SULING NAGA : JILID-40
Melihat kakek bongkok itu, tahulah Sim Houw dan Bi Lan bahwa dia adalah Coa-ong Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang semalam telah mengeroyok mereka. Terkejutlah Sim Houw.
"Lan-moi, mari kita pergi!" katanya dan dia pun menangkap tangan Bi Lan dan meloncat jauh lalu mengajak gadis itu berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu.
"Hendak lari ke mana kau?" bentak Hong Beng yang hendak mengejar, tetapi suhu-nya cepat berseru. "Hong Beng, jangan kejar!"
Hong Beng tidak melanjutkan pengejarannya dan menghampiri suhu-nya yang masih memandang ke arah kakek bongkok yang menggiring ratusan ular itu. Kini ular-ular itu seperti binatang-binatang sirkus terlatih saja, mengepung tempat itu bagaikan barisan mengepung musuh.
Melihat betapa penggembala ular itu memakai tanda anggota Pek-lian-kauw di dadanya, diam-diam Suma Ciang Bun menjadi marah. Jelaslah bahwa dua orang muda-mudi tadi sunguh-sungguh sudah bersekongkol dengan siluman betina yang menjadi sahabat dari orang-orang Pek-lian-kauw, pikirnya. Dia pernah dikeroyok tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw bersama siluman betina bernama Bi-kwi itu, dan dua orang muda tadi membela Bi-kwi. Kini terbukti bahwa kakek Pek-lian-kauw dan ular-ularnya ini datang untuk membantu Sim Houw dan Bi Lan, dan mengepung dia dan muridnya.
Tiba-tiba Suma Ciang Bun mengeluarkan bunyi melengking tinggi sekali, suara yang keluar dari mulutnya seperti bukan suara orang, seperti suara suling melengking. Hong Beng yang dahulu pernah mendengar dari suhu-nya bahwa suhu-nya juga mempunyai ilmu pawang ular, yaitu ilmu untuk menguasai ular-ular yang pernah dipelajari dari ibu suhu-nya, memandang dengan hati tegang dan penuh perhatian. Dia sendiri tak pernah mempelajari ilmu itu, tapi dia tidak gentar menghadapi pengepungan ular-ular itu walau pun merasa jijik.
Dia melihat betapa sekarang semua ular yang berada di situ mengangkat kepala seperti sedang mendengarkan suara melengking itu dan menghadap ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar itu menggerak-gerakkan dua tangannya yang diangkat ke atas dan lengannya membentuk ular yang mematuk-matuk, hampir sama dengan gerakan Coa-ong Sengjin yang menggembala ular-ular itu. Dan sekarang ular-ular itu berhenti mendesis-desis dan nampak gelisah, bahkan sudah ada yang merayap pergi ketakutan!
Coa-ong Sengjin terkejut bukan main melihat betapa ular-ularnya dapat dikuasai orang lain. Ia pun cepat mengeluarkan suara mendesis tinggi dan menggerak-gerakkan kedua lengannya yang juga membentuk tubuh ular yang mengangkat kepala, dengan tangan menjadi kepala ular. Ia mengerahkan seluruh ilmu pawangnya untuk menguasai kembali ular-ularnya.
Namun, Suma Ciang Bun juga terus mengeluarkan suara melengking dan menggerak-gerakkan kedua lengannya. Ular-ular itu menjadi panik dan bingung sekali, tidak tahu harus mentaati perintah yang mana di antara keduanya itu karena keduanya memiliki daya tekan yang sama kuatnya. Karena panik, ular-ular itu berlari simpang-siur, saling bertabrakan dan kemudian menjadi ganas dan saling gigit!
"Hoo-hoo, anak-anak bodoh... dengarkan aku, majulah... maju dan serang musuhku...!" Coa-ong Sengjin berteriak-teriak marah.
Tetapi karena ia berteriak-teriak, dengan sendirinya desisnya terhenti dan pengaruhnya atas ular-ular itu pun buyar sehingga pengaruh lengkingan Suma Ciang Bun menjadi kuat sekali, membuat ular-ular itu mentaati dan segera mereka merayap dan lari cerai berai meninggalkan tempat itu seperti sekelompok anjing yang disiram air atau diancam gebukan!
Coa-ong Sengjin menjadi marah bukan main. Dengan sepasang mata berubah merah, dia lalu meloncat ke depan, menangkap seekor ular yang besar dan panjang, dan ular itu segera menjadi jinak di tangannya. Dengan senjata baru berupa ular yang ternyata adalah seekor ular senduk yang sangat berbisa itu, dia melangkah maju menghampiri Suma Ciang Bun.
"Setan, siapakah engkau?" bentaknya.
Coa-ong Sengjin tentu saja tak tahu akan tipu muslihat dan akal busuk yang digunakan oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin untuk mengadu domba antara Sim Houw dan Bi Lan dengan pendekar keluarga Pulau Es ini bersama muridnya. Dia bersama teman-temannya tengah mencari-cari kedua orang muda itu setelah rombongannya yang terdiri dari tiga belas orang dipecah menjadi tiga rombongan kecil oleh Thian Kong Cinjin.
Ketika tadi dia melihat dua orang muda itu sedang berkelahi melawan dua orang lain dia cepat memanggil ular-ular itu untuk mengepung supaya dia dapat segera turun tangan merobohkan Sim Houw dan Bi Lan. Akan tetapi, ternyata dua orang muda itu sudah lebih dahulu melarikan diri dan sekarang ular-ularnya malah dibikin kacau oleh laki-laki tampan yang pakaiannya indah ini!
Suma Ciang Bun memang sudah mengenal Coa-ong Sengjin sebagai seorang tokoh Pek-lian-kauw dari lukisan teratai putih di jubah kakek itu, maka dia pun terus terang menjawab dengan tenang. "Tosu Pek-lian-kauw, aku bernama Suma Ciang Bun dan ini muridku Gu Hong Beng."
"She Suma...? Keluarga Pulau Es...?" Coa-ong Sengjin membentak dan empat orang temannya juga terkejut mendengar nama keluarga itu.
Suma Ciang Bun mengangguk sambil menahan senyumnya.
"Celaka, kiranya keparat dari keluarga Pulau Es! Bunuh dia dan muridnya!"
Dan dia pun sudah menggerakkan tangannya dan ular cobra itu sudah dilemparkannya ke arah Suma Ciang Bun. Pendekar ini dengan tenang mengulur tangan menangkap ular itu yang segera menjadi jinak pula, kemudian dia melemparkan ular itu kembali ke arah lawan!
Coa-ong Sengjin menerima ularnya kembali, tetapi ular itu segera dibantingnya karena dianggap tiada gunanya dipakai menyerang seorang yang memiliki ilmu pawang ular seperti lawannya. Dengan menggereng keras dia lalu mengeluarkan sebatang rantai dari pinggangnya, dan meluncurlah rantai itu menghantam ke arah Suma Ciang Bun. Kiranya kakek bongkok ini memang ahli mempergunakan senjata rantai dan tidak aneh kalau dia suka mempergunakan ular sebagai senjata, pengganti rantainya.
Suma Ciang Bun menyambut dengan sepasang pedangnya yang sudah disimpannya tadi. Dua gulungan sinar putih berkelebat dan bergulung-gulung ketika dia menghadapi serangan rantai lawannya. Empat orang teman Coa-ong Sengjin yang terdiri dari tiga orang anggota Pek-lian-kauw dan seorang anggota Pat-kwa-kauw maju mengeroyok pula. Hong Beng tidak tinggal diam, cepat ia maju menghadapi dan membantu gurunya.
Kembali di tempat itu terjadi perkelahian yang lebih sengit dari pada tadi. Akan tetapi sekali ini, guru dan murid itulah yang menjadi pemenang dengan mendesak lima orang lawannya. Empat orang pembantu Coa-ong Sengjin itu adalah murid-murid kepala, maka rata-rata mereka sudah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Tetapi, menghadapi Hong Beng dan gurunya, mereka repot sekali. Belum sampai tiga puluh jurus, dua orang murid kepala roboh, seorang terkena tamparan Hong Beng dan yang kedua terserempet pedang di tangan Suma Ciang Bun. Melihat kejadian ini, tiga orang tosu lainnya cepat menyambar tubuh kawan yang roboh dan melarikan diri.
Kembali Suma Ciang Bun melarang muridnya untuk melakukan pengejaran. "Tak perlu mengejar musuh yang melarikan diri," katanya. "Kecali kalau musuh lari membawa pergi sesuatu."
Hong Beng menarik napas panjang. Kemarahannya yang timbul karena cemburu tadi masih belum lenyap dan dia merasa hatinya mengkal dan tidak enak sekali. "Sayang sekali tosu-tosu bedebah itu datang mengganggu, suhu, sehingga Sim Houw dan Bi Lan dapat melarikan diri."
Suma Ciang Bun tersenyum dan memandang wajah muridnya dengan tajam, kemudian tiba-tiba dia bertanya, "Hong Beng, apakah engkau mencinta gadis itu?"
"Gadis... gadis mana... apa maksud suhu?" Hong Beng terkejut mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu dan biar pun dia maklum siapa yang dimaksudkan suhu-nya, saking kagetnya dia menjadi gugup.
"Engkau mencinta atau pernah mencinta Can Bi Lan, bukan?"
Hong Beng menundukkan mukanya yang berubah merah dan dia mencoba tersenyum, senyum pahit, kemudian dia mengangguk. "Teecu tidak dapat berbohong kepada suhu. Memang sesungguhnyalah, teecu mencinta... atau lebih tepat lagi pernah mencinta Bi Lan."
"Dan menurut ucapan gadis itu tadi, hubungan kalian putus karena gadis itu menolak cintamu karena ia sudah mencinta Sim Houw?"
"Ia memang menolak cinta teecu, suhu, akan tetapi ketika itu ia belum mencinta siapa pun juga. Baru sekarang teecu melihat ia akrab dengan Sim Houw, keakraban yang tidak sopan dan tidak tahu malu!"
Hatinya menjadi semakin panas ketika ia teringat dan membayangkan adegan mesra antara Bi Lan dan Sim Houw tadi.
"Engkau tidak sungguh-sungguh mencintanya, Hong Beng, karena itu lupakan saja gadis itu. Bodoh sekali jika menyiksa diri dan membenamkan diri dalam kebencian dan kedukaan karena cintanya ditolak."
Wajah Hong Beng menjadi merah. "Teecu juga sudah melupakannya, suhu. Hanya teecu merasa tidak senang dan panas sekali melihat betapa Bi Lan yang dahulunya seorang pendekar wanita yang lihai dan menentang kejahatan, kini setelah bergaul dengan Sim Houw lalu berbalik menjadi sesat dan membela wanita iblis seperti Bi-kwi yang bersekutu dengan orang-orang Pek-lian-kauw."
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. "Aku masih merasa heran dengan sikap mereka, Hong Beng. Pendekar Suling Naga itu lihai sekali, akan tetapi tadi ketika melawanku dia tidak berkelahi sungguh-sungguh."
"Ahh, akan tetapi Bi Lan menyerang teecu dengan mati-matian, sehingga nyaris teecu tewas oleh Ban-tok-kiam di tangannya!" kata Hong Beng penasaran.
"Ban-tok-kiam...?" tanya Suma Ciang Bun karena dia merasa pernah mendengar nama pedang itu.
"Benar, suhu. Pedang yang mengerikan itu adalah Ban-tok-kiam, pedang milik isteri dari locianpwe Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir."
"Apa...?!" Suma Ciang Bun terkejut sekali, memandang kepada muridnya dengan mata terbelalak. "Kau maksudkan pedang milik... bibi Wan Ceng...? Apa hubungannya gadis itu dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?"
"Mereka adalah guru-guru Bi Lan, suhu."
"Eh? Bukankah kau bilang bahwa Can Bi Lan itu sumoi dari Bi-kwi, dengan demikian murid dari Sam Kwi?"
"Benar, suhu, akan tetapi Bi Lan pernah bertemu dengan Kao-locianpwe dan isterinya, dan menerima gemblengan mereka, bahkan diberi pinjam pedang Ban-tok-kiam. Bi Lan sendiri menceritakan semua ini kepada teecu."
Ciang Bun menggeleng-gelengkan kepala dan menarik napas panjang. "Sungguh aneh sekali. Bagaimana mungkin paman Kao Kok Cu dan bibi Wan Ceng mau mengambil murid seorang gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi?"
"Dan sekarang agaknya watak Sam Kwi dan Bi-wi pun telah menular kepada Bi Lan sehingga ia menjadi seorang wanita sesat."
"Jangan menuduh sembarangan lebih dahulu, Hong Beng. Bagaimana pun juga, aku masih merasa sangsi. Kalau mereka memang bersekutu dengan pihak Pek-lian-kauw, tentu mereka tadi tidak melarikan diri dan bersama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw itu mengeroyok kita. Kalau demikian halnya, mungkin kita berdua takkan kuat bertahan."
Suma Ciang Bun lalu mengajak muridnya meninggalkan tempat itu. Dia bermaksud mengunjungi enci-nya, yaitu Suma Hui yang telah menjadi isteri Kao Cin Liong. Selain untuk menjenguk kakaknya itu, juga untuk bicara dengan kakak iparnya, Kao Cin Liong, tentang keanehan orang tua pendekar itu yang mengambil gadis yang telah menjadi murid Sam Kwi sebagai murid pula, bahkan meminjamkan pedang pusaka sehingga Bi Lan mempergunakan pedang pusaka itu untuk bertindak sesat…..
********************
"Sim koko, kenapa sih engkau selalu mengajak aku melarikan diri? Lama kelamaan aku bisa merasa sebagai seorang pengecut besar. Di tengah pertandingan engkau sudah beberapa kali memaksaku untuk melarikan diri. Untuk yang sudah-sudah engkau selalu mempunyai alasan, dan kini apa lagi alasanmu, Sim-ko? Aku tidak kalah menghadapi Hong Beng yang sombong itu, dan aku amat yakin engkau pun belum tentu kalah oleh gurunya. Kemunculan para tosu Pek-lian-kauw itu pun tidak membuat aku menjadi jeri. Mengapa kita harus melarikan diri seperti dikejar setan?" tanya Bi Lan dengan suara mengandung penasaran dan matanya yang jeli itu menatap wajah Sim Houw dengan tajam penuh selidik.
"Lan-moi, sebetulnya sejak semula aku ingin mencegah engkau berkelahi dengan Hong Beng dan gurunya, tetapi engkau dan Hong Beng demikian bernapsu untuk berkelahi. Ketika para tosu Pek-lian-kauw muncul, kesempatan baik muncul dan aku mengajak engkau pergi. Aku pikir bahwa tidak semestinya kita melayani Hong Beng dan gurunya hanya karena salah paham dengan kita."
"Salah paham apa? Hong Beng menghinaku!" bentak Bi Lan marah.
Sim Houw tersenyum. "Dia tadi marah-marah karena salah paham, Lan-moi. Pertama, bantuan kita terhadap Ciong-lihiap menimbulkan salah paham sehingga dia menyangka kita membela pihak yang jahat. Kemudian yang ke dua, dia melihat keadaan kita dan kembali dia salah kira, menyangka yang bukan-bukan. Dia bukan sengaja menghina, melainkan bertindak sembrono karena salah sangka dan karena cemburu..."
"Kenapa mesti cemburu? Aku bukan pacarnya, bukan kekasihnya, bukan apa-apanya! Sudah dua kali dia mengulangi perbuatannya yang didorong oleh cemburu buta itu. Pertama kali ketika aku terluka dan Cu Kun Tek mengobati punggungku, Hong Beng juga menjadi cemburu dan menyerang Kun Tek kalang-kabut seperti orang gila. Lalu tadi... hemmm, dia kira aku ini siapa? Aku bukan apa-apanya, dia tidak berhak untuk cemburu!"
Sim Houw menarik napas panjang. Diam-diam dia merasa kasihan kepada Hong Beng. Tahulah dia bahwa Hong Beng pernah tergila-gila kepada Bi Lan dan agaknya karena cintanya ditolak, Hong Beng menjadi sakit hati dan cemburu. Memang hal itu buruk sekali, akan tetapi dia tidak terlalu menyalahkan Hong Beng yang masih muda itu.
"Karena engkau menolak cintanya maka dia sakit hati dan cemburu, Lan-moi."
"Apa dia akan memaksa bahwa aku harus membalas cintanya? Phuhh, memang watak dia buruk sekali. Orang lain yang kutolak cintanya tidak marah-marah dan cemburu macam dia!"
Sim Houw tertarik sekali. "Siapakah dia itu, Lan-moi?"
Bi Lan sedang panas hatinya terhadap Hong Beng dan dia sedang merasa penasaran karena diajak pergi melarikan diri oleh Sim Houw, maka tanpa berpikir panjang lagi ia menjawab, "Kun Tek juga menyatakan cintanya kepadaku dan kutolak!"
Tiba-tiba dara itu berhenti bicara karena dia teringat bahwa Kun Tek masih terhitung paman Sim Houw, walau pun usia Sim Houw belasan tahun lebih tua dari pada pemuda Lembah Naga Siluman itu.
Akan tetapi Sim Houw tersenyum, tidak nampak kaget karena memang dia pun sudah pernah menduganya. "Lan-moi, dua orang pemuda gagah perkasa dan pilihan telah menyatakan cinta kepada dirimu. Akan tetapi kenapa engkau menolak keduanya?"
Bi Lan mengerutkan alisnya. "Habis, kalau aku tidak memiliki perasaan cinta terhadap mereka, apakah aku harus menerima seorang di antara mereka?"
Sim Houw menggeleng kepalanya. "Tentu saja tidak, Lan-moi. Tetapi... apakah selama ini engkau tidak pernah jatuh cinta kepada seseorang?"
Bi Lan melupakan kemarahannya dan ia tersenyum. "Agaknya nasibku sama dengan engkau, Sim-ko. Seperti juga engkau yang selama ini tidak pernah jatuh cinta lagi kepada seorang gadis, aku pun tidak pernah jatuh cinta kepada seorang pria. Agaknya ada persamaan antara kita. Kalau engkau sekali waktu jatuh cinta kepada seorang wanita, mungkin sekali aku pun akan jatuh cinta kepada seorang pria, siapa tahu?" Dan gadis itu pun lari mendaki bukit di depan dengan cepat.
Sim Houw tertegun sejenak, lalu menggeleng kepala dan mengejar. Dia sungguh tidak mengerti akan sikap Bi Lan. Gadis itu amat menarik hatinya, amat dicintanya semenjak pertama kalinya bertemu. Bi Lan dianggapnya memiliki watak yang amat aneh, dan mungkin keanehan watak gadis inilah yang merupakan satu di antara daya tarik gadis itu baginya.
Kadang-kadang demikian mudah membaca isi hati Bi Lan, seperti membaca sebuah kitab terbuka saja. Akan tetapi ada kalanya, sikap Bi Lan merupakan teka-teki yang sangat sulit baginya, sukar dimengerti. Kadang-kadang timbul harapannya karena dia melihat tanda-tanda bahwa Bi Lan sayang dan cinta kepadanya, akan tetapi dia masih meragukan hal ini. Mungkinkah seorang gadis remaja seperti Bi Lan dapat jatuh cinta kepadanya?
Bi Lan telah menolak cinta kasih pemuda-pemuda hebat yang sebaya dengan gadis itu. Kalau pendekar-pendekar muda seperti Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek saja ditolak cintanya, apa lagi seorang laki-laki yang sudah tua seperti dia! Usianya telah tiga puluh empat atau tiga puluh lima tahun, sedangkan usia Bi Lan baru delapan belas tahun. Dia dua kali lebih tua dari gadis itu, pantas menjadi pamannya! Mungkinkah gadis muda seperti Bi Lan yang menolak dua orang pendekar perkasa dan muda seperti Hong Beng dan Cu Kun Tek, dapat mencinta seorang tua seperti dia?
Sukar untuk dapat dipercaya dan hal inilah yang membuat hati Sim Houw senantiasa meragu dan dia takut untuk menyatakan cinta kasihnya. Takut kalau-kalau pernyataan cintanya hanya akan memisahkan dia dari Bi Lan. Biarlah dia tidak menyatakan cinta, akan disimpannya sebagai rahasianya sendiri saja, asalkan dia dapat berdekatan terus dengan Bi Lan. Dia telah tergila-gila kepada Bi Lan, mencinta Bi Lan dengan seluruh batin dan badannya, sampai ke rambut-rambutnya, dan baru sekaranglah dia mencinta wanita lain setelah dulu cintanya ditolak oleh Kam Bi Eng.
Dilihatnya bayangan Bi Lan sudah sampai di puncak bukit itu, maka dia pun segera mengerahkan tenaganya untuk mempercepat larinya mengejar gadis itu. Mereka sudah tiba di perbatasan utara dan Sim Houw sudah mendengar bahwa daerah tembok besar ini selain sunyi dan liar, juga amat berbahaya karena siapa yang dihadang oleh orang-orang jahat di daerah ini, jangan harap akan bisa mendapatkan pertolongan dari orang lain karena tempat itu sunyi sekali…..
********************
Bekas Panglima Kao Cin Liong yang kini menjadi seorang saudagar rempah-rempah di kota Pao-teng, dikenal oleh hampir semua orang di kota itu. Dia bukan hanya dikenal sebagai seorang pedagang yang berhasil, melainkan juga sebagai seorang dermawan yang selalu membuka kedua tangan untuk menolong orang lain yang kesusahan, juga terkenal sebagai seorang bekas panglima dan seorang pendekar yang berilmu tinggi.
Apa lagi di kalangan dunia persilatan. Semua orang kang-ouw tahu belaka siapa adanya Kao Cin Liong, karena dia adalah putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Juga isterinya amat terkenal, karena Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Seperti telah kita ketahui, Kao Cin Liong yang kini berusia lima puluh tahun dan Suma Hui yang berusia empat puluh tahun itu, hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu anak perempuan berusia tiga belas tahun yang diberi nama Kao Hong Li. Mudah saja diduga bahwa Hong Li tentu saja memiliki kepandaian silat yang luar biasa.
Ayah dan ibunya adalah pendekar-pendekar kenamaan yang sakti, maka tentu saja sejak anak ini masih kecil, ia telah digembleng oleh kedua orang tuanya sehingga ketika usianya tiga belas tahun, ia telah menjadi seorang anak perempuan yang lincah dan lihai bukan main. Sukar mencari seorang dewasa, biar pria sekali pun, yang akan dapat mengalahkan gadis cilik ini. Bahkan mereka yang ilmu silatnya tanggung-tanggung saja, jangan harap akan mampu menandingi Hong Li.
Di dalam usianya yang baru tiga belas tahun, Hong Li sudah nampak cantik. Mudah dilihat bahwa ia akan menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan menarik dalam waktu beberapa tahun lagi. Tubuhnya tinggi langsing dan padat, penuh dengan tenaga terlatih.
Matanya yang membuka wajahnya nampak cerah. Mata itu paling indah. Lebar dan jeli, bagaikan telaga yang bening. Sikapnya lincah, jenaka, akan tetapi galak. Hal terakhir ini mungkin timbul karena sebagai anak tunggal, tentu saja ada sedikit kemanjaan dalam hatinya. Apa lagi kesadaran bahwa ayah ibunya adalah pendekar-pendekar sakti yang dikagumi dan dihormati orang sedikit banyak mendatangkan ketinggian hati.
Ayah ibunya tidak menghendaki hal ini dan tentu saja mereka tidak suka kalau anak tunggal mereka tinggi hati atau manja. Akan tetapi karena mereka menganggap Hong Li masih terlalu kecil dan kurang pengalaman, maka sedikit ketinggian hati dan kemanjaan itu mereka anggap sebagai hal lumrah yang kelak tentu akan hilang sendiri kalau jiwa pendekar sudah menjadi dasar batin Hong Li.
Peradaban dan kebudayaan sudah membentuk diri kita seperti keadaannya sekarang, yaitu gila hormat dan haus akan pujian! Semenjak kecil kita dijejali kebiasaan untuk mengagungkan nilai-nilai, mengejar nilai-nilai. Anak-anak kecil dipuji kalau melakukan hal-hal yang dianggap baik dan menyenangkan, dicela kalau sebaliknya.
Di sekolah pun para murid diajar untuk memperebutkan nilai-nilai. Kemajuan mereka diukur dengan nilai-nilai. Karena itu, kita berangkat besar dengan pengertian bahwa kita amat memerlukan nilai-nilai baik dalam kehidupan ini, dan betapa senangnya menerima pujian-pujian, betapa tidak menyenangkan menerima celaan-celaan.
Kita lalu menjadi orang-orang munafik dan palsu, yang mengejar pujian-pujian dengan segala cara. Kita selalu ingin memamerkan segi-segi yang dipandang baik oleh orang lain dalam diri kita, hanya untuk mengejar pujian. Kita lalu berangkat dewasa menjadi manusia yang gila pujian dan gila hormat
.Tidak mengherankan kalau Hong Li tidak terkecuali. Ia berangkat besar seperti anak-anak lain yang selalu haus akan pujian dan selalu ingin memamerkan kepandaiannya, ingin menonjolkan keistimewaan yang ada pada dirinya dan yang tidak terdapat pada diri orang lain.
Seperti orang-orang tua yang hidup di alam kita ini, Kao Cin Liong dan Suma Hui juga tidak terkecuali, selalu mengajarkan kepada anak tunggal mereka tentang kebaikan agar anak mereka selalu berbuat kebaikan dan menjadi ‘orang baik’, selalu menjauhkan perbuatan-perbuatan yang dianggap jahat dan tidak baik. Seperti juga orang-orang tua lain dalam kehidupan kita ini, mereka ingin membentuk anak mereka, bagai membentuk sebuah boneka dari tanah liat, agar supaya menjadi sebaik-baiknya, tentu saja menurut pandangan mereka yang juga menjadi pandangan masyarakat, menjadi pandangan umum sesuai dengan kebudayaan dan peradaban kita.
Tetapi, dapatkah kebaikan diajarkan, dipelajari dan dilatih? Segala yang dapat dipelajari dan dilatih adalah sesuatu yang mati, dan sesuatu yang diusahakan untuk dimiliki tentu mempunyai dasar sebagai pamrih. Kalau kita berbuat kebaikan dengan pamrih, setelah mempelajari dan melatihnya, apakah itu dapat dinamakan kebaikan lagi, ataukah bukan sekedar cara dan usaha untuk mendapatkan pamrih itu, yang dapat saja berupa pujian, kepuasan hati, pahala batiniah dan sebagainya?
Kebaikan yang sengaja dilakukan dengan kesadaran bahwa kita melakukan perbuatan baik, jelas bukan kebaikan lagi namanya, melainkan suatu usaha. Dan tidak berbeda seperti usaha-usaha lainnya, kalau sampai usaha itu gagal mendatangkan hasil, tentu akan mengecewakan.
Misalnya, orang yang menolong orang lain kemudian orang yang ditolongnya itu tidak membalas kebaikannya bahkan merugikan, tentu akan merasa sakit hati dan kecewa. Orang yang melakukan kebaikan, kemudian tidak menerima pujian bahkan dicela, tentu akan marah dan kecewa! Jelaslah bahwa kebaikan-kebaikan seperti itu, yang dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa yang dilakukan itu adalah kebaikan, bukan kebaikan lagi namanya, melainkan hanya sekedar cara untuk menyenangkan hati sendiri memetik buahnya kelak!
Alangkah jauh beda hal ini dengan perbuatan yang dilakukan berdasarkan cinta kasih. Perbuatan ini digerakkan oleh perasaan sayang, perasaan iba, tanpa pamrih apa pun juga untuk diri sendiri, merupakan perbuaran spontan yang wajar. Bukan lagi dinamakan kebaikan karena si pelaku tidak mengingat lagi apakah perbuatannya itu baik ataukah tidak baik. Yang ada hanyalah kewajaran, tanpa pamrih, dan dalam perbuatan seperti ini maka sinar cinta kasih akan meneranginya.
Betapa lucunya namun sangat menyedihkan melihat betapa kita berlomba-lomba untuk menjadi orang baik dengan menyebar segala perbuatan palsu, seakan-akan kebaikan bisa dicapai melalui kepalsuan dan kemunafikan. Lihat betapa bangsa-bangsa berlomba di dunia ini untuk membicarakan dan mencapai perdamaian dengan senjata di tangan!
Kalau ada sinar cinta kasih menerangi batin, maka tanpa perlu diusahakan sekali pun, kedamaian tentu sudah ada, karena tidak akan mungkin terjadi perang! Kalau ada cinta kasih di dalam batin, maka kita tidak perlu melakukan perbuatan yang kita anggap baik lagi, karena setiap perbuatan kita yang berdasarkan cinta kasih adalah suci!
Pada suatu sore, terdengar sorak dan tepuk tangan sekumpulan anak-anak di kebun rumah besar keluarga Kao Cin Liong. Mereka adalah belasan orang anak-anak laki-laki dan perempuan yang berkumpul di kebun itu, mengagumi Hong Li yang sedang bermain silat pedang. Memang indah sekali permainan itu.
Hong Li baru saja menerima oleh-oleh sebatang pedang yang indah dari ayah ibunya yang baru saja kembali dari kota raja. Sebatang pedang yang mewah, bukan pedang pusaka, namun terbuat dari baja yang baik, bentuknya kecil dan cocok untuk dimainkan seorang anak perempuan. Gagangnya terukir indah dan pedang itu sendiri putih bersih berkilau seperti perak. Sarung pedangnya juga penuh dengan ukiran bunga dan kupu-kupu beraneka warna, amat halus dan indah ukirannya.
Dan kini, Hong Li bermain pedang itu di dalam kebun, disaksikan dan dikagumi oleh belasan orang anak-anak. Mereka itu adalah teman-teman bermain Hong Li, anak-anak tetangga. Memang, di dalam hal ini Kao Cin Liong dan isterinya bersikap bebas, tidak seperti orang-orang tua lain yang terkadang memperhitungkan derajat dan kedudukan dalam memilih teman-teman untuk anak-anak mereka.
Biar pun Cin Liong dan Suma Hui adalah suami isteri pendekar yang lihai sekali, bahkan Kao Cin Liong seorang bekas panglima yang terpandang, dan sekarang mereka hidup berkecukupan, namun mereka membiarkan anak perempuan mereka bergaul bebas dengan anak-anak tetangga. Dalam hal membiarkan anaknya bergaul bebas, Kao Cin Liong dan Suma Hui memang menyimpang dari kebiasaan umum.
Biasanya, orang-orang tua akan melarang anak perempuan mereka bergaul bebas, apa lagi setelah berusia tiga belas tahun, usia remaja menjelang dewasa. Agaknya, watak mereka sebagai pendekar-pendekar yang biasa hidup berkelana dan bebas yang sudah membuat mereka tidak berkeberatan melihat anak perempuan mereka bergaul dengan anak siapa saja, laki-laki mau pun perempuan.
Bagaimana pun juga, anak-anak itu bersikap sopan terhadap Hong Li dan menyebutnya siocia (nona). Tentu saja hal ini mereka lakukan karena melihat betapa semua orang menghormati Hong Li sebagai keluarga jagoan dan keluarga kaya pula.
"Bagus...! Bagus sekali...!"
"Kao-siocia seperti bidadari sedang menari!”
"Lihat, pedang itu seperti naga putih melayang-layang...!"
Pujian-pujian ini keluar dari mulut anak-anak yang saat itu sedang menonton Kao Hong Li memamerkan pedang barunya dan juga ilmu silatnya yang memang hebat. Sekecil itu, dia sudah pandai sekali bersilat pedang, bukan hanya indah dipandang, namun di dalamnya mengandung kekuatan-kekuatan yang akan mengejutkan seorang ahli sekali pun.
Tidaklah mengherankan jika diingat bahwa Hong Li telah berlatih Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut yang dipelajarinya dari ibunya, ilmu pedang yang merupakan satu di antara ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es. Apa lagi ia sudah menguasai dasar-dasar gerakan ilmu pilihan dari Istana Gunung Pasir, yaitu ilmu silat Sin-liong Ciang-hoat (Naga Sakti). Biar gerakan pedangnya belum matang benar, dan tenaga sinkang yang mendorongnya belum dapat dibilang terlalu kuat, namun gerakan-gerakan itu selain indah, juga baik sekali, karena dilatih sejak ia masih kecil.
Setelah Hong Li berhenti bermain silat pedang dan sinar yang bergulung-gulung dari pedangnya lenyap, anak-anak itu betepuk tangan memuji.
"Ilmu pedang yang jelek sekali!"
Suara ini melengking tinggi mengatasi kegaduhan anak-anak itu sehingga terdengar oleh mereka semua. Tentu saja semua anak itu terkejut dan menengok, sedangkan Hong Li juga menengok ke kanan dengan alis berkerut, hatinya mendongkol mendengar ada orang mengatakan ilmu pedangnya jelek, pada hal semua anak di situ bersorak memuji.
Ketika anak-anak itu menoleh dan memandang kepada seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di situ tanpa mereka ketahui kedatangannya, mereka merasa heran dan tidak tahu siapa adanya kakek berkepala gundul yang memakai jubah lebar berwarna merah darah ini. Akan tetapi Hong Li sudah banyak mendengar dari kedua orang tuanya tentang tokoh-tokoh aneh di dunia kang-ouw, tentang pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat, dan betapa di antara para kakek atau nenek yang berpakaian seperti pendeta itu terdapat pula tokoh-tokohnya yang sesat.
Maka, ketika melihat munculnya kakek gundul berjubah merah ini, Hong Li memandang dengan hati agak khawatir, tidak tahu apakah kakek ini seorang baik ataukah jahat, kawan ataukah lawan dari ayah ibunya. Akan tetapi, mendengar betapa begitu muncul kakek itu sudah mencela ilmu pedangnya, agaknya tidak mungkin kalau kakek ini merupakan kawan ayah ibunya.
"Kakek tua, siapakah engkau yang berani mencela ilmu pedangku?" tanyanya dengan alis berkerut dan pedang barunya masih berada di tangan kanan. Ia mengelebatkan pedangnya dan terdengar suara berdesing diikuti sinar pedang berkilat.
Kakek itu tertawa, suara ketawanya juga melengking tinggi dan halus. "Ha-ha-ha, bukan hanya ilmu pedangmu, juga pedangmu itu jelek sekali, Ha-ha-ha!"
Tentu saja Hong Li menjadi makin marah. Pedangnya itu adalah pedang baru oleh-oleh dari ayah bundanya dan pedang itu semenjak kemarin telah menjadi pusat kekaguman teman-temannya, tetapi sekarang dikatakan jelek sekali oleh kakek ini! Ia memandang dengan sinar mata mencorong penuh penasaran dan kemarahan, dan diam-diam ia memperhatikan kakek itu.
Seorang kakek yang usianya enam puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka halus dan gerak-gerik lembut. Sepasang matanya bening seperti mata wanita dengan bulu mata yang panjang melengkung. Tidak dapat disangkal, wajah kakek berkepala gundul ini meninggalkan bekas wajah seorang laki-laki yang tampan sekali.
"Kakek pendeta, engkau ini hwesio dari manakah? Kalau ada keperluan dengan orang tuaku, datang saja lagi besok pagi karena mereka sedang pergi.."
"Omitohud... aku memang tahu bahwa mereka sedang pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai. Aku datang bukan untuk mereka, melainkan untuk nonton permainan pedangmu yang jelek."
Hong Li menjadi marah sekali. Alisnya yang hitam panjang berkerut, sepasang matanya yang lebar itu mengeluarkan sinar berkilat dan mukanya menjadi kemerahan. "Engkau ini kakek pendeta yang sombong dan jahat. Apa salahku maka engkau datang-datang hendak menghina aku?"
"Ha-ha-ha, aku tidak menghina, melainkan hendak nonton ilmu pedang yang jelek."
"Kalau begitu, apakah engkau berani menghadapi pedangku dan ilmu pedangku yang jelek ini?"
"Omitohud, tentu saja aku berani. Ilmu pedangmu dan pedangmu itu tidak ada artinya, hanya patut untuk pamer dan berlagak saja."
Bukan main marahnya Hong Li mendengar ucapan pendeta berjubah merah itu. Sejak kecil ia hanya melihat orang-orang bersikap hormat dan kagum terhadap keluarganya, apa lagi terhadap ilmu silat keluarganya. Dan sekarang, kakek kurus ini menghina ilmu silatnya dan berani menantangnya.
"Kakek sombong, kalau begitu hadapilah pedangku ini!" bentaknya dan sekali melompat ia telah menghampiri kakek pendeta itu dengan pedang ditodongkan.
"Ha-ha-ha, bocah lucu, engkau menodongku dengan setangkai bunga mawar?" tiba-tiba kakek itu berkata sambil tertawa. Tangannya membuat gerakan ke arah pedang dan... Hong Li, dan belasan orang anak itu, terbelalak ketika melihat betapa yang berada di tangan Hong Li memang benar-benar setangkai bunga mawar, bukan pedang yang tadi dimainkan dengan indahnya!
Akan tetapi, Hong Li adalah keturunan keluarga Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Ibunya adalah cucu Pendekar Super Sakti, maka tentu saja ia segera dapat mengerti bahwa kakek pendeta jubah merah ini telah main-main dan mempergunakan ilmu sihir. Hanya sebentar saja dia terkejut dan terbelalak, lalu dia mengerahkan sinkang-nya, memaksa diri untuk bertahan dan tidak hanyut oleh kekuatan sihir.
"Yang kutodongkan adalah pedang baruku! Siapa bilang bunga mawar?" bentaknya dan ia pun menggerak-gerakkan pedangnya.
Karena tentu saja tenaga batinnya belum kuat benar, matanya melihat betapa yang berada di tangan kanannya itu berubah-ubah, kadang-kadang nampak sebagai pedang, kemudian berubah menjadi setangkai bunga lagi. Namun, ia menjadi nekat, bunga atau pedang, tetap saja ia pergunakan untuk menyerang kakek kurus itu!
Dalam penglihatan belasan orang anak itu, nampak lucu sekali ketika melihat Hong Li menyerang kakek itu kalang kabut dengan menggunakan setangkai bunga mawar! Akan tetapi, kakek itu sendiri kagum bukan main. Anak ini tidak mengecewakan menjadi cucu buyut Pendekar Super Sakti dan ilmu pedangnya memang hebat bukan main. Hatinya semakin tertarik dan suka kepada Hong Li.
Menghadapi serangan-serangan gadis cilik itu, ia menggunakan kecepatan gerakannya. Tubuhnya melayang-layang dengan ringan dan lembut, seperti berubah menjadi sehelai bulu yang bergerak ke sana-sini, selalu luput dari terkaman ujung pedang yang sedang dimainkan Hong Li.
"Anak baik, engkau berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!" tiba tiba belasan orang anak itu mendengar suara ini yang diikuti oleh bunyi ledakan keras.
Semua anak ketakutan karena tempat itu berubah menjadi lautan asap. Mereka tak dapat melihat, bahkan mereka terpaksa mundur karena asap itu tebal dan menakutkan sekali. Ketika asap itu perlahan-lahan melayang pergi, anak-anak itu menjadi bingung karena mereka tidak melihat Hong Li dan kakek pendeta jubah merah tadi. Mereka berdua telah lenyap tanpa meninggalkan bekas, seolah-olah ikut terbang pergi bersama asap tebal.
Tentu saja anak-anak ini menjadi ketakutan dan bingung. Mereka berlari-larian pulang sambil menangis melapor kepada orang tua masing-masing tentang peristiwa lenyapnya Kao Hong Li bersama kakek pendeta gundul berjubah merah. Para pelayan keluarga Kao yang mendengar laporan ini pun menjadi bingung dan ketakutan. Keadaan menjadi gempar dan semua orang mencari-cari ke mana perginya Hong Li, namun tidak dapat menemukan jejak anak itu yang lenyap seperti berubah menjadi asap.
Keadaan menjadi semakin geger pada saat Kao Cin Liong dan Suma Hui pulang dari perjalanan mereka ke seberang sungai untuk membeli rempah-rempah. Dua pekan sekali suami isteri itu memang pergi sendiri membeli barang dagangan. Ketika mereka mendengar akan peristiwa aneh yang mengakibatkan lenyapnya anak tunggal mereka, tentu saja sepasang pendekar ini menjadi terkejut dan marah.
Mereka menggunakan kepandaian mereka untuk melakukan pengejaran dan pencarian. Tetapi, sampai semalam suntuk mereka mencari tanpa hasil dan akhirnya, menjelang pagi pada besok harinya, dengan lemas mereka pulang ke rumah. Suma Hui menahan tangisnya, akan tetapi kedua matanya merah dan wajahnya membayangkan kedukaan dan kegelisahan yang mendalam. Akan tetapi Kao Cin Liong nampak tenang saja, biar pun tentu saja dia juga merasa bingung dan gelisah.
"Tenangkan hatimu," katanya kepada isterinya karena dia tidak tega melihat wajah isterinya demikian penuh duka dan kegelisahan. "Setidaknya kita boleh merasa yakin bahwa anak kita masih dalam keadaan selamat. Kalau penjahat atau siapa saja yang menculiknya itu berniat buruk, tentu hal itu sudah dilakukannya, tidak perlu bersusah-susah melarikannya."
Suma Hui dapat mengerti pendapat ini. Memang, kalau penjahat itu hendak membunuh Hong Li, tidak perlu dibawa pergi. Akan tetapi, siapakah yang menculik Hong Li? Dan kenapa? Mereka berdua lalu mendatangi anak-anak yang menyaksikan peristiwa itu dan kagetlah hati mereka ketika mendengar bahwa sebelum Hong Li dan kakek jubah merah itu lenyap berubah menjadi asap, terdengar kakek itu berkata, "Anak baik, engkau telah berjodoh dengan Ang I Lama, marilah ikut dengan pinceng!"
Keterangan ini tentu saja amat penting bagi mereka. Jelaslah bahwa pendeta berkepala gundul yang berjubah merah itu adalah Ang I Lama dan dialah yang telah melarikan Hong Li. Kata ‘berjodoh’ yang dipergunakan pendeta itu dapat berarti berjodoh untuk menjadi muridnya, akan tetapi juga untuk maksud yang cabul dan jahat. Mereka berdua tahu betapa banyaknya orang-orang jahat dan keji yang menyembunyikan kejahatannya di balik kedudukan atau pakaian. Betapa banyaknya pencuri-pencuri dan perampok-perampok besar bersembunyi di balik pakaian seorang pembesar, penjahat-penjahat keji bersembunyi di balik pakaian pendeta-pendeta.
"Ang I Lama...? Suma Hui mengulang nama itu sambil mengepal tinju. "Siapakah dia dan mengapa dia melakukan hal ini kepada keluarga kita?" Ia memandang suaminya dengan harapan suaminya akan mengenal nama itu.
Akan tetapi semenjak tadi Kao Cin Liong juga terus mengerutkan alisnya dan memeras ingatannya, akan tetapi dia merasa tidak pernah mengenal nama itu. Maka, menjawab pertanyaan isterinya, dia pun menggeleng kepalanya.
"Aku tidak pernah mengenal nama itu, akan tetapi untunglah bahwa dia meninggalkan sebuah nama. Karena dia seorang pendeta Lama, maka di mana lagi dia berada kalau bukan di Tibet?"
‘Brakkk…!” Tiba-tiba Suma Hui menepuk meja di depannya. "Ahh, tentu saja!"
"Apa... maksudmu?" suaminya bertanya sambil memandang penuh perhatian.
Isteri itu memandang suaminya. "Tentu masih ada hubungannya dengan Sai-cu Lama! Kita ikut membasmi komplotan Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama dan sekarang muncul seorang pendeta Lama lainnya yang menculik anak kita. Apakah kau pikir tidak ada hubungannya antara kedua orang pendeta Lama itu?"
Suaminya mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, akan tetapi kita tidak mengenal. Ang I Lama itu dan tidak tahu di mana dia berada. Kurasa satu-satunya jalan untuk mencarinya adalah ke Tibet. Di sana tentu kita akan memperoleh keterangan jelas di mana adanya Ang I Lama."
"Memang agaknya hanya itu jalannya dan marilah kita pergi sekarang saja. Aku tidak tahan berdiam di rumah lebih lama lagi memikirkan nasib anak kita..." Dan kini Suma Hui tak dapat menahan membanjirnya air mata.
Melihat ini, suaminya lalu mendekatinya dan merangkulnya. Memecah bendungan air mata itu dan Suma Hui menangis tersedu-sedu di dada suaminya yang membiarkannya menangis untuk melampiaskan segala perasaan marah, khawatir dan duka yang sejak malam tadi ditahan-tahannya.
Setelah kedukaan Suma Hui mereda, suami isteri ini lalu cepat-cepat berkemas untuk menyediakan bekal perjalanan mencari anak mereka ke Tibet! Perjalanan yang amat jauh dan makan banyak waktu.
Selagi mereka sibuk, datanglah tamu yang tidak mereka duga-duga. Dua orang tamu datang dan mereka ini bukan lain adalah Suma Ciang Bun dan Gu Hong Beng! Melihat adiknya, datang lagi perasaan duka di hati Suma Hui dan dia pun menubruk adiknya sambil menangis.
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut sekali melihat ulah enci-nya. Enci-nya, setahunya, adalah seorang wanita yang keras hati dan tabah bukan main, lebih tabah dari pada dia sendiri. Kalau sekarang enci-nya sampai bersedih dan menangis seperti itu, apa lagi melihat betapa sepasang mata enci-nya sudah bengkak-bengkak bekas banyak tangis, dia khawatir tentu telah terjadi hal yang luar biasa dan hebat sekali.
"Enci Hui, engkau kenapakah? Apa yang telah terjadi sehingga engkau menjadi begini berduka?" Karena enci-nya menangis makin sedih, Suma Ciang Bun mengangkat muka memandang cihu-nya (kakak iparnya) dengan alis berkerut.
Kao Cin Liong merangkul isterinya dan dengan lembut menarik tubuh isterinya dari Suma Ciang Bun, lalu mengajaknya duduk. "Tenanglah dan kebetulan sekali Ciang Bun datang. Mungkin dia dapat membantu kita." Mendengar ini, Suma Hui menghentikan tangisnya dan memandang kepada adiknya.
"Hong Li telah diculik orang...!"
Tentu saja Ciang Bun terkejut sekali. "Ah! Siapa penculiknya dan kapan terjadinya? Bagaimana dia berani melakukan hal itu?"
Kao Cin Liong yang lebih tenang segera memberi keterangan kepada adik iparnya. "Kemarin sore, ketika kami berdua pergi membeli rempah-rempah di seberang sungai dan Hong Li berada seorang diri di rumah, datang penculik itu. Dia seorang pendeta Lama yang berjuluk Ang I Lama, dan dia menculik Hong Li dengan mempergunakan ilmu sihir seperti yang kami dengar dari anak-anak yang menemani Hong Li pada waktu itu." Lalu dengan singkat namun jelas, Kao Cin Liong menceritakan tentang peristiwa penculikan itu seperti yang didengarrya jari anak-anak.
"Ang I Lama...?" Suma Ciang Bun mengulang nama itu sambil mengerutkan alis.
"Bun-te, apakah engkau mengenal nama jahanam itu?" tanya Suma Hui penuh harapan.
Suma Ciang Bun yang sudah banyak melakukan perantauan itu termenung. "Seperti pernah kudengar nama itu, akan tetapi entah di mana dan kapan. Nama itu jarang muncul di dunia kang-ouw..."
Pada waktu itu, Kao Cin Liong melihat betapa Gu Hong Beng, murid adik iparnya itu, memandang dengan sinar mata bercahaya. "Hong Beng, apakah kau mengenalnya?" Dia bertanya. Suami isteri ini pernah mengenal Hong Beng, bahkan bersama pemuda ini dan para pendekar lainnya, pernah membantu untuk menghancurkan persekutuan yang mendukung Thai-kam Hou Seng.
"Ang I Lama... apakah tidak ada hubungannya dengan Sai-cu Lama...?" Hong Beng berkata.
"Aku pun berpendapat demikian," Suma Hui berkata, "akan tetapi, di manakah adanya Ang I Lama dan mengapa dia melakukan hal ini kepada kami?"
"Ahhh...! Sekarang aku ingat, enci Hui!" kata Suma Ciang Bun. "Aku pernah mendengar nama Ang I Lama dan tentu saja ada hubungan antara dia dan Sai-cu Lama, karena Ang I Lama adalah salah seorang di antara para pimpinan pendeta Lama di Tibet. Akan tetapi... menurut yang pernah kudengar, Ang I Lama termasuk pendeta Lama yang bersih dan tidak sudi melakukan kejahatan, apa lagi menculik keponakanku Hong Li."
"Siapa tahu hati orang? Mungkin saja dia mendendam atas kematian Sai-cu Lama, karena bukankah mereka sama-sama dari Tibet dan sama-sama pendeta Lama? Mungkin atas dasar dendam itulah, dan mengingat bahwa kami berdua juga membantu usaha menghancurkan persekutuan Sai-cu Lama, maka kini Ang I Lama datang untuk membalas dendam dengan cara yang curang, yaitu menculik dan melarikan anak kami," kata Suma Hui.
"Benar, akan tetapi kita harus bertindak hati-hati, enci. Hal ini harus diselidiki lebih dulu secara cermat agar jangan sampai enci menuduh orang yang tidak berdosa."
"Tentu saja. Sekarang pun kami sedang berkemas untuk segera berangkat ke Tibet, melakukan penyelidikan tentang Ang I Lama itu!"
"Perjalanan yang amat jauh dan sukar," kata Suma Ciang Bun.
"Jangankan baru ke Tibet, biar Ang I Lama melarikan diri ke neraka sekali pun, pasti akan kami kejar sampai dapat!" kata Suma Hui dengan gemas.
"Kalau begitu, biarlah kita membagi tugas," kata Suma Ciang Bun. "Enci dan cihu mencari ke Tibet, dan aku akan mencari di sekitar sini. Siapa tahu yang namanya Ang I Lama itu masih bersembunyi di dekat dan di sekitar daerah ini. Sedangkan Hong Beng biarlah ke Istana Gurun Pasir untuk melapor."
"Ehh? Ada urusan apa ke sana?" Kao Cin Liong bertanya sambil memandang heran mendengar bahwa adik iparnya itu hendak menyuruh muridnya mengunjungi tempat kediaman orang tuanya yang jarang dikunjungi orang. Dia sendiri merasa tidak suka kalau ketenangan dan ketenteraman kehidupan ayah ibunya terganggu.
Suma Cang Bun menarik napas panjang. "Sebenarnya kedatanganku ini untuk melapor kepada cihu tentang perbuatan sumoi-mu."
"Sumoi-ku? Sumoi yang mana?" Cin Liong bertanya heran.
"Bukankah cihu mempunyai seorang sumoi? Murid Sam Kwi yang diambil murid oleh ayah ibumu."
"Ah, maksudmu gadis yang bernama Can Bi Lan itu? Mengapa ia? Bukankah ia pantas sekali menjadi murid ayah ibuku karena sepak terjangnya saat menghadapi persekutuan Sai-cu Lama membuat kagum?"
"Ia telah melakukan penyelewengan sekarang! Bayangkan saja, ia sudah membela dan membantu Bi-kwi yang melakukan kecabulan dan membunuh banyak pemuda. Padahal, Bi-kwi bekerja sama dengan tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw mengeroyokku sehingga nyaris aku tewas di tangan mereka. Bi Lan itu telah mempergunakan pedang pusaka ibumu, Ban-tok-kiam untuk bersekongkol dengan tosu-tosu jahat itu, melakukan kejahatan, dan membela Bi-kwi. Dan dalam hal ini, ia dibantu pula oleh Pendekar Suling Naga yang lihai."
Mendengar ini, Kao Cin Liong mengerutkan alisnya. "Hemm, berbahaya sekali kalau begitu. Ia membawa po-kiam (pedang pusaka) dari ibuku, kalau dipergunakan secara keliru, akan merusak nama baik keluarga kami." Suma Hui diam saja tidak berani memberi komentar karena menyangkut nama baik keluarga suaminya.
"Sayang kita harus pergi ke Tibet untuk mencari anak kita, kalau tidak tentu kita dapat mencarinya dan meminta kembali pedang pusaka itu," kata Suma Hui dengan hati-hati karena ia khawatir kalau suaminya akan membatalkan niatnya mencari Hong Li untuk mencari Bi Lan berhubung dengan terancamnya nama baik keluarganya.
"Biarlah saya yang akan pergi menghadap Kao locianpwe di Istana Gurun Pasir untuk melaporkan tentang penyelewengan Can Bi Lan dan sekalian mengabarkan tentang diculiknya adik Kao Hong Li oleh Ang I Lama," kata Hong Beng dengan cepat.
"Ah, kalau begitu baik sekali!" Suma Hui berseru girang, memandang kepada suaminya.
Cin Liong juga mengangguk dan memandang kepada Hong Beng dengan sinar mata berterima kasih. Tidak disangkanya bahwa kehidupannya yang selama ini tenang dan tenteram, dalam satu hari saja berubah menjadi keruh, penuh dengan persoalan yang mendatangkan duka dan kekhawatiran.....
Komentar
Posting Komentar