SULING NAGA : JILID-30


Pemuda ini membawa sebuah buntalan pakaian dan jubahnya yang lebar serta panjang menutupi apa yang tersembunyi di ikat pinggangnya. Dia segera menghampiri sebuah meja yang masih kosong di sudut dan dari situ dia dapat memandang ke seluruh ruang rumah makan itu yang telah diisi oleh belasan orang tamu yang makan siang di tempat itu.

Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, pendekar muda dan gagah dari Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya itu. Seperti kita ketahui, pemuda ini menderita kecewa karena cintanya ditolak oleh Bi Lan, bahkan dia dicemooh. Salahnya sendiri. Dia telah bersikap tolol sekali terhadap Bi Lan, sikap yang tentu menyakitkan hati gadis itu.

Dia menyalahkan dirinya sendiri menghadapi penolakan Bi Lan. Hatinya terasa sakit dan kesepian setelah dia melakukan perjalanan seorang diri, tanpa gadis itu. Dia pergi meninggalkan lembah untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Siapa kira, di tempat itu dia malah jatuh cinta dan sekaligus patah hati karena cinta gagal!

Tiba-tiba dia melihat ada seorang pemuda masuk ke dalam restoran itu dan jantungnya berdebar keras ketika dia mengenal pemuda itu. Pemuda yang pernah menyerangnya mati-matian karena cemburu melihat hubungannya dengan Bi Lan! Pemuda yang gagah perkasa dan lihai bernama Gu Hong Beng, yang agaknya juga jatuh cinta kepada Bi Lan dan ditolak oleh gadis itu. Diam-diam Kun Tek tersenyum dalam hati. Senyum pahit. Pemuda yang baru masuk ini mengalami nasib yang sama dengan dia. Sama-sama ditolak cintanya oleh Bi Lan, sama-sama patah hati.

Di lain pihak, Hong Beng juga melihat dan mengenal Kun Tek. Hatinya berdebar dan dia pun merasa tidak enak sekali. Bukan hanya karena dia menganggap Kun Tek sebagai seorang saingan, tetapi karena dia pernah menyerang pemuda itu secara membabi buta karena cemburu.

Peristiwa itulah yang membuat dia merasa malu sekali dan dia pura-pura tidak melihat Kun Tek, menghampiri meja di sudut lain yang menghadap ke luar sehingga meja Kun Tek berada di seberang kirinya. Dengan demikian, dia tidak usah berhadapan langsung dengan pemuda itu yang agaknya saling mencinta dengan Bi Lan!

Melihat sikap Hong Beng, Kun Tek juga diam saja. Dia pun merasa tidak enak hati. Kini dia dapat membayangkan betapa sakit rasa hati Hong Beng ketika itu, ketika melihat gadis yang dicintanya itu diraba-raba kulit pinggangnya oleh seorang pemuda lain! Dia bisa mengerti akan kemarahan Hong Beng yang langsung menyerangnya seperti orang mabok itu.

Dan kini, dia sendiri dapat merasakan betapa sakitnya hati menderita cinta yang gagal, cinta yang hanya bertepuk tangan sebelah. Perasaan senasib sependeritaan membuat Kun Tek memandang ke arah Hong Beng dengan sinar mata akrab dan bersahabat, berbeda dengan sikap Hong Beng yang merasa tidak enak dan biar pun hanya bersisa sedikit, masih ada perasaan iri terhadap pemuda yang dianggapnya menjadi pilihan hati Bi Lan itu.

Kebetulan sekali, kedua orang pemuda itu tanpa disengaja memesan makanan yang sama, yaitu bakmi goreng, bebek panggang dan arak! Hong Beng sebagai orang yang berasal dari selatan, lebih biasa makan nasi dan memesan nasi, sedangkan Kun Tek tidak, cukup dengan bakmi.

Mereka berdua makan tanpa saling tegur atau lirik dan makanan mereka hampir habis pada saat tiba-tiba restoran itu ramai dikunjungi banyak orang. Akan tetapi, dua orang pemuda itu melihat betapa para pengurus rumah makan itu menjadi pucat ketakutan dan mereka itu berkelompok di belakang meja pemilik restoran dengan tubuh gemetar. Juga para tamu lain memandang dengan ketakutan ke arah orang-orang yang baru saja tiba itu.

Pada waktu Kun Tek dan Hong Beng memandang ke luar, mereka berdua pun terkejut. Mereka mengenal siapa adanya wanita cantik dan pemuda tampan yang memimpin rombongan orang itu. Hong Beng telah mengenal Bhok Gun dan Bi-kwi, pernah bentrok dengan mereka ketika dia menolong Bi Lan. Juga Kun Tek pernah menolong Bi Lan dari tangan Bhok Gun, maka kedua orang pemuda itu diam-diam bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Bhok Gun dan Bi-kwi menyapu ruang rumah makan itu dengan pandang mata mereka penuh selidik. Akhirnya mereka melihat Hong Beng dan Kun Tek. Tentu saja mereka terkejut dan sekali melihat Kun Tek yang pernah menolong Bi Lan dari tangannya, Bhok Gun sudah marah. Sambil menunjuk ke arah pemuda itu, dia memerintahkan anak buahnya yang berjumlah duapuluh empat orang.

"Tangkap bocah itu. Dan kalau dia melawan, keroyok dan bunuh saja!"

Bagaikan anjing-anjing pemburu yang sudah terlatih baik, dua puluh orang lebih itu lalu menyerbu ke dalam ruangan itu. Meja kursi yang menghalang di tengah jalan mereka tendang dan singkirkan sehingga sebentar saja tempat itu menjadi porak poranda. Para tamu yang lain sudah bangkit berdiri dan dengan wajah ketakutan menyingkir ke pinggir, berkelompok bersama dengan pemilik dan para pelayan restoran. Yang masih tetap duduk hanya Hong Beng dan Kun Tek. Kun Tek kelihatan tenang saja ketika banyak orang itu menghampiri dan mengepungnya.

"Orang muda, menyerahlah untuk kami tawan, dari pada kami harus mempergunakan kekerasan!" bentak seorang pengawal yang bermuka kasar penuh bopeng (cacar).

Kun Tek menghirup arak yang masih tertinggal di dalam cawannya, lalu bangkit berdiri dan melempar cawan kosong ke atas meja. "Aku tidak bersalah, maka aku tidak sudi menyerah kepada anjing-anjing serigala!" bentaknya.

Kun Tek menyambar buntalan pakaiannya dan dengan sikap tenang dia mengikatkan buntalan pakaian itu di punggung, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa, seolah-olah dia tidak sedang diancam dan dikepung oleh banyak lawan.

Mendengar ucapan Kun Tek dan melihat sikap pemuda yang amat memandang rendah mereka, para prajurit keamanan itu menjadi marah sekali. Mereka ini menjadi semakin tinggi hati saja setelah menjadi anak buah yang dipimpin oleh Bi-kwi dan Bhok Gun, sebab mereka maklum betapa saktinya dua orang pimpinan mereka dan betapa mereka tak pernah gagal menangkap orang. Dalam setiap pembersihan, selalu mereka berhasil baik dan mereka selalu pulang dengan semua kantung di baju mereka penuh barang berharga.

Si muka bopeng yang memandang rendah pemuda di depannya itu, memberi isyarat dan bersama tiga orang kawan lain, mereka menubruk maju hendak menangkap Kun Tek. Akan tetapi, pemuda ini menggeser kakinya, dua tangannya menyambar mangkok dan cawan, kakinya menendang meja. Meja itu terlempar dan menghantam dua orang di antara empat pengeroyok itu, sedangkan yang dua orang lagi, termasuk si muka bopeng, kena dihantam mangkok dan cawan muka mereka.

Keempat orang itu mengaduh-aduh dan terjengkang. Wajah Si muka bopeng yang tadi disambar mangkok itu berdarah dan membuat mukanya semakin buruk lagi. Jika sudah sembuh luka karena tertusuk pecahan mangkok itu, tentu cacat mukanya yang bopeng itu bertambah!

Melihat ini, kawan-kawan empat orang itu menjadi marah dan mereka pun menerjang maju mengeroyok Kun Tek. Tapi tiba-tiba berkelebat bayangan biru dan tahu-tahu Hong Beng sudah menerjang masuk ke dalam arena perkelahian itu.

"Maafkan, aku terpaksa mencampuri, sobat. Mari kita basmi anjing-anjing busuk ini!"

Mendengar ucapan Hong Beng, Kun Tek merasa girang sekali. Dia tidak membutuhkan bantuan, akan tetapi bantuan dari Hong Beng ini menunjukkan bahwa Hong Beng sudah melupakan semua hal yang pernah terjadi dan tidak lagi marah kepadanya.

"Terima kasih, bantuanmu kuhargai sekali!" katanya dan dengan gembira dia pun lantas mengamuk dengan kedua tangan telanjang saja.

Tentu saja dua puluh lebih orang-orang ini bukan lawan tangguh dan mereka segera kocar-kacir oleh amukan kedua orang pemuda perkasa. Bhok Gun dan Bi-kwi segera memasuki gelanggang perkelahian dan keduanya sudah menggunakan pedang mereka, menerjang Kun Tek dan Hong Beng.

Kun Tek dan Hong Beng melayani mereka dengan kelincahan gerakan mereka. Hanya dengan tangan kosong, dan kadang-kadang menyambar pecahan meja atau kaki kursi, mereka berdua bukan hanya mampu menangkis semua serangan lawan, bahkan dapat membalas dengan tidak kalah berbahayanya. Kun Tek yang menghadapi Bhok Gun bahkan tak merasa perlu mengeluarkan pedangnya, pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang oleh ayahnya sudah dipesan supaya tidak sembarangan dikeluarkan kalau tidak terpaksa sekali.

Hong Beng yang sudah melakukan penyelidikan di kota raja dan maklum bahwa dia dan pemuda tinggi besar itu menghadapi pasukan yang melakukan pembersihan, pasukan pemerintah yang entah bagaimana kini bisa dikuasai oleh orang-orang macam Bi-kwi dan Bhok Gun lalu cepat berkata kepada Kun Tek, "Sobat, mari kita pergi!"

"Kenapa kita malah harus pergi? Aku tidak takut akan pengeroyokan mereka!" Kun Tek membantah, merasa penasaran karena mereka berdua sama sekali tidak terdesak.

"Orang-orang ini adalah pasukan pemerintah, tidak baik kita melawan mereka. Nanti aku ceritakan. Percayalah, mari kita pergi!" berkata pula Hong Beng dan dia pun meloncat keluar dari arena pertempuran.

Kun Tek meloncat ke kiri, merobohkan seorang prajurit dan dia pun lari mengikuti Hong Beng. Dengan cepat kedua orang pemuda itu melarikan diri, dikejar oleh pasukan itu. Karena anak buah pasukan mengejar dengan kacau balau, maka gerakan Bi-kwi dan Bhok Gun yang hendak melakukan pengejaran malah terhalang oleh anak buah mereka sendiri. Bi-kwi dau Bhok Gun merasa mendongkol dan marah sekali, juga kecewa.

Mereka segera melapor kepada Kim Hwa Nionio dan itulah sebabnya mengapa kini mereka bergerak lebih hati-hati. Mereka tahu bahwa banyak orang pandai memasuki kota raja dan mereka tidak berani bertindak secara sembrono. Dan itulah pula sebabnya ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki kota raja beberapa hari kemudian, mereka tidak tergesa-gesa turun tangan dan menarik bantuan Kim Hwa Nionio sendiri untuk turun tangan, dan lebih menggunakan akal licik dari pada kepandaian mereka.

Hong Beng terus melarikan diri dan diikuti oleh Kun Tek sampai mereka merasa aman, berbaur dengan orang-orang yang memenuhi jalan raya dan berlalu lalang. Hong Beng lalu mengajak Kun Tek menuju ke sebuah kuil tua.

Semenjak kembali dari Pao-teng mengunjungi Kao Cin Liong, oleh bekas panglima itu dia diberi tahu agar kalau berada di kota raja, dia bermalam atau bersembunyi di kuil itu. Ketua kuil itu, seorang hwesio yang usianya sudah enam puluh tahun lebih dan kini tinggal di situ bersama dua orang hwesio tua lainnya, adalah seorang sahabat dari pendekar Kao Cin Liong.

Dan kini Hong Beng bermalam di situ, diterima baik oleh tiga orang hwesio itu ketika dia menyebutkan nama Kao Cin Liong sebagai paman gurunya. Dengan aman kini kedua orang muda itu memasuki kuil dan Hong Beng langsung membawa kawannya itu ke dalam ruangan yang kecil di belakang kuil.

"Nah, di sini kita bisa bicara dengan aman," kata Hong Beng sambil memandang wajah Kun Tek.

Kun Tek semenjak tadi memperhatikan tempat itu sambil mengangguk-angguk. "Engkau pandai memilih tempat sembunyi, kawan."

"Sebelum kita bicara, ingin aku lebih dulu mengeluarkan perasaan tidak enak di dalam hatiku. Aku ingin... minta maaf kepadamu atas peristiwa yang terjadi dalam pertemuan kita yang lalu. Maafkan atas kebodohanku, karena cemburu adalah suatu kebodohan besar, bukan? Maafkan aku."

Kun Tek tersenyum. "Sudah lama aku memaafkanmu, sobat. Dan kalau dulu aku masih merasa penasaran karena belum tahu, kini aku memaklumi perbuatanmu itu. Aku tahu apa artinya patah hati, betapa pahitnya cinta yang hanya bertepuk sebelah tangan."

Hong Beng memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah Kun Tek.
"Kau maksudkan... kau... dan Bi Lan...?"

Kun Tek mengangguk. "Kita senasib, kawan. Supaya kau ketahui saja dan agar engkau tidak menyimpan iri atau cemburu kepadaku. Seperti juga engkau, cintaku ditolak. Nah, kita berdua ini sama-sama dua ekor keledai jantan yang tolol, bukan?"

Hong Beng melebarkan matanya, kemudian dia memegang lengan Kun Tek. "Ahhh, maafkan aku! Engkau seorang laki-laki sejati. Nah, aku Gu Hong Beng sudah lama kagum kepadamu, sobat."

"Dan aku pun kagum kepadamu. Namaku Cu Kun Tek."

"Ketika kita bertempur, engkau menggunakan sebatang pedang yang hebat. Kenapa tadi tidak kau pergunakan?"

Kun Tek menepuk pinggangnya di mana pedang itu tergantung, terlindung oleh jubah panjangnya. "Dahulu ayahku berpesan agar kalau tidak terpaksa sekali, aku tidak boleh mempergunakan pusaka keluarga kami ini. Dahulu ketika melawanmu, aku terpaksa. Engkau lihai bukan main dan agaknya engkau memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es."

Hong Beng mengangguk, tanpa merasa bangga. "Aku hanya menguasai sedikit saja dari ilmu-ilmu keluarga Pulau Es walau pun suhu-ku adalah seorang anggota keluarga para pendekar Pulau Es. Akan tetapi ilmu pedangmu hebat bukan main."

"Ahh, ilmu keluarga kami belum apa-apa jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu dari Pulau Es. Nah, setelah kini kita menjadi sahabat, ceritakanlah mengapa engkau mengajak aku melarikan diri tadi, padahal kita belum tentu kalah kalau pertempuran itu dilanjutkan."

"Ketahuilah, Kun Tek, bahwa wanita tadi adalah Bi-kwi murid dari Sam Kwi..."

"Aku pernah mendengar nama Sam Kwi..."

"Ia masih suci dari... eh, Bi Lan. Kau tahu, Bi Lan adalah murid Sam Kwi, akan tetapi ia mengambil jalan lain dari pada jalan sesat guru-gurunya, bahkan Bi Lan telah diambil murid oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir..."

"Hemmm... kenapa kau membawa-bawa nama nona Can dalam percakapan ini?" Kun Tek mencela. Dia tak senang karena nama itu mengingatkan dia akan pengalamannya yang amat pahit.

Hong Beng tersenyum pahit. "Tidak apa-apa, hanya karena memang ada hubungannya. Bi-kwi itu, bersama pria tadi yang bernama Bhok Gun, kini telah berhasil menjadi dua orang di antara kaki tangan pembesar yang bernama Hou Seng, pembesar yang kini merajalela di dalam istana. Banyak pembunuhan dilakukannya, membunuhi pembesar-pembesar yang menjadi saingannya. Agaknya dia berhasil pula menggandeng panglima pasukan keamanan. Buktinya, sekarang pasukan-pasukan itu berkeliaran di kota dan melakukan pembersihan di mana-mana, dipimpin oleh Bhok Gun dan Bi-kwi yang jahat itu. Kita tidak seharusnya menentang pasukan keamanan, sebab hal itu dapat membuat kita dicap pemberontak. Yang kita tentang hanyalah kaum sesat yang kini menjadi kaki tangan pejabat-pejabat tinggi. Di antara datuk sesat itu, aku sedang mencari seorang yang bernama Sai-cu Lama..."

"Hemm, aku pun pernah mendengar nama Sai-cu Lama itu dari ayahku. Menurut ayah, Sai-cu Lama adalah seorang tokoh di antara para pendeta Lama yang sakti di Tibet, dan kabarnya Sai-cu Lama adalah seorang pendekar Lama yang menyeleweng dari pada ajaran agamanya."

"Memang benar keterangan ayahmu itu, dia amat jahat. Aku tadinya menerima tugas dari suhu-ku untuk melakukan penyelidikan atas diri pembesar bernama Hou Seng itu. Akan tetapi di dalam perjalanan, aku bertemu dengan Sai-cu Lama, dan melihat sepak terjangnya yang jahat. Dia telah merampas pedang milik Bi Lan, bahkan kemudian aku melihat dia menculik anak perempuan, puteri dari bibi guruku. Karena itu, aku kini sedang menyelidiki di mana adanya Sai-cu Lama itu, dan siapa-siapa pula yang menjadi kaki tangan pembesar bernama Hou Seng itu."

Dengan panjang lebar Hong Beng bercerita tentang keadaan di kota raja seperti yang sudah diselidikinya sehingya akhirnya Kun Tek mengerti dan pemuda ini pun tertarik sekali. "Kalau begitu, pembesar she Hou itu jahat sekali, dan perlu dibasmi!"

Hong Beng menggelengkan kepala. "Tidak semudah itu, sobat. Dia sedang berkuasa di istana, dipercaya oleh kaisar. Sedangkan peringatan para pembesar yang tua dan setia saja diabaikan oleh kaisar. Dan usaha mereka untuk menyingkirkan pembesar bernama Hou Seng ini ditebus dengan kehancuran mereka, dengan pembunuhan-pembunuhan gelap yang menimpa diri mereka yang menentang pembesar itu. Apa yang mampu kita lakukan? Dia dikelilingi oleh pasukan pengawal keamanan yang sangat kuat, bahkan dilindungi pula oleh datuk-datuk sesat. Yang dapat kita lakukan hanyalah menggempur datuk-datuk sesat itu, dan itulah kewajiban para pendekar."

"Kalau begitu, mengapa tidak kita bayangi saja orang-orang itu? Pasukan berpakaian preman yang melakukan pembersihan di mana-mana itu? Kalau kita bayangi mereka dan kita mengetahui di mana sarang mereka, lalu kita menyelundup ke dalam, tentu kita dapat melakukan penyelidikan."

"Ahh, benar juga pendapatmu itu!" Hong Beng berseru girang.

Dan kedua orang pemuda ini lalu mengadakan perundingan untuk berusaha melakukan penyelidikan dengan cara membayangi pasukan yang melakukan pembersihan hampir setiap hari itu. Pada suatu hari, dengan membayangi pasukan yang dipimpin oleh Bhok Gun dari jauh, secara sembunyi, mereka diam-diam mengikuti pasukan dan akhirnya mereka dapat menemukan markas Kim Hwa Nionio.

Dapat dibayangkan betapa kaget hati dua orang itu saat mereka membayangi pasukan itu, mereka melihat bahwa pasukan itu, dipimpin oleh Bi-kwi, Bhok Gun dan seorang nenek yang membawa kebutan, memasuki markas itu sambil membawa dua orang tawanan yang mereka kenal dengan baik. Tawanan itu, seorang di antaranya adalah Bi Lan! Dan Kun Tek juga terkejut melihat tawanan ke dua, karena orang itu bukan lain adalah Sim Houw!

Hampir saja Kun Tek turun tangan pada saat pasukan itu masih menggiring dua orang tawanan itu di tengah jalan. Akan tetapi Hong Beng mencegahnya, berbisik bahwa pasukan itu berjumlah besar, dan di situ terdapat nenek itu yang agaknya lihai sekali. Akhirnya Kun Tek dapat menerima pendapat ini.

"Kau benar. Kalau Sim Houw sampai dapat tertawan oleh mereka, hal itu membuktikan bahwa nenek itu amat lihai, bukan lawan kita. Kalau Sim Houw kalah, apa lagi aku!"

"Siapakah laki-laki yang kau sebut Sim Houw itu?"

"Dia? Ahh, dia itu masih keponakanku sendiri..."

"Mana mungkin? Nampaknya dia jauh lebih tua darimu."

"Memang, tetapi sesungguhnya dia masih keponakanku. Ibunya adalah keponakan dari ayahku. Namun ilmu kepandaiannya hebat bukan main. Bahkan dia telah mengalahkan kakek Pek-bin Lo-sian yang gila itu dan menerima hadiah Liong-siauw-kiam dari kakek itu."

"Ahh...?" Hong Beng terbelalak, teringat akan cerita Bi Lan. "Jadi dia itu yang berjuluk Pendekar Suling Naga?"

Kun Tek mengangguk. "Agaknya begitu, karena setelah pusaka itu jatuh ke tangannya lalu muncul julukan itu. Tentu dia, siapa lagi?"

"Sungguh aneh! Dan Bi Lan mencari orang itu untuk merampas kembali Pedang Suling Naga, seperti yang ditugaskan oleh Sam Kwi kepadanya. Berarti bahwa orang bernama Sim Houw itu musuhnya, akan tetapi bagaimana mereka berdua kini bisa berbareng menjadi tawanan pasukan itu?"

"Sudahlah, yang penting kini bagaimana kita dapat menolong mereka. Kita harus dapat menolong dan membebaskan mereka. Nona... Can Bi Lan adalah... ehhh, kenalan kita, dan Sim Houw adalah keponakanku. Kita harus tolong mereka."

"Benar, Kun Tek. Kita harus dapat menyusup ke dalam gedung itu untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi kita harus berhati-hati sekali. Nenek itu kelihatan lihai dan di dalam gedung itu tentu berkumpul pula orang-orang pandai yang katanya menjadi para pembantu dari Hou Seng."

Mereka lalu berunding lagi sambil menanti saat baik, yaitu datangnya malam yang akan memudahkan mereka menyusup ke dalam gedung besar itu…..

********************

"Ha-ha-ha, heh-heh, akhirnya engkau kembali juga kepadaku, Liong-siauw-kiam!" nenek itu tertawa-tawa dan menciumi sarung pedang itu dengan hati yang amat girang.

Ia duduk menghadapi meja penuh hidangan dan memang ia merayakan kemenangan dan hasil baik telah berhasil merampas kembali pedang pusaka yang tadinya menjadi milik nenek moyang perguruannya itu.

Sai-cu Lama lalu mengangkat cawan araknya. "Selamat, Nionio, selamat! Pinceng ikut merasa girang sekali. Memang agaknya bintang dari Hou Taijin amat terang cemerlang, sehingga orang-orang yang turut membantunya mendapat nasib yang baik. Buktinya, pinceng sendiri berhasil mendapatkan Ban-tok-kiam. Padahal pedang pusaka ini dahulu pernah menggegerkan dunia persilatan dan menjadi milik isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Apakah tidak hebat?" Dia menepuk-nepuk sarang pedang di punggungnya.

Kim Hwa Nionio menerima ucapan selamat itu dengan meneguk arak dari cawannya. "Semua ini adalah berkat bintang terang Hou Taijin, dan agaknya semua cita-citanya akan tercapai dan kita yang menjadi para pembantunya, tentu akan ikut pula menikmati hasil baik yang dicapainya."

"Aihh, tiada hasil baik dapat dicapai tanpa rintangan-rintangan dan tanpa susah payah, Nionio. Kita masih harus menghadapi perjalanan yang panjang. Masih ada beberapa hal mendatangkan kegelisahan di hati pinceng. Terutama sekali hilangnya Suma Lian tentu akan membuat Hou Taijin kecewa sekali."

"Hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Sai-cu Lama. Sejak pertama kali kau menyerahkan anak perempuan yang kau tawan itu, aku sudah menduga bahwa Hou Taijin agak ragu ragu untuk mengambil anak itu secara paksa. Agaknya Hou Taijin masih jeri akan nama besar keluarga Pulau Es, dan dua orang selirnya itulah yang membisikkan kekhawatiran itu. Aku sedang berpikir-pikir bagaimana harus memyingkirkan dua orang selir itu, sebab Hou Taijin terlalu percaya kepada mereka. Lama-lama mereka bisa menjadi penghalang kemajuan kita sendiri. Tidak, Lama, kurasa tentang hilangnya Suma Lian itu tidak akan mendatangkan kekecewaan terlalu besar bagi Hou Taijin."

"Mudah-mudahan begitu," kata pendeta gendut itu sambil mengunyah daging yang agak alot.

Mereka bercakap-cakap sambil makan minum merayakan kemenangan Kim Hwa Nionio yang berhasil mendapatkan kembali Liong-siauw-kiam. "Namun, yang membuat pinceng merasa penasaran adalah munculnya kakek jembel gila itu! Dia yang berhasil melarikan Suma Lian dan kakek itu lihai luar biasa!"

"Hemm, aku tidak khawatir. Sampai di mana sih kelihaian seorang tua bangka jembel?" kata Kim Hwa Nionio sambil mengelus Liong-siauw-kiam, seolah hendak memamerkan senjata pusaka itu dan menunjukkan bahwa dengan adanya senjata pusaka itu, ia tidak takut melawan siapa pun juga.

"Sungguh, Nionio. Engkau harus percaya kepada omongan pinceng. Kakek itu memang sudah tua sekali, tetapi dia benar-benar sakti! Dan dia menjadi tamu di rumah keluarga Pouw. Bahkan, selain melarikan Suma Lian, dia pun juga melarikan anak perempuan keluarga Pouw itu. Dia seoranglah yang mengetahui semua rahasia pembunuhan itu. Hemm, pinceng akan selalu merasa khawatir dan tidak enak sebelum dapat memenggal kepalanya!"

"Jangan khawatir, kalau dia berani muncul lagi, aku akan membantumu memenggal kepalanya, Lama."

"Aihh, engkau terlalu memandang rendah pihak lawan, Nionio, dan hal itu juga membuat hatiku gelisah. Ketahuilah bahwa orang-orang seperti kakek jembel itu amat berbahaya."

"Subo, ucapan locianpwe Sai-cu Lama memang patut diperhatikan," tiba-tiba Bhok Gun berkata kepada gurunya. "Memang kini di kota raja bermunculan orang-orang pandai. Bukan saja Sim Houw dan Can Bi Lan yang berhasil kita bekuk, akan tetapi beberapa hari yang lalu muncul pula dua orang pemuda itu yang sudah kami laporkan kepada subo. Mereka pun lihai sekali dan merupakan lawan yang tidak boleh dipandang ringan."

Yang dimaksudkan oleh Bhok Gun adalah Cu Kun Tek dan Gu Hong Beng yang belum lama ini mereka serbu di dalam restoran, akan tetapi mereka gagal karena dua orang pemuda perkasa itu dapat meloloskan diri meninggalkan beberapa orang anak buah mereka yang luka-luka.

"Karena itulah maka aku telah minta kepada Bi-kwi. Ke mana saja sih tiga orang kakek gila yang menjadi gurumu itu, Bi-kwi? Kenapa sampai sekarang belum juga muncul?"

"Suhu bertiga sudah berjanji akan datang, mereka pasti akan datang, sukouw. Harap jangan khawatir," jawab Bi-kwi. "Dan apa yang dikatakan oleh Bhok suheng memang ada benarnya. Agaknya kini para pendekar bermunculan di kota raja dan mereka itu agaknya sengaja hendak menentang kita. Oleh karena itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan dan sama sekali tidak boleh memandang ringan kepada mereka."

"Ahh, sudahlah, kita nanti sama-sama hadapi saja mereka itu. Kini yang penting, bagai mana dengan Sim Houw dan Can Bi Lan yang telah kita tawan itu? Sebaiknya, mereka itu diapakan?"

"Orang she Sim itu terlalu berbahaya sekali, sukouw, menurut pendapatku sebaiknya dibunuh saja. Kalau dibiarkan hidup lebih lama lagi, akan berbahaya bagi kita."

"Aku setuju sekali!" kata Bhok Gun. “Memang orang she Sim itu harus dibunuh. Ilmunya tinggi, selagi dia berada dalam kekuasaan kita, sebaiknya segera dibunuh saja. Akan tetapi nona itu jangan dibunuh dulu. serahkan saja kepadaku, subo. Biar aku yang akan menjinakkannya. Bukankah ia masih sumoi dari Bi-kwi, murid dari para susiok Sam Kwi, berarti orang sendiri? Kalau ia sudah dapat dijinakkan, tentu akan mau membantu kita dan berarti kedudukan kita menjadi lebih kuat."

"Omitohud...!" kata Sai-cu Lama. "Ingat, nona itu sudah menjadi murid dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Bukan lagi orang segolongan dengan kita."

Tentu saja kakek yang merampas Ban-tok-kiam ini khawatir sekali kalau gadis itu tetap dibiarkan hidup. Kalau gadis itu mati, dia boleh bernapas lega dan Ban-tok-kiam akan sepenuhnya menjadi miliknya.

"Memang sebaiknya kalau Can Bi Lan itu dibunuh saja, dan sebelum itu, biarlah kalau Bhok Gun hendak menikmatinya dulu," kata Kim Hwa Nionio sambil tersenyum ke arah murid yang disayangnya itu. Bhok Gun menyeringai girang.

"Hemmm, manusia mana yang hendak membunuh murid kami?" Mendadak terdengar seruan keras.

Bagaikan setan-setan saja, nampak tiga bayangan orang menyelonong masuk ke dalam ruangan itu. Beberapa orang penjaga yang berusaha mencegahnya, sudah terlempar ke kanan kiri oleh dorongan mereka.

"Suhu!" teriak Bi-kwi dengan girang melihat bahwa yang muncul itu adalah tiga orang gurunya.

"Aih, akhirnya kalian muncul juga, Sam Kwi!" Kim Hwa Nionio juga menyambut dengan wajah girang.

"Aku ingin bertanya, siapa berani mencoba untuk membunuh murid kami Siauw-kwi? Hayo maju dan boleh coba-coba dengan kami yang menjadi gurunya!" kata pula Im-kan Kwi, Si Iblis Akhirat yang biar pun bertubuh kate pendek, namun suaranya besar dan cerewet. "Enak saja membicarakan mati hidupnya murid kami. Hayo siapa berani?"

Si kate itu, bersama dua orang saudaranya, berdiri dengan marah. Mereka memandang kepada semua orang, satu demi satu dengan sikap menantang.

"Omitohud...! Hebat sekali! Inikah Thai-san Sam Kwi yang amat terkenal itu?"

Tiga orang kakek yang baru tiba itu menoleh ke arah Sai-cu Lama.

"Siapakah Lama ini?" tanya Hek-kwi Ong yang tinggi besar.

"Duduklah, sam-wi sute (tiga orang adik seperguruan), duduklah yang baik. Kita berada di antara orang sendiri. Pendeta ini adalah Sai-cu Lama, seorang rekan kita yang amat baik dan tangguh."

"Hemmm, kami sudah mendengar namanya. Mudah-mudahan kepandaiannya sebesar namanya," kata pula Iblis Akhirat yang pendek.

"Suci Kim Hwa Nionio. Siapa yang tadi mau membunuh murid kami Siauw-kwi tanpa perkenan kami tadi?" kini Iblis Mayat Hidup yang tak banyak bicara itu bersuara.

Melihat sikap ketiga orang gurunya yang jelas memperlihatkan ketidak senangan, Bi-kwi cepat-cepat berkata, "Suhu bertiga harap jangan salah mengerti. Kami memang sedang membicarakan tentang diri Siauw-kwi, dan kebetulan sekali suhu bertiga sudah datang sehingga dapat memberi keputusan yang tepat tentang apa yang harus kami lakukan terhadap murid suhu yang murtad itu."

"Bi-kwi, kau mengatakan bahwa Siauw-kwi murtad. Dalam hal bagaimanakah ia murtad dan mengapa pula sekarang ia menjadi tahanan? Kami tahu bahwa sejak dulu engkau tidak menyukainya, akan tetapi hal itu belum dapat menjadi alasan bahwa engkau boleh membunuh murid kami begitu saja tanpa ijin dari kami!" kata Iblis Akhirat dengan sikap marah.

"Begini, suhu. Karena aku merasa menjadi suci-nya, maka tadinya aku menganggap diriku cukup untuk mewakili suhu bertiga karena suhu bertiga tidak hadir. Siauw-kwi telah murtad dan menjadi pengkhianat. Ia bersekutu dengan Sim Houw yang merampas pedang Liong-siauw-kiam. Ia bersekutu dengan orang she Sim itu untuk menentang kita! Apakah pengkhianatan seperti itu tak patut untuk mendapat hukuman yang keras?"

"Keterangan Bi-kwi itu benar, sam-wi sute. Muridmu Bi-kwi telah gagal merampas Liong-siauw-kiam dan Siauw-kwi telah bersekutu dengan musuh. Akan tetapi akhirnya aku dapat menangkap mereka berdua dan karena aku yang berhasil merampas kembali Liong-siauw-kiam, maka pedang pusaka ini sekarang menjadi hak milikku!"

Tiga orang kakek itu saling pandang dan Iblis Akhirat yang seperti biasa menjadi juru bicara mereka bertiga, berkata, "Hemm, kalau sudah terjatuh ke tanganmu sama saja, suci. Pokoknya pusaka itu tidak jatuh ke tangan golongan lain. Tapi kami masih merasa penasaran dan ingin membuktikan sendiri apakah benar Siauw-kwi telah mengkhianati kami. Bawa mereka berdua itu menghadap!"

Namun, seolah-olah sebagai jawaban dari ucapan Iblis Akhirat itu, mendadak terdengar suara ribut-ribut dan kegaduhan itu datang dari bagian belakang gedung. Makin lama makin gaduh dan muncullah seorang komandan jaga dengan muka pucat dan napas memburu.

"Celaka, Nionio...! Celaka...! Dua orang tawanan itu lolos."

Mendengar ucapan ini, tanpa banyak cakap lagi Kim Hwa Nionio, Sai-cu Lama, Bhok Gun dan Bi-kwi berloncatan keluar dari ruangan itu. Sam Kwi saling pandang, lalu menyerbu meja makanan, meneguk arak dari guci dan memilih masakan-masakan yang dianggap paling enak. Mereka bersikap seakan-akan mereka tidak ada hubungannya dengan urusan yang menimbulkan keributan itu.

Apakah yang telah terjadi? Ketika Sim Houw dan Bi Lan, dengan tubuh tertotok dan kaki tangan terbelenggu, dijebloskan ke dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat dan terjaga ketat di luar kamar tahanan, Bi Lan yang terkulai lemas itu merasa menyesal sekali.

"Sim-toako, mengapa engkau tidak memenuhi permintaanku? Mengapa kau tidak mau mempertahankan pusaka itu? Dan kemudian, kenapa engkau tidak melarikan diri saja melainkan menyerahkan diri untuk menjadi tawanan? Ahhh, kalau engkau menuruti permintaanku, tentu sekarang engkau masih bebas di luar dan pusaka itu masih tetap berada padamu, toako. Sungguh aku menyesal sekali. Engkau menjadi korban karena kebodohan dan kelemahanku!"

Sim Houw kembali memandang kepada gadis itu dengan pandang mata yang aneh tadi, pandang mata yang membuat Bi Lan merasa bingung dan canggung, "Lan-moi, untuk melindungimu dari bahaya, jangankan hanya pedang pusaka, meski nyawaku pun akan kupertaruhkan."

Bi Lan membelalakkan sepasang matanya dan sejenak menatap wajah pemuda itu, mencoba untuk meneliti wajah itu di dalam cahaya remang-remang, ingin mengetahui mengapa Sim Houw bersikap seperti itu kepadanya.

"Akan tetapi... kenapa, toako? Kita baru saja berjumpa dan berkenalan, tetapi kenapa kau... kau begitu baik kepadaku? Kenapa kau membelaku mati-matian, mengorbankan pusaka, padahal bagi seorang pendekar, bukankah senjata pusaka itu adalah nyawa kedua? Dan engkau pun mempertaruhkan nyawa untuk melindungiku. Kenapa...?"

Di dalam pertanyaan itu terkandung perasaan ingin tahu yang amat mendalam sehingga wajah Sim Houw berubah kemerahan. Untung keremangan cahaya menyembunyikan perubahan air mukanya itu sehingga tidak nampak oleh Bi Lan. Gadis itu hanya melihat Sim Houw menarik napas panjang kemudian tersenyum, senyum penuh kesabaran dan pengertian seperti yang dikenalnya dengan baik selama ini.

Tentu saja hati Sim Houw ingin meneriakkan bahwa dia melakukan semua itu karena dia mencinta gadis ini! Ya, dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan, seperti yang belum pernah dialaminya semenjak cintanya gagal terhadap Kam Bi Eng. Di dalam diri Bi Lan, dia seperti menemukan Bi Eng ke dua dan dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan!

Akan tetapi, tak mungkin dia berani menyatakannya. Dia merasa malu kepada Bi Lan dan kepada diri sendiri. Pertama, dia jauh lebih tua dari gadis ini, tidak sepadan. Dia lebih pantas menjadi paman gadis ini! Dan kedua, dia tak mau menderita untuk kedua kalinya, derita yang timbul karena cinta gagal, cinta yang bertepuk tangan sebelah pihak seperti cintanya kepada Kam Bi Eng.

Tidak, dia tidak mau menjadi buah tertawaan Bi Lan dan orang lain dengan pengakuan cintanya, dan dia merasa ngeri menghadapi kegagalan lagi. Lebih baik dia menyimpan rahasia itu dalam hatinya sendiri, membawa rahasia itu di dalam sisa hidupnya sampai dia mati. Akan tetapi pertanyaan Bi Lan demikian mendesak, menuntut keterangan.

Setelah menarik napas panjang sekali lagi untuk menenangkan hatinya yang berdebar, dia berkata, "Kenapa, Lan-moi? Ah, perlukah hal itu kau tanyakan lagi? Kita melakukan perjalanan bersama-sama, kita sudah menjadi sahabat, maka sudah sepatutnya kalau aku melindungimu."

"Akan tetapi, antara sahabat tidak mungkin sampai orang harus mengorbankan pusaka dan bahkan nyawanya, toako."

"Begini, Lan-moi. Engkau sebatang kara di dunia ini, engkau tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Dan aku pun hidup sebatang kara. Nasib kita sama. Nah, kalau bukan aku yang melindungi dirimu, habis siapa lagi? Bagaimana aku selanjutnya dapat hidup dengan perasaan tenang kalau aku membiarkan dirimu seorang diri menempuh bahaya besar ini? Tidak, aku tentu takkan pernah dapat mengampuni diriku sendiri. Hidup atau mati, aku harus menemanimu dalam menghadapi ancaman bahaya, Lan-moi."

Sejenak Bi Lan diam saja seolah-olah kecewa mendengar keterangan itu. Dia seperti merasakan bahwa alasan Sim Houw mempertaruhkan nyawanya tentu karena sebab yang lebih mendalam, bukan sekedar setia kawan seorang sahabat baru! Ia seolah-olah mengharapkan pengakuan yang lain!

"Akan tetapi, toako. Pengorbananmu ini akan sia-sia saja. Engkau tertawan, terbelenggu dan tertotok, tidak berdaya seperti juga aku. Engkau tidak dapat menolongku dan tidak dapat menyelamatkan dirimu sendiri. Bukankah perbuatanmu ini sama saja seperti bunuh diri?"

Sim Houw menggeleng kepala, senyumnya nampak aneh. "Jangan khawatir, Lan-moi. Aku tidak melakukan tindakan secara membabi buta, tetapi sebelum kulakukan sudah kuhitung masak-masak. Satu-satunya jalan untuk menolongmu hanyalah menyerahkan pusaka dan menyerahkan diri. Kalau sudah terbebas dari ancaman mereka, barulah aku akan mampu menolongmu. Totokan ini bukan apa-apa bagiku. Dengan Ilmu I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) aku dapat mengelak dari totokan itu dan pura-pura lumpuh. Dan belenggu ini pun tak ada artinya."

Tiba-tiba saja, di bawah pandang mata Bi Lan yang terbelalak, kedua tangan Sim Houw bergerak dan belenggu di pergelangan tangannya pun patah-patah tanpa mengeluarkan banyak suara! Kemudian, dengan hati-hati Sim Houw menotok jalan darah di pundak dan punggung Bi Lan untuk membebaskan gadis itu, dan juga mematahkan belenggu kaki tangannya.

"Jangan bergerak, bersikap pura-pura masih tertotok dan terbelenggu," bisik Sim Houw yang memasangkan kembali belenggu kaki tangannya yang diturut oleh Bi Lan. "Pihak musuh terlalu banyak dan mereka kuat sekali. Kita harus menanti saat baik. Kalau orang-orang tangguh itu sudah tidur, barulah kita akan meloloskan diri dari sini. Untuk membuka ruangan ini membutuhkan banyak tenaga dan aku khawatir sebelum kita sempat lolos, mereka sudah datang dan kita akan menghadapi kesukaran lagi. Ingat kita berada dalam sarang musuh."

Bi Lan yang merasa kagum bukan main atas kehebatan ilmu kepandaian Sim Houw, mengangguk dan mentaati petunjuk Sim Houw. Ia tahu bahwa Sim Houw pasti berhasil mengajaknya keluar dari tempat ini, lolos dan bebas!

Akan tetapi, mendadak terdengar suara berkerotokan ketika pintu baja yang berat dan tebal itu dibuka dari luar. Rantai baja yang besar, yang mengikat pintu itu, dibuka dan kuncinya juga dibuka. Daun pintu itu terbuka dan masuklah seorang kepala jaga yang bermuka hitam dan kasar, bermata lebar dan mata itu semenjak dia masuk sudah memandang ke arah Bi Lan dengan sinar mata yang memuakkan gadis itu.

"Aduh, sayang kalau nona manis semulus ini harus dibunuh. Nona, berilah aku ciuman satu kali saja dan aku akan minta kepada Nionio agar engkau jangan dibunuh, tetapi diberikan kepadaku untuk menjadi isteriku. Cium sekali saja, ya?" Dan muka yang hitam kasar itu mendekat, hendak mencium bibir Bi Lan.

Gadis ini menahan diri, akan tetapi mencium bau yang busuk dari mulut orang itu yang semakin mendekat, ia tidak tahan lagi dan tangannya yang memang sudah terbebas dari belenggu itu tiba-tiba menyambar.

"Prakkk...!"

Terdengar tulang patah ketika tangan Bi Lan dengan kerasnya menampar pipi orang itu. Agaknya tulang rahang yang patah-patah dan giginya juga rontok semua. Orang itu mengaduh dan bergulingan di atas lantai seperti cacing terkena abu panas, mengaduh dan memegangi mulutnya yang penuh darah.

Tiba-tiba pada saat para penjaga menjadi kaget dan mereka menyerbu ke depan pintu kamar tahanan, nampak berkelebat dua bayangan dari tempat gelap dan terdengarlah pekik-pekik kesakitan ketika beberapa orang penjaga terguling oleh amukan dua orang itu. Kiranya yang datang itu adalah Hong Beng dan Kun Tek!

"Nona Can, cepat keluarlah!" berkata Hong Beng sambil kakinya kembali menendang roboh seorang penjaga.

"Sim Houw, aku datang menolongmu, cepatlah keluar!" kata Kun Tek pula yang masih terhitung paman dari Sim Houw dan dia pun merobohkan seorang penjaga lain dengan tamparan tangan kirinya.

Dengan pedang Koai-liong-kiam di tangan, Kun Tek meloncat ke dekat pintu kamar tahanan. Maksudnya untuk membuka pintu itu menggunakan pedang pusakanya. Akan tetapi dia merasa heran dan juga girang melihat bahwa pintu yang amat kuat itu sudah terbuka dan nampaklah Sim Houw dan Bi Lan sudah menerobos keluar dari pintu yang terbuka itu.

Melihat bahwa yang menolongnya adalah pamannya yang dulu masih kecil ketika dia berkunjung ke Lembah Naga Silmuan, Sim Houw menjadi girang sekali. Hampir dia tidak mengenal pemuda tinggi besar itu kalau saja tadi tidak menyebut namanya begitu saja.

Dan Bi Lan juga merasa girang di samping merasa heran mengapa dua orang pemuda yang pernah saling gempur itu kini datang bersama untuk menyelamatkan ia dan Sim Houw. Akan tetapi tidak ada waktu bagi mereka untuk bercakap-cakap dan empat orang itu lalu mengamuk, merobohkan setiap penghadang dan sebentar saja mereka sudah dapat menerobos keluar dari kepungan dan berloncatan keluar dari tembok belakang yang mengurung gedung itu.

Ketika Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya mengejar ke tempat tahanan, mereka tidak menemukan lagi dua orang tawanan itu. Dengan marah dan mendongkol sekali Kim Hwa Nionio hanya dapat mendengar laporan anak buahnya betapa komandan jaga memasuki kamar tahanan dan tahu-tahu telah remuk tulang rahangnya, dan betapa dua orang pemuda yang pernah lolos dari tangkapan mereka, tadi telah datang membantu lolosnya dua orang tawanan. Dengan tangannya sendiri Kim Hwa Nionio menampar kepala dari komandan jaga itu sehingga orang itu roboh dengan kepala retak-retak dan tewas seketika.

"Sam-wi sute, kini percaya betapa baiknya muridmu yang bernama Bi Lan itu?" Kim Hwa Nionio mengomel pada saat ia kembali ke ruangan dalam dan melihat tiga orang sute-nya itu masih enak-enak saja duduk sambil makan minum. "Ia telah melarikan diri bersama Sim Houw dan dibantu oleh pemberontak-pemberontak."

"Hemm, tidak kusangka anak itu menyeleweng," kata Iblis Akhirat. "Akan tetapi kami ingin bertemu dahulu dengannya, dan kalau ia tidak menyerah, kami sendiri yang akan memberi hukuman kepadanya!"

********************

"Cepat, kita bersembunyi ke dalam kuil ini," kata Hong Beng kepada Sim Houw dan Bi Lan yang mengikuti dia dan Kun Tek melarikan diri dari gedung yang menjadi markas besar para pembantu Hou Taijin. Tak lama kemudian, mereka sudah berada di ruangan dalam kuil itu, aman dan mereka segera duduk menghadapi meja, minum air teh panas yang disediakan oleh para hwesio kuil.

Bi Lan lalu memperkenalkan Hong Beng kepada Sim Houw. "Sim-toako, saudara Gu Hong Beng ini adalah seorang murid dari keluarga para pendekar Pulau Es, dan ilmu kepandaiannya hebat. Dan Hong Beng, Sim-toako ini adalah Pendekar Suling Naga. Kiranya aku tidak perlu memperkenalkan Sim-toako dengan Kun Tek karena agaknya malah ada hubungan keluarga antara kalian."

Sim Houw dan Hong Beng saling memberi hormat dan Kun Tek berkata, "Sim Houw adalah keponakanku sendiri, biar pun usianya lebih tua dariku. Dan dia telah berjasa besar untuk keluarga kami, bahkan dialah yang telah mengembalikan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang kubawa ini kepada kami."

Mendengar disebutnya pedang pusaka, Bi Lan hanya memandang dengan muka sedih. "Sungguh celaka, pedang pusaka Ban-tok-kiam kepunyaan subo masih belum bisa aku dapatkan kembali, kini malah pedang pusaka milik Sim-toako terjatuh ke tangan nenek iblis itu!"

"Hemm, mereka itu sudah bersatu semua. Sai-cu Lama yang merampas pedangmu itu sudah berada di sana pula, nona Bi Lan. Juga kami tadi ada melihat tiga orang kakek yang menyeramkan, agaknya mereka baru saja tiba di gedung itu. Melihat keadaan tubuh dan wajah mereka yang amat menyeramkan, aku dapat menduga bahwa mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi."

"Melihat mereka, kurasa merekalah yang berjuluk Sam Kwi...," kata Kun Tek.

Tentu saja Bi Lan menjadi terkejut mendengar disebutnya nama itu. "Benarkah itu?" tanyanya.

"Aku sendiri belum pernah berjumpa dengan Sam Kwi sebelumnya, akan tetapi pernah mendengar gambaran tentang diri mereka. Yang seorang tinggi besar, berpakaian hitam, tingginya satu setengah orang. Yang ke dua amat pendek, gendut, tingginya tiga perempat orang biasa. Sedangkan yang ke tiga adalah seorang yang seperti tengkorak hidup saja, kurus hanya kulit membungkus tulang, mengerikan!"

"Ah, benar, mereka adalah Sam Kwi, tiga orang guruku," kata Bi Lan dan gadis ini pun termenung.

Bagaimana pun juga jahatnya, tiga orang kakek itu adalah orang-orang pertama dalam hidupnya yang pernah menyelamatkan dan yang bersikap baik terhadap dirinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga