itu, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas kembali Hong Li dari pondongan Ang I Lama.

"Omitohud...!" Ang I Lama menggunakan tangan kiri mendekap luka di lambungnya, lalu membalikkan diri dan lari meninggalkan tempat itu, pergi sambil membawa luka yang dalam di lambungnya!

Sin-kiam Mo-li tidak berani mengejar. Ia tahu bahwa pendeta itu lihai bukan main dan kalau ia tidak memperoleh kesempatan baik tadi, belum tentu ia akan keluar sebagai pemenang. Ia tadi sudah bertindak cerdik bukan main dengan menyerang kepala Hong Li. Memang, ia membahayakan keselamatan nyawa anak itu tadi. Akan tetapi akal itu bagus sekali.

Serangan mematikan itu tentu saja membuat Ang I Lama yang ingin menyelamatkan Hong Li, menjadi kaget dan cepat melindungi sehingga terbukalah kesempatan baginya untuk menyerang. Apa lagi ia dibantu oleh Hong Li. Ia puas dengan dirinya sendiri dan juga girang bahwa ternyata anak angkat dan muridnya itu setia kepadanya. Ia tak berani mengejar karena ia tidak yakin apakah Lama itu menderita luka yang cukup parah.

Dirangkulnya Hong Li dan diciuminya pipi anak itu. "Hong Li, bagus sekali, engkau telah membantuku mengalahkan Lama yang jahat itu!"

"Akan tetapi, subo. Hampir saja aku celaka olehnya. Dia sungguh lihai dan jahat sekali!" kata Hong Li.

"Memang dia lihai dan jahat, maka engkau harus berlatih dengan baik agar kelak dapat mengalahkan orang-orang seperti dia ini."

"Di bawah bimbingan subo, tentu aku akan dapat menguasai ilmu-ilmu yang hebat, dan kini di dalam perlindungan subo aku merasa aman. Subo, jangan lupa mengajarkan ilmu sihir kepadaku."

Sin-kiam Mo-Ii tertawa dan menggandeng anak itu, diajak masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Hong Li merasa girang dan puas pula, sama sekali ia tidak tahu bahwa baru saja ia kehilangan seorang penolong yang akan mampu membawanya kembali kepada orang tuanya dan bahkan membebaskannya dari cengkeraman seorang wanita iblis yang sesungguhnya merupakan musuh besar keluarganya!

Sin-kiam Mo-li tidaklah sebaik hati seperti yang dibayangkan Hong Li. Anak perempuan ini sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia diculik dari kebun rumah orang tuanya, terdapat rahasia besar di balik semua peristiwa itu.

Yang melakukan penculikan terhadap dirinya sama sekali bukanlah Ang I Lama yang pada waktu itu masih tekun bertapa di dalam goa pertapaannya. Lalu siapakah yang melakukan penculikan itu? Bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li sendiri! Wanita cantik yang tinggi semampai inilah yang menyamar sebagai Ang I Lama dan melakukan penculikan dengan mempergunakan nama Ang I Lama! Hal ini dapat dilakukannya dengan mudah sekali karena selain pandai ilmu silat, ia pun pandai ilmu sihir dan pandai melakukan penyamaran.

Akan tetapi, mengapa Sin-kiam Mo-li melakukan hal itu dan siapakah dia sebenarnya? Sin-kiam Mo-li adalah anak angkat dari Kim Hwa Nionio! Pada waktu Kim Hwa Nionio bersekongkol dengan Sai-cu Lama, Sin-Kiam Mo-li sedang melakukan perantauan ke daerah pantai selatan. Ia tidak tahu akan persekutuan itu, juga tidak mencampurinya. Ketika ia pulang ke utara, baru ia mendengar bahwa ibu angkatnya, juga gurunya itu, ternyata telah tewas bersama Sam Kwi dan Sai-cu Lama dalam sebuah komplotan yang dihancurkan oleh para pendekar, terutama keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Istana Gurun Pasir.

Tentu saja ia terkejut dan berduka, juga sakit hati. Akan tetapi ia pun maklum siapa itu keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ia merasa tak mampu menandingi mereka itu dengan berterang, maka ia lalu melakukan balas dendam dengan cara lain.

Setelah melakukan penyelidikan, dia pun menjatuhkan pilihannya kepada Kao Hong Li, satu-satunya anak yang menjadi keturunan dari kedua pihak, keturunan keluarga Pulau Es, juga keturunan keluarga Gurun Pasir. Dan terjadilah penculikan itu.

Ia sengaja mempergunakan nama Ang I Lama yang mahir dalam ilmu sihir dan mudah dipalsu, dengan maksud untuk mengadu domba. Ia harus membangkitkan Ang I Lama sebagai sute dari Sai-cu Lama supaya suka menentang dua keluarga pendekar yang menjadi musuh mereka berdua itu. Akan tetapi ia cukup mengenal watak Ang I Lama yang saleh dan tidak mau menggunakan kekerasan, melainkan hanya bertapa dengan tekun dan tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai.

Maka dia mempergunakan siasatnya, menyamar sebagai Ang I Lama untuk mengadu domba. Tadinya, niatnya hanya selain mengadu domba, juga menimbulkan duka pada keluarga itu yang kehilangan puterinya. Mungkin puteri mereka itu akan ia bunuh untuk membalas dendam.

Akan tetapi setelah ia melihat Hong Li yang demikian manis dan tabah, hatinya tertarik dan timbul pikirannya untuk memanfaatkan rasa sukanya itu demi dua keuntungan. Pertama, ia akan merasa puas memiliki murid dan anak angkat yang sangat baik dan berbakat, memenuhi kerinduannya akan seorang keturunan. Kedua, ia akan mendidik anak itu supaya kelak dapat mengikuti jejaknya yang berlawanan dengan jalan hidup musuh-musuhnya, yaitu kedua keluarga pendekar itu!

Hong Li tidak tahu akan semua itu. Ia hanya mengenal gurunya sebagai seorang wanita berilmu tinggi dan pandai sihir yang telah menyelamatkannya dari tangan Ang I Lama!

Walau pun pada hari-hari terakhir ini ia mendapat kenyataan bahwa gurunya dapat pula berwatak keras dan kejam terhadap musuh-musuhnya, seperti yang diperlihatkannya ketika menghadapi lima orang penyerbu dari Cin-sa-pang itu, namun ia menganggap gurunya seorang gagah yang baik hati, terutama terhadap dirinya.

Dan ia pun dengan penuh ketekunan mempelajari ilmu-ilmu dari Sin-kiam Mo-li, seorang wanita cantik yang dalam hal tingkat kepandaian, sama sekali tidak berada di bawah tingkat mendiang gurunya, yaitu Kim Hwa Nionio…..

********************

Dua orang pendeta Lama yang sedang bertapa itu terkejut sekali ketika melihat seorang pendeta Lama lain roboh terpelanting di depan goa mereka, kemudian terdengar suara orang itu mengerang kesakitan. Dua orang pendeta Lama itu segera keluar dari goa tempat pertapaan mereka dan alangkah kaget hati mereka ketika mereka mengenal bahwa yang roboh itu adalah Ang I Lama, seorang tokoh Lama yang amat mereka kenal dan masih terhitung paman seperguruan mereka.

"Susiok...," keduanya berlutut dan segera memeriksa.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan ngeri rasa hati mereka melihat bahwa paman guru mereka itu terluka pada lambungnya, luka yang kini membengkak besar sekali, tanda bahwa selain luka itu parah, juga bahwa luka itu tidak terawat selama beberapa hari sehingga membengkak. Melihat keadaan luka itu dan wajah paman guru mereka yang membiru, dua orang pendeta ini dengan sedih mengetahui bahwa keadaan paman guru mereka sudah payah dan sukar untuk dapat diselamatkan nyawanya.

"Susiok, apa yang telah terjadi? Mengapa susiok bisa terluka seperti ini?" tanya pendeta pertama.

"Susiok, siapa yang melakukan ini?" tanya pendeta ke dua.

Akan tetapi keadaan Ang I Lama telah demikian payah. Napasnya tinggal satu-satu dan sukar sekali baginya untuk mengeluarkan suara walau pun mulutnya bergerak-gerak. Akan tetapi, di dalam batin Ang I Lama, sedikit pun tidak ada rasa dendam terhadap Sin-kiam Mo-li, maka tidak ada sedikit pun niat di hatinya untuk memberi tahu kepada orang lain siapa yang telah melukainya.

Keinginan hatinya adalah untuk memberi tahu kepada Kao Cin Liong dan Suma Hui di mana adanya anak mereka yang diculik orang itu. Akan tetapi sukar sekali mulutnya mengeluarkan kata-kata dan dengan pengerahan tenaga terakhir dia pun memaksa diri untuk menyampaikan isi hatinya itu kepada dua orang pendeta Lama ini.

Akhirnya dapat juga dia mengeluarkan suara lirih sehingga dua orang pendeta Lama itu harus mendekatkan telinga mereka agar dapat menangkap lebih jelas. "... Kao Cin Liong dan isterinya... mereka... cepat... ouhhh..." kakek itu terkulai dan napasnya pun terhenti. Dia mengerahkan tenaga terlalu banyak namun tidak kuat melanjutkan kata-katanya.

Dua orang pendeta Lama itu saling pandang dengan mata terbelalak. Mereka pun tentu saja mengenal siapa yang bernama Kao Cin Liong itu, seorang yang dikenal baik oleh para pendeta Lama karena pernah memimpin pasukan pemerintah untuk menumpas pemberontakan di barat. Panglima Kao amat terkenal dan tentu saja mereka kini terkejut dan heran mendengar disebutnya nama panglima itu dan isterinya sebagai pembunuh Ang I Lama!

Kedua orang pendeta itu merasa betapa penting dan gawatnya urusan, maka setelah menyempurnakan jenazah Ang I Lama dengan membakarnya, kemudian membawa abu jenazah itu, pergi meninggalkan tempat pertapaan mereka dan cepat mereka menuju ke Tibet. Di depan para pimpinan Lama, mereka lalu menceritakan pengalaman mereka ketika menemukan Ang I Lama dalam keadaan sekarat sampai meninggal dunia karena luka parah di lambungnya.

Ketika para pimpinan Lama mendengar bahwa pesan terakhir dari Ang I Lama adalah nama Kao Cin Liong dan isterinya, para pimpinan Lama itu saling pandang. Mereka teringat bahwa belum lama ini, suami isteri itu memang datang kepada mereka dan menanyakan di mana adanya Ang I Lama! Mereka melihat sikap isteri pendekar bekas panglima itu jauh dari pada lembut, bahkan agaknya nyonya itu marah sekali terhadap Ang I Lama.

Dan kini muncul dua orang pendeta Lama yang menceritakan bahwa Ang I Lama tewas dengan luka di lambungnya. Pada hal, Ang I Lama adalah seorang pendeta Lama yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Tidak sembarang orang akan dapat melukainya, dan pula, pendeta itu adalah seorang yang halus budi dan tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga. Siapa lagi kalau bukan suami isteri pendekar itu yang telah membunuhnya? Mungkin karena Ang I Lama masih sute dari Sai-cu Lama seperti yang ditanyakan oleh isteri pendekar itu.

"Hemm, kita tak boleh tinggal diam saja. Tanpa sebab mereka telah membunuh seorang yang hidup bersih dan suci seperti Ang I Lama. Jika hal ini kita diamkan saja, bukankah semua orang lalu memandang rendah kepada kita, para Lama? Kita dapat membiarkan seorang Lama seperti Sai-cu Lama dibasmi dan dibunuh sekali pun tanpa sedikit juga campur tangan. Akan tetapi kalau sampai seorang seperti saudara Ang I Lama dibunuh tanpa dosa, benar-benar merupakan hal yang penuh dengan penasaran. Kita harus bertindak terhadap mereka!"

"Akan tetapi mereka adalah pendekar-pendekar yang terkenal sakti dan budiman! Apa lagi kita semua mengenal siapa adanya Kao Cin Liong, bekas panglima yang gagah perkasa!" kata Lama ke dua.

"Kita tidak perlu takut demi membela kebenaran!" kata Lama ke tiga.

Ketua para Lama menarik napas panjang mendengar pendapat para pembantunya. "Omitohud, semoga Sang Buddha menerima saudara Ang I Lama sesuai dengan amal kebaikannya sewaktu dia hidup. Kita memang tidak boleh tinggal diam, juga kita tidak perlu merasa takut untuk menghadapi ketidak adilan, akan tetapi bagaimana pun juga, kita harus bertindak dengan hati-hati dan tidak menurutkan nafsu amarah. Kita harus ingat bahwa kita berhadapan dengan keturunan orang-orang besar. Kao-taihiap adalah keturunan dari keluarga Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan isterinya adalah keturunan Pendekar Super Sakti Pulau Es. Kita sama sekali tidak menghendaki kalau kita sampai menanam permusuhan dengan kedua keluarga itu. Karena itu, jalan satu-satunya hanyalah mencari seorang perantara untuk menuntut keadilan kepada keluarga mereka, terutama sekali keluarga Gurun Pasir mengingat bahwa Kao-taihiap adalah putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."

Mendengar ucapan ketua mereka ini, para pendeta Lama merasa setuju. Bagaimana pun juga, mereka percaya bahwa keluarga para pendekar itu adalah orang-orang yang selalu menjunjung kebenaran dan keadilan. Kalau peristiwa pembunuhan terhadap diri Ang I Lama yang tak berdosa ini sampai dilaporkan kepada Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, tentu orang sakti itu akan bertindak adil walau terhadap puteranya sendiri sekali pun.

Mereka lalu mengadakan perundingan dan mengingat bahwa mungkin sekali urusan yang timbul antara Ang I Lama dan Kao Cin Liong berdua itu ada hubungannya dengan mendiang Sai-cu Lama, maka semua pendeta Lama setuju untuk kedua kalinya minta bantuan sahabat mereka, yaitu Tiong Khi Hwesio. Bukankah Tiong Khi Hwesio yang bersama para pendekar membasmi komplotan Sai-cu Lama?

Karena agaknya urusan kematian Ang I Lama ini merupakan lanjutan dari pembasmian komplotan Sai-cu Lama, maka orang perantara yang mereka anggap paling tepat ialah Tiong Khi Hwesio. Apa lagi ketua Lama mengetahui bahwa antara Tiong Khi Hwesio dan keluarga Gurun Pasir masih terdapat ikatan yang amat erat.

"Kalau tidak keliru, ikatan keluarga antara Tiong Khi Hwesio dan isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir," demikian katanya.

Kenyataan ini mempertebal kepercayaan para pendeta Lama bahwa Tiong Khi Hwesio memang merupakan orang yang paling tepat sebagai perantara menuntut keadilan ke Gurun Pasir.

Tiong Khi Hwesio kemudian dihubungi. Pendeta ini semenjak kembali dari menunaikan tugasnya yang berhasil baik, telah kembali ke tempat pertapaannya, di dalam sebuah pondok sederhana di puncak sebuah bukit di Pegunungan Himalaya. Dia merasa heran, tetapi juga tidak menolak ketika seorang pendeta Lama menyadarkannya dari pertapaan dan menyampaikan undangan para pimpinan Lama supaya dia suka datang ke Lhasa karena ada urusan yang amat penting.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga