SULING NAGA : JILID-35


Dukun itu seorang tosu yang suka mempelajari ilmu klenik dan sang tosu, dengan biaya yang cukup besar tentunya, segera melakukan sembahyangan di situ, menggunakan darah anjing dipercik-percikkan di empat penjuru rumah dan berkemak-kemik membaca mantera. Dengan rambut riap-riapan dan pedang di tangan dia berjalan pula mengitari rumah sampai tujuh kali putaran. Akhirnya dia meninggalkan rumah kakek Yo sambil mengantongi hadiah yang cukup banyak, juga sebungkus masakan yang lezat.

Akan tetapi, penyakit Yo Jin tidak menjadi sembuh, bahkan setelah lewat tiga hari, keadaannya menjadi semakin payah. Dan pada malam hari ke tiga itu, setelah kakek Yo tertidur nyenyak saking lelahnya, sesosok bayangan hitam berkelebat di atas genteng rumah itu. Bayangan itu melakukan pengintaian dari atas genteng, membuka genteng di atas kamar Yo Jin dan ia mendekam sambil mengintai ke dalam kamar. Dilihatnya Yo Jin rebah terlentang dengan muka merah akan tetapi kurus sekali, dan pemuda itu bergerak gelisah ke kanan kiri dengan gerakan lemah.

"Kwi-moi... Kwi-moi... janganlah tinggalkan aku... Kwi-moi..." Demikianlah dia mengigau berkali-kali, mengulang-ulang nama itu dengan bisikan-bisikan lemah.

"Ohhh...!" Bayangan itu terisak dan menangis.

Bayangan itu adalah Siu Kwi dan ia pun cepat melayang turun dan memasuki kamar Yo Jin. Ditubruknya Yo Jin dan dirangkulnya tubuh yang panas itu. Yo Jin membuka kedua matanya dan melihat wajah orang yang dirindukannya, dia pun merangkul.

"Kwi-moi...!"

"Jin-toako! Aihh... toako, kau kenapakah...?"

"Kwi-moi, tangan tinggalkan aku lagi...," pemuda itu mengeluh lemah.

"Tidak, tidak ah,... betapa bodohku telah meninggalkanmu." Ia mencium dahi pemuda itu. "Hemm, badanmu panas. Engkau demam."

Cepat Siu Kwi memeriksa keadaan Yo Jin. Wanita pandai yang banyak pengalaman ini maklum bahwa pemuda itu terserang demam karena luka-lukanya yang tidak terawat sekarang membengkak dan ia keracunan! Cepat ia bekerja, mencuci luka-luka itu dan menaruhkan obat luka yang selalu dibawanya, dan juga menyuruh Yo Jin menelan dua butir pel kuning. Setelah menelan pel, Yo Jin langsung tidur pulas dengan kepala di atas pangkuan Siu Kwi.

Siu Kwi duduk di tepi pembaringan, mengelus-elus rambut dikepala Yo Jin yang kusut. Ia memandangi wajah yang kurus itu dan tak terasa dua butir air mata menetes turun, keluar dari kedua matanya. Hatinya diliputi keharuan yang amat mendalam.

Selama tiga hari ini dia sendiri tersiksa sekali. Ia berkeliaran di hutan-hutan dan gunung-gunung, mencoba untuk melupakan Yo Jin, namun tidak berhasil sama sekali. Makin dilupakan, makin teringat dan selama tiga hari ini ia hampir tidak makan dan tidak tidur sama sekali. Akhirnya, ia pun tidak kuat dan memaksa diri kembali ke dusun itu dan di saat malam telah menggelapkan dusun, ia pun mendatangi rumah pria yang dicintanya untuk menengoknya dengan diam-diam.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat Yo Jin ternyata dalam keadaan sakit yang cukup payah. Dan lebih terharu lagi ketika ia mendengar igauan pemuda itu dalam sakitnya. Barulah ia tahu bahwa sepeninggalnya, Yo Jin jatuh sakit dan terus mencari-cari dan memanggil-manggilnya!

"Ahh, Jin-toako... aku cinta padamu... aku cinta padamu...," bisiknya berkali-kali dan ia mendekap kepala di pangkuannya itu seperti mendekap sebuah mustika yang takkan pernah dilepaskannya lagi.

Karena ia sendiri selama tiga hari kurang tidur, setelah kini bertemu kembali dengan Yo Jin, bahkan pemuda itu tertidur di pangkuannya, hati Siu Kwi merasa demikian tenteram sehingga ia pun memejamkan matanya, bersandar pada dinding dan dengan kepala pemuda itu masih di atas pangkuannya, ia pun tertidur pulas.

Seperti itulah keadaan mereka ketika pada esok harinya kakek Yo memasuki kamar anaknya. Dia berdiri terpukau di ambang pintu, terbelalak, bahkan sempat menggosok mata dengan punggung tangan beberapa kali seperti tidak percaya akan penglihatannya sendiri. Perempuan siluman itu telah berada dalam kamar anaknya!

Agaknya kehadiran kakek ini cukup untuk membangunkan Siu Kwi. Ia lalu membuka matanya dan melihat kakek itu berdiri di ambang pintu kamar, ia segera teringat akan keadaannya. Wajahnya menjadi merah sekali dan dengan lembut ia menurunkan kepala Yo Jin dari atas pangkuannya.

"Aku... aku datang untuk mengobati Jin-toako yang ternyata terserang demam karena luka-lukanya," katanya lirih kepada kakek Yo.

Kakek Yo masih tidak mampu bersuara. Ada perasaan marah akan tetapi juga takut terhadap perempuan di depannya. Pada saat itu, Yo Jin juga terbangun.

"Kwi-moi...," keluhnya dan ketika dia membuka mata dan melihat Siu Kwi telah berada di dekat pembaringan, dia cepat menangkap tangan gadis itu. "Ahh, Kwi-moi, benarkah engkau ini? Engkau telah datang kembali?" tanyanya dengan suara gemetar.

Siu Kwi meremas tangan pemuda itu. "Aku datang untuk mengobatimu, Jin-toako."

"Ah, terima kasih, Kwi-moi. Aku sudah sembuh! Melihat engkau datang saja aku sudah sembuh sama sekali. Lihat, aku sudah bisa duduk!" Seperti seorang anak kecil yang kegirangan, pemuda itu bangkit duduk walau pun dengan tubuh yang masih lemas. Hati Siu Kwi merasa terharu bukan main.

Kakek Yo tidak dapat menyangkal bahwa anaknya benar-benar kelihatan sembuh. Akan tetapi, hal ini bahkan memperkuat dugaannya bahwa Siu Kwi tentulah seorang siluman tulen yang sengaja membuat Yo Jin sakit dan kini kembali untuk mengobati Yo Jin agar dia dapat percaya! Akan tetapi, untuk menuduh demikian, dia tidak berani. Pertama, dia pun ingin melihat anaknya sembuh dulu, dan ke dua, dia mulai merasa ngeri dan takut terhadap Siu Kwi.

"Kwi-moi, jangan kau pergi lagi, Kwi-moi...," kata Yo Jin sambil menggenggam tangan wanita itu.

"Tidak, Jin-toako. Aku kembali untuk menemanimu dan merawatmu sampai sembuh."

"Sampai sembuh dan engkau akan pergi lagi? Tidak, Kwi-moi, engkau tidak boleh pergi, selamanya, dari sampingku!" Genggaman tangan Yo Jin semakin erat seolah-olah dia benar-benar merasa khawatir kalau-kalau wanita itu akan pergi lagi.

Siu Kwi memandang ke arah kakek Yo. "Kalau saja Yo-lopek mau mengijinkannya."

"Ayah, biarkan Kwi-moi di sini. Aku... aku tidak dapat hidup tanpa dia, ayah!" Yo Jin berkata dengan suara lantang dan nekat.

Sikap ini sungguh membuat Siu Kwi terharu sekali dan kembali dua titik air mata runtuh dari matanya yang berlinang-linang. Pemuda ini belum pernah menyatakan cinta, akan tetapi setiap katanya, setiap pandang mata, selalu penuh dengan sinar cinta yang mendalam.

Kakek itu menghela napas dan memutar otaknya. Dia tentu saja tidak setuju, akan tetapi tidak berani mengaku terus terang di depan siluman itu. Akhirnya dia memperoleh akal dan berkata, "Baiklah, biar dia merawatmu sampai engkau sembuh. Setelah engkau sembuh, barulah kita bicara lagi tentang itu." Setelah berkata demikian, kakek Yo lalu meninggalkan kamar itu.

Setelah kakek itu memberi perkenan, bukan main lega dan girang rasa hati Siu Kwi. Ia melepaskan tangan Yo Jin dan berkata, "Nah, sekarang engkau harus tidur lagi. Aku akan membuatkan bubur untukmu, engkau harus makan yang banyak, selalu minum obat, dan banyak tidur..."

"Akan tetapi, aku ingin bercakap-cakap denganmu, Kwi-moi..."

"Hsshhh, belum waktunya mengobrol. Ingat, aku perawatmu dan kau harus mentaati semua permintaanku!" Ia mengangkat telunjuknya seperti orang mengancam, dengan sikap yang manja dan genit saking girang hatinya.

Yo Jin tertawa. "Baiklah, baiklah. Aku akan mentaatimu dan menutup mulutku."

"Heii, jangan ditutup terus. Tidak enak jika kau kelihatan marah dan tidak mau mengajak bicara padaku."

Mereka tertawa dan di dalam suara ketawa mereka terkandung keriangan. Keadaan hatinya saja sudah merupakan obat yang amat mujarab bagi penyakit Yo Jin.

Selama tiga hari, Siu Kwi merawat Yo Jin dengan amat tekunnya. Ia juga mencucikan pakaian Yo Jin. Kakek Yo tetap tidak mau dibantunya dan bahkan tidak membolehkan Siu Kwi mencucikan pakaiannya yang kotor! Pendeknya, dia tidak mau bersentuhan dengan siluman! Segala yang dimasak oleh Siu Kwi, kakek itu tidak mau menyentuhnya juga. Dia selalu makan di luar, di rumah teman-teman atau di warung nasi selama Siu Kwi berada di rumahnya.....

********************

Ketahyulan membuat orang dapat melakukan hal yang amat bodoh. Ketahyulan muncul kalau orang mudah percaya kepada diri sendiri, tidak mau melihat kenyataan yang ada melainkan dipermainkan oleh khayal, mengagungkan hal-hal yang dianggap aneh dan berada di luar pengertian mereka. Jelaslah bahwa ketahyulan adalah suatu kebodohan dan orang dapat melakukan segala hal yang tidak masuk akal.

Perasaan takut Kakek Yo masih tebal terhadap setan-setan, semua sebagai akibat dari ketahyulannya. Menghadapi kehadiran Siu Kwi, dia percaya sepenuhnya bahwa wanita itu adalah siluman. Banyak hal yang dianggapnya cukup menjadi bukti bahwa Siu Kwi adalah siluman.

Pertama, asal-usul wanita ini yang tidak jelas, kemunculannya begitu saja. Hal ke dua, kecantikannya yang menyolok dan betapa orang yang secantik dan sekaya itu, melihat kemewahan pakaiannya, bisa jatuh cinta kepada anaknya, seorang pemuda tani dusun. Ke tiga, kepandaiannya dalam mengobati. Ke empat, kemunculannya kembali yang amat aneh, tahu-tahu berada di dalam kamar! Sungguh seperti setan!

Karena rasa takutnya itu, kakek Yo lalu melaporkan kembalinya Siu Kwi kepada kepala dusun Tong secara diam-diam dan mendengar bahwa di rumah kakek Yo telah datang siluman yang ditakuti itu, kepala dusun Tong cepat memberi kabar kepada kepala dusun Lui. Terjadilah persekongkolan antara kakek Yo dan dua orang pejabat itu untuk secara bersama-sama menghadapi siluman.

Si tosu dusun lalu dihubungi dan tosu inilah yang mendatangkan tosu-tosu lain, tokoh-tokoh yang akan membuat dua orang kepala dusun itu sendiri terkejut setengah mati kalau mengenal mereka karena para tosu itu adalah tokoh-tokoh besar Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan Pat-kwa-kauw (Agama Segi Delapan) yang condong ke arah golongan sesat dan terkenal pula sebagai pemberontak-pemberontak.

Setelah mereka yang bersekongkol itu mengadakan pertemuan mengatur siasat, kakek Yo kemudian mendapat tugas untuk membawa Yo Jin ke rumah kepala dusun Lui yang menjadi sarang pertemuan mereka. Mereka akan melihat gelagat lebih dahulu sebelum menggunakan kekerasan karena menurut para tosu, siluman dapat memiliki kesaktian yang sukar dikalahkan.

Demikianlah, setelah Yo Jin kelihatan sembuh benar, ayahnya lalu mengajaknya untuk pergi menghadap ke rumahnya kepala dusun Lui. "Kita harus pergi ke sana, anakku. Memang, dengan bijaksana kepala dusun Lui telah memaafkanmu, akan tetapi yang memintakan maaf adalah aku. Kalau engkau sendiri yang datang menghadap dan minta maaf, tentu dia akan lebih senang hatinya dan selanjutnya, kita tidak akan mengalami gangguan lagi."

Siu Kwi mendengarkan percakapan itu dan ia mengerutkan alisnya. "Jin-toako, kuharap kau berhati-hati menghadapi orang-orang seperti Lui-kongcu itu. Orang-orang seperti itu tidak mudah melupakan kekalahan dan selalu menaruh dendam, dan mereka mungkin akan menggunakan siasat untuk menjebakmu. Kurasa lebih baik kalau engkau tidak pergi ke sana."

Yo Jin tadinya sudah siap mengikuti ayahnya. Mendengar ucapan Siu Kwi, dia menjadi ragu-ragu. "Kurasa benar juga pendapat Kwi-moi, ayah. Kenapa aku harus menghadap ke sana kalau aku tidak bersalah apa-apa terhadap mereka? Pula, mereka sudah diam saja, berarti sudah tidak ada masalah apa-apa. Kuharap saja Lui-thungcu tidak jahat seperti puteranya dan dapat menyadari kesesatan puteranya dan dengan kesadaran itu memaafkan aku. Kalau aku muncul, jangan-jangan dia malah menjadi marah kembali dan melakukan tindakan yang tidak menguntungkan."

Tentu saja kakek Yo kecewa bukan main dan hatinya mendongkol. Puteranya itu selalu taat kepadanya, akan tetapi setelah siluman itu mencengkeram dan menguasainya, kini berani membangkang terhadap perintahnya.

"Yo Jin...," bentaknya marah. Dia hanya berani memarahi anaknya, sedangkan terhadap Siu Kwi, dia memandang pun tidak berani. "Selama ini engkau seorang anak penurut, akan tetapi sekarang engkau berani membantah kehendak ayahmu! Baik, engkau boleh tidak menurut kepadaku, akan tetapi selamanya engkau tidak perlu mentaati aku lagi!" Berkata demikian, kakek itu lalu memutar tubuh dan keluar.

"Ayah...!" Yo Jin berseru dengan kaget, cepat dia lari keluar mengejar ayahnya. Setelah tiba di luar dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya. "Ayah, maafkan aku, bukan maksudku untuk membantah..."

"Cukup, cepat berganti pakaian dan ikut aku ke rumah Lui-thungcu atau... jangan sebut aku ayah lagi!"

Tentu saja Yo Jin tidak berani membantah. Dia masuk lagi ke dalam kamar dan berganti pakaian sambil berkata kepada Siu Kwi, "Kwi-moi, kau maafkan aku. Aku terpaksa pergi sebentar ikut ayah. Dia marah dan kau tentu maklum bahwa aku tidak mungkin dapat menentang kehendaknya."

Siu Kwi tersenyum sabar. "Aku mengerti, toako. Pergilah, aku akan menanti kembalimu di sini dengan sabar hati."

Lega rasa hati Yo Jin mendengar dan melihat sikap Siu Kwi itu dan dia pun segera pergi bersama ayahnya, meninggalkan dusun mereka yang terletak di sebelah selatan itu untuk berkunjung kepada kepala dusun Lui di dusun sebelah timur.

Selama sepanjang perjalanan itu, kakek Yo memperoleh kesempatan untuk menasehati anaknya. Dia memperingatkan anaknya tentang bahaya yang mengancam dirinya kalau semakin akrab dan dekat dengan wanita cantik yang menjadi tamu mereka.

"Sadarlah engkau, anakku," demikian dia menutup nasehatnya yang agaknya tak terlalu dipedulikan oleh Yo Jin, didengarkan tanpa dijawab. "Engkau kini sudah berada dalam cengkeramannya, engkau sudah dibikin mabok oleh hawa siluman. Masih untung jika selama ini engkau belum tidur bersama siluman itu, karena kalau hal itu terjadi, akan celakalah engkau. Sadar dan mundurlah sebelum terlambat, anakku."

Meski Yo Jin maklum bahwa ayahnya membujuknya untuk menjauhi Siu Kwi terdorong oleh rasa sayang karena ayahnya tidak ingin melihat dia celaka, akan tetapi hatinya terasa panas dan tidak enak mendengar betapa ayahnya yakin bahwa Siu Kwi adalah seorang siluman.

"Ayah, sudah beratus kali kukatakan bahwa Ciong Siu Kwi bukanlah seorang siluman, melainkan seorang wanita yang patut dikasihani, yang berhati mulia."

"Tapi tosu itu..."

"Persetan dengan tosu tahyul itu, ayah! Dengarlah, ayah. Sudah beberapa lama aku mengenal Siu Kwi dan belum pernah satu kali pun ia melakukan hal yang bukan-bukan. Ia selalu sopan dan merawatku dengan teliti dan tekun. Ia suka kepadaku, hal itu amat kuharapkan dan nampaknya begitu, dan aku... cinta padanya, ayah, akan tetapi selama ini belum pernah dia memperlihatkan perasaannya dengan perbuatan yang melanggar susila. Ia seorang wanita baik-baik, ayah, seorang wanita yang telah banyak menderita."

Kakek itu mengerutkan alisnya. Agak ragu-ragu juga hatinya setelah mendengar ucapan anaknya itu. Memang tidak ada bukti nyata bahwa Siu Kwi seorang siluman. Akan tetapi keganjilan-keganjilan yang terjadi bersama kemunculannya membuat ia kembali meragu dan hanya menggelengkan kepala.

Biarlah, biarlah Lui-thungcu yang akan menangani persoalan ini. Dia sudah berunding dengan kepala dusun itu. Ajakannya kepada puteranya untuk menghadap kepala dusun Lui ini juga termasuk pelaksanaan dari rencana mereka. Dia harus mengajak Yo Jin ke sana agar para tosu sakti yang sudah berada di rumah Lui-thungcu dapat mengobati dan membersihkan diri Yo Jin dari hawa siluman itu. Hal ini akan lebih mudah kalau dilakukan sewaktu Yo Jin tidak berada di rumah.

Ayah dan anak ini disambut oleh kepala dusun Lui yang didampingi Lui-kongcu dan juga dua orang tosu tua yang memegang tongkat. Tosu pertama memakai pakaian yang longgar berwarna putih dan di dadanya terdapat lukisan bunga teratai putih di atas dasar biru yang berbentuk bulat. Tosu ini usianya sudah tujuh puluhan tahun, mukanya merah sekali seperti berdarah dan tangannya memegang sebatang tongkat berbentuk naga berwarna hitam. Tubuhnya kecil kurus seperti tulang-tulang dibungkus kulit saja.

Ada pun tosu ke dua, tinggi besar dan perutnya gendut. Pakaiannya berwarna kuning dengan lukisan pat-kwa (segi delapan) di dadanya. Berbeda dengan tosu pertama yang rambutnya digelung ke atas, tosu ke dua ini rambutnya dibiarkan riap-riapan dan karena rambutnya sudah putih semua, maka nampaklah dia seperti seorang yang suci. Juga dia memegang tongkat hitam berbentuk ular, lebih kecil dari pada tongkat tosu pertama. Tosu ke dua ini bermuka pucat kekuningan, seperti orang berpenyakitan.

Begitu menghadap kepala dusun ini, kakek Yo yang di tengah perjalanan tadi sudah memberi tahu kepada anaknya apa yang harus dilakukan kalau sudah berhadapan dengan kepala dusun Lui, menyentuh lengan anaknya memberi isyarat.

Yo Jin mengerutkan alisnya. Begitu menghadap kepala dusun itu dan melihat betapa kepala dusun memandangnya dengan sinar mata marah, terutama sekali Lui-kongcu yang jelas sekali kelihatan marah kepadanya dan memandangnya penuh kebencian, hatinya sudah merasa menyesal mengapa dia datang ke tempat ini. Akan tetapi, untuk menyenangkan hati ayahnya, dia lalu melangkah maju dan memberi hormat kepada kepala dusun itu bersama puteranya, sambil berkata dengan suara lantang.

"Lui-thungcu dan Lui-kongcu, mentaati perintah ayahku, maka saya datang menghadap ji-wi untuk mohon maaf atas segala hal yang telah terjadi antara saya dan Lui-kongcu."

Ayah dan anak yang biasanya dihormati orang dan diagungkan bagaikan keluarga raja kecil itu, mengerutkan alis lebih dalam karena mereka merasa tidak puas melihat sikap Yo Jin.

"Kenapa tidak dari dulu engkau datang mohon maaf?" bentak Lui-kongcu dengan suara marah.

Yo Jin menoleh kepada ayahnya. Sikap pemuda itu sama sekali tidak diduganya, sebab menurut ayahnya, keluarga Lui sudah memaafkannya, akan tetapi mengapa Lui-kongcu masih bersikap demikian keras? Dia melihat ayahnya hanya menunduk, maka dia lalu mengangkat muka menentang pandang mata Lui-kongcu. Dilihatnya kongcu itu sedang memandang kepadanya dengan sikap yang amat angkuh. Bangkitlah rasa penasaran di dalam hati pemuda ini.

"Saya baru saja sembuh dari sakit, dan baru hari ini ayah mengajak saya datang ke sini," jawabnya singkat dan suaranya juga sama sekali tidak merendah.

"Brakkk!"

Tangan kepala dusun Lui menggebrak meja di depannya. "Yo Jin, engkau sungguh seorang pemuda yang keras kepala! Di depan kami engkau berani bersikap seperti ini? Hayo lekas berlutut!"

Wajah Yo Jin menjadi merah karena penasaran.

Ayahnya kembali menyentuh lengannya. "Anakku, taatilah perintah Lui-thungcu."

Akan tetapi Yo Jin tidak mau. "Tidak, ayah. Aku tidak bersalah, mengapa aku harus berlutut minta ampun dan mohon dikasihani? Tidak, aku mau pulang saja!"

Berkata demikian, Yo Jin lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi tanpa pamit dari depan kepala dusun itu.

"Ehhh, bocah laknat, berani kau kurang ajar kepadaku? Kembali kau!" bentak kepala dusun itu dengan marah.

"Hemm, Yo Jin, kembalilah kau!"

Tiba-tiba terdengar suara parau dan yang mengeluarkan ucapan ini ialah tosu bermuka merah, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dia berkata sambil menggerakkan tangan kiri ke arah Yo Jin. Dan terjadilah keanehan!

Mendadak Yo Jin yang sudah melangkah pergi itu menghentikan langkahnya, menoleh dan memutar tubuh lalu kembali ke depan kepala dusun Lui! Pemuda itu sendiri terkejut bukan main. Pada waktu mendengar suara parau tadi, seolah-olah ada kekuatan aneh yang memaksanya, bahkan kemauannya seperti membeku dan kedua kakinya, seluruh tubuhnya bergerak sendiri di luar kehendaknya. Dia kini berdiri di depan kepala dusun itu, berdiri tegak dan mukanya menunjukkan kekerasan hatinya yang enggan tunduk.

Kembali tokoh Pek-lian-kauw itu menggerakkan tangan kirinya seperti orang melambai. "Yo Jin, berlututlah di depan Lui-thungcu!"

Sungguh luar biasa sekali. Yo Jin tidak sudi berlutut, akan tetapi tiba-tiba saja kakinya terasa lemas dan dia pun jatuh bertekuk-lutut! Terdengar kakek dari Pek-lian-kauw itu terkekeh girang. Yo Jin mengangkat mukanya memandang, dan terkejut melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong seperti mata kucing.

"Kau... kau... bukan manusia, kaulah yang siluman!" bentaknya dan suara ini baru bisa dia keluarkan setelah menguatkan hatinya dan memaksa mulutnya untuk meneriakkan kata-kata ini.

"Bocah kurang ajar kau!" bentak Lui-thungcu sambil menggapai empat orang prajurit pengawal yang berjaga tak jauh dari situ. "Hajar dia!"

"Ha-ha, tak perlu pakai banyak orang, Lui-thungcu. Biar pinto yang menghajarnya!" yang bicara adalah kakek tokoh Pat-kwa-kauw yang bertubuh tinggi besar itu dan sebelum si kepala dusun menjawab, tangan kirinya sudah menyambar ke depan.

Angin yang kuat sekali keluar dari gerakan tangan itu dan tubuh Yo Jin terpelanting seperti didorong oleh tenaga yang amat keras! Pemuda itu terkejut, mencoba bangkit kembali, akan tetapi setiap kali tosu Pat-kwa-kauw itu menggerakkan tangan, dia pun terbanting dengan keras. Sampai beberapa kali Yo Jin jatuh bangun dan terbanting keras di atas lantai, bergulingan di depan kepala dusun Lui dan puteranya yang tertawa girang melihat betapa musuh yang dibencinya itu kini menjadi bulan-bulan kesaktian dua orang kakek itu.

Sementara itu, kakek Yo terkejut sekali melihat betapa anaknya disiksa. Dia pun cepat maju berlutut di depan kepala dusun Lui. "Lui-thungcu, maafkanlah anakku. Perjanjian antara kita tidak begini! Harap jangan pukul lagi puteraku!"

Kepala dusun Lui menjadi marah. "Usir tua bangka yang tidak mampu mengajar anak ini keluar dan penjarakan Yo Jin!"

Empat orang pengawal itu maju, memegang lengan kakek Yo dan menariknya bangun. Kakek itu menjadi marah sekali.

"Aturan mana ini? Kita berjanji untuk bersama-sama menghadapi siluman, akan tetapi mengapa anakku disiksa dan aku diusir? Lui-thungcu, apakah engkau sudah melupakan perjanjian antara kita...?"

"Usir dia! Seret dan pukul agar dia tidak banyak cerewet lagi!" bentak kepala dusun Lui.

Memang benar bahwa kakek Yo pernah mengadakan perjanjian bersekutu dengannya untuk menghadapi siluman yang berada di rumah keluarga Yo. Tetapi, kepala dusun itu yang sekarang dibantu oleh dua orang kakek tosu yang sakti, masih tidak melupakan dendamnya ketika puteranya dipukuli Yo Jin sehingga pulang dengan muka bengkak-bengkak. Kakek Yo hanya melaporkan tentang adanya siluman dan dia akan membasmi siluman itu bersama dua orang tosu sakti. Kakek Yo tidak dibutuhkannya sama sekali, bahkan perlu dihajar karena keluarga Yo pernah menghina puteranya.

Kini kakek Yo menjadi marah. Dia meronta dan melepaskan pegangan, mengamuk dan memukul roboh seorang pengawal. Akan tetapi tiga orang pengawal itu mengeroyoknya dan tubuhnya yang tua dihujani pukulan. Kakek Yo yang tinggi besar dan biasa bekerja berat dan kasar ini, melawan mati-matian dan ternyata tubuhnya memang kuat. Empat orang pengawal itu sampai kewalahan untuk dapat menangkap dan menyeretnya ke luar.

"Ha-ha, biar aku yang melemparnya keluar," kata tosu Pat-kwa-kauw yang membiarkan Yo Jin yang tadi terbanting-banting itu kini mendekam lemas dan pusing, lalu dia turun dari atas kursinya, menghampiri kakek Yo.

Kakek Yo yang sudah menjadi marah sekali, menyambutnya dengan pukulan keras!

"Dukkk!"

Tongkat berbentuk ular itu menotok dan seketika tubuh kakek Yo roboh lemas. Tongkat itu bergerak lagi, mengungkit dan seperti orang melempar kulit pisang menggunakan sebatang tongkat, sekali tangannya bergerak, tubuh kakek yang tinggi besar itu lantas terlempar keluar pintu dan terbanting roboh dengan keras sekali di luar pintu!

Kakek Yo merangkak bangun, dari mulut dan hidungnya keluar darah. Totokan tongkat yang tepat mengenai dadanya tadi membuat dadanya terasa seperti akan pecah dan kekuatan dalam tubuhnya habis. Dia merangkak, tertatih-tatih bangkit.

"Ayahhh...!" Yo Jin berteriak melihat betapa ayahnya disiksa.

Akan tetapi, empat orang pengawal itu telah menangkapnya, mengikat kedua lengannya ke belakang dan menyeretnya dari ruangan itu untuk dijebloskan dalam kamar tahanan.

"Ayah peringatkan Kwi-moi...!" Yo Jin masih sempat berteriak dan teriakan ini didengar oleh kakek Yo.

Kini baru kakek Yo teringat akan semua ucapan puteranya, betapa jahatnya keluarga Lui dan betapa Siu Kwi adalah seorang wanita yang amat baik, seorang janda yang patut dikasihani dan yang agaknya saling mencinta dengan Yo Jin. Timbul penyesalan di dalam hatinya dan kakek ini maklum kini bahwa perlakuan keluarga Lui kepada dia dan puteranya adalah karena Lui-kongcu ingin mendapatkan wanita cantik itu!

Wanita itu bukan siluman dan kini terancam bahaya! Dia merasa menyesal sekali telah memusuhi Siu Kwi dan dialah yang mendorong puteranya hingga kini Yo Jin ditangkap dan Siu Kwi terancam bahaya. Penyesalannya mendatangkan kekuatan baru pada diri kakek ini dan biar pun dia telah menderita luka parah di dalam tubuhnya, namun dia masih mampu mengeluarkan tenaga terakhir untuk berlari pulang secepatnya.

Tenaga kakek Yo habis ketika dia tiba di depan rumahnya dan dia pun roboh terguling. Pada saat itu, Siu Kwi yang melihat dia pulang berlari-lari sendirian saja, sudah cepat keluar menyambut. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Siu Kwi melihat kakek itu roboh dengan muka pucat sekali. Napasnya terengah-engah, dari mulut dan hidungnya keluar darah.

Cepat ia berlutut. Ketika ia mengangkat tubuh atas kakek itu untuk didudukkan, wanita ini terkejut. Dengan pengalaman dan kepandaiannya, ia dapat melihat bahwa kakek ini telah menderita luka dalam yang amat hebat dan tidak akan dapat disembuhkan lagi! Kakek ini telah menerima serangan orang yang menggunakan ilmu kepandaian tinggi, mungkin totokan atau tamparan. Hatinya mulai merasa gelisah, apa lagi karena Yo Jin tidak pulang bersama kakek itu.

"Yo-lopek, kau kenapakah? Apa yang telah terjadi dan mana Jin-toako?"

Kakek itu membuka mulut hendak bicara, tetapi yang keluar hanya suara menggelogok diikuti tumpahan darah! Siu Kwi cepat menekan bagian dada kakek itu dan menotok beberapa jalan darah. Kakek itu kini berhasil mengeluarkan suara.

“Yo Jin... ditangkap... Lui-thungcu... dua tosu sakti... aaahhh..." kakek itu menghentikan kata-katanya, matanya terbelalak, lalu terpejam dan kepalanya terkulai lemas.

Siu Kwi maklum bahwa kakek itu telah tewas. Dia mengangkat tubuh kakek itu dan membawanya ke dalam rumah. Setelah merebahkan mayat itu di dalam kamar kakek Yo, ia lalu melompat keluar dan seperti terbang saja Siu Kwi sudah berlari menuju ke dusun timur. Hatinya gelisah sekali, akan tetapi juga marah. Yo Jin sudah ditangkap dan ayahnya dibunuh!

Hari telah sore ketika Siu Kwi tiba di dusun timur dan ia langsung mencari rumah kepala dusun. Setelah tiba di depan pintu gerbang pekarangan rumah yang besar itu, Siu Kwi langsung saja masuk. Dua orang penjaga menghadangnya dan dua orang ini senyum-senyum kurang ajar ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah seorang wanita cantik.

"Nona hendak mencari siapakah?" tanya seorang di antara mereka sambil melintangkan tombaknya dengan lagak galak, akan tetapi sinar matanya seperti hendak menelanjangi wanita yang berdiri di depannya.

"Apakah ini rumah kepala dusun Lui?"

"Benar," jawab orang ke dua yang perutnya gendut.

"Dan kalian ini penjaga-penjaga di sini?" Siu Kwi bertanya lagi.

Dua orang itu mengangguk. Siu Kwi menahan diri agar tidak sembarangan membunuh orang. Kepala dusun itulah yang harus dihadapi, bukan segala macam penjaga tingkat rendahan. Maka ia lalu melangkah maju lagi untuk masuk ke dalam rumah itu, mencari kepala dusun Lui.

"Hei, nona, tunggu dulu!"

"Kau tidak boleh masuk begitu saja! Beri tahukan nama dan keperluan, dan kami akan lebih dulu melapor ke dalam!"

Siu Kwi memandang kepada dua orang penjaga yang sudah melintangkan tombak di depannya itu. Kesabarannya hilang dan ia membentak, "Pergilah!"

Kedua tangannya dipentang seperti orang membuka daun pintu dan tubuh dua orang penjaga itu pun terpelanting ke kanan kiri dan terguling-guling sampai jauh! Siu Kwi tidak mempedulikan lagi kedua orang yang merangkak bangun dengan mata terbelalak dan kepala nanar itu, dan ia terus melangkah maju sampai ke ruangan depan.

Lima orang pengawal mengejar keluar ketika mendengar suara ribut-ribut dan mereka tadi sempat melihat betapa dua orang rekan mereka terguling-guling dan seorang wanita cantik berjalan memasuki ruangan itu. Cepat mereka mengepung wanita itu.

"Aku tidak mau berurusan dengan kalian. Suruh kepala dusun Lui keluar, atau aku akan mencarinya sendiri dan menyeretnya keluar!" kata Siu Kwi, suaranya dingin sekali oleh karena dia sudah marah.

Kalau saja ia masih Siu Kwi sebulan yang lalu, tentu ia tidak akan banyak cakap lagi dan membunuh lima orang ini. Juga dua orang penjaga tadi tentu kini tak dapat bangun lagi. Tetapi sekarang ia menjaga diri dengan ketat agar jangan sampai ia sembarangan saja membunuh orang.

Tentu saja lima orang pengawal itu tidak sudi memenuhi permintaannya. Mereka tadi sudah melihat betapa wanita ini merobohkan dua orang rekannya, hal ini saja sudah menunjukkan bahwa wanita ini datang sebagai musuh majikan mereka. Betapa pun juga, lima orang pengawal ini masih memandang rendah kepada Siu Kwi. Mereka yang sudah mengepung itu langsung mengulurkan tangan dan menubruk, seperti hendak berlomba menangkap dan memeluk perempuan cantik itu.

"Pergilah kalian!" bentak Siu Kwi.

Mendadak tubuh Siu Kwi bergerak dengan kecepatan luar biasa. Terdengar lima orang pengeroyok itu mengaduh dan tubuh mereka pun terpelanting ke kanan dan kiri, roboh berserakan. Sejenak mereka menjadi nanar dan terheran-heran. Mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi sampai roboh. Kedua tangan wanita itu bergerak membagi-bagi tamparan seperti kilat menyambar-nyambar saja.

Kini mereka pun sadar bahwa mereka sedang berhadapan dengan seorang wanita yang mempunyai ilmu silat tinggi, maka mereka cepat bangkit lagi sambil mencabut golok dari pinggang. Mereka mengepung lagi dengan besar hati karena keributan itu telah menarik perhatian orang dan sekarang dari dalam muncul pasukan pengawal berjumlah belasan orang, mengiringkan Lui-thungcu yang datang bersama Lui-kongcu dan dua orang tosu.

Akan tetapi, serangan golok lima orang itu pun tidak ada artinya sama sekali bagi Siu Kwi. Ketika melihat lima orang itu menyerang serentak dengan golok mereka, Siu Kwi cepat mendahului mereka. Tubuhnya bergerak cepat dan tahu-tahu lima orang itu sudah berpelantingan kembali, golok mereka pun beterbangan dan kini mereka terbanting lebih keras dari pada tadi sehingga mereka tak dapat serentak bangun seperti tadi melainkan merangkak-rangkak sambil mengeluh seperti segerombolan anjing kena gebuk!

"Itulah siluman itu!" tiba-tiba Lui-kongcu berseru sambil telunjuknya menuding ke arah Siu Kwi. Mendengar ini, kepala dusun Lui segera memberi isyarat kepada tiga belas orang pengawalnya untuk maju.

"Tangkap siluman ini, hidup atau mati!" perintahnya.

Tiga belas orang pengawal itu merupakan pengawal-pengawal pribadi yang pilihan dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup tinggi, tidak seperti lima orang pengawal biasa yang tadi telah dirobohkan itu. Mereka bergerak hati-hati, mencabut pedang dan perisai baja, lalu mengepung Siu Kwi.

Wanita ini melihat bahwa ruang itu terlampau sempit untuk menghadapi pengeroyokan, maka ia pun meloncat turun ke pekarangan yang lebar. Ketiga belas orang itu segera mengejarnya tanpa meninggalkan gerakan barisan yang teratur.

Ternyata tiga belas orang pengawal ini bukan orang-orang sembarangan dan mereka bergerak dalam gaya barisan Cap-sha Kiam-tin (Barisan Pedang Tiga belas) yang terus berubah-ubah seperti garis perbintangan. Karena itu, walau pun Siu Kwi melompat ke pekarangan, tetap saja wanita itu dalam keadaan terkepung.

Kini Siu Kwi berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Kegembiraannya timbul kembali. Sudah terlalu lama ia menganggur dan tak pernah menghadapi perkelahian. Sekarang, dikepung tiga belas orang yang berpedang, timbul lagi gairahnya untuk berkelahi.

Namun, kesadarannya akan kesesatan yang dimasukinya dalam kehidupannya yang lalu tak pernah meninggalkan batinnya sehingga kini ia menghadapi mereka tanpa ada perasaan benci. Perasaan benci inilah yang membuat orang dapat berbuat kejam, dapat membuat orang membunuh orang lain dengan mudah saja. Tidak, ia takkan membunuh orang, biar pun untuk menyelamatkan Yo Jin ia mau berbuat apa saja.

Melihat orang yang mereka kepung itu hanya berdiri tegak sambil bertolak pinggang, tiga belas orang itu menjadi penasaran. Wanita ini sungguh memandang rendah kepada mereka.

Orang yang memimpin barisan itu, yang berkumis panjang, mengeluarkan aba-aba dan tiga orang yang berada di belakang Siu Kwi sudah menyerang dengan pedang mereka. Seorang membacok ke arah leher, seorang lagi menusuk ke punggung dan orang ke tiga membabat ke arah kaki! Sungguh merupakan serangan dari belakang yang sangat berbahaya sebab semua bagian tubuh lawan, atas, tengah dan bawah diserang dengan berbareng. Dan yang diserang masih kelihatan enak-enakan saja.

"Ia akan mampus sekarang!" kata kepala dusun Lui melihat serangan itu.

"Heh-heh-heh, dugaanmu keliru, thungcu. Orang-orangmu yang akan kalah!" Ucapan ini keluar dari mulut tosu tokoh Pek-lian-kauw yang berada di dekatnya sehingga kepala dusun itu terkejut bukan main.

Memang dugaan tosu itulah yang tepat. Saat tiga batang pedang itu sudah menyambar dekat, tiba-tiba tubuh Siu Kwi meloncat ke depan sehingga tiga serangan dari belakang itu luput dan wanita itu kini malah menyerang pengepung yang berada di depannya.

Empat orang serentak menyambutnya dengan pedang dan perisai. Akan tetapi agaknya Siu Kwi tidak peduli akan ini. Kaki tangannya bergerak cepat sekali dan terdengar suara keras ketika dua perisai baja pecah oleh tendangan Siu Kwi dan kakinya masih terus mengenai dada para pemegangnya, sedangkan kedua tangannya sudah merobohkan dua orang lain lagi. Dalam segebrakan saja, dari keadaan diserang oleh empat orang di belakangnya, wanita itu telah merobohkan empat orang di depannya!

Hal ini sungguh sama sekali tidak pernah disangka oleh barisan tiga belas orang itu. Mereka kini tinggal sembilan orang dan mereka cepat melangkah mengitari Siu Kwi yang kembali berdiri tegak sambil bertolak pinggang di tengah lingkaran. Tubuhnya sama sekali tak bergerak, hanya kedua bola matanya yang bergerak mengikuti gerakan sembilan orang pengepung itu.

"Orang she Lui!" Siu Kwi sempat berseru kepada kepala dusun yang berdiri di kepala anak tangga bersama puteranya dan dua orang tosu itu. "Bebaskan Yo Jin dan aku akan meninggalkan tempat ini!"

Akan tetapi pada saat itu, sembilan orang pengepungnya sudah menerjang maju secara serentak. Banyak pedang berkilat dari segenap penjuru, menyerang ke arah tubuh Siu Kwi. Agaknya, sembilan orang itu hendak mencincang tubuh wanita itu menjadi bahan bakso!

Namun, Siu Kwi menyambut serangan itu dengan gerakan tubuhnya yang lincah. Begitu tubuhnya berkelebat, bayangannya saja yang nampak, tubuhnya sudah lenyap saking cepatnya ia bergerak. Sembilan orang itu terus menyerang ke arah bayangan, namun mereka kalah cepat. Bayangan itu sudah menerjang ke kanan kiri, depan belakang dan berturut-turut terdengar pekik kesakitan disusul robohnya seorang pengeroyok. Siu Kwi tidak pernah menghentikan gerakannya. Bayangannya terus berkelebatan dan akhirnya, sembilan orang pengeroyok itu pun roboh seperti empat orang pertama!

Pedang dan perisai berserakan. Mereka mengaduh-aduh karena biar pun tak seorang di antara mereka tewas, namun mereka menderita patah tulang atau setidaknya salah urat yang membuat mereka tidak mampu berkelahi lagi. Dengan muka pucat dan mata terbelalak tiga belas orang itu kini memandang gentar, lalu merangkak bangun dan menyusul lima orang rekan mereka yang sudah lebih dulu mengundurkan diri, minggir di tempat aman sambil berusaha untuk mengobati cedera pada tubuh mereka.

Kepala dusun Lui dan puteranya saling pandang dengan muka berubah pucat. Tidak mereka duga bahwa dua puluh orang penjaga dan pengawal semua roboh oleh wanita itu!

"Ia benar-benar siluman!" bisik Lui-kongcu yang sekarang menjadi ketakutan sehingga lenyaplah semua gairahnya terhadap wanita cantik itu.

Namun, selagi ayah dan anak itu memandang khawatir dan mulai ketakutan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dua orang tosu itu.

"Ha-ha-ha, siluman betina ini memiliki kepandaian yang lumayan! Timbul kegembiraan pinto untuk mencobanya!" Dan tosu bermuka pucat tokoh Pat-kwa-kauw telah menuruni anak tangga dan menghampiri Siu Kwi.

"Heh-heh, tosu. Hati-hatilah, atau kau akan kalah. Pinto tadi melihat gerakan-gerakan yang luar biasa dari kaki tangannya, dan sepertinya pinto pernah kenal jurus-jurus yang digunakannya," kata tosu Pek-lian-kauw yang juga menuruni anak tangga.

Siu Kwi yang masih berdiri tegak, kini menghadapi dua orang tosu itu dan memandang tajam penuh selidik. Tosu pertama yang memakai jubah berlukiskan gambar pat-kwa itu memiliki wajah yang pucat dan kekuningan, hampir sama kuningnya dengan jubahnya. Perawakannya tinggi besar akan tetapi karena mukanya pucat, ia nampak seperti orang menderita sakit. Di tangan kanannya terdapat sebatang tongkat berbentuk ular hitam, panjangnya seperti pedang dan ujungnya yang berupa ekor ular itu runcing.

Ada pun tosu ke dua, usianya hanya beberapa tahun lebih tua dari tosu yang pertama. Tubuhnya kurus kering, pakaiannya putih dengan tanda gambar teratai di dada. Tosu kurus kering ini mukanya berwarna merah darah sehingga kembali Siu Kwi terkejut. Di tangan tosu ini terdapat sebatang tongkat panjang sepanjang tubuh tosu itu, berbentuk naga hitam.

Biar pun ia tidak pernah bertemu dengan mereka dan tidak mengenal mereka, namun dengan mudah Siu Kwi dapat menduga bahwa tosu pertama tentulah seorang tokoh Pat-kwa-kauw, sedangkan tosu ke dua tentulah seorang tokoh Pek-lian-kauw. Dan dari warna muka mereka, juga dari sinar mata mereka, tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan dua orang sakti yang tidak boleh dipandang ringan.

"Heii, siluman betina. Sebenarnya siapa kamu? Berterus teranglah kepada pinto, karena kalau engkau mau bersikap lunak, mungkin pinto dapat pula bersikap lunak kepadamu, heh-heh-heh!" Sepasang mata tosu Pat-kwa-kauw yang mencorong itu kini menjelajahi wajah dan tubuh wanita di depannya.

Sekali pandang saja maklumlah Siu Kwi bahwa tosu tua bertubuh tinggi besar dan berperut gendut ini adalah seorang mata keranjang.

"Siancai..., toyu Ok Cin Cu memang gemar bersikap lunak terhadap wanita. Memang sebaiknya kalau engkau mau mengaku terus terang siapa dirimu dan apa sebenarnya maksudmu sehingga orang seperti engkau ini membela dan melindungi seorang dusun seperti orang she Yo itu!" kata pula tosu Pek-lian-kauw.

Tentu saja hati Siu Kwi menjadi panas sekali. Ia dan ketiga orang gurunya adalah orang-orang yang tidak pernah mengenal takut dan walau pun mereka tidak pernah memilih kelompok, akan tetapi ia sendiri tidak pernah bermusuhan dengan orang-orang Pek-lian-kauw atau pun Pat-kwa-kauw.

"Ji-wi totiang (dua pendeta), aku bernama Ciong Siu Kwi dan selamanya tidak pernah bentrok dengan Pek-Lian-kauw mau pun Pat-kwa-kauw. Jalan hidupku bersimpangan dengan jalan hidup ji-wi. Karena itu, demi keutuhan dunia persilatan, kuharap ji-wi tidak mencampuri urusan pribadiku. Aku membela dia karena aku mencintanya! Nah, aku sudah berterus terang, hendaknya ji-wi juga suka bersikap jujur."

Dua orang tosu itu adalah orang-orang yang terpandang di dalam golongan masing-masing, bahkan menduduki tingkat tinggi sebagai ketua-ketua cabang perkumpulan masing-masing. Melihat sikap dan mendengar ucapan Siu Kwi, dua orang kakek itu tersenyum lebar dan diam-diam mereka pun dapat menduga bahwa wanita yang masih muda ini tentu bukan orang sembarangan. Jelas bukan siluman seperti yang mereka katakan dengan yakin untuk membuat kepala dusun Lui percaya kepada mereka. Dan mereka pun tahu bahwa wanita bernama Ciong Siu Kwi ini lihai sekali ilmu silatnya, seorang wanita yang sudah banyak makan asam garamnya hidup di dunia sesat yang penuh kekerasan.

Wanita ini bukan golongan pendekar, hal ini dapat diduga oleh mereka. Dan seorang wanita yang keras hati dan jujur sehingga mengaku begitu saja tentang cintanya kepada seorang pemuda dusun, hal yang sendirinya sudah merupakan suatu keganjilan. Aneh sekali selera wanita ini, pikir mereka. Mengapa menjatuhkan pilihan kepada seorang pemuda dusun yang bodoh dan tolol dan amat sederhana? Pada hal, wanita seperti ini, akan mudah saja memilih dan mendapatkan pacar di antara para kongcu yang kaya dan pandai di kota-kota besar.

"Ho-ho, engkau hendak berkenalan dengan pinto, nona? Pinto memang ketua cabang Pat-kwa-kauw berjuluk Ok Cin Cu. Pinto juga tidak ingin bermusuhan dengan engkau, hanya memenuhi permintaan Lui-thungcu untuk menghadapi siluman, Akan tetapi, pinto tidak membenci siluman, asal ia bersikap manis kepada pinto, heh-heh!" Kakek mata keranjang ini mengedipkan sebelah matanya untuk memberi isyarat kepada Siu Kwi.

"Dan pinto adalah ketua cabang Pek-lian-kauw, berjuluk Thian Kek Seng-jin. Benarlah seperti katamu, nona. Di antara kita orang-orang dunia persilatan tak perlu pecah belah. Karena itu, marilah kita tinggalkan saja urusan lurah Lui dengan keluarga Yo, dan kita memperdalam perkenalan ini. Bagaimana?" Tosu Pek lian-kauw terkekeh.

"Ji-wi totiang memang tidak mempunyai sangkut paut dengan urusan ini. Tetapi urusan ini langsung menyangkut diriku! Orang yang kucinta, Yo Jin, sedang ditawan, bahkan ayahnya telah tewas. Aku harus membebaskan Yo Jin, baru aku mau meninggalkan tempat ini bersama dia dan tidak akan memperpanjang urusan."

"Ho-ho-ho, nanti dulu, nona. Yo Jin sudah berdosa terhadap Lui-thungcu, tidak dapat dibebaskan begitu saja sebelum menerima hukuman. Dan pinto yang telah membantu Lui-thungcu untuk menangkapnya," kata Thian Kek Seng-jin sambil tertawa.

"Kalau begitu, aku akan membebaskannya dengan menggunakan kekerasan!" kata Siu Kwi. Tubuhnya sudah meloncat ke samping untuk memasuki rumah besar itu mencari pria yang dikasihaninya dan ditawan di tempat itu.

Akan tetapi nampak sinar berkelebat dan tahu-tahu tongkat ular hitam di tangan Ok Cin Cu sudah menodong dada Siu Kwi dari samping. "Ha-ha-ha, tidak begitu mudah, nona. Sebaiknya engkau bersikap manis dan menurut saja kepada pinto agar tidak perlu pinto menghadapimu sebagai lawan."

Kesabaran yang semenjak tadi ditahan-tahan oleh Siu Kwi sudah habis. "Tosu keparat!" bentaknya.

Ia pun menerjang dengan sengit. Tangan kirinya memukul dengan jari terbuka ke arah dada lawannya sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala, bagaikan hendak menjambak rambut putih yang riap-riapan itu.

"Heh-heh, liar juga engkau, nona!" kakek Pat-kwa-kauw itu tertawa mengejek dan dari sikapnya ini jelas bahwa dia memandang rendah kepada lawannya yang hanya seorang wanita muda. Tongkat hitamnya diputar untuk menangkis pukulan ke arah dadanya sedangkan tubuhnya melangkah mundur agar cengkeraman ke arah kepalanya itu tidak sampai.

"Uhhhh..."

Sikap memandang rendah dari Ok Cin Cu hampir saja mencelakakan dirinya sendiri ketika tiba-tiba saja kepalanya nyaris kena dicengkeram oleh tangan Siu Kwi yang terus mengejarnya. Lengan wanita itu dapat memanjang dan dapat melanjutkan cengkeraman tangannya walau pun sudah dielakkan! Kalau saja Ok Cin Cu tidak memandang rendah, tentu dia tidak sekaget itu.

Kini, terpaksa ia melempar diri ke belakang dan berjungkir balik beberapa kali sehingga tubuhnya terhuyung-huyung ketika dia sudah berdiri kembali. Wajahnya yang pucat kuning itu berubah agak merah.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga