SULING NAGA : JILID-31
"Dan engkau telah menguasai semua ilmu itu, nona Bi Lan? Sungguh hebat!" kata Kun Tek.
Bi Lan mengerutkan alisnya. Hong Beng dan Kun Tek kini tiba-tiba saja menyebut ‘nona’ kepadanya. Kenapa ada perubahan sikap mereka itu setelah ia menolak cinta mereka? Nampak kaku, berkurang keakraban mereka, bahkan begitu canggung.
"Memang aku telah mempelajari itu semua, akan tetapi ilmu yang kupelajari masih mentah, saudara Kun Tek, sama sekali tak boleh dibandingkan dengan mereka."
Ia pun menambahkan sebutan ‘saudara’, mengubah kebiasaannya yang dulu menyebut dua orang pemuda itu dengan begitu saja memanggil nama mereka. Diam-diam gadis ini merasa heran mengapa penolakan cinta itu seolah-olah menciptakan suatu jurang pemisah di antara ia dan dua orang pemuda itu!
"Aihh, untung kedua orang muda gagah ini datang menolong kita, Lan-moi," kata Sim Houw. "Jika kita berusaha meloloskan diri sendiri dan harus menghadapi mereka semua itu tentu akan repot juga!" Sim Houw lalu memandang kepada dua orang pemuda itu. "Terima kasih kuhaturkan kepada paman Cu Kun Tek dan juga saudara Hong Beng yang telah menolong kami tadi."
"Bagaimana kalian berdua dapat mengetahui bahwa kami berdua menjadi tawanan di sana?" tanya Bi Lan.
Hong Beng lalu bercerita, betapa dia dan Kun Tek berjumpa di sebuah restoran dan mereka berdua sama-sama menghadapi pengeroyokan Bhok Gun dan Bi-kwi bersama anak buah mereka. Mereka melarikan diri dan mulailah mereka melakukan penyelidikan tentang Hou Taijin, dan dengan jalan melakukan pengintaian, mereka melihat betapa Sim Houw dan Bi Lan digiring sebagai tawanan.
"Karena kami dapat menduga betapa bahayanya menjadi tawanan para iblis itu, maka kami segera mengambil keputusan untuk pada malam ini menyelundup ke gedung itu dan berusaha membebaskan kalian."
"Untung kalian datang tepat pada saatnya," kata Sim Houw.
Mendengar betapa Pendekar Suling Naga itu memuji-muji dua orang pemuda itu, Bi Lan merasa tidak senang.
"Hendaknya kalian ketahui bahwa sebelum kalian datang, sebenarnya Sim-toako sudah berhasil membebaskan kami berdua dari pengaruh totokan dan belenggu kaki tangan. Kami memang sudah siap untuk melarikan diri dan tepat ketika terjadi keributan, kalian muncul."
"Dan tentu saja memudahkan kami meloloskan diri," kata Sim Houw pula yang ingin menyembunyikan jasa sendiri akan tetapi hendak mengangkat jasa dua orang muda itu. "Akan tetapi, kami masih belum selesai dengan mereka. Aku harus merampas kembali Liong-siauw-kiam, sedangkan Lan-moi harus merampas kembali Ban-tok-kiam."
"Akan tetapi itu berbahaya sekali," kata Hong Beng sambil memandang wajah gadis yang pernah menolak cintanya itu. "Ban-tok-kiam dikuasai oleh Sai-cu Lama yang lihai sedangkan Liong-siauw-kiam telah dirampas Kim Hwa Nionio, apa lagi sekarang di sana terdapat Sam Kwi, kedudukan mereka menjadi semakin kuat."
"Betapa pun besar bahayanya, aku harus mendapatkan kembali Ban-tok-kiam dan aku akan pergi bersama Sim-toako," kata Bi Lan.
"Biar aku membantu kalian!" kata Hong Beng.
"Aku juga!" kata Kun Tek.
"Paman Kun Tek dan saudara Hong Beng, terima kasih atas kebaikan kalian. Tetapi, menyusup ke tempat seperti ini lebih baik dilakukan secara berpencar," kata Sim Houw.
Mendadak dia berhenti bicara dan memberi isyarat kepada tiga orang temannya untuk diam. Mereka semua diam tak bergerak, mencurahkan ketajaman pendengaran mereka. Lapat-lapat terdengar suara lirih di luar kuil itu.
"Omitohud..., harap sam-wi tidak mencurigai pinceng. Katakan saja kepada nona yang kehilangan Ban-tok-kiam bahwa pinceng datang untuk membicarakan tentang pedang itu."
Mendengar suara itu, Bi Lan bangkit berdiri. "Ssttt, kalau tak salah...itu sura hwesio yang dulu mengejar Sai-cu Lama..."
"Benar... sepertinya suara Tiong Khi Hwesio...," berkata Hong Beng yang teringat akan pengalamannya ketika melakukan perjalanan bersama Bi Lan dan pedang itu terampas oleh Sai-cu Lama kemudian muncul hwesio tua renta itu.
"Kalian masih mengenal suara pinceng? Bagus!" terdengar suara dari luar itu dan Sim Houw sendiri terkejut.
Hwesio di luar itu benar-benar memiliki pendengaran yang luar biasa tajamnya! Maka mereka berempat lalu menyambut keluar. Dan memang benar dugaan Bi Lan dan Hong Beng, diluar berdiri seorang hwesio tua yang berjubah kuning. Itulah Tiong Khi Hwesio, nama baru dari Wan Tek Hoat.
"Locianpwe hendak bicara dengan saya?" tanya Bi Lan sambil memandang tajam dan penuh perhatian. Bagaimana pun juga, dia belum mengenal orang ini dan tidak tahu hwesio ini seorang kawan ataukah seorang lawan.
"Locianpwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam," kata Sim Houw yang tidak ragu-ragu lagi bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti.
Mereka lalu masuk ke ruangan belakang itu setelah tiga orang hwesio penjaga kuil itu dapat diyakinkan bahwa hwesio tua yang baru tiba ini memang telah mengenal para pendekar muda itu. Setelah mengambil tempat duduk, hwesio tua itu kemudian berkata mendahului mereka.
"Pinceng sudah mendengar semua akan peristiwa yang terjadi di gedung markas Kim Hwa Nionio itu. Kalian adalah orang-orang muda yang berani dan pinceng merasa kagum sekali. Pinceng sudah mengenal dua orang di antara kalian." Dia lalu menunjuk kepada Bi Lan. "Engkau adalah murid Kao Kok Cu dan Wan Ceng, para majikan Istana Gurun Pasir, dan engkau telah kehilangan Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama. Dan engkau," dia menunjuk kepada Hong Beng, "engkau adalah murid keluarga Pulau Es. Akan tetapi pinceng belum mengenal kalian dua orang muda yang lain. Murid-murid siapakah kalian?"
"Locianpwe, saya bernama Sim Houw dan guru-guru saya adalah mendiang ayah saya sendiri yang bernama Sim Hong Bu dan suhu yang bernama Kam Hong," kata Sim Houw dengan sikap merendah.
"Wah, apakah Kam Hong yang berjuluk Pendekar Suling Emas itu? Kalau begitu bukan orang lain, masih segolongan sendiri."
"Dan saya bernama Cu Kun Tek, guru saya adalah ayah saya sendiri yang bernama Cu Kang Bu. Sim Houw ini masih terhitung keponakan saya, dan kami tinggal di Lembah Naga Siluman."
Kakek itu mengangguk-angguk. "Keluarga Cu memiliki nama besar. Sungguh pinceng girang sekali bahwa pinceng mendapat kesempatan bertemu dengan orang-orang muda perkasa, yang mengingatkan pinceng akan masa muda pinceng dahulu. Orang-orang muda, pinceng sudah mendengar bahwa selain Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama, juga pedang pusaka milik seorang di antara kalian telah dirampas oleh Kim Hwa Nionio."
"Pedang Sim-toako ini yang dirampas, pedang itu adalah Liong-siauw-kiam dan oleh Sim-toako diserahkan begitu saja karena mereka mengancam akan membunuh saya yang sudah ditangkap lebih dahulu," kata Bi Lan.
Hwesio itu mengangguk-angguk. "Tadi pinceng sudah mendengar bahwa kalian hendak memasuki sarang itu untuk merampas pedang. Hal itu sama sekali tak boleh dilakukan. Untuk menangkap harimau, orang harus memancing harimau-harimau itu keluar dari sarangnya, bukan memasuki sarang. Itu berbahaya sekali.”
"Saya mengerti maksud locianpwe. Lalu bagaimana baiknya? Saya harus merampas kembali Ban-tok-kiam," kata Bi Lan.
"Ha-ha-ha, andai kata engkau tidak ingin merampas kembali, aku tentu akan berusaha untuk mengambil kembali dari tangan pendeta palsu itu untuk dikembalikan kepada Wan Ceng," kata Tiong Ki Hwesio. "Pihak lawan amat kuat. Kalian tentu sudah tahu betapa lihainya Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio. Dan ditambah lagi dengan Sam Kwi, maka kekuatan di pihak mereka sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Itu semua masih ditambah lagi dengan pasukan pemerintah. Kalau sampai pasukan pemerintah dikerahkan, mana mungkin kita mampu melawan pemerintah? Kita bisa dicap sebagai pemberontak, kemudian akan berhadapan dengan bala tentara pemerintah. Kita harus memakai akal dan membagi-bagi tugas. Aku akan memancing keluar mereka dari dalam sarang sehingga kita tidak mudah terkepung."
Empat orang muda itu serentak tunduk terhadap kakek ini yang kelihatan demikian tegas dan mantap dalam semua rencananya. Akan tetapi di tengah-tengah percakapan mereka, Bi Lan yang selalu ingin tahu dengan jelas memotong percakapan itu dan bertanya,
"Maafkan dulu, locianpwe. Kini di antara kita telah terdapat suatu persekutuan untuk melawan musuh dan terus terang saja, kami orang-orang muda tunduk dan dapat menerima semua akal dan rencana locianpwe. Locianpwe telah mengenal kami semua, tetapi kami sebaliknya belum tahu benar siapa sesungguhnya locianpwe ini. Bukankah sudah waktunya bagi kami untuk mengenal siapa sebenarnya diri locianpwe?"
Mendengar ucapan gadis itu, tiga orang muda itu mengangguk-angguk membenarkan. Memang mereka semua juga sudah menduga-duga siapa sesungguhnya kakek ini, akan tetapi mereka tidak seberani Bi Lan untuk menanyakannya.
Mendengar ucapan gadis itu, Tiong Khi Hwesio tertawa. "Ha-ha-ha, sejak jaman dahulu, kaum wanita lebih teliti dan lebih ingin tahu. Tetapi memang sebaiknya demikianlah, karena kerja sama harus didasari saling percaya yang sepenuhnya. Bi Lan, kalau engkau ini murid dari nenek Wan Ceng, engkau harus menyebut aku susiok (paman guru) karena antara kami ada pertalian persaudaraan. Namun, sudah puluhan tahun aku memisahkan diri ke barat sehingga antara kami tidak ada hubungan lagi."
"Ahh, kalau begitu, mungkin saya dapat menebak siapa adanya locianpwe ini!" Hong Beng berseru dengan sepasang mata bersinar gembira.
Murid ini di waktu senggang banyak mendengar cerita dari gurunya tentang keluarga para pendekar Pulau Es, maka mendengar bahwa antara nenek Wan Ceng dan hwesio itu terdapat pertalian persaudaraan, dia pun dapat menduga siapa orangnya.
"Benarkah kau dapat menebaknya siapa, Hong Beng?" Kun Tek bertanya, ikut gembira.
"Omitohud, agaknya murid keluarga Pulau Es banyak mendengar tentang diri pinceng. Cobalah, barangkali tebakanmu tepat, orang muda." Hwesio itu pun membujuknya.
"Sebelumnya harap locianpwe sudi memaafkan saya, akan tetapi bukankah locianpwe, seperti juga nenek Wan Ceng, masih terhitung keluarga Pulau Es pula?"
Hwesio itu mengangguk sambil tersenyum. "Boleh dibilang begitulah, walau pun sebagai keluarga luar."
"Kalau begitu, agaknya tidak keliru lagi bahwa locianpwe dahulu di waktu muda adalah pendekar yang berjuluk Si Jari Maut dan bernama Wan Tek Hoat, dan yang kemudian menikah dengan seorang puteri dari Bhutan dan..."
“Cukuplah, anak baik. Tak pinceng sangkal, memang dahulu pinceng bernama Wan Tek Hoat, akan tetapi kini pinceng adalah Tiong Khi Hwesio, tidak punya apa-apa lagi, sudah habis semua yang pernah pinceng miliki. Nah, tentu sekarang engkau lebih percaya kepadaku, bukan?" tanyanya kepada Bi Lan. Gadis itu menundukkan mukanya yang menjadi agak kemerahan.
"Sejak tadi pun aku sudah percaya kepada locianpwe, hanya ingin tahu saja. Kiranya locianpwe... ehhh, susiok malah masih saudara dari subo."
"Nah, sekarang kalian semua perhatikan dengan baik-baik. Kita harus mengatur siasat yang sudah direncanakan baik-baik. Ketahuilah bahwa sebelum menghubungi kalian, pinceng sudah bertemu dengan keluarga Pulau Es yang kini telah berada di kota raja, yaitu Kao Cin Liong dan isterinya, juga Suma Ceng Liong dan isterinya."
Mendengar ini, empat orang muda itu menjadi girang dan mereka mendengarkan siasat yang direncanakan oleh kakek sakti itu dengan penuh perhatian. Mereka menganggap siasat itu baik sekali, untuk mempertemukan golongan sesat itu dengan para pendekar dan mengadakan pertandingan perkelahian tanpa campur tangan pemerintah.....
********************
Para penjaga gedung yang menjadi sarang Kim Hwa Nionio menjadi gempar ketika pada suatu pagi, mereka melihat sebatang pisau menancap di daun pintu gerbang dan pisau itu membawa sebuah sampul putih dengan tulisan berwarna merah, ditujukan ke pada Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio! Bergegas komandan jaga mengambil pisau dan sampul itu, kemudian berlari-lari masuk menghadap Kim Hwa Nionio.
Nenek itu bersama para temannya sudah duduk menghadapi hidangan makan pagi. Di sini hadir Sai-cu Lama, ketiga orang Sam Kwi, Bhok Gun, Bi-kwi dan mereka kelihatan gembira. Malam tadi, berkat kelihaian Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, mereka telah berhasil menyingkirkan dua orang selir yang juga menjadi dua orang pengawal pribadi Hou Seng. Dua orang selir ini dianggap sebagai saingan oleh Kim Hwa Nionio, karena dua orang ini sering kali mempengaruhi Hou Taijin dengan bisikan-bisikan mereka.
Ketika Suma Lian diserahkan sebagai hadiah oleh Sai-cu Lama kepada Hou Seng, dua orang selir ini yang membisikkan agar pembesar itu menerima saja, akan tetapi harus memperlakukan anak itu dengan baik-baik dan jangan diganggu, memperingatkan Hou Taijin bahwa Pendekar Pulau Es masih ada hubungan keluarga dengan kaisar.
Dan masih banyak nasehat-nasehat yang diberikan oleh dua orang selir itu, yang selalu diturut oleh Hou Seng. Oleh karena itu Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama merasa bahwa mereka berdua itu merupakan saingan yang mengkhawatirkan. Bagaimana kalau sekali waktu dua orang selir itu membisikkan agar Hou Taijin tidak mempercayai Kim Hwa Nionio dan teman-temannya lagi?
Dan kesempatan baik mereka peroleh ketika mereka memperkenalkan Sam Kwi kepada pembesar itu. Malam itu, Hou Taijin berkenan menerima mereka bersama Sam Kwi untuk datang menghadap. Seperti biasa, Hou Taijin menyambut pembantu-pembantu baru yang berilmu tinggi itu dengan perjamuan makan. Dan seperti biasa pula, dua orang selir yang pandai ilmu siiat itu tidak pernah meninggalkan Hou Taijin, seolah-olah menjadi bayangannya.
Setelah Sam Kwi diperkenalkan, Hou Taijin merasa gembira sekali. Tiga orang dengan bentuk tubuh dan muka seperti itu, demikian menyeramkan, bahkan mengerikan, tanpa diuji lagi dia sudah percaya bahwa mereka tentu memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi.
Maka dari itu, Hou Taijin lalu berkata sambil tersenyum lebar, "Kedatangan sam-wi amat menggembirakan hatiku, karena itu kami ingin menyambut kedatangan sam-wi dengan secawan arak!"
Mendengar ucapan ini, seorang di antara dua selir merangkap pengawal pribadi itu lalu melayani majikan mereka dengan menuangkan secawan arak dari guci yang tersedia, ke dalam cawan pembesar itu yang sudah tersedia pula di atas meja. Juga Sam Kwi sambil tertawa mengisi cawan mereka dengan arak sampai penuh, kemudian mereka semua mengangkat cawan arak masing-masing.
Akan tetapi, sebelum cawan itu menempel di bibir Hou Taijin, Kim Hwa Nionio berseru, "Taijin, tahan!"
Secepat kilat, ia pun menyambar cawan itu dari tangan Hou Seng, kemudian terdengar suara gaduh dan dua orang selir itu telah roboh dan tewas seketika karena mereka telah terkena pukulan maut dari Sai-cu Lama. Pukulan kedua tangan kakek itu tadi langsung menyambar ganas dan tepat mengenai dada mereka, membuat mereka roboh tanpa dapat menjerit lagi, muka mereka menjadi agak kehitaman karena pukulan tadi adalah pukulan beracun!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hou Taijin. Ia terbelalak. "Apa... apa artinya ini...?!"
Ia membentak, khawatir bahwa jangan-jangan para pembantunya ini akan mengadakan pengkhianatan dan pemberontakan. Akan tetapi hatinya lega karena sikap mereka tidak demikian.
Kim Hwa Nionio berkata halus, "Harap paduka maafkan kelancangan kami, akan tetapi kami telah menyelamatkan nyawa paduka dari pengkhianatan yang dilakukan oleh dua orang pengawal pribadi paduka ini," kata Kim Hwa Nionio dan cawan arak tadi masih berada di tangannya.
"Apa? Mereka ini hendak berkhianat? Ahh, hal itu tidak mungkin! Kalian tentu keliru. Mereka adalah selir-selirku yang setia!"
"Kim Hwa Nionio berkata benar, Taijin. Kami berdua melihat betapa tadi mereka sudah memasukkan bubukan putih ke dalam cawan paduka. Itu tentu racun yang amat jahat!" kata Sai-cu Lama. "Karena itu, selagi Kim Hwa Nionio mencegah paduka minum, saya mendahului mereka dan membunuhnya agar tidak sempat menyerang paduka."
Hou Taijin masih ragu-ragu dan ketika dia memandang kepada tiga orang tamu baru, Sam Kwi yang sudah tahu akan rencana teman-temannya, mengangguk-angguk. "Kami pun melihatnya," kata mereka. "Begini saja, Taijin. Tuduhan kami itu perlu dibuktikan agar Taijin dapat percaya."
Melihat pembesar itu yang masih memandang mayat dua orang selirnya dengan muka pucat, Kim Hwa Nionio lalu berteriak menyuruh dua orang pengawal cepat membawa dua ekor kucing ke situ.
Sebelum kucing yang diminta itu datang, Kim Hwa Nionio berkata, "Taijin, kalau taijin belum percaya, boleh taijin periksa di saku atau ikat pinggang mereka, tentu mereka membawa sebotol kecil bubukan putih."
Dengan jari-jari tangan gemetar, pembesar itu memeriksa dan benar saja, di tubuh dua orang selirnya, masing-masing terdapat sebuah botol kecil berisi bubukan putih, yang disembunyikan di dalam ikat pinggang mereka. Dia lalu mengambil botol-botol itu dan meletakkannya di atas meja.
"Apakah ini?" tanyanya, suaranya masih agak gemetar karena hatinya masih diliputi ketegangan.
"Racun yang jahat sekali, taijin. Dan sebagian dari racun itu tadi ditaburkan ke dalam cawan taijin ini," kata pula Kim Hwa Nionio.
Dua ekor kucing yang diminta itu datang. Kim Hwa Nionio membuka dengan paksa mulut kucing itu dan menuangkan arak dari cawan Hou Seng ke dalam mulut kucing. Walau pun kucing itu meronta, percuma saja, arak itu telah memasuki perutnya. Dan seketika kucing itu berkelojotan dan tewas, tubuhnya berubah menghitam!
"Nah, apa akan jadinya kalau saya tadi tidak mencegah paduka minum arak dari cawan itu?" kata Kim Hwa Nionio.
Hou Seng bergidik, kembali memandang kepada dua orang selirnya, sekarang pandang matanya mulai mengandung kemarahan dan kebencian. "Mereka.. mereka nampaknya begitu baik, mencinta dan setia... dan aku telah memberi segala-galanya, tetapi... tapi mengapa..."
"Tidak aneh, taijin. Musuh taijin banyak sekali dan agaknya mereka itu mampu merubah pendirian dua orang ini. Karena itu, taijin harus berhati-hati dan percayalah, selama ada kami, kami akan selalu melindungi taijin dari ancaman bahaya," berkata Sai-cu Lama dengan suaranya yang halus.
Kini dari dua botol itu dituangkan bubuk putih ke dalam arak, lalu dituangkan dengan paksa ke dalam mulut kucing yang ke dua dan akibatnya, kucing ini pun kejang-kejang berkelojotan dan tewas seketika. Percayalah Hou Taijin dan dua mayat dan bangkai kucing itu lalu disingkirkan, dan perjamuan itu dilanjutkan, walau pun Hou Taijin sudah kehilangan seleranya.
Demikianlah, peristiwa semalam itu tentu saja sudah diatur oleh komplotan Kim Hwa Nionio yang amat cerdik. Melalui para pelayan, mereka berdua memperoleh keterangan bahwa dua orang selir itu selalu membawa sebotol kecil racun. Racun ini selalu mereka bawa karena mereka ingin membunuh diri dengan cepat kalau sekali waktu mereka itu terjatuh ke tangan musuh-musuh Hou Seng, sehingga mereka tidak usah menderita siksaan dan juga tidak ada bahayanya mereka akan membocorkan rahasia suami dan juga majikan mereka itu. Demikian besarnya kesetiaan mereka kepada Hou Seng.
Akan tetapi justru keterangan inilah yang memudahkan Kim Hwa Nionio mengatur siasat keji itu. Ketika Hou Seng hendak minum araknya, tentu saja di dalam arak itu tidak ada apa-apanya. Ia sengaja merampasnya hanya untuk membuat suasana menjadi kalut dan memberi kesempatan kepada Sai-cu Lama untuk membunuh dua orang selir itu.
Walau pun memiliki kepandaian silat yang lumayan, tentu saja dua orang selir itu sama sekali bukan tandingan Sai-cu Lama dan sama sekali tidak mampu menghindar ketika pukulan maut datang menyambar. Dan dalam kegaduhan ini, dengan mudah Kim Hwa Nionio memasukkan bubuk racun ke dalam cawan arak itu. Ketika diminumkan kepada kucing, tentu saja kucing itu tewas seketika. Dan botol bubuk racun itu benar saja dapat ditemukan dan karena memang benda itu adalah racun, ketika diminumkan kucing ke dua, binatang itu pun mati!
Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya menganggap bahwa siasat itu berhasil dengan amat baiknya. Dua orang selir yang mereka anggap saingan yang berbahaya itu telah berhasil mereka singkirkan, dan yang lebih penting, Hou Seng agaknya percaya akan pengkhianatan selir-selirnya sehingga dengan demikian, semua kepercayaan pembesar itu tentu akan jatuh ke tangan mereka! Untuk kemenangan ini, pada keesokan harinya, pagi-pagi mereka telah merayakan kemenangan itu dengan sarapan pagi yang mewah.
Akan tetapi, kegembiraan mereka itu terganggu oleh datangnya pengawal yang dengan muka pucat menyerahkan pisau dan sampul. "Kami tidak tahu siapa yang menancapkan pisau itu di pintu gerbang, karena tahu-tahu ketika kami membuka pintu gerbang, pisau itu sudah menancap di daun pintu, membawa sampul itu." Demikian laporan pengawal itu.
Oleh karena surat itu ditujukan kepada Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, nenek yang dianggap sebagai pimpinan kelompok pembantu Hou Taijin itu segera membuka sampul dan mengeluarkan suratnya yang bertuliskan dengan tinta merah. Ternyata surat itu adalah tantangan untuk pi-bu (mengadu ilmu silat), seperti yang biasa dilakukan di dunia persilatan. Yang menantang adalah Tiong Khi Hwesio yang menantang Sai-cu Lama, dan Sim Houw menantang Kim Hwa Nionio. Pada hari itu lewat tengah hari, dua orang penantang itu menunggu di tepi hutan di sebelah utara pintu gerbang kota raja!
"Heemmm... keparat!" Kim Hwa Nionio memaki dengan muka merah dan melemparkan surat itu kepada Sai-cu Lama.
Pendeta ini membacanya dan dia pun tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Tiong Khi Hwesio sudah mengejarku sampai di sini? Ha-ha-ha, dia memang sudah bosan hidup. Dengan Ban-tok-kiam di tangan, dia pasti akan mampus di tanganku sekali ini!" Sambil tertawa-tawa, Sai-cu Lama menyerahkan surat itu kepada Iblis Mayat Hidup yang duduk di sebelahnya.
Sam Kwi membaca surat itu bergantian, kemudian Bhok Gun dan Bi-kwi juga turut membacanya. Ketika surat itu kembali ke tangan Kim Hwa Nionio, Iblis Akhirat, si cebol dari Sam Kwi, yang melihat betapa Kim Hwa Nionio tidak gembira, berkata dengan suaranya yang lantang dan membuyarkan ketegangan yang timbul oleh surat itu.
"Suci, tidak usah takut menghadapi Sim Houw itu. Bukankah Liong-siauw-kiam sudah berada di tanganmu? Dan kami pun akan membantumu."
Kim Hwa Nionio mengerutkan alisnya. "Siapa bilang aku takut menghadapi orang muda itu? Akan tetapi, aku khawatir kalau-kalau surat tantangan ini hanya suatu perangkap belaka untuk memancing harimau keluar dari sarang!"
"Ha-ha-ha!" Sai-cu Lama tertawa gembira. "Harimau tetap harimau, di dalam mau pun di luar sarang, kita tetap berani dan menang!"
"Apakah engkau akan mengabaikan saja tantangan pi-bu ini, suci?" tanya Iblis Akhirat dengan khawatir, oleh karena mengabaikan tantangan pi-bu amat mencemarkan nama seorang datuk persilatan.
"Pinceng pasti datang memenuhi tantangan Tiong Khi Hwesio, ha-ha-ha!" Sai-cu Lama masih tertawa-tawa memandang rendah lawannya.
Dan dia pun memiliki alasannya untuk memandang rendah. Bukankah dia dahulu kalah oleh Tiong Khi Hwesio dalam perkelahian yang seimbang dan setelah berjalan lama baru akhirnya dia kalah? Kalau kini dia menggunakan pedang Ban-tok-kiam, dia merasa yakin akan dapat mengalahkan lawannya itu.
"Mengabaikan tantangan pibu tidak mungkin, akan tetapi..." Kim Hwa Nionio masih kelihatan ragu-ragu.
"Kalau kita semua pergi bertujuh, walau andai kata mereka itu membawa teman-teman, kita tidak perlu takut," kata pula Iblis Akhirat membesarkan hati suci-nya.
"Aku mengerti akan kekhawatiran subo," tiba-tiba Bhok Gun berkata. "Dan memang kekhawatiran itu beralasan. Penantang kita adalah musuh-musuh dan bisa saja mereka menggunakan pi-bu ini sebagai pancingan untuk menjebak kita semua. Akan tetapi, subo, justru kita harus dapat memanfaatkan keadaan dan mengambil keuntungan dari perangkap yang mereka pasang ini."
"Ehh? Maksudmu bagaimana?" tanya Kim Hwa Nionio kepada muridnya yang cerdik itu.
"Mereka menggunakan muslihat memancing harimau keluar sarang? Baik, kita keluar! Akan tetapi diam-diam aku akan menghubungi Coa-ciangkun agar dikerahkan pasukan sebanyak seratus orang untuk mengepung tempat itu dan begitu lawan berkumpul dan kita hendak dijebak, kita kerahkan pasukan untuk menangkap mereka semua. Dengan demikian berarti perangkap kita menghancurkan perangkap mereka."
Sai-cu Lama mengangguk-angguk. "Wah, Nionio, muridmu ini boleh juga!"
Semua orang menyatakan kagum dan Kim Hwa Nionio dapat menerima usul itu. Mereka melanjutkan makan minum sambil menyusun rencana untuk menghadapi pihak lawan yang mengajukan tantangan.
Tempat yang dipilih dalam surat tantangan pi-bu itu memang sunyi sekali. Di luar kota raja sebelah utara terdapat sebuah hutan yang lebat, dan di luar hutan ini terdapat lapangan rumput. Kalau musim semi tiba dan rumput di situ telah gemuk sekali, banyak penggembala ternak membawa ternaknya ke situ untuk makan rumput. Akan tetapi pada waktu itu, rumput di situ gundul dan kering maka tiada seorang pun pengembala mau membawa ternaknya ke tempat itu dan keadaan di situ amat sunyi.
Matahari amat cerahnya dan cahayanya yang panas menimpa segala yang nampak di permukaan bumi, memberi kehidupan yang segar. Kita adalah mahluk-mahluk yang sama sekali tidak dapat menikmati berkah yang berlimpahan dalam kehidupan ini. Satu di antara berkah-berkah yang berlimpahan adalah sinar matahari!
Tanpa sinar matahari, kita dan segala sesuatu di permukaan bumi ini akan mati! Sinar matahari menyehatkan, menghidupkan, dan memberi segala yang menjadi kebutuhan mutlak kita. Memberi panas, kehangatan, penerangan, kenikmatan yang tiada habis-habisnya. Namun, hanya sedikit di antara kita dapat menikmatinya.
Segala keindahan yang terbentang di depan kita hidup karena sinar matahari. Bahkan pandang mata kita tidak akan ada artinya tanpa sinar matahari. Sedikit saja di antara kita yang dapat menghirup berkah melimpah ini dengan sepuasnya, mereguknya dan menikmatinya. Dan yang sedikit itu pun hanya dapat menikmatinya jarang sekali, di waktu mereka teringat saja.
Dan di samping sinar matahari, masih banyak sekali berkah itu, seperti hawa udara, air, tumbuh-tumbuhan dan sebagainya. Namun otak ini sudah terlalu penuh dengan dijejali persoalan-persoalan, dengan masalah-masalah yang kita buat sendiri sehingga hidup di dunia yang begini indah penuh berkah ini tidak terasa lagi sebagai suatu keindahan melainkan berubah menjadi neraka karena kita terbenam ke dalam duka dan sengsara oleh problema-problema buatan kita sendiri itu
.Bayangan makin memendek mendekati kaki, tanda bahwa matahari sudah naik semakin tinggi. Tengah hari pun terlewat dan tak lama kemudian, tempat yang sunyi itu berubah dengan munculnya beberapa orang di lapangan rumput itu. Yang muncul adalah seorang kakek tua renta yang berjubah pendeta hwesio dan berkepala gundul, bersama seorang laki-laki muda yang berpakaian sederhana. Mereka ini adalah Tiong Khi Hwesio dan Sim Houw, dua orang penantang pi-bu itu!
Belum lama kedua orang penantang ini muncul di lapangan rumput yang luas, nampak bermunculan Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama, diiringkan oleh Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi! Kim Hwa Nionio tersenyum mengejek, hatinya girang sekali karena kini nenek itu tidak khawatir akan terjebak pihak musuh.
Ada seratus dua puluh orang pasukan sejak pagi tadi bersembunyi di dalam hutan itu, siap untuk menyerbu setiap saat mereka dibutuhkan! Bahkan Coa-ciangkun sendiri, perwira tinggi yang menjadi sekutu Hou Seng Taijin, memimpin pasukan itu. Tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan. Dan tentang pi-bu itu sendiri, ia pun tidak takut.
Andai kata kemudian ternyata bahwa ia tidak mampu menandingi orang muda she Sim itu, di sebelahnya masih ada Sam Kwi, Bhok Gun dan Bi-kwi yang tentu tidak akan tinggal diam. Apa lagi ketika melihat bahwa yang muncul hanya dua orang penantang itu, Kim Hwa Nionio tersenyum mengejek.
"Ha-ha-ha-ha!" Sai-cu Lama tertawa bergelak setelah berhadapan dengan Tiong Khi Hwesio. "Kiranya engkau sampai juga ke sini. Tiong Khi Hwesio, mau apakah engkau jauh-jauh menyusulku dari Tibet, kemudian mengajukan tantangan pi-bu itu?"
Tiong Khi Hwesio memandang tajam kepada lawannya. "Sai-cu Lama, pinceng memiliki kewajiban untuk menangkapmu karena engkau telah membunuh dua orang pimpinan Lama. Dahulu pinceng merasa kasihan dan membebaskanmu, akan tetapi engkau tidak mengubah kelakuan yang buruk, bahkan menimbulkan kekacauan di mana-mana."
"Menangkap aku? Ha-ha-ha, jangan sesombong itu, Tiong Khi Hwesio. Dahulu pun, hanya setelah berkelahi mati-matian sampai ribuan jurus, baru engkau dapat sedikit mengungguli aku. Tetapi sekarang, jangan harap lagi! Aku bahkan akan membunuhmu di sini, ha-ha!" Berkata demikian, Sai-cu Lama menggerakkan tangan kanannya dan nampaklah sinar berkelebat dan berkilat ketika sebatang pedang yang mengandung hawa menyeramkan telah dicabutnya. Itulah Ban-tok-kiam!
"Omitohud, kejahatanmu semakin meningkat saja, Sai-cu Lama. Engkau menggunakan pedang yang kau rampas dari orang lain. Dan justru karena pedang itulah maka pinceng semakin bersemangat untuk mengejarmu. Selama ini pinceng pantang mempergunakan senjata, akan tetapi sekali ini terpaksa, omitohud,...!"
Dan ketika tangan Tiong Khi Hwesio bergerak ke bawah jubahnya, dia sudah mencabut sebatang pedang yang mengandung hawa sedemikian menyeramkan sehingga semua orang merasakan ini. Bahkan Sam Kwi sendiri bergidik ketika melihat pedang itu. Tidak mengherankan karena kini Tiong Khi Hwesio mengeluarkan senjata pusakanya yang selama ini disembunyikannya saja, yaitu pedang pusaka yang bernama Cui-beng-kiam (Pedang Pencabut Nyawa)!
Pedang pusaka ini dahulu milik seorang datuk sesat seperti iblis yang menjadi penghuni Pulau Neraka bernama Cui-beng Koai-ong (Raja Setan Pengejar Nyawa), sebatang pedang yang luar biasa ampuhnya dan akan menjadi lawan yang kuat seimbang sekali bagi Ban-tok-kiam.
Sementara itu, Kim Hwa Nionio sudah berhadapan dengan Sim Houw. "Hemm, orang muda, engkau berhasil meloloskan diri dan kini datang mengantar nyawa, sungguh lucu sekali. Dengan Liong-siauw-kiam di tanganku, bagaimana kau akan mampu menandingi aku?" Nenek itu mencabut Liong-siauw-kiam yang dipegangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kebutannya. Sepasang senjata ini memang membuat Kim Hwa Nionio menjadi semakin lihai bukan main.
"Senjata pusaka itu milikku dan engkau merampasnya dengan cara licik. Akan tetapi, jangan mengira aku takut menghadapimu, Kim Hwa Nionio." Berkata demikian, kedua tangan Sim Houw pun bergerak.
Dia telah mengeluarkan sepasang senjata, yaitu sebatang suling emas dan sebatang pedang yang juga memiliki sinar yang menyeramkan sekali. Pedang di tangan kanannya itu bukan lain adalah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman). Mudah saja diduga dari mana Sim Houw memperoleh sepasang senjata ini.
Sebelum datang ke tempat pi-bu ini, Cu Kun Tek telah menyerahkan dan meminjamkan sepasang senjatanya kepada pendekar ini, senjata yang tadinya memang menjadi milik Sim Houw dan dahulu dikembalikannya kepada keluarga Cu itu, meminjamkannya agar Sim Houw dapat menandingi nenek yang memegang Liong-siauw-kiam.
Seperti juga Sai-cu Lama yang terkejut melihat betapa lawannya mempunyai sebatang pedang pusaka yang kelihatannya ampuh itu, Kim Hwa Nionio tercengang melihat lawannya kini memegang sepasang senjata suling emas dan pedang pusaka berkilauan dan memiliki hawa yang demikian menyeramkan. Diam-diam dia pun merasa jeri dan mengerling ke arah Sam Kwi, sebagai tanda kepada tiga orang sutenya itu agar bersiap-siap membantunya.
"Heh-heh, sudah lama aku mendengar nama Pendekar Suling Naga, dan kesempatan ini takkan kusia-siakan!" kata Iblis Akhirat dan tiba-tiba saja tangannya bergerak.
Sinar terang berkelebat meluncur dari tangannya, menyambar ke arah Sim Houw. Itulah Toat-beng Hui-to (Golok Terbang Pencabut Nyawa), yang telah dipergunakan secara curang oleh Im-kan Kwi, orang pertama dari Sam Kwi itu.
Akan tetapi, Sim Houw telah mendengar banyak tentang kelihaian dan kecurangan tiga orang yang dia dapat menduga adalah Sam Kwi ini, maka dia telah bersikap waspada sejak tadi. Dia dapat cepat menundukkan kepala mengelak dan golok itu terbang di atas kepalanya, kemudian kembali kepada pemiliknya! Diam-diam Sim Houw terkejut. Ilmu melempar golok yang hebat, pikirnya, dan berbahaya sekali. Golok yang dapat terbang kembali seperti itu dapat dipergunakan berkali-kali. Dia sudah sering mendengar cerita Bi Lan tentang kehebatan tiga orang iblis ini.
"Hemm, kiranya Kim Hwa Nionio dan Sai-cu Lama hanya berani menerima tantangan karena mengandalkan banyak lawan," kata Sim Houw mengejek.
"Omitohud, sudah pinceng duga bahwa kalian akan bertindak curang. Kalian datang bertujuh, maka sudah sepatutnya kalau kami pun keluar bertujuh!" Kakek ini tiba-tiba mengeluarkan suara melengking panjang dan dari balik batu-batu besar bermunculan lima orang yang dengan cepatnya berlari menuju ke padang rumput itu.
Kim Hwa Nionio dan teman-temannya cepat memandang. Yang muncul itu lima orang, akan tetapi mereka hanya mengenal seorang di antara mereka, yaitu Bi Lan. Ada pun empat orang lainnya adalah Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui, kemudian Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng! Dua pasang suami isteri inilah yang telah bertemu dengan Tiong Khi Hwesio dan mereka segera diajak berunding untuk bersama-sama menghadapi gerombolan datuk sesat yang menjadi kaki tangan Hou Seng.
Seperti telah kita ketahui, Suma Ceng Liong dan isterinya Kam Bi Eng yang kematian nenek Teng Siang In dan kehilangan puteri mereka, Suma Lian, tak sempat mendengar dari Hong Beng siapa adanya kakek yang menculik puteri mereka ini. Akan tetapi mereka mengenal luka yang diakibatkan oleh pedang Ban-tok-kiam, maka mereka lalu melakukan perjalanan cepat pergi mengunjungi keluarga Kao, yaitu penghuni Istana Gurun Pasir di luar Tembok Besar.
Dari nenek Wan Ceng, mereka mendengar bahwa pedang itu tadinya oleh nenek Wan Ceng dipinjamkan kepada muridnya, yang juga menjadi murid Sam Kwi. Tetapi nenek Wan Ceng memperkuat keyakinannya bahwa muridnya itu tidak mungkin melakukan kejahatan, dan ia mengkhawatirkan bahwa pedang itu telah terampas oleh orang jahat dari tangan muridnya.
Setelah mendengar penuturan nenek Wan Ceng tentang pedang Ban-tok-kiam, suami isteri itu kembali ke selatan dan sampai di kota raja. Mereka hendak mengunjungi Kao Cin Liong untuk minta bantuannya, akan tetapi kebetulan sekali Kao Cin Liong dan Suma Hui juga baru saja tiba di kota raja dan mereka bertemu di perjalanan.
Pertemuan mereka yang mengharukan di tengah jalan itu menarik perhatian seorang kakek hwesio yang bukan lain adalah Tiong Khi Hwesio. Wajah Suma Ceng Liong yang mirip dengan wajah Suma Kian Bu di waktu muda, menarik perhatiannya dan melihat sikap dan gerakan mereka, Tiong Khi Hwesio dapat mengetahui bahwa empat orang itu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Maka dia pun segera menghubungi mereka dan memperkenalkan diri sebagai Tiong Khi Hwesio yang dahulu pernah bernama Wan Tek Hoat.
Tentu saja nama ini amat dikenal oleh Suma Ceng Liong dan Suma Hui, dan mereka lalu mengadakan perundingan. Girang hati Suma Ceng Liong ketika mendengar dari kakek ini bahwa yang mempergunakan pedang Ban-tok-kiam adalah seorang pendeta Lama bernama Sai-cu Lama.
Apa lagi setelah mereka berempat itu dipertemukan dengan Hong Beng, Kun Tek dan terutama Bi Lan. Mereka dapat mendengar secara jelas segala hal mengenai Sam Kwi dan Sai-cu Lama. Dan mereka bersama-sama lalu mengadakan perundingan, dipimpin oleh Tiong Khi Hwesio yang mengatur siasat. Mereka itu merupakan sekelompok kecil anggota keluarga para pendekar Pulau Es, kecuali Cu Kun Tek, dan mereka membagi-bagi tugas.
Melihat munculnya lima orang itu, Sam Kwi, Bi-kwi dan Bhok Gun cepat menyambut mereka. Sesuai dengan tugas mereka, Kao Cin Liong menghadapi Iblis Akhirat, Suma Ceng Liong menghadapi Raja Iblis Hitam, Kam Bi Eng yang sudah siap dengan suling emasnya menghadapi Iblis Mayat Hidup, Bhok Gun dihampiri oleh Suma Hui sedangkan Bi-kwi dihadapi Bi Lan! Kini mereka benar-benar melakukan pi-bu satu lawan satu dan semua ini sudah diperhitungkan oleh keluarga Pulau Es itu!
Sam Kwi yang tidak mengenal lawannya, memandang rendah. Terutama sekali Im-kan Kwi (Iblis Akhirat), orang pertama dari Sam Kwi, ketika melihat majunya seorang laki-laki setengah tua yang tidak begitu mengesankan, memandang rendah. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang dihadapinya itu adalah Kao Cin Liong, bekas panglima yang amat terkenal di kota raja, putera dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir!
"Ha-ha-ha, kalian ini semua sudah bosan hidup, mengantar nyawa untuk mati konyol!" Berkata demikian, Ibiis Akhirat ini membuka perkelahian satu lawan satu itu dengan serangannya yang ganas, yaitu dengan menggunakan Kiam-ciang (Tangan Pedang) menubruk ke arah Cin Liong.
Melihat lawan maju dan menyerang sembarangan dengan tangan kanan dibarengi pengerahan tenaga sinkang yang membuat tangan itu berdesing seperti senjata tajam, Cin Liong yang sudah mendengar tentang si cebol ini dari Bi Lan, menyambut dengan tangkisan dan untuk mengadu tenaga, dia pun mengerahkan sinkang-nya yang istimewa, pelajaran dari Istana Guruu Pasir.
"Desss...!"
Dan Iblis Akhirat mengeluarkan pekik kaget karena tangkisan itu bukan saja mampu menangkis serangan Kiam-ciang, akan tetapi bahkan dia merasa betapa seluruh lengan kanannya tergetar hebat seperti bertemu dengan baja yang lemas namun kuat sekali.
Dan ternyata Iblis Akhirat tidak menyendiri dalam kekagetannya. Raja Iblis Hitam yang menyerang Ceng Liong, membuka serangan dengan menggunakan jurus dari Hek-wan Sip-pat-ciang, tangan kirinya mencengkeram dan lengannya mulur panjang melewati kepala lawan, lalu dari belakang tubuh lawan, lengan itu membalik dan tangannya mencengkeram ke arah kepala Ceng Liong!
Cucu Pendekar Super Sakti ini sudah mendengar pula dari Bi Lan tentang kepandaian si Raja Iblis Hitam, bahkan Bi Lan sudah mendemonstrasikan semua ilmu tiga orang gurunya, maka dia pun tidak terkejut melihat lengan yang dapat mulur memanjang itu. Dia membalik dan menangkis, mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang.
"Dukkkk...!"
Dan seperti juga rekannya, Raja Iblis Hitam yang tinggi besar ini mengeluarkan teriakan kaget dan cepat menarik kembali lengan kirinya yang mulur tadi karena tangkisan lawan itu bukan saja membuat pukulannya membalik dan tangannya terpental, akan tetapi seluruh lengannya merasa dingin seperti dimasuki air es! Dia terkejut dan maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pendekar Pulau Es, maka dia pun tidak berani main-main lagi.
Sama saja kekejutan yang dialami oleh Iblis Mayat Hidup. Kakek yang seperti tengkorak hidup ini pun tadinya memandang ringan kepada Kam Bi Eng, wanita yang masih nampak cantik jelita dalam usianya yang tiga puluh dua tahun itu. Seorang wanita yang hanya bersenjatakan sebatang suling emas! Maka dia ingin menangkap wanita ini hidup-hidup, dan sudah menubruk dengan Ilmu Hun-kin Tok-ciang untuk membikin putus otot kedua pundak lawan dan sekaligus membekuknya.
Seperti juga suaminya, Kam Bi Eng sudah mempelajari lebih dahulu ilmu-ilmu dari calon lawannya. Diketahuinya sudah bahwa lawannya ini memiliki Sam Kwi Cap-sha-ciang seperti yang lain, juga paling ahli dalam penggunaan Kiam Ciang, dan memiliki ilmu silat yang berbahaya, yaitu Hun-kin Tok ciang.
Kini, melihat datangnya serangan, ia mengenai jurus Hun-kin Tok-ciang dan cepat ia sudah memutar sulingnya. Terdengar suara melengking-lengking dan tahu-tahu lengan kanan Iblis Mayat Hidup sudah tertangkis, sedangkan lengan kirinya tiba-tiba menjadi kejang karena serangannya disambut oleh totokan yang cepat sekali datangnya dari suling yang menangkis lengan kanan tadi, mengenai tepat pada pergelangan tangannya dan membuat lengan itu menjadi kejang. Dia menahan pekiknya akan tetapi melangkah mundur untuk mengurut lengan kirinya, lalu maju lagi menyerang dengan Kiam-ciang, bertubi-tubi dan dengan marah sekali.
Bhok Gun yang dihadapi Suma Hui terkejut bukan main dan segera dia mengerti bahwa wanita ini bukan lawannya! Wanita ini memiliki pukulan-pukulan yang mengandung hawa panas sekali, bagaikan api, dan ketika menangkis mengenai lengan kirinya ada hawa yang amat dingin seperti es menyusup ke dalam lengannya! Hampir saja dia melepaskan pedangnya, dan ia cepat-cepat melompat mundur dengan mata terbelalak. Suma Hui tersenyum mengejek dan ialah yang kini menerjang mendesak lawannya cepat memutar pedangnya melindungi tubuh.
Bi-kwi seoranglah yang agaknya menemukan tandingan yang seimbang. Akan tetapi ia menjadi semakin penasaran saja karena semua serangannya terhadap Bi Lan atau Siauw-kwi yang ketika kecil menjadi muridnya ini, dapat dihindarkan oleh Bi Lan, bahkan Bi Lan membalas dengan tidak kalah sengitnya! Dua orang ini, ketika mempergunakan ilmu silat dari Sam Kwi, nampaknya seperti orang berlatih saja karena gerakan mereka sama, dan kelincahan mereka berimbang.
Bi-kwi menjadi semakin penasaran dan sambil mencoba untuk mendesak sumoi-nya, ia berteriak-teriak memaki dan menghina, disambut oleh Bi Lan sambil tersenyum saja. Memang ialah yang minta kepada Tiong Khi Hwesio agar diperbolehkan menghadapi suci-nya, karena ia sudah hafal akan semua ilmu suci-nya, dan ia pun tahu bagaimana caranya untuk menghadapi dan melawannya.
Ada sedikit kelebihan pada diri Bi-kwi, yaitu ia lebih matang dalam hal ilmu-ilmu dari Sam Kwi dibandingkan sumoi-nya. Akan tetapi kekurangan Bi Lan ini tertutup oleh ilmu-ilmu dari Naga Sakti Gurun Pasir yang pernah dilatihnya, bahkan ilmu-ilmu ini akan membuat Bi-kwi bingung kalau dikeluarkan oleh Bi Lan.....
Komentar
Posting Komentar