SULING NAGA : JILID-39


"Kalian semua tentulah siluman-siluman dari Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw!" Bi Lan membentak marah. "Siapakah di antara kalian yang tadi melepas ular berbisa?"

Seorang di antara tiga belas orang itu adalah seorang kakek bongkok yang mukanya buruk sekali, seperti monyet karena kecilnya muka itu, hidungnya pesek dan matanya juga sangat kecil. Tubuhnya yang kecil pendek dan bongkok itu dibungkus jubah dan melihat gambar bunga teratai di dadanya, jelas dapat diketahui bahwa dia merupakan seorang pendeta Pek-lian-kauw.

Mendengar pertanyaan Bi Lan, kakek bongkok ini terkekeh dan suara ketawanya juga lucu dan tidak lumrah seperti tubuhnya karena yang kemudian terdengar hanya suara "kek-kek-kek-kek!" seperti leher dicekik dan tubuhnya terguncang-guncang semua.

"Heh-heh-heh!" Suara tercekik-cekik itu disusul kekeh mengejek.

Dia pun menggurat-gurat tanah di depan kakinya dengan ujung tongkatnya. Tongkat itu berwarna hijau dan bentuknya seperti ular, dan memang tongkat itu sebetulnya adalah seekor ular besar yang panjangnya tidak kurang dari lima kaki, warnanya hijau dan anehnya, kadang-kadang ular itu dapat menjadi kaku seperti ketika ekornya digurat-guratkan pada tanah tadi.

"Akulah yang mengirim ular tadi untuk berkenalan denganmu, nona."

"Kakek iblis jahanam!" bentak Bi Lan dan ia pun sudah menerjang ke depan, mengirim pukulan dengan tamparan tangan kanannya ke arah kepala kakek bongkok itu.

Ia menjadi amat marah sebab dengan mengirim ular berbisa tadi, berarti kakek ini ingin membunuhnya secara keji sekali. Maka, kini ia pun langsung saja menyerang dengan tamparan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan karena ia ingat bahwa kakek ini adalah seorang ahli ular berbisa, maka ia pun menggunakan ilmu yang sama kejamnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun)!

Pukulan dengan ilmu ini memang sangat dahsyat. Ilmu ini dipelajari oleh Bi Lan dari nenek Wan Ceng, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka selain amat kuat, juga mengandung hawa beracun yang berbahaya sekali.

Kakek bongkok itu berjuluk Coa-ong Sengjin, berusia enam puluh lima tahun dan dia masih terhitung sute dari Thian Kek Sengjin. Biar pun dalam hal ilmu silat dan ilmu sihir tingkatnya tidak melebihi tingkat Thian Kek Sengjin, akan tetapi kakek ini memiliki suatu kelebihan. Sesuai dengan julukannya, yaitu Coa-ong (Raja Ular), dia adalah seorang pawang ular yang pandai.

Maka, ketika belasan orang ini, atas pemberi tahuan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang terluka parah oleh Sim Houw dan Bi Lan, mengejar dan mendapatkan dua orang itu, Coa-ong Sengjin segera mengirim seekor ular berbisa yang nyaris menggigit Bi Lan. Pada hal, andai kata Sim Houw tidak menariknya sehingga gadis itu terhindar dari gigitan ular, bagi Bi Lan tidaklah terlalu berbahaya jika ia sampai digigit ular berbisa. Ia telah mewarisi ilmu Ban-tok Ciang-hoat, dan ia telah menerima pelajaran tentang racun-racun dari nenek Wan Ceng sehingga gigitan beracun tentu tidak akan mencelakainya.

Melihat betapa gadis itu dapat lolos dari ‘kiriman’ ular, Coa-ong Sengjin maklum bahwa gadis itu dan temannya yang berjuluk Pendekar Suling Naga merupakan dua orang lawan yang tangguh. Apa lagi melihat keadaan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang terluka parah. Maka, kini melihat gadis itu menyerangnya dengan tamparan yang cepat dan kuat, Coa-ong Sengjin juga mengerahkan tenaganya, tangan kirinya menyambut tamparan itu sedangkan tangan kanannya yang memegang tongkat ular hidup itu menggerakkan ularnya yang menyambar ke depan, ke arah leher Bi Lan!

"Dukkk!"

Dua tangan itu bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Coa-ong Sengjin tergetar hebat. Dia terkejut sekali, akan tetapi melanjutkan serangannya dengan ular di tangan kanan.

Melihat ular yang menyambar ke arah lehernya, Bi Lan sama sekali tak merasa gentar. Ia menggerakkan tangan kirinya untuk menangkap leher atau kepala ular supaya dapat dicengkeram hancur. Untungnya kalau memiliki tongkat hidup, ular itu agaknya memiliki indera yang sangat tajam dan dapat mengelak dengan menarik lehernya ke belakang, melengkung dan mulutnya mendesis-desis mengeluarkan uap beracun.

Biar pun tidak takut terhadap uap beracun itu, Bi Lan maklum bahwa setidaknya, kalau kulit terkena semburan uap itu, tentu akan gatal-gatal, maka ia pun cepat meloncat ke belakang. Coa-ong Sengjin tidak berani memandang rendah setelah tadi pertemuan tangan dengan gadis muda itu membuat tubuhnya tergetar dan terhuyung. Tahulah dia bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang amat kuat!

Sementara itu, Sim Houw tidak menghendaki Bi Lan untuk tergesa-gesa menyerang musuh yang banyak jumlahnya. Ia dapat melihat bahwa lima orang berpakaian pendeta yang berdiri di depannya itu bukanlah orang-orang lemah. Dengan sikap tenang dia lalu melangkah maju.

"Cu-wi totiang (para bapak pendeta), ada keperluan apakah cuwi malam-malam datang mengganggu kami yang sedang beristirahat melewatkan malam di kuil tua ini?"

"Siancai!" Seorang tosu yang kelihatannya sudah amat tua renta karena rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua, usianya tentu lebih dari tujuh puluh tahun, sedang memegang sebatang tongkat yang panjang, sama dengan tinggi tubuhnya, mengelus jenggotnya yang putih panjang ketika dia mengeluarkan seruan itu dan dialah yang melangkah maju menghadapi Sim Houw.

Sejenak mereka berdiri saling pandang dan Sim Houw juga mengamati kakek itu penuh perhatian. Seorang kakek yang tua dan nampaknya lemah, namun melihat sikapnya yang berwibawa, pandang matanya yang mencorong, dia pun dapat menduga bahwa tentu kakek yang pada dadanya ada gambar Pat-kwa ini merupakan seorang tokoh dari Pat-kwa-kauw yang bertingkat tinggi.

Dugaan Sim Houw juga tepat karena kakek ini merupakan orang ke dua di perkumpulan Pat-kwa-kauw, menjadi wakil ketua. Nama julukannya adalah Thian Kong Cinjin dan sebagai orang ke dua Pat-kwa-kauw, tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.

"Orang muda, apakah engkau yang berjuluk Pendekar Suling Naga, dan yang dengan semena-mena telah melukai seorang tokoh kami dari Pat-kwa-kauw, dan juga seorang tokoh sahabat kami dari Pek-lian-kauw?"

Agaknya kakek ini memandang rendah kepada Bi Lan, maka dia sama sekali tidak mempedulikan gadis itu, walau pun tadi dia melihat sendiri betapa gadis itu mampu menandingi serangan balasan dari Coa-ong Sengjin.

"Sim-ko, jelas bahwa mereka ini adalah siluman-siluman yang hendak membalaskan kekalahan Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, dua tosu siluman itu!" Bi Lan berseru.

"Benar, totiang," jawab Sim Houw. "Saya bernama Sim Houw dan nona ini adalah Can Bi Lan."

Kakek yang sikapnya halus berwibawa itu mengangguk-angguk. "Benarkah kalian telah melindungi seorang siluman betina dan melukai dua orang rekan kami?"

Sim Houw mengerutkan alis. "Kami berdua membela yang lemah dan benar. Saudara Yo Jin dengan sewenang-wenang ditangkap, bahkan ayahnya dibunuh, karena itu kami membantu tunangannya untuk membebaskannya. Kedua orang totiang Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin bahkan hendak menangkap kami, maka terjadilah perkelahian dan akibatnya mereka berdua terluka. Harap cu-wi totiang memaafkan karena sebenarnya kami sama sekali tidak mencari permusuhan dengan pihak mana pun juga."

"Hemm, enak saja, heh-heh-heh!" kata Coa-ong Sengjin. "Sudah melukai orang sampai menderita luka parah, lalu minta maaf. Kalian tentu orang-orang yang belum lama ini membasmi para pembantu Hou-taijin. Hayo katakan, siapa di antara kalian yang sudah membunuh Kim Hwa Nionio!"

Ditanya demikian oleh si kakek bongkok, Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia tidak merasa heran kalau para tosu Pek-lian-kauw mengenal Kim Hwa Nionio, mungkin ada hubungan baik karena mereka sealiran.

"Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya membantu pembesar durna, maka aku pun membantu para pendekar untuk membersihkan kota raja dari pengaruh mereka. Dalam pertempuran itu, Kim Hwa Nionio memang terbunuh olehku," jawabnya tenang.

Mendengar ini, lima orang tosu itu, dua dari Pat kwa-kauw dan tiga dari Pek-lian-kauw, menjadi amat marah. Bahkan Thian Kong Cinjin yang memimpin rombongan itu nampak marah dan kelembutannya tertutup oleh kemarahan yang membuat mukanya merah dan matanya terbelalak. Patut diketahui bahwa Kim Hwa Nionio di waktu mudanya amat populer di antara para tosu Pek-lian-kauw dan menjadi sahabat baik mereka.

"Hemm, kiranya yang bernama Suling Naga adalah seorang muda yang sombong dan mudah menjatuhkan tangan maut kepada golongan kami. Sim Houw, Pendekar Suling Naga, sekarang kami datang untuk minta nyawamu guna menebus semua rekan kami yang telah terbunuh atau terluka olehmu!"

"Tidak kelirukah jalan pikiran totiang?" Sim Houw berkata dengan sikap masih tenang sekali. "Semua yang aku lakukan itu bukan berdasarkan permusuhan atau kebencian pribadi, melainkan karena aku membela yang benar dan secara tidak kebetulan sekali yang totiang bela itu berdiri di pihak yang sesat. Jika sekarang totiang hendak membela yang salah, bukankah berarti bahwa totiang juga akan mengambil jalan sesat, tidak sesuai dengan kedudukan totiang sebagai seorang pendeta?"

"Siancai...! Engkau sungguh terlalu sombong, orang muda. Pinto memiliki pandangan dan kebenaran pinto sendiri. Nah, rasakan pembalasan kami!" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tongkatnya yang panjang dan angin besar menyambar ke arah Sim Houw.

Pemuda itu terkejut dan cepat melompat ke belakang. Tongkat tidak mengenai dirinya, akan tetapi anginnya membuat pakaian dan rambutnya berkibar-kibar. Dia maklum akan kelihaian lawannya ini, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun cepat menghunus pedang Liong-siauw-kiam yang diputarnya menjadi segulungan sinar yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.

Melihat ini, Bi Lan tidak tinggal diam. Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam dan ia pun turut menerjang maju, yang diterjangnya adalah kakek bongkok yang langsung merasa ngeri sekali melihat pedang di tangan gadis itu.

"Pedang iblis... pedang iblis...!" katanya berkali-kali sambil berloncatan ke sana-sini dan memainkan ular hijau di tangannya untuk mencari peluang memulai serangan.

Tiga orang tosu lainnya sudah mempergunakan senjata mereka masing-masing, yaitu tongkat dan tasbeh untuk mengepung Bi Lan dan Sim Houw. Salah seorang membantu Coa-ong Sengjin dan dua orang membantu Thian Kong Cinjin.

Tingkat kepandaian lima orang itu rata-rata seperti tingkat kepandaian Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, hanya tingkat Thian Kong Cinjin yang paling tinggi. Kakek tua renta ini memang lihai bukan main dan dia merupakan seorang ahli tenaga sinkang yang kuat. Kekuatannya itu masih ditambah dengan kekuatan ilmu hitam sehingga kadang-kadang tongkatnya seperti hidup dan dapat bergerak sendiri!

Menghadapi kakek ini saja Sim Houw harus berhati-hati sekali, apa lagi kakek itu juga dibantu oleh dua orang tosu lain yang lihai pula, maka Sim Houw harus mengeluarkan semua kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya. Untung di tangannya ada suling Liong-siauw-kiam. Kehebatan permainan pedang suling yang bisa mengeluarkan suara bagaikan orang memainkan lagu dengan suling, membuat tiga orang lawannya gentar dan sukar menembus pertahanan Sim Houw.

Di lain pihak, Bi Lan juga sudah mengamuk dengan pedangnya. Sebenarnya, tingkat kepandaian dua orang pengeroyoknya itu masing-masing sudah lebih tinggi sedikit dari pada tingkatnya, akan tetapi berkat keampuhan Ban-tok-kiam, dua orang lawannya juga amat gentar dan berhati-hati sekali menghadapi sambaran sinar pedang yang luar biasa ampuh dan menggiriskan itu.

Thian Kong Cinjin diam-diam merasa kagum akan tetapi juga penasaran sekali. Di situ masih terdapat beberapa orang murid kepala yang merupakan murid-murid terpandai, akan tetapi makin banyak yang mengeroyok akan membuat gerakannya dan kawan-kawannya menjadi kacau dan tidak teratur. Dia pun teringat akan rencana siasatnya sebelum mereka menyerbu.

Melihat kegagahan dua orang muda itu dia pun lalu mengeluarkan suara melengking, yaitu aba-aba rahasia yang hanya dimengerti oleh kawan-kawannya, sesuai dengan siasat yang telah mereka rencanakan. Mendengar aba-aba ini, lima orang tosu itu segera berlompatan mundur dan pada saat itu, tiga buah obor besar tadi tiba-tiba saja dipadamkan! Keadaan menjadi gelap gulita dan diam-diam lima orang tosu yang sudah merencanakan siasat ini, telah membentuk kepungan segi lima! Mereka dapat bergerak di dalam gelap karena memang sudah mereka rencanakan lebih dulu.

Sim Houw dan Bi Lan terkejut bukan main ketika dari keadaan yang terang kini berubah menjadi gelap dan dalam kegelapan itu, tiba-tiba saja ada sambaran-sambaran senjata dari lima penjuru!

Mereka terpaksa memutar pedang dan menangkis hanya mengandalkan pendengaran mereka saja. Akan tetapi karena sambaran senjata-senjata itu datang dengan gencar, dari arah-arah yang tidak terduga sama sekali, maka paha kiri Bi Lan terkena pukulan tongkat, sedangkan punggung Sim Houw juga terkena pukulan tongkat yang cukup keras. Mereka tidak terluka parah namun pukulan-pukulan itu cukup mendatangkan rasa ryeri.

Sim Houw maklum bahwa jika dilanjutkan, dia dan Bi Lan mungkin terluka berat karena ia tahu bahwa lima orang pengeroyok itu telah mengatur siasat untuk bergerak di dalam gelap, gerakan yang sudah diatur semacam barisan. Belum lagi kalau delapan orang yang lain ikut maju mengeroyok!

Ia pun mendapatkan akal. Dengan mengandalkan pendengarannya, ia cepat mendekati dan mengadu punggung dengan Bi Lan, sambil keduanya memutar pedang di depan mereka. Dengan rabaan dan sentuhan lengan kirinya, Sim Houw memberi isyarat dan memegang tangan kiri dara itu sambil berteriak, "Lan-moi, kita bobol kepungan di kiri!"

Sambil berkata demikian, ia menarik gadis itu ke kanan dan bersama gadis itu memutar pedang di arah kanan. Ketika dia berteriak, kelima orang itu tentu saja memusatkan pertahanan di kiri untuk mencegah mereka melarikan diri. Siapa kira, dua orang yang mereka kepung itu malah menyerbu ke kanan, di mana Coa-ong Sengjin berada.

Kakek bongkok ini berusaha memutar tongkat ular hijaunya, tetapi ular itu terpotong menjadi lima potong disambar Ban-tok-kiam dan Liong-siauw-kiam dan ia sendiri cepat melompat mundur kalau tidak ingin terbabat oleh sinar pedang yang berkilauan itu. Sim Houw terus menarik tangan Bi Lan dan keduanya melarikan diri secepatnya setelah berhasil terlepas dari kepungan.

"Kejar mereka!" Thian Kong Cinjin membentak marah.

"Nyalakan obor!"

"Mereka lari ke arah hutan!"

Obor-obor lalu dinyalakan dan tiga belas orang itu melakukan pengejaran. Akan tetapi bayangan dua orang buruan itu telah lenyap. Thian Kong Cinjin tidak kehilangan akal. Dia lalu memecah-mecah rombongannya menjadi tiga. Dia sendiri pergi bersama dua orang, Coa-ong Sengjin bersama empat orang, dan lima orang sisanya menjadi satu bagian. Tiga rombongan ini kemudian melakukan pengejaran dan pencarian dengan cara berpencar, memasuki hutan sambil membawa obor.

Melakukan pengejaran sambil membawa obor merupakan suatu kebodohan. Sim Houw dan Bi Lan yang melarikan diri ke dalam hutan, tentu saja dapat melihat obor mereka dan dua orang ini dapat mengarahkan pelarian mereka menjauhi obor. Bi Lan sedikit terpincang dan Sim Houw juga merasa nyeri pada punggungnya.

Setelah mereka keluar dari dalam hutan, mereka melalui sebuah bukit dan menjelang pagi, keduanya barulah mengaso. Para pengejar tidak nampak lagi. Mereka berhenti di bukit yang berbatu-batu, bersembunyi di antara batu-batu besar untuk beristirahat dan mengumpulkan tenaga sambil mengobati bagian yang memar karena pukulan tongkat.

"Sim-ko, kita belum kalah, tapi mengapa engkau memaksa aku melarikan diri? Kalau dilanjutkan, bukan tidak mungkin kita akan dapat merobohkan dan membunuh seorang dua orang di antara lima ekor monyet itu," Bi Lan yang merasa penasaran mengeluh karena merasa tidak puas. Pahanya terasa nyeri namun dia belum sempat membalas kepada musuh-musuhnya!

"Justru itulah yang tak kukehendaki, Lan-moi. Kalau keadaan terang, aku masih mampu menahan dan memperingatkanmu supaya tidak sembarangan membunuh orang. Akan tetapi setelah gelap, berbahaya sekali bagi kita, juga berbahaya bagi mereka karena jika engkau mengamuk, aku tidak dapat menanggung keselamatan nyawa mereka pula."

"Akan tetapi, Sim-ko. Mereka itu berusaha mati-matian untuk membunuh kita! Kenapa engkau masih tidak setuju kalau kita membunuh mereka? Bukankah mereka itu orang-orang yang jahat?"

"Belum tentu, Lan-moi. Mereka memusuhi Ciong-lihiap suci-mu itu, tentu saja karena mereka masih mengira bahwa suci-mu itu seorang yang jahat dan sesat. Kiranya hanya kita berdua sajalah yang yakin benar bahwa suci-mu kini telah berubah sama sekali, tetapi orang lain belum tentu dapat percaya. Dari pada kesalahan tangan membunuh orang yang tidak berdosa sehingga tertanam benih permusuhan yang tiada kunjung habis, lebih baik kalau kita meloloskan diri."

"Akan tetapi kita melarikan diri! Tentu mereka mentertawakan kita dan menganggap kita pengecut!" Bi Lan membantah dengan penasaran.

"Mereka tidak akan dapat mentertawakan kita, Lan-moi. Mereka sendiri yang telah memperlihatkan sikap pengecut, dengan pengeroyokan dan pemadaman obor."

Bi Lan kemudian teringat akan percakapan mereka tentang cinta sebelum orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu datang menyerbu. Hatinya masih dipenuhi rasa penasaran!

Pria ini boleh jadi mencintanya, seperti yang dikatakan oleh suci-nya. Dan memang, melihat setiap gerak-gerik Sim Houw, caranya melindunginya, pandang matanya, kata-katanya, ia pun percaya bahwa Sim Houw mencintanya. Akan tetapi mengapa dia tidak pernah mengakuinya? Sudah dipancing-pancing dalam percakapan itu, tetap saja Sim Houw pandai mengelak dan mengalihkannya. Tiba-tiba ia memperoleh akal.

"Aduhhhh...!" Ia berteriak dan menggigit bibir, merintih dan kedua tangannya memegang paha kirinya, memijit-mijitnya perlahan, mukanya berkeriput menahan nyeri.

Sim Houw terkejut bukan main dan cepat dia menghampiri. "Kenapa, Lan-moi? Ada apakah dengan kakimu...?" tanyanya penuh was-was.

"Aduhh... Sim-ko, pahaku ini...ahhh, tadi tidak begitu nyeri, akan tetapi sekarang..."

"Sekarang bagaimana, Lan-moi...?" Sim Houw bertanya dan tanpa disadarinya, saking khawatir, dia meraba paha kiri yang dipijit-pijit Bi Lan itu.

"Nyeri sekali... auuhhh, tak tertahankan nyerinya..."

"Lan-moi, biar aku memeriksanya, jangan-jangan ada tulang yang patah atau urat yang terkilir..."

"Ya... cepatlah... aduhhh, pukulan monyet tua bongkok itu keras sekali..."

Sim Houw terpaksa merobek celana di bagian paha kiri dan nampaklah kulit paha yang putih mulus. Dia menggunakan kedua tangannya meraba dan memijit-mijit, memeriksa apakah ada tulang yang patah. Akan tetapi, selain tanda agak biru bekas gebukan, paha itu tidak ada apa-apa, tidak ada tulang yang patah atau urat yang terkilir. Hatinya merasa lega sekali.

"Tidak ada tulang patah dan tidak ada urat terkilir, Lan-moi," katanya.

"Akan tetapi, nyerinya sampai menusuk ke jantung...!" Bi Lan mengaduh.

"Hanya luka memar saja, Lan-moi, akan tetapi mungkin saking kerasnya pukulan, maka menimbulkan rasa nyeri. Biar kuurut sebentar agar jalan darahnya pulih dan luka di bawah kulitnya cepat sembuh."

Mulailah Sim Houw memijit-mijit paha itu. Tadi hatinya gelisah karena mengkhawatirkan gadis itu. Sekarang, setelah dia yakin bahwa paha itu tidak apa-apa, hanya luka memar saja yang biar pun nyeri akan tetapi tidak terlalu berbahaya, barulah dia melihat betapa indahnya paha yang nampak karena kain celananya dirobek itu.

Dia adalah seorang pria yang normal dan sehat. Usianya pun sudah cukup dewasa, bahkan sudah terlalu dewasa. Maka wajarlah kalau gairahnya bangkit ketika dia melihat mulusnya paha Bi Lan, apa lagi kedua tangannya meraba dan memijit bagian tubuh yang nampak indah itu, merasakan kelembutannya, kekenyalannya dan kehangatannya. Mukanya berubah merah, napasnya agak terengah dan sepuluh jari tangannya yang meraba dan memijit itu mulai gemetar.

Bi Lan yang sejak tadi mencurahkan perhatiannya untuk memperhatikan keadaan pria itu, tentu saja dapat mengetahui perubahan ini. Dan diam-diam hatinya merasa gembira sekali dan senyumnya membayang di bibir. Tentu saja paha kirinya terasa nyeri, akan tetapi tidaklah separah yang diperlihatkannya. Melihat keadaan Sim Houw, jantungnya berdebar dan kini pijitan jari-jari tangan Sim Houw itu terasa lain, membuatnya berdebar dan terangsang.

"Ahh, enak sekali, Sim-ko, nyerinya hilang. Terima kasih..."

"Tak perlu berterima kasih, Lan-moi. Dan syukurlah kalau pijitanku menolong," kata Sim Houw yang berusaha keras untuk menekan gejolak perasaannya.

"Sim-ko, aku melanjutkan percakapan kita malam tadi. Apakah sampai sekarang engkau masih belum jatuh cinta kepada seorang wanita? Apakah engkau masih belum berani mengaku cinta kepada wanita lain setelah pengalamanmu yang pahit itu?"

Ditanya begini, kedua tangan Sim Houw semakin gemetar sehingga dia menghentikan pijitannya. Sudah berada di ujung bibirnya untuk mengaku cinta kepada Bi Lan, namun ditahannya.

"Aku... aku..."

Saking bingungnya, tak tahu harus berkata apa, dia kembali menggunakan sepuluh jari tangannya memijati paha yang nyeri itu.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tak tahu malu...!"

Baik Sim Houw mau pun Bi Lan terkejut bukan main. Sim Houw cepat menarik kedua tangannya, sementara Bi Lan segera menutupkan bagian celana yang terbuka di paha, dan keduanya meloncat bangun dan membalikkan tubuh.

Kiranya di situ telah berdiri dua orang laki-laki dan melihat bahwa seorang di antara mereka adalah Gu Hong Beng yang berdiri terbelalak dengan mata berapi dan bertolak pinggang, Bi Lan teringat akan penglihatan tadi dan mukanya menjadi merah sekali.

Terbayang kembali peristiwa beberapa waktu yang lalu. Pernah ia terluka dan Cu Kun Tek mengobati pinggangnya, hampir sama seperti yang dilakukan Sim Houw tadi, hanya bedanya kalau Kun Tek meraba pinggangnya, Sim Houw meraba pahanya. Ketika itu, Hong Beng muncul dan pemuda yang cemburu ini langsung saja menyerang Kun Tek karena menyangka mereka berbuat cabul!

Dan kini, tiba-tiba Hong Beng muncul dan mendengar seruannya tadi yang mengatakan mereka tidak tahu malu dia pun tahu bahwa kembali Hong Beng cemburu dan salah sangka! Maka, ia pun menjadi marah. Dengan muka merah dan mata berapi-api, ia pun melangkah maju.

"Gu Hong Beng, engkaulah laki-laki yang tak tahu malu!" ia membentak dengan marah sekali. "Selalu mencampuri urusan orang dan menjatuhkan fitnah, menuduh orang yang bukan-bukan karena cemburu. Sungguh tak tahu malu, cinta tidak dibalas lalu berubah menjadi cemburu gila!"

Wajah Hong Beng menjadi merah, bukan hanya karena marah akan tetapi juga karena malu. Ucapan itu memang tepat bukan main, seperti ujung pedang yang menusuk dan menembus jantungnya. Karena tepat itulah maka mendatangkan rasa nyeri yang lebih hebat lagi.

Memang ia cemburu, ia iri terhadap Sim Houw. Kenapa Bi Lan demikian akrab dengan Sim Houw? Mungkinkah dara itu, yang menolak cintanya, kini jatuh cinta kepada Sim Houw? Aneh, pikirnya. Dalam segala hal, kecuali barangkali dalam hal ilmu silat, dia tidak kalah oleh Sim Houw. Dia lebih muda, sebaya dengan Bi Lan, juga cukup tampan! Sim Houw terlalu tua untuk Bi Lan. Hal ini membuat dia menjadi semakin penasaran.

Akan tetapi sebelum dia sempat menjawab lagi. Sim Houw yang sudah mengenal Hong Beng sebagai seorang di antara para pendekar muda yang gagah perkasa, bahkan dia mendengar bahwa pemuda ini adalah murid dari keluarga Pulau Es, cepat melangkah maju dan memberi hormat kepada Hong Beng dan pria yang usianya kurang dari empat puluh tahun dan nampak pendiam dan serius itu.

"Saudara Gu Hong Beng, harap jangan salah sangka terhadap nona Can Bi Lan. Kami semalam berkelahi melawan musuh-musuh yang lihai dan nona Can terkena pukulan pada paha kirinya. Kami beristirahat di sini dan aku hanya berusaha menghilangkan rasa yeri yang dideritanya karena luka memar di pahanya."

"Aku tidak mempersoalkan itu!" Gu Hong Beng juga membentak dengan suara tetap ketus. "Akan tetapi kalian sungguh tidak tahu malu telah mengambil jalan sesat dan membantu, juga melindungi iblis betina Bi-kwi murid Sam Kwi! Sekarang kami datang untuk minta supaya kalian memberi tahu kepada kami di mana tempat persembunyian Bi-kwi agar kami dapat membasminya!"

Bi Lan amat marah mendengar ini. "Hong Beng, tutup mulutmu yang kotor! Kami berdua memang membela dan melindungi suci Ciong Siu Kwi dari gangguan orang-orang jahat. Dan suci sekarang telah menjadi seorang wanita yang baik-baik, jangan kau memakinya sebagai iblis betina."

"Hemmm, bohong besar Bi Lan, aku tidak menyangka bahwa engkau sekarang telah berbalik pikir dan mencontoh kehidupan suci-mu yang bejat akhlaknya itu. Siapa sudi percaya kebohonganmu bahwa orang macam Bi-kwi dapat berubah menjadi wanita baik-baik? Dan buktinya pun tidak begitu. Baru-baru ini dia bahkan membantu orang-orang jahat untuk memusuhi suhu-ku ini." Berkata demikian, Hong Beng menunjuk pada laki-laki berusia tiga puluh delapan tahun itu yang sejak tadi memandang tajam tanpa mengeluarkan sebuah kata pun.

"Ahhh...!" Sim Houw dan Bi Lan berseru kaget.

Kiranya pria yang datang bersama Gu Hong Beng ini adalah guru pemuda itu, berarti bahwa pria ini adalah pendekar Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es! Sim Houw memandang penuh perhatian dan merasa terkejut sekali. Para pembaca tentu akan terheran pula bagaimana Suma Ciang Bun dapat muncul bersama Gu Hong Beng di tempat itu.

Seperti telah kita ketahui, Suma Ciang Bun yang sedang bersemedhi diganggu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin yang minta bantuan Ciong Siu Kwi. Wanita ini terpaksa memenuhi permintaan mereka untuk menyelamatkan Yo Jin yang dijadikan tawanan dan semacam sandera untuk memeras Siu Kwi. Dan dalam perkelahian dikeroyok tiga ini, terpaksa Suma Ciang Bun melarikan diri dengan membawa luka.

Belum jauh ia melarikan diri, ia terpaksa beristirahat dan berusaha mengobati lukanya. Dalam keadaan demikianlah dia bertemu dengan Hong Beng, muridnya yang memang sedang mencarinya. Melihat gurunya terluka, Hong Beng lalu membantu suhu-nya untuk mengobati luka itu dan bertanya bagaimana suhu-nya sampai menderita luka.

Ditanya oleh muridnya, Suma Ciang Bun menarik napas panjang. "Dua orang tosu dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw menyerangku. Memang kedua perkumpulan itu selalu memusuhi keluarga Pulau Es. Aku herhasil mengalahkan dan mengusir mereka berdua. Akan tetapi, beberapa hari kemudian mereka datang lagi, kali ini dibantu oleh seorang wanita cantik yang masih muda dan lihai sekali. Dan sekali ini, pengeroyokan mereka bertiga membuat aku terluka dan terpaksa melarikan diri."

Hong Beng marah sekali. "Hemm, siapakah wanita itu, suhu? Seperti bagaimana rupa dan macamnya?"

Pada waktu Suma Ciang Bun menggambarkan keadaan Siu Kwi, Hong Beng menepuk pahanya.

"Ahh, tidak salah lagi! Tentu iblis wanita itu yang membantu para tosu Pek-lian-kauw!"

"Kau kenal wanita itu?"

"Ia tentu Bi-kwi, murid Sam Kwi. Ia memang jahat bukan main, suhu, keji dan sangat pantas untuk dibasmi dari permukaan bumi!" Hong Beng kemudian menceritakan semua pengalamannya sejak dia meninggalkan suhu-nya.

Girang hati Suma Ciang Bun mendengar bahwa muridnya telah melakukan banyak hal gagah, bahkan muridnya juga telah bertemu dan bekerja sama dengan para pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir.

Dengan perawatan Hong Beng, Suma Ciang Bun cepat sembuh kembali dari semua luka-lukanya. Pada suatu hari, Gu Hong Beng meninggalkan gurunya di dalam goa di bukit yang berbatu-batu itu untuk mencari makanan bagi suhu-nya. Ketika dia sedang berjalan seorang diri di tempat sunyi itu, menuju ke sebuah dusun, di sebuah tikungan tiba-tiba dia melihat dua orang kakek yang berpakaian seperti tosu sedang duduk mengaso di tepi jalan. Agaknya dua orang kakek itu kelelahan, atau sedang sakit.

Hong Beng yang menaruh curiga karena teringat akan cerita gurunya yang diganggu oleh tosu tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, cepat menghampiri dua orang kakek itu. Mereka memakai pakaian pendeta, akan tetapi bagian luarnya memakai jubah yang tebal karena hawa memang dingin dan agaknya mereka menderita luka. Ketika melihat mereka tidak seperti orang jahat, Hong Beng kemudian menjura dengan penuh hormat. "Kenapakah ji-wi totiang berada di sini dan kelihatannya seperti sedang menderita? Siapakah ji-wi totiang?"

Melihat seorang pemuda yang gagah dan bersikap sopan, dua orang tosu itu sejenak memandang penuh perhatian. Seorang di antara mereka yang tinggi besar dan berperut gendut, segera berkata, "Siancai, siancai... terima kasih atas perhatianmu, orang muda yang baik. Penglihatanmu tajam sekali, karena kami memang sedang sakit, menderita luka-luka dalam yang cukup berat."

Hong Beng terkejut. "Ahh? Apakah ji-wi totiang baru saja berkelahi dengan orang lain?"

Kakek yang kurus kering mengangguk-angguk. "Memang penglihatanmu tajam sekali, dan tentu engkau seorang yang gagah perkasa, orang muda. Sebelum kita bicara lebih jauh, bolehkah pinto mengetahui siapa namamu dan dari perguruan manakah?"

Melihat sikap dua orang tosu itu seperti bukan orang jahat, dan memang kebanyakan pendeta dan pertapa tentulah orang-orang yang baik, maka dia pun mengaku terus terang. "Saya bernama Gu Hong Beng, guru saya adalah pendekar Suma Ciang Bun..."

"Aihhh!" Si kakek gendut berseru. "Pendekar Suma dari Pulau Es?"

Hong Beng tersenyum, agak bangga. "Memang suhu adalah keturunan keluarga Pulau Es dan siapakah ji-wi totiang?"

Sebelum kakek gendut menjawab, kakek kurus sudah mendahului. "Kami adalah dua orang pertapa yang sudah lama mengasingkan diri dan kadang-kadang saja melakukan perjalanan ke gunung-gunung dan dusun-dusun. Pinto Pek-san Lojin dan ini adalah sute Hek-san Lojin. Dalam perjalanan kami, di satu dusun di balik bukit ini, kami mendengar bahwa ada seorang siluman betina yang membikin kacau dusun dengan menculik dan membunuh pemuda-pemuda tampan. Sebagai orang yang selalu menentang kejahatan, kami berdua lalu melakukan penelitian dan mendapat kenyataan bahwa siluman betina itu adalah Bi-kwi, murid dari mendiang Sam Kwi..."

"Ahh, aku tahu siluman itu!" Hong Beng berseru. "Apakah ji-wi kalah olehnya sehingga terluka?"

"Sayang sekali, sebenarnya kami berdua dapat menundukkan siluman itu. Akan tetapi muncul dua orang yang membantunya sehingga kami terluka. Pembantunya itu bukan lain adalah seorang pemuda bernama Sim Houw, dan pacarnya bernama Can Bi Lan sumoi dari siluman betina itu..."

"Ahhhh...! Pacarnya...?" Hong Beng menegaskan dengan hati panas. Panas karena Bi Lan dan Sim Houw membantu Bi-kwi, juga panas karena mendengar bahwa Bi Lan menjadi pacar Sim Houw.

"Ya, pacarnya. Mereka demikian akrab, dan mereka lihai sekali. Kami kalah dan terluka. Ahhh, kalau taihiap adalah murid dari keluarga Pulau Es, kami harap taihiap akan suka menghadapi mereka, untuk menyelamatkan para pemuda di dusun-dusun wilayah ini."

"Jangan khawatir, ji-wi totiang, saya dan suhu pasti akan dapat membasmi siluman itu dan kaki tangannya!"

Setelah kembali ke tempat di mana gurunya beristirahat, Hong Beng kemudian bercerita tentang dua orang pertapa itu. Mendengar ini, Suma Ciang Bun menjadi marah sekali. "Hemmm, mula-mula ia membantu para tokoh Pek-lian-kauw dan kini bahkan menculik pemuda-pemuda dusun. Hong Beng, mari kita pergi mencari mereka!"

"Akan tetapi suhu baru saja sembuh..."

"Aku sudah sembuh sama sekali. Mereka itu lihai, kalau engkau yang maju sendiri, aku khawatir engkau akan celaka. Kalau kita maju berdua, tentu mereka akan dapat kita basmi."

Demikianlah, guru dan murid itu meninggalkan goa dan mulai dengan usaha mereka untuk mencari Siu Kwi, Bi Lan dan Sim Houw. Dan pada pagi hari itu, kebetulan sekali mereka melihat Bi Lan dan Sim Houw dan melihat betapa Sim Houw memijit-mijit paha kiri Bi Lan, tentu saja cemburu, iri hati dan kemarahan membuat Hong Beng tak dapat menahan diri dan segera maju menegur dengan sikap marah.

Mendengar tuduhan Hong Beng terhadap Siu Kwi tadi, Bi Lan segera mengambil sikap membela suci-nya.

"Ia juga menceritakan hal itu kepadaku!" bantahnya. "Memang benar ia telah membantu tosu Pat-kwa-kauw dan Pek-lian-kauw untuk memusuhi Suma-locianpwe, akan tetapi ia melakukannya dengan sangat terpaksa karena pemuda tunangannya ditawan oleh para tosu itu."

Mendengar mereka berbantahan, Suma Ciang Bun segera melangkah maju. "Sudahlah, tidak perlu berbantahan. Yang penting, harap kalian suka memberi tahu di mana adanya siluman betina itu karena kami ingin membunuhnya."

Bi Lan marah sekali, juga Sim Houw mengerutkan alisnya. Sikap pendekar keturunan keluarga Pulau Es ini sungguh tidak menyenangkan, dan terlalu terburu nafsu hendak membunuh orang. Tak dapat diajak berunding dengan baik-baik, dan sikap itu agaknya didorong oleh ketinggian hati yang tidak memandang kepada orang lain.

"Suci Ciong Siu Kwi tidak bersalah dan kami tidak tahu ia berada di mana. Andai kata kami tahu sekali pun, tidak akan kami beri tahukan kepada orang-orang yang berniat untuk mengganggunya!" kata Bi Lan dengan suara ketus.

Hong Beng meloncat ke depan. "Bi Lan!" katanya, suaranya kereng. "Antara kita sudah terjalin persahabatan semenjak lama sekali, dan kita sama mengenal masing-masing sebagai pendekar yang selalu membela kebenaran dan keadilan, menentang kelaliman dan kejahatan. Apakah engkau lupa akan hal itu? Ketika kita semua menyerbu para pembantu pembesar lalim Hou Seng, engkau sudah melepaskan Bi-kwi dan kukira hal itu hanya karena engkau mengingat hubungan perguruan dan menaruh hati kasihan kepadanya. Akan tetapi siapa tahu, kini agaknya engkau malah tersesat dan hendak mengikuti jejaknya! Engkau melindungi seorang iblis betina, walau pun iblis itu pernah menjadi suci-mu. Ingatlah Bi Lan, dan sadarlah sebelum terlambat." Ia lalu memandang kepada Sim Houw. "Sim-taihiap selama ini kuanggap sebagai Pendekar Suling Naga yang terkenal. Kenapa setelah dekat dengan Bi Lan, tidak mau membimbing gadis ini ke arah jalan yang benar?"

"Hong Beng, tutup mulutmu! Engkau tidak berlak mengurus kehidupanku! Aku yakin akan kebenaran suci-ku yang ingin menjadi orang baik, dan kalau engkau tidak setuju, terserah. Tidak perlu memberi kuliah kosong kepadaku!" Bi Lan kini juga sudah marah sekali.

"Bi Lan, engkau tahu bahwa aku sayang kepadamu. Akan tetapi kalau engkau berpihak kepada iblis betina Bi-kwi, terpaksa aku menganggapmu sebagai orang yang akan menyeleweng dan patut dihajar."

"Keparat, majulah! Siapa takut kepadamu?" Bi Lan juga membentak marah.

Hong Beng maju dan mengirim tamparan yang dielakkan oleh Bi Lan dan gadis ini pun membalas dengan tendangan kilat yang dapat pula dielakkan oleh Hong Beng. Mereka segera terlibat dalam suatu perkelahian sengit, karena keduaya sudah menjadi panas hati dan marah sekali.

Cemburu memang merupakan suatu penyakit yang amat berbahaya. Anggapan bahwa cinta harus dihiasi cemburu adalah anggapan yang menyesatkan. Cemburu timbul dari pementingan diri pribadi, cemburu adalah iri hati karena keinginannya untuk menguasai sesuatu atau seseorang secara mutlak, terganggu. Cemburu mendatangkan kemarahan dan bahkan kebencian, menimbulkan permusuhan.

Cinta kasih adalah sesuatu yang suci murni, dan hanya dengan peniadaan kepentingan diri pribadi maka cinta kasih dapat bersinar. Cemburu adalah kembangnya nafsu, bukan kembangnya cinta

.

Hong Beng tadi menganggap bahwa dia mencinta Bi Lan. Akan tetapi karena Bi Lan menolak cintanya, datanglah cemburu dan dia merasa iri hati terhadap setiap orang pria yang akrab dengan gadis yang pernah membuatnya tergila-gila itu. Dan dari kenyataan ini saja mudah dinilai bahwa cintanya terhadap Bi Lan adalah cinta nafsu, cinta karena tertarik oleh kecantikan dan pribadi gadis itu.

Cintanya mudah berubah menjadi cemburu dan kebencian sehingga kini tanpa ragu-ragu lagi dia mengerahkan tenaga dan kepandaian untuk berkelahi dengan gadis yang katanya pernah dia cinta itu! Berkelahi mati-matian berarti berusaha untuk mencelakai, melukai atau bahkan membunuh!

Mungkinkah cinta kasih yang suci berubah menjadi nafsu ingin membunuh? Kalau cinta nafsu memang mungkin, karena antara cinta birahi dan nafsu membunuh terdapat satu pertalian yang kuat, yaitu keduanya timbul dari pementingan diri sendiri, merupakan nafsu yang selalu menguasai batin manusia.

Melihat betapa gadis itu dapat bergerak dengan lincah, Hong Beng lalu mengeluarkan tenaga sakti yang dilatihnya dengan tekun, yaitu tenaga Hwi-yang Sinkang dari keluarga Pulau Es.

"Dukkk!"

Bi Lan menahan seruannya pada waktu tangannya bertemu dengan tangan Hong Beng karena dari tangan pemuda itu keluar hawa panas yang luar biasa sekali, bagaikan hendak membakar tangannya. Marahlah gadis ini. Dia maklum betapa lihainya murid keluarga Pulau Es ini, maka ia pun cepat meraba gagang pedangnya.

"Singgg...!"

Nampak sinar berkilauan ketika Ban-tok-kiam dicabut. Melihat ini, Suma Ciang Bun terkejut bukan main. Dia jarang melihat pedang Ban-tok-kiam milik nenek Wan Ceng sehingga dia tidak mengenal pedang itu. Akan tetapi dia tahu benar bahwa pedang di tangan gadis itu tentulah sebatang pedang pusaka yang luar biasa ampuh, maka dia mengeluarkan seruan kaget. Juga Hong Beng terkejut. Tentu saja dia mengenal pedang ini dan maklum betapa ampuhnya Ban-tok-kiam, maka dia pun melompat ke belakang.

"Bi Lan, engkau mempergunakan pusaka itu apakah benar-benar hendak membunuh aku?"

Bi Lan tersenyum mengejek. "Hong Beng, kalau engkau menyerangku dengan pukulan-pukulan ampuhmu itu, apakah bukan untuk membunuhku melainkan untuk menari-nari bersamaku?"

Mendengar ejekan ini, Hong Beng maju lagi. "Baik, kalau engkau hendak membunuhku, aku pun tidak takut mati!" Dan dia pun menyerang lagi, akan tetapi terpaksa meloncat ke samping ketika di sambut tusukan pedang yang mengeluarkan sinar yang menggiriskan.

"Gadis kejam menggunakan senjata yang keji!" Tiba-tiba Suma Ciang Bun meloncat ke depan. "Biarkan aku menghadapinya, Hong Beng!"

Akan tetapi, Sim Houw telah menghadang ke depan pendekar itu. "Locianpwe, maafkan saya. Biarkan mereka menyelesaikan urusan mereka dan harap locianpwe tidak turun tangan mencampuri."

Suma Ciang Bun kini menatap wajah Sim Houw. "Sudah pernah aku mendengar berita tentang munculnya pendekar muda yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Kalau engkau membela siluman betina, biarlah aku mencoba kelihaianmu." Berkata demikian, Suma Ciang Bun sudah maju menampar.

Tamparannya mendatangkan angin yang amat kuat. Sim Houw cepat mengelak dan dia pun maklum bahwa pendekar itu memiliki tenaga sakti dari keluarga Pulau Es yang amat berbahaya, maka dia pun kemudian mengeluarkan Liong-siauw-kiam, yaitu suling pedangnya yang ampuh. Melihat senjata itu, Suma Ciang Bun memandang kagum.

"Itukah Liong-siauw-kiam yang terkenal itu? Bagus, hendak kucoba keampuhannya!" Dan dia pun mencabut keluar sepasang pedangnya.

Siang-kiam (sepasang pedang) itu indah sekali, ketika dicabut mengeluarkan sinar putih dan gagangnya dihias ronce-ronce biru dan ketika digerakkan, maka sepasang pedang itu saling berpapasan dan mengeluarkan suara berdencing dan muncratlah bunga api. Ia telah memainkan Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang amat hebat dari Pulau Es.

Sim Houw tentu saja maklum akan kelihaian lawan dan dia pun memutar senjatanya yang istimewa. Akan tetapi, pendekar ini tidak berniat untuk mencelakai lawan. Dia tahu benar bahwa Suma Ciang Bun adalah keturunan keluarga Pulau Es, seorang pendekar tulen dan kalau sekarang berkelahi dengannya, tidak lain hanya karena salah paham gara-gara Siu Kwi.

Tentu saja pendekar ini bersama muridnya mengenal Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi karena sejak dahulu memang Siu Kwi dimusuhi para pendekar dan bahkan sudah beberapa kali bentrok dengan Hong Beng. Tentu saja Hong Beng dan guru nya sama sekali tidak tahu, bahkan tidak akan mau percaya bahwa Ciong Siu Kwi kini sudah bukan Bi-kwi lagi, bukan Setan Cantik, bukan manusia iblis yang jahat, melainkan seorang wanita yang jatuh cinta dan yang sedang berusaha untuk merubah jalan hidupnya, ingin menjadi seorang isteri yang baik dan setia, ingin menjadi seorang ibu yang baik dan bijaksana!

Sim Houw tidak mungkin dapat memusuhi seorang pendekar seperti Suma Ciang Bun dan Hong Beng. Kalau kini dia terpaksa maju, hanyalah karena dia tidak ingin pendekar itu melawan Bi Lan.

Suma Ciang Bun adalah seorang pendekar yang berpengalaman dan berilmu tinggi. Tentu saja gerakan-gerakan Sim Houw yang tidak sungguh-sungguh itu segera dapat diketahuinya. Dia pun mulai meragu, apakah Pendekar Suling Naga ini pantas menjadi musuhnya! Jangan-jangan pendekar ini dan gadis itu membela siluman betina itu oleh karena memang ada dasarnya yang kuat! Dia pun meragu dan tidak sungguh-sungguh pula mendesak dengan siang-kiamnya, karena tentu saja dia segan untuk mendesak lawan yang tidak bersungguh-sungguh menyerangnya.

Berbeda dengan perkelahian yang terjadi antara Bi Lan dan Hong Beng. Dua orang muda itu agaknya sudah dikuasai oleh kemarahan dan keduanya berkelahi dengan mati-matian! Akan tetapi, Hong Beng terdesak hebat karena pemuda ini jeri menghadapi Ban-tok-kiam. Dia banyak mengelak dan hanya kadang-kadang saja membalas dengan pukulan jarak jauh, mengandalkan sinkang yang hebat dari keluarga Pulau Es yang sudah dikuasainya.

Dan agaknya Bi Lan juga merasa betapa dia telah mendapatkan kemenangan karena pedangnya, maka pedangnya itu hanya dipergunakan untuk mengancam saja, dengan kelebatan sinarnya yang bergulung-gulung. Dara ini sendiri lebih condong menyerang dengan tamparan tangan kiri atau tendangan kakinya. Agaknya ia ingin menang melalui serangan kaki atau tangannya, bukan dengan pedangnya.

Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dari jauh, suara desis yang makin lama makin keras dan terciumlah bau amis binatang buas! Semua orang yang sedang berkelahi itu cepat meloncat untuk menghentikan perkelahian sementara.

Nampak oleh mereka seorang laki-laki kecil kurus bongkok sedang mengeluarkan suara mendesis tinggi sambil kedua tangannya diacung-acungkan ke atas dan di depannya merayap ratusan ekor ular besar kecil bagai sekumpulan bebek yang sedang digembala oleh orang kurus bongkok itu.

Ratusan ekor ular itu mengeluarkan suara mendesis-desis dan binatang-binatang inilah yang mengeluarkan bau amis.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga