SULING NAGA : JILID-42


Saking kecewa dan bingungnya, kedua mata Suma Hui basah air mata ketika ia keluar dari dalam goa itu. Bagaikan seekor harimau betina kehilangan anaknya, ia menghadapi Ang I Lama dengan sikap marah dan ia membentak. "Ang I Lama, aku tak menemukan anakku di dalam goa ini. Tentu engkau telah menyembunyikan di tempat lain. Hayo kau mengaku dan kembalikan anakku, kalau tidak aku akan memaksamu agar mengaku!"

"Omitohud... pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi dan pinceng tidak berbohong. Lihiap telah menggeledah goa pinceng. Lalu apa lagi yang harus pinceng lakukan untuk meyakinkan hati ji-wi bahwa pinceng tidak pernah menculik puteri ji-wi?"

"Tapi semua saksi mengatakan bahwa engkaulah penculiknya!" Suma Hui membentak marah.

Ia mengharapkan sekali bahwa kakek inilah penculiknya, karena kalau bukan kakek ini, lalu siapa dan ke mana ia harus mencari anaknya? Perjalanan dari rumahnya ke Tibet adalah perjalanan yang amat jauh dan sukar, dan ia tidak mau melihat perjalanannya ini sia-sia belaka.

"Omitohud..., sungguh luar biasa sekali. Semua saksi mengatakan bahwa pinceng yang melakukan penculikan itu. Akan tetapi pinceng tidak melakukannya. Mengapa pinceng harus melakukan perbuatan jahat itu? Pinceng tidak pernah bermusuhan dengan siapa pun, apa lagi dengan ji-wi," kata kakek itu sambil menarik napas panjang.

"Maafkan kami, locianpwe," kata Cin Liong dengan sikap yang masih amat menghormat. "Bukankah locianpwe masih saudara seperguruan dari mendiang Sai-cu Lama?"

"Mendiang...?" Wajah pendeta itu nampak terheran.

"Dia telah tewas ketika berkomplot dengan pengkhianat dan mengacau di kota raja, dan kami yang membantu para pendekar yang menghancurkan komplotannya. Nah, hal ini agaknya merupakan alasan yang cukup kuat andai kata locianpwe melakukan balas dendam dengan menculik anak kami."

"Omitohud...! Tentang kematian suheng Sai-cu Lama ini pun baru kini pinceng dengar, bagaimana pinceng dapat mendendam? Sungguh menyedihkan bahwa dia meninggal dunia dalam keadaan penuh dosa. Biar pun pinceng benar sute-nya, namun di antara kami tidak pernah ada hubungan, lahir atau pun batin. Andai kata pinceng sudah tahu akan kematiannya sekali pun, pinceng tidak akan mendendam kepada siapa pun juga. Hanya Thian yang menentukan kematian seseorang. Ji-wi atau siapa pun juga tidak mungkin dapat membunuh seseorang tanpa kehendak Thian. Hanya Thian yang dapat membunuh atau menghidupkan seseorang."

"Tak perlu banyak alasan kosong! Siapa tidak tahu bahwa di antara para Lama jubah merah terdapat banyak yang menyeleweng? Jubah pendetamu, kepala gundulmu, dan pertapaanmu hanya untuk kedok saja, menutupi semua keburukan yang dapat kau lakukan. Ang I Lama, para saksi itu adalah sekumpulan anak yang masih bersih dan jujur. Mereka tidak mungkin membohong. Mereka melihat sendiri betapa penculik itu adalah seorang pendeta yang berjubah merah, dan pendeta itu mengaku bernama Ang I Lama! Jika engkau terus hendak menyangkal, terpaksa aku menggunakan kekerasan!" Berkata demikian, Suma Hui yang sudah menjadi marah sekali karena cemas tidak berhasil menemukan jejak puterinya, segera menggerakkan tubuhnya, dan menyerang dengan hebatnya.

Serangan wanita ini amat hebat dan dahsyat karena ia sedang marah dan ia merasa yakin bahwa kakek yang diserangnya inilah penculik puterinya, maka begitu menyerang ia telah menggunakan sebuah jurus dari Cui beng Pat-ciang (Delapan Pukulan Pengejar Roh).

Melihat datangnya serangan dahsyat ini, terdengar Ang I Lama mengeluh dan kakek ini pun cepat meloncat ke belakang. Tubuh kakek ini demikian ringannya seolah-olah dia dapat terbang saja dan ketika pukulan itu datang dengan hawa pukulan yang amat kuat, tubuhnya terdorong ke belakang seperti sehelai kapas yang dipukul saja!

Melihat pukulan pertamanya tidak mengenai sasaran, Suma Hui sudah menerjang lagi, melanjutkannya dengan serangan-serangan yang dahsyat, kini mempergunakan tenaga Hwi-yang Sinkang yang mengeluarkan hawa panas. Kakek itu terhuyung-huyung ke belakang sambil mengatur langkah-langkah ajaib untuk menghindarkan semua pukulan dan pada saat serangkaian pukulan itu lewat tanpa mengenai tubuhnya, dia pun berseru dengan nada sedih.

"Omitohud... apakah ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es hanya untuk membunuh orang yang tidak bersalah?"

Mendengar keluhan ini, Suma Hui merasa disindir, akan tetapi dia menjadi semakin marah dan penasaran.

"Singgg...!”

Nampak sinar berkelebat, sinar yang menyilaukan mata dari sepasang pedang yang sudah dicabut oleh wanita perkasa itu.

"Ang I Lama, untuk menemukan kembali puteriku, aku berani menghadapi siapa saja dan membunuh siapa saja!" bentaknya dan ia pun kini menyerang dengan sepasang pedangnya!

Ang I Lama meloncat ke belakang dengan gerakan seperti seekor kera dan dia pun lalu mengeluh, "Omitohud... lihiap terlalu mendesak! Agaknya kegelisahan dan kedukaan telah membuat lihiap menjadi mata gelap."

Suma Hui tak peduli dan mendesak terus dengan pedang-pedangnya. Kakek itu bersilat dengan gerakan-gerakan lucu, seperti seekor kera, akan tetapi dia berhasil berloncatan menyelinap di antara gulungan kedua sinar pedang.

Memang Ang I Lama adalah seorang ahli silat Sin-kauw-kun (Silat Kera Sakti) yang amat lihai. Dia pun memiliki sepasang pedang dan menjadi ahli bermain siang-kiam, akan tetapi menghadapi amukan Suma Hui, jelas bahwa dia selalu mengalah, dan tidak mau mempergunakan sepasang pedangnya walau pun serangan-serangan wanita sakti itu amat berbahaya bagi keselamatan dirinya.

Menghadapi desakan sepasang pedang yang demikian lihai seperti sepasang pedang di tangan Suma Hui yang kini memainkan Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis), satu di antara ilmu-ilmu keluarga Pulau Es yang sangat hebat, mana mungkin hanya mengelak saja? Untuk menyelamatkan dirinya, terpaksa Ang I Lama harus membalas serangan lawan untuk membendung gelombang serangan Suma Hui. Akan tetapi dia membalas bukan dengan maksud mencelakai lawan, melainkan sekedar menahan desakan lawan, dengan cengkeraman-cengkeraman keras untuk merampas pedang dan totokan-totokan untuk melumpuhkan tubuh lawan.

Ketika sepasang pedang Suma Hui mendesak hebat, tiba-tiba dengan gerakan aneh, tubuh kakek pendeta itu menyelinap dan berada di belakang tubuh wanita itu, tangan kanannya menyambar ke arah tengkuk untuk melakukan totokan. Akan tetapi, Suma Hui membalik dan pedangnya menyambar, membabat ke arah lengan yang diulur ke arah tengkuknya tadi. Sinar pedang berkelebat dan Ang I Lama sudah tak sempat lagi untuk mengelak dan walau pun dia sudah menarik kembali lengannya, tetap saja pedang itu menyambar ke arah lengannya dan...

"Crokkk...!" setengah dari lengan itu terbabat buntung!

"Hui-moi, jangan...!" Kao Cin Liong berseru kaget dan meloncat ke depan, memegang lengan isterinya dan menariknya lembut agar isterinya menahan dirinya.

"Omitohud, sungguh berbahaya...!" kata kakek itu.

Dia pun memandang lengan kanannya yang ternyata masih utuh, akan tetapi lengan bajunya yang buntung setengahnya. Kiranya kakek ini, pada saat terakhir ketika pedang membabat, masih sempat menarik lengannya di dalam lengan baju sehingga yang terbabat buntung hanya lengan bajunya saja!

Melihat kenyataan itu, diam-diam Cin Liong terkejut dan girang. Girang karena ternyata isterinya tidak jadi membikin cacat pendeta yang belum tentu berdosa ini, dan terkejut karena maklum bahwa kakek ini sungguh sakti, sudah dapat membuat lengannya mulur dan mengkeret. Ilmu seperti itu dapat membuat lengan mulur sampai dua kali panjang lengan itu, dan dapat membuat lengan itu memendek sampai setengahnya, seperti yang dilakukan kakek tadi untuk menyelamatkan lengannya dari babatan pedang.

"Sudahlah, Hui-moi. Agaknya memang locianpwe ini tidak bersalah karena sejak tadi dia mengalah terus menghadapi serangan-seranganmu. Kalau bukan dia yang melakukan, berarti ada orang lain yang mempergunakan namanya. Aku yakin bahwa locianpwe Ang I Lama tidak akan tinggal diam saja namanya dipergunakan orang lain untuk melakukan kejahatan terhadap kita sehingga mendatangkan fitnah padanya."

Suma Hui juga telah mengerti bahwa agaknya memang bukan kakek ini yang menculik puterinya. Kalau memang kakek ini memiliki dendam terhadap ia dan suaminya, tentu kakek ini akan melakukan perlawanan, mengingat bahwa tingkat kepandaian kakek ini mungkin lebih tinggi dari tingkatnya. Akan tetapi kakek ini selalu mengalah, tidak balas menyerang dan selalu bersikap lembut. Hal ini membuat hatinya menjadi makin gelisah dan berduka. Tak terasa lagi, dua matanya menjadi basah dan air mata jatuh menuruni kedua pipinya yang agak pucat. Wanita ini sudah menderita kesengsaraan batin sejak puterinya, yang merupakan anak tunggal itu, lenyap diculik orang.

"Habis, ke mana lagi kita harus mencari anak kita...?" Suaranya terdengar demikian memelas, menggetar dan lirih, sepasang matanya yang merah dan basah itu ditujukan kepada suaminya dengan pandang mata yang penuh duka sehingga suaminya merasa terharu dan kasihan sekali. Cin Liong sendiri tidak tahu harus mencari ke mana, maka pertanyaan penuh kegelisahan itu pun tidak dapat dijawabnya.

"Omitohud... mengapa ada orang yang tega memisahkan ibu dari anaknya? Sungguh merupakan perbuatan yang amat kejam. Pinceng dapat mengerti akan kedukaan dan kebingungan hati ji-wi. Karena pinceng juga ingin sekali membantu, maka dapakah ji-wi memberi tahukan, siapa kiranya musuh-musuh ji-wi yang paling besar?"

Kao Cin Liong menggelengkan kepala. "Kami merasa tidak mempunyai musuh-musuh, locianpwe, tetapi tentu saja ada orang-orang yang membenci kami di luar pengetahuan kami. Semenjak saya mengundurkan diri dari jabatan saya sebagai panglima, kami hidup sebagai pedagang dan tidak mencampuri urusan kang-ouw. Kecuali ketika kami membantu para pendekar menghancurkan komplotan Sai-cu Lama yang mengacau di kota raja."

"Nah, itulah, komplotan itulah. Siapakah saja di antara mereka selain mendiang suheng Sai-cu Lama? Siapa yang menjadi kelompok pimpinan mereka?" Pendeta itu bertanya dan memandang dengan alis berkerut, penuh perhatian.

"Ada banyak di antara mereka, akan tetapi yang menjadi pimpinan terpenting hanya beberapa orang," jawab Kao Cin Liong sambil mengingat-ingat. "Mereka adalah Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, Iblis Mayat Hidup..."

"Sam Kwi (Tiga Iblis)?" tanya Ang I Lama.

"Benar, locianpwe. Sam Kwi bersama murid mereka yang berjuluk Bi-kwi. Kemudian ada lagi Kim Hwa Nionio dan muridnya yang bernama Bhok Gun. Itulah mereka yang menjadi komplotan dan pembantu Sai-cu Lama."

Ang I Lama mengangguk-angguk, sepasang alisnya berkerut sedangkan tangan kirinya meraba-raba dagunya. "Apakah mereka semua tewas dalam pertempuran itu?"

"Semua tewas, kecuali Bi kwi, murid Sam Kwi."

"Hemmm, apakah tidak mungkin ia yang melakukan penculikan itu?"

Cin Liong menggeleng kepala. "Kiranya tidak mungkin. Kalau ia mendendam, tentu tidak ditujukan pada kami, sebab kami hanya membantu para pendekar yang menghancurkan komplotan itu saja. Pula, tidak mungkin ia dapat menyamar sebagai locianpwe, karena pada waktu melakukan penculikan, menurut saksi, yaitu anak-anak yang menyaksikan, penculik itu menggunakan ilmu sihir dan lenyap di antara gumpalan asap tebal."

"Sihir? Hemmm..." Kakek itu lalu duduk bersila dan seperti orang bersemedhi, namun kulit di antara kedua alisnya berkerut, tanda bahwa dia tenggelam di dalam pemikiran yang mendalam.

Karena merasa tidak perlu lebih lama berada di tempat itu, Cin Liong lalu menggandeng tangan isterinya yang nampak amat sedih itu, meninggalkan tempat itu, menuruni bukit perlahan-lahan. Dia harus pulang dulu, barulah nanti dari rumah mencari jejak puteri mereka. Juga, dia mengharapkan hasil penyelidikan Suma Ciang Bun, selain itu juga ingin mendengar bagaimana dengan pendapat orang tuanya di Istana Gurun Pasir yang dilapori oleh Gu Hong Beng, murid Suma Ciang Bun…..

********************

Rumah itu tidak besar, merupakan rumah dengan dua buah kamar besar dan tiga kamar dibagian belakang yang menjadi tempat tinggal para pelayan, dua buah ruangan dan sebuah gudang. Kecil akan tetapi nampak indah sekali karena bangunannya dibuat secara artistic. Gentengnya merah dan tembok rumah itu sendiri di cat hijau, hampir tersembunyi di antara daun-daun pohon yang besar. Pohon-pohon yang tumbuh di sekeliling rumah itu pun bukan pohon liar, melainkan diatur tumbuhnya, dan terdiri dari pohon-pohon yang asing dan jarang terdapat di daerah pegunungan Heng-tuan-san itu.

Rumah itu berdiri di lereng paling bawah, yang masih merupakan kaki pegunungan Heng-tuan-san. Tanah disekeliling rumah itu subur sekali karena sungai Cin-sa mengalir di bagian belakang rumah itu, hanya beberapa ratus meter saja jauhnya. Karena daerah itu merupakan daerah tapal batas dari Propinsi Secuan, dan jauh dari jalan raya, maka keadaannya amat sunyi. Sunyi dan indah. Dusun terdekat berada sejauh belasan li dari situ.

Itulah tempat tinggal wanita cantik yang berjuluk Sin-kiam Mo-li. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang bersikap halus menarik itu, kini telah menjadi guru Kao Hong Li. Seperti kita ketahui, Sin-kiam Mo-li telah berhasil merampas Kao Hong Li dari tangan penculiknya yang mengaku bernama Ang I Lama, kemudian Hong Li berjanji untuk berguru dan mengaku ibu kepada Sin-kiam Mo-li, ikut bersama wanita itu selama lima tahun. Bahkan Hong Li telah disuruh bersumpah!

Ketika ia pertama kali tiba di tempat tinggal gurunya yang juga menjadi ibu angkatnya, Hong Li merasa gembira sekali, melihat betapa tempat itu amatlah indahnya. Rumah itu kecil mungil dan dari jauh, ketika mereka tiba di bawah kaki gunung, rumah itu nampak jelas, seperti rumah boneka yang berwarna-warni, dikelilingi pohon-pohon besar yang indah pula, juga di antara pohon-pohon itu terdapat banyak sekali tanaman bunga yang beraneka ragam dan warna.

Akan tetapi, ketika mereka mulai mendaki bukit, rumah indah itu lenyap tertutup pohon-pohon yang amat banyak dan mereka mendaki melalui lorong-lorong yang amat sulit dikenal kembali karena bentuknya yang aneh-aneh dan banyak pula yang sama.

Lorong-lorong di antara pohon-pohon besar itu juga sering kali membelok, bahkan tikungannya ada pula yang bagaikan berbalik ke arah yang berlawanan. Di sana-sini lorong itu putus dan di depannya hanya nampak jurang lebar menganga, ada pula yang tiba-tiba saja di depan jalan terdapat kolam pasir yang bentuknya aneh, sama sekali tidak ditumbuhi tanaman. Ada pula lapangan rumput yang hijau dan nampak segar, akan tetapi gurunya memperingatkan agar ia jangan menginjak lapangan rumput itu.

Tadinya Hong Li mengira bahwa gurunya melarangnya agar jangan merusak rumput hijau segar itu, akan tetapi kemudian gurunya memberi tahu bahwa menginjak tempat itu sama saja dengan bunuh diri! Banyak tempat yang tidak boleh diinjak, bahkan ada pula tanaman-tanaman yang memiliki bunga-bunga indah akan tetapi gurunya melarang ia menyentuh bunga dan daun tanaman itu. Tangannya akan melepuh keracunan, kata gurunya.

Sungguh tempat yang indah akan tetapi aneh dan menyeramkan. Akan tetapi setelah mereka tiba di rumah mungil itu, hati Hong Li tertarik dan ia senang sekali menerima sambutan tiga orang pelayan yang usianya rata-rata tiga puluh tahun, pelayan-pelayan wanita yang rata-rata berwajah cantik dan berpakaian bersih rapi.

"Ini adalah anak angkat, juga muridku," kata Sin-kiam Mo-li memperkenalkan Hong Li kepada mereka.

"Aih, siocia, engkau manis sekali!" kata yang berbaju merah.

"Siocia, yang baik, kami akan melayanimu dengan penuh kasih sayang!" kata yang berbaju hitam.

"Siocia, siapakah namamu?" tanya yang berbaju putih.

Hong Li memandang mereka seorang demi seorang dengan penuh perhatian. Mereka itu berwajah cantik, tidak seperti pelayan dari dusun, dan pakaian mereka yang rapi itu seperti pakaian seragam. Celana mereka baru, akan tetapi baju mereka, yang memiliki potongan yang sama, berbeda warnanya. Rata-rata mereka bersikap ramah, akan tetapi yang mengherankan, sikap mereka lincah dan sepasang mata mereka tajam, gerak-gerik mereka menunjukkan bahwa mereka bukanlah wanita-wanita bodoh yang lemah.

Sebelum ia menjawab, gurunya sudah bicara lagi.

"Hong Li, mereka inilah pelayan-pelayan yang juga menjadi teman kita dan penghuni tempat ini. Nama mereka mudah dilihat dari pakaian mereka. Ini Ang Nio (Nona Merah), dan ini Pek Nio (Nona Putih) dan Hek Nio (Nona Hitam). Kalian ketahuilah bahwa siocia (nona) ini adalah Kao Hong Li. Ia belum tahu akan keadaan tempat tinggal kita, maka hari ini kalian ajaklah dia berjalan-jalan dan kalau aku belum memerintahkan, jangan membuka rahasia tentang tempat ini. Belum waktunya dan bisa berbahaya. Nah. aku mau beristirahat. Layanilah Hong Li sebaiknya." Setelah berkata demikian, Sim-kiam Mo-li meninggalkan muridnya yang segera diajak oleh ketiga orang pelayan itu untuk melihat-lihat keadaan di dalam rumah itu.

Ketika Hong Li diajak masuk ke dalam, dia menjadi kagum dan juga bingung. Kagum karena rumah itu mewah dan memiliki perabot rumah yang serba indah dan mahal, penuh dengan lukisan-lukisan mahal, pot-pot bunga kuno yang antik, juga lantainya ditutup permadani tebal. Akan tetapi yang membuat ia merasa bingung adalah ketika ia harus berputar-putar untuk memeriksa kamar itu yang walau pun tidak berapa besar namun berlika-liku dan memiliki lorong-lorong di antara pot-pot bunga dan perabot rumah.

Gurunya mendiami kamar yang pertama dan ia memperoleh kamar ke dua yang selama ini dibiarkan kosong saja, sedangkan tiga orang pelayan itu tinggal di kamar belakang. Anehnya, dia harus dituntun oleh Ang Nio ketika melihat-lihat di dalam rumah itu.

"Jangan pandang ringan keadaan dalam rumah ini, nona. Tanpa petunjuk kami, nona tidak akan dapat memasuki kamar sendiri," kata Ang Nio yang melihat betapa Hong Li mengerutkan alisnya karena harus dituntun.

"Ahhh, masa? Kenapa tidak bisa?"

"Keadaan di dalam rumah ini telah diatur oleh toanio (nyonya besar) menurutkan garis-garis pat-kwa (segi delapan), penuh dengan alat-alat rahasia sehingga kalau ada orang luar berani masuk, selain dia terancam oleh jebakan-jebakan, juga sukar baginya untuk mencari jalan keluar."

Hong Li tidak percaya. Tiga orang pelayan itu lalu membiarkan ia mencari jalan sendiri dan benar saja! Jalan yang diambilnya itu buntu, kalau tidak terhalang meja kursi, pot bunga, tentu menjadi tertutup oleh sebuah pintu yang ketika dibukanya membawanya ke bagian lain yang sama sekali tidak disangkanya. Ia mencoba untuk mencapai pintu kamar yang diberikan kepadanya, namun selalu gagal!

Ketika ia melihat sebuah kursi besar menghalang antara ia dan pintu itu, ia menggeser kursi itu dengan hati girang. Kalau kursi itu disingkirkan, tentu ia dapat langsung saja menghampiri pintu itu dan berarti menang! Akan tetapi, begitu kursi digeser, terdengar suara dan tahu-tahu dirinya telah berada di dalam sebuah kurungan besi! Tiga orang pelayan itu menghampiri sambil tertawa-tawa.

"Sudahlah, nona," kata Pek Nio sambil menggerakkan alat rahasia dan kurungan itu pun terlipat dan lenyap, sedangkan kursi kembali ke tempatnya semula. "Masih untung nona hanya terjebak dalam kurungan, karena di sini terdapat jebakan yang lebih berbahaya lagi. Mari, kita tunjukkan semua rahasia dalam rumah ini agar engkau dapat bergerak dengan bebas."

Mau tidak mau Hong Li kini percaya bahwa rumah yang nampak mungil tidak berapa besar ini penuh dengan alat rahasia dan diatur sedemikian rupa sehingga orang luar jangan harap akan dapat masuk, atau kalau sudah masuk jangan harap akan dapat keluar kembali. Tiga orang pelayan itu menerangkan sejelasnya dan Hong Li memang memiliki otak yang cerdas sekali. Dalam waktu sehari saja ia sudah mengenal semua rahasia di dalam rumah itu dan ia merasa kagum sekali, semakin kagum terhadap gurunya atau ibu angkatnya. Dari pengaturan rumah ini saja sudah dapat diketahui bahwa Sin-kiam Mo-li memang amat lihai.

Akan tetapi, ternyata bahwa jalan menuju ke rumah gurunya itu pun tak dapat didatangi orang secara mudah! Jalan itu mengandung rahasia yang lebih rumit dari pada rahasia di dalam rumah dan meski pun dari kaki gunung sudah dapat dilihat rumah mungil di lereng itu, jangan harap bagi orang luar untuk dapat menemukannya! Dia akan tersesat dan hanya berputar-putar di antara pohon-pohon, atau kalau dia salah langkah, dia akan tewas dalam keadaan mengerikan.

Dan diam-diam Hong Li amat cemas. Untuk dapat mengenal jalan naik turun dari rumah itu ke kaki gunung, ia harus mempelajarinya sampai lebih dari sepekan barulah ia dapat turun dan naik sendiri tanpa ditemani pelayan. Ternyata bahwa jalan dari kaki gunung menuju ke rumah itu melalui lorong di antara pohon-pohon yang diatur secara amat rumit menurut garis-garis pat-kwa.

Sejak tiba di tempat itu bersama gurunya, Hong Li mulai dilatih ilmu silat oleh Sin-kiam Mo-li. Tak begitu sukar bagi Sin-kiam Mo-li untuk mengajarkan ilmu-ilmunya yang tinggi karena gadis cilik itu memang sudah mempunyai dasar yang baik sekali. Sebagai cucu keluarga pendekar besar, sejak kecil ia memang sudah mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi, bahkan ilmu silatnya sudah demikian lihainya sehingga orang dewasa yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja jangan harap akan mampu menandinginya.

Hong Li merasa suka tinggal di tempat yang indah itu, apa lagi sikap gurunya dan tiga orang pelayan itu pun amat ramah kepadanya. Hannya ada satu hal yang membuat ia merasa tidak suka, yaitu tempat itu jauh dari tetangga. Dusun terdekat letaknya belasan li dari situ. Kadang-kadang dia merasa kesepian dan merindukan kehadiran anak-anak lain yang dapat dijadikan teman. Pada suatu pagi, Sin-kiam Mo-li memanggilnya. Hong Li cepat datang menghadap.

"Hong Li, mari kau ikut aku melihat tontonan yang mengasyikkan."

"Tontonan apakah, subo?" Hong Li bertanya dengan girang mendengar bahwa ia diajak nonton sesuatu yang mengasyikkan.

Disangkanya bahwa gurunya tentu akan mengajaknya ke sebuah dusun atau kota untuk nonton pertunjukan dan hal ini merupakan suatu perubahan yang segar dan penghibur kesepiannya. Akan tetapi gurunya mengajaknya menuju ke kebun belakang di mana terdapat sebuah menara dari bambu di mana subo-nya suka berdiam diri untuk berlatih siu-lian. Menara itu tidak mempunyai anak tangga, dan biasanya Sin-kiam Mo-li hanya mempergunakan ilmunya, meloncat seperti burung terbang melayang menuju ke atas menara di mana terdapat sebuah panggung tertutup dari papan.

"Subo, bagaimana aku dapat naik ke sana?" Hong Li bertanya ragu ketika subo-nya menunjuk ke menara itu dan mengatakan bahwa mereka akan ‘nonton’ dari sana. Biar pun Hong Li sudah berlatih ginkang sejak kecil dan tubuhnya memiliki keringanan dan kegesitan yang mengagumkan, namun kalau disuruh meloncat setinggi itu, dia masih belum mampu.

"Kelak engkau harus bisa melompat sendiri ke atas. Sekarang marilah kubantu engkau!"

Wanita cantik itu lalu menyambar lengan kiri Hong Li dan mereka lalu meloncat ke atas. Baru mencapai setengahnya lebih, tubuh Hong Li tentu akan meluncur turun kembali kalau saja gurunya tidak menariknya ke atas dan Hong Li merasa seperti terbang dan tahu-tahu mereka sudah tiba di depan pondok atau panggung tertutup di atas menara itu.

Dari tempat setinggi itu, Hong Li dapat melihat ke kaki gunung dan nampaklah lorong kecil berlika-liku yang menuju ke sebuah dusun di kaki gunung. Pernah ia datang ke dusun itu ketika ia berlatih melewati lorong yang penuh rahasia itu.

"Hong Li, lihatlah ke sana itu. Kita akan melihat tontonan yang menggembirakan!" kata wanita cantik itu dengan suara gembira dan wajahnya yang berseri, sepasang matanya berkilauan tajam.

Hong Li yang sudah ingin bertanya tontonan apakah yang dimaksudkan subo-nya, kini memandang ke arah yang ditunjuk subo-nya dan ia pun dapat melihat mereka itu. Ada lima orang nampak kecil-kecil dari atas itu, dan mereka sedang merayap perlahan-lahan menuju ke rumah mereka. Kini lima orang itu telah tiba di luar daerah mereka, mulai berhadapan dengan pepohonan yang telah diatur menjadi deretan pertama dari benteng pohon-pohon yang penuh rahasia.

Nampak dari atas betapa lima orang itu seperti sedang berunding, kemudian berpencar mengambil jalan sendiri-sendiri. Agaknya mereka tahu bahwa jalan menuju ke rumah itu tidak mudah, maka mereka berpencar mencari jalan sendiri-sendiri. Melihat gerakan mereka yang lincah dan ringan, mudah diduga bahwa lima orang itu bukan orang-orang sembarangan.

"Subo, siapakah mereka?" tanya Hong Li tanpa mengalihkan pandangannya dari lima orang itu. Dari tempat ia berdiri, mudah dilihat gerakan lima orang itu. Biar pun mereka berpencar, karena dari tempat tinggi itu mereka nampak kecil, maka pandang matanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan jelas.

"Mereka adalah lima ekor tikus yang agaknya sudah bosan hidup dan mencari mati di sini," jawab subo-nya dengan suara mengandung kegembiraan.

Hong Li terkejut dan kini ia menoleh dan memandang kepada subo-nya. Wanita cantik itu nampaknya gembira sekali, sepasang matanya berseri mengikuti gerakan lima orang di bawah sana.

"Apa yang subo maksudkan?" tanyanya dengan heran.

"Mereka itu mencari mati karena melakukan pelanggaran terhadap daerah kita," jawab pula gurunya dengan sikap masih gembira dan acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan muridnya.

"Tetapi... tetapi mengapa, subo? Mengapa Subo membiarkan saja mereka melanggar wilayah kita dan memasuki daerah berbahaya itu?"

Kini Sin-kiam Mo-li menoleh kepada muridnya. "Hemm... aku tidak menyuruh mereka melakukan pelanggaran, bukan? Kalau sampai mereka mampus, itu adalah kesalahan mereka sendiri!"

Sejenak Hong Li tidak mampu membantah. Memang tak dapat disalahkan jika gurunya membiarkan saja lima orang itu memasuki daerah berbahaya dan menghadapi kematian mereka, tetapi, mengapa gurunya demikian kejam membiarkan lima orang menghadapi kematian tanpa mencegahnya?

"Subo, kalau begitu biarlah aku yang akan memberi tahu mereka agar mereka mundur dan tidak melanjutkan perjalanan mereka memasuki daerah ini. Mungkin mereka tidak tahu bahwa daerah ini berbahaya," katanya pula.

Tiba-tiba gurunya tertawa. "Hemm, Hong Li engkau tidak tahu. Apa kau kira mereka itu tidak tahu? Mereka sengaja memasuki daerah kita karena mereka hendak mencari aku."

"Ehh? Jadi subo mengenal mereka? Mau apa mereka mencari subo?"

"Mereka hendak membunuhku."

Sepasang mata Hong Li terbelalak kiranya ada permusuhan di antara lima orang itu dan subo-nya. Pantas subo-nya membiarkan saja mereka menghadapi bahaya. Akan tetapi ia masih merasa penasaran sekali.

"Subo, kenapa mereka hendak membunuh subo? Dan siapakah sesungguhnya mereka itu?"

"Beberapa pekan yang lalu ada seorang teman mereka memasuki daerah ini, mungkin dengan niat yang jahat, dan tewas di pasir maut. Kematiannya itu adalah kesalahannya sendiri, akan tetapi teman-temannya agaknya kini datang hendak menuntut balas atas kematian kawan mereka. Mereka adalah orang-orang dari perkumpulan Cin-sa-pang (Perkumpulan Sungai Cin Sa), orang-orang sombong yang tak tahu diri sehingga berani menantangku." Di dalam suara wanita cantik ini terkandung kemarahan. "Biar mereka tahu rasa sekarang agar tidak memandang rendah kepadaku."

Hong Li memandang lagi dan melihat betapa dengan cekatan lima orang itu sekarang berloncatan dan masuk semakin dalam di antara pohon-pohon.

"Gerakan mereka lincah dan cekatan. Bagaimana jika mereka sampai di rumah subo?"

"Tidak begitu mudah. Tiga orang pelayanku sudah siap menyambut mereka. Lihat!"

Hong Li memandang dan benar saja, dia melihat tiga bayangan orang berlari turun setelah keluar dari dalam rumah mungil. Jaraknya terlalu jauh untuk dapat melihat wajah mereka, akan tetapi melihat baju mereka itu, yang seorang merah, seorang putih dan seorang hitam, ia pun tahu bahwa mereka itu adalah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Baru sekarang ia melihat betapa tiga orang pelayan itu berloncatan dengan amat cepat. Memang dia telah menduga bahwa mereka sebagai pelayan-pelayan subo-nya agaknya pandai pula ilmu silat, akan tetapi tak disangkanya mereka akan dapat bergerak secepat itu.

Dan kini terjadilah tontonan yang memang menegangkan dan mendebarkan hati Hong Li. Dari tempat yang tinggi itu, ia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di sana.

Mula-mula Ang Nio yang lebih dahulu bertemu dengan seorang di antara lima orang penyerbu itu. Tepat di tengah-tengah setelah orang itu mampu naik sampai ke bagian tengah daerah yang penuh pohon-pohon itu, agaknya bingung dan berputar-putar di sekitar tempat itu.

Hong Li tidak tahu apa yang mereka bicarakan, akan tetapi keiihatan betapa laki-laki itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio dengan gerakan yang cepat. Dan ia melihat betapa Ang Nio mengelak dan balas menyerang, tak kalah cepatnya gerakan pelayan itu. Ia melihat betapa dua orang itu berkelahi dengan gerakan-gerakan cepat dan kini laki-laki itu mengeluarkan senjata sebatang golok besar.

Ang Nio lalu juga mengeluarkan sebatang pedang tipis dan perkelahian menjadi makin seru dan menegangkan hati Hong Li. Biar pun ia tidak tahu secara jelas urusannya, akan tetapi mendengar penuturan subo-nya tadi, tentu saja ia berpihak kepada Ang Nio. Dianggapnya bahwa pria yang menyerbu itu memang tak tahu diri, berani melanggar daerah orang lain, bahkan ia pun tadi melihat betapa pria itu yang lebih dulu menyerang Ang Nio.

Perkelahian itu tidak berlangsung lama ketika dari tempat Hong Li menonton, terdengar laki-laki itu berteriak dan tubuhnya lalu roboh. Perkelahian itu berlangsung paling lama hanya tiga puluh jurus dan pedang di tangan Ang Nio telah menembus dada lawannya yang roboh dan tewas. Sementara itu, di bagian lain juga terjadi perkelahian antara Pek Nio melawan salah seorang penyerbu. Juga di sebelah kiri, nampak Hek Nio melayani seorang penyerbu lain.

Hong Li memandang dengan hati berdebar. Agaknya, baik Pek Nio mau pun Hek Nio dapat mengatasi perkelahian itu dan dengan pedang di tangan, mereka mendesak lawan masing-masing yang bersenjata golok. Seperti juga tadi, kurang lebih tiga puluh jurus kemudian, lawan mereka itu roboh oleh pedang mereka.

Dari tempat yang cukup jauh itu Hong Li tidak melihat darah mengalir, akan tetapi dia melihat betapa tiga orang telah roboh dan tewas. Kini tinggal dua orang lagi yang secara kebetulan dapat saling bertemu di bawah sebatang pohon besar. Mereka bicara dan menuding ke sana-sini, ke kanan kiri, agaknya saling menceritakan bahwa mereka berdua menjadi bingung dan tidak tahu jalan mana yang akan dapat membawa mereka ke rumah kecil mungil yang tadi nampak dari kaki gunung.

Tiba-tiba mereka terkejut dan membalikkan tubuh. Tiga orang wanita pelayan itu muncul dari balik pohon dan berada di depan mereka, masing-masing menyeret tubuh seorang lawan yang sudah mati! Tentu saja dua orang laki-laki itu menjadi terkejut setengah mati melihat betapa tiga orang kawan mereka tahu-tahu telah menjadi mayat diseret oleh tiga orang wanita cantik itu.

Agaknya mereka pun tahu bahwa mereka berada dalam keadaan berbahaya sekali. Tiga orang kawan mereka sudah tewas oleh tiga orang wanita ini, dan tentu mereka seperti menyerahkan nyawa saja kalau melawan. Tanpa dikomando lagi, dua orang itu membalikkan tubuh melarikan diri turun gunung.

"Hik-hik!" Hong Li mendengar suara subo-nya terkekeh. "Mereka kira akan dapat lolos begitu saja? Bodoh!"

Hong Li memandang kepada dua orang itu yang melarikan diri cerai berai karena lorong itu sempit dan banyak sekali cabang-cabangnya. Ia yang sudah mempelajari rahasia lorong itu segera tahu bahwa mereka berdua mengambil jalan yang keliru!

Mereka bukan menuju turun gunung, melainkan akan terputar-putar saja melalui tempat-tempat yang amat berbahaya. Tentu mereka berdua itu akhirnya akan terperangkap di tempat berbahaya, tidak mungkin lolos seperti kata-kata subo-nya tadi, pikirnya.

Dugaannya memang tepat karena tak lama kemudian terdengar seorang di antara mereka mengeluarkan teriakan mengerikan, walau pun hanya terdengar lapat-lapat dari tempat Hong Li berdiri itu. Ia cepat memandang dan Hong Li mengerutkan alisnya, jantungnya berdebar tegang penuh kengerian. Kiranya seorang di antara dua laki-laki yang melarikan diri tadi, sekarang salah langkah menginjak padang rumput dan segera tubuhnya tersedot karena di bawah rumput yang hijau subur dan indah itu terdapat lumpur yang dapat menyedot mahluk yang bergerak, dan yang terjatuh ke tempat itu.

Dan walau pun dari tempat dia menonton tidak nampak, Hong Li tahu bahwa tentu nampak di permukaan padang rumput itu ekor-ekor ular yang seperti belut, yang tentu kini sudah mengeroyok orang yang terjatuh ke situ. Teriakan-teriakan itu masih susul-menyusul, kemudian sunyi dan padang rumput itu sudah nampak hijau dan indah kembali. Orang itu sudah tenggelam dan kalau digali, agaknya hanya akan ditemukan tulang rangkanya saja!

Hong Li bergidik. Ia sudah melihat kedahsyatan tempat itu ketika ia mempelajari tempat itu dan rahasianya, diberi petunjuk oleh tiga orang pelayan, dan Ang Nio melempar seekor kelinci ke tempat itu. Ia melihat betapa kelinci itu yang bergerak mencoba untuk lari, disedot semakin dalam dan dia pun melihat pula ekor-ekor ular tersembul ketika mereka memperebutkan kelinci yang disedot ke bawah dan lenyap!

Kini Hong Li yang wajahnya menjadi agak pucat karena merasa ngeri, mengikuti larinya orang ke dua dengan pandang matanya. Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Ia merasa kasihan kepada orang itu dan diam diam ia mengharapkan agar orang terakhir itu akan berhasil menyelamatkan diri turun gunung. Kalau saja saat itu ia berada di bawah dan dekat dengan orang itu, tentu, tanpa ragu-ragu lagi ia akan meneriakkan petunjuk agar orang itu dapat menemukan jalan yang benar dan dapat meninggalkan tempat itu dengan selamat.

Dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan, Hong Li memandang ke arah orang terakhir yang tersaruk-saruk mencari jalan keluar itu. Terdengar pula suara gurunya menahan ketawa. Mau tak mau Hong Li merasa tidak senang dan melirik.

Dilihatnya betapa wajah cantik gurunya itu tampak berseri, matanya penuh kegembiraan mengikuti gerakan orang terakhir itu dan tiba-tiba Hong Li merasa ngeri. Sikap gurunya ini tiada bedanya sikap seekor kucing yang menanti dan melihat seekor tikus yang sudah tersudut! Ia pun kembali menujukan pandang matanya ke bawah.

Orang yang berlari-larian itu kini tubuhnya sudah penuh keringat karena beberapa kali dia menghapus keringat dari muka dan lehernya, memandang ke kanan kiri mencari jalan keluar, lalu lari lagi setelah memilih satu di antara lorong yang bercabang-cabang itu.

"Jangan ke sana...!" Tiba-tiba Hong Li berseru, akan tetapi seruannya tentu saja tidak terdengar orang itu.

Orang itu pun sudah sampai di tempat yang amat berbahaya itu. Tidak lama kemudian, orang itu sudah mengeluarkan suara jeritan yang menyayat hati dan tubuhnya sudah tenggelam sampai ke pinggang di pasir maut! Pasir maut itu adalah sebuah kolam pasir, akan tetapi pasir itu dapat berputar dan menyedot seperti lumpur tadi. Pasirnya licin dan mudah bergerak, sedangkan kolam itu dalam sekali. Sedikit saja orang yang terjatuh ke situ bergerak, maka tubuhnya akan tenggelam semakin dalam!

Hong Li merayap turun melalui tiang-tiang yang menyangga menara itu, tiang-tiang dari bambu yang besar.

"Hong Li, hendak ke mana engkau?" Gurunya menegur heran.

"Subo, aku harus menolong orang itu!" kata Hong Li dan ia merasa amat heran bahwa gurunya diam saja, tidak menghalangi dan juga tidak menegurnya lagi. Ia terus merayap turun dan setelah tiba setengah lebih tinggi menara itu, ia pun berani meloncat turun, kemudian ia lari menuju ke tempat oarang itu tenggelam di pasir maut.

"Diam, jangan bergerak sedikit pun!" Hong Li berseru setelah tiba di tepi kolam. "Aku akan menolongmu, jangan bergerak sedikit pun. Makin engkau bergerak, tubuhmu akan semakin tenggelam!"

Laki-laki itu berusia empat puluh tahun lebih. Setelah dekat, kini Hong Li melihat betapa wajah itu kasar dan buruk, sepasang matanya liar tapi pada saat itu, dia berada dalam keadaan putus asa dan ketakutan. Melihat munculnya seorang gadis cilik yang usianya baru belasan tahun di tepi kolam dan mendengar bahwa gadis itu akan menolongnya, laki-laki itu memandang dengan penuh harapan.

"Tolonglah aku... ahhh, selamatkanlah aku..." Suaranya lirih dan gemetar penuh rasa takut.

Ngeri ia membayangkan kematian di depan matanya, kematian yang amat mengerikan. Ketika tadi dia menginjak pasir, kakinya terjeblos sebatas lutut. Dia lalu berusaha untuk mengangkat kakinya, namun semakin ia berusaha, semakin dalam tubuhnya tenggelam sampai kini dia tenggelam sebatas dada, hanya kedua lengannya saja yang mampu bergerak.

Begitu mendengar peringatan Hong Li, dia pun tidak berani bergerak dan benar saja. Setelah dia tidak bergerak sama sekali, tubuhnya berhenti tenggelam semakin dalam. Akan tetapi, napasnya sesak dan tubuhnya dari dada ke bawah yang tertanam di pasir itu terasa panas bukan main.

"Tenanglah dan jangan bergerak," kata pula Hong Li.

Ia lalu melepaskan ikat pinggangnya yang panjang dan hanya meninggalkan sedikit saja secukupnya untuk mengikatkan celananya dan mempergunakan ikat pinggang itu untuk menyelamatkan orang itu. Ujung ikat pinggang itu kemudian diganduli sebuah batu dan dilemparnya ke arah orang yang tenggelam.

"Tangkap ujung ikat pinggang ini dan jangan bergerak, biar aku yang akan menarikmu keluar! Ingat, jangan bergerak agar tubuhmu tidak tenggelam semakin dalam!"

Orang itu menangkap ujung ikat pinggang, akan tetapi karena dia terlalu bergairah untuk segera dapat keluar, dia menarik ikat pinggang itu dan tubuhnya bergerak maka tubuh itu segera tersedot semakin dalam sampai ke leher!

"Tolol, jangan bergerak kataku!" Hong Li membentak marah.

Mulailah ia mengerahkan tenaganya untuk menarik orang itu keluar dari pasir. Laki-laki itu kini sudah terlampau takut sehingga tidak berani berkutik, bahkan bersuara pun dia tidak berani lagi. Pasir sudah sampai ke dagunya dan turun beberapa sentimeter lagi, tentu mulut dan hidungnya tertutup dan berarti kematian baginya.

Akan tetapi diam-diam hatinya girang dan juga kagum bukan main melihat betapa anak perempuan yang baru belasan tahun usianya itu memiliki kekuatan yang demikian hebat sehingga dia merasa betapa tubuhnya sedikit demi sedikit mulai tertarik keluar!

Dia tadi melibat-libatkan ujung tali itu pada pinggang dan lengannya sehingga biar pun kini kedua lengannya sebagian sudah tenggelam pula, ketika tali itu ditarik, tubuhnya terbetot keluar. Sedikit demi sedikit sampai akhirnya tubuhnya keluar sebatas pinggang!

"Tariklah lagi, nona yang baik, tarik terus...!" Lelaki itu terengah-engah, penuh harapan dan ketegangan. Dan Hong Li menarik terus, keringat membasahi dahi dan lehernya.

"Prattttt...!"

Tiba-tiba ikat pinggang itu putus tengahnya dan tubuh orang yang sudah naik sampai ke pinggul itu tenggelam kembali sampai ke pinggang di mana dia lalu mengeluh panjang pendek dan tidak berani bergerak sama sekali!

"Jangan bergerak, aku akan mencari alat lain untuk menarikmu keluar," kata Hong Li.

Gadis ini lalu menggunakan tenaganya untuk merobohkan sebatang pohon kecil yang panjangnya ada tiga meter. Ia mengguncang-guncang pohon kecil itu sampai akarnya jebol dan akhirnya berhasil menumbangkannya. Setelah membuangi cabang, ranting dan daunnya, ia menggunakan batang pohon yang besarnya hanya sebetis kakinya itu untuk menolong orang itu.

Batang pohon itu cukup panjang dan ujungnya dapat dipegang oleh orang itu dengan kedua tangan. Lalu Hong Li mulai menarik lagi, perlahan-lahan dan akhirnya ia berhasil menarik tubuh orang itu sampai keluar dari kolam pasir.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga