SULING NAGA : JILID-29
Hong Beng mengerutkan alisnya. Menurut penuturan suhu-nya, Kao Cin Liong adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman. Kenapa keluarga ini sekarang bersikap begitu angkuh? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Dia merasa penasaran. Anak perempuan ini kelihatan galak dan pandang mata yang tajam itu mengandung kenakalan. Jangan-jangan ulah anak perempuan ini saja yang mempermainkannya.
"Akan tetapi, penting sekali bagiku untuk bertemu dengan Kao-locianpwe!"
"Hemm, mungkin penting bagimu, tetapi tidak ada artinya bagi kami. Ada keperluan apakah engkau hendak menghadap ayah dan ibu?"
Hong Beng menganggap bahwa sikap anak perempuan ini tinggi hati sekali, maka dia pun menjawab singkat, "Keperluan banyak. Aku singgah di sini dan ingin menghadap adalah untuk memenuhi pesan guruku."
"Siapa sih gurumu?" tanya Hong Li sambil memandang pemuda itu dengan teliti, dari kepala sampai ke kaki.
"Guruku bernama Suma Ciang Bun...!"
"Bohong!" Hong Li membentak keras sampai Hong Beng menjadi kaget. "Enak saja engkau mengaku murid pamanku. Jika benar muridnya, tentu engkau dapat menyambut seranganku ini!" Tanpa banyak cakap lagi gadis cilik yang galak dan lincah itu sudah menerjang maju, memukul ke arah dada Hong Beng.
Tentu saja Hong Beng mengenal sebuah jurus dari Ilmu Cui-beng Pat-ciang itu, maka dia pun mengelak dengan mudahnya. Bahkan karena mendongkol dan menganggap anak perempuan ini terlalu galak, ketika Hong Li menyerang lagi dengan tendangan kilat, dia mengelak sambil memutar langkahnya dan mendadak saja tangannya sudah menampar ke arah pinggul anak perempuan itu, dengan maksud untuk menghajarnya agar tidak terlalu nakal dan bersikap sopan kepada tamu.
"Plakkk!"
Pinggul itu kena ditampar, cukup keras sehingga mendatangkan rasa panas dan nyeri. Marahlah Hong Li. Sepasang matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah saking marahnya.
"Haiiiittt...!" Ia berteriak dan kini ia menghujankan pukulan-pukulan ke arah tubuh Hong Beng, mempergunakan ilmu-ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari ayah ibunya.
Kalau tadi ia sengaja menyerang dengan jurus dari Cui-beng Pat-ciang yang dilatihnya dari ibunya, kini ia menggunakan ilmu yang didapat dari ayahnya yang tentu tidak akan dikenal oleh seorang murid pamannya karena kalau ibunya merupakan keturunan dari keluarga Pulau Es, ayahnya adalah keturunan majikan Istana Gurun Pasir!
Akan tetapi, Hong Li yang baru berusia tiga belas tahun ini, tentu saja belum menguasai ilmu-ilmu silat tinggi itu dengan matang dan bukan merupakan lawan berat bagi Hong Beng. Kalau pemuda ini menghendaki, tentu dia akan mampu merobohkannya. Akan tetapi Hong Beng dapat menduga siapa adanya gadis cilik ini. Puteri dari Pendekar Kao Cin Liong. Maka dia pun hanya mengalah dan terus main mundur, mengelak dan menangkis, tidak pernah membalas.
Pada saat Hong Li menyerang sambil mengeluarkan bentakan nyaring itu, tentu saja Kao Cin Liong dan Suma Hui yang berada di dalam rumah terkejut sekali dan mereka berdua bergegas keluar untuk melihat apa yang terjadi. Ketika mereka melihat anak mereka berkelahi dengan seorang pemuda baju biru, Cin Liong sudah hendak melerai, tetapi lengannya dipegang isterinya yang berbisik, "Lihat, bukankah dia menggunakan gerakan ilmu silat keluargaku?"
Cin Liong lalu memperhatikan dan harus mengakui kebenaran isterinya. Pemuda yang selalu mengelak atau menangkis, yang terus mengalah itu, bersilat dengan gerakan ilmu silat keluarga Pulau Es! Setelah mereka melihat jelas, dan juga tahu bahwa pemuda itu lihai sekali dan sengaja mengalah, Suma Hui lalu meloncat ke depan.
"Hong Li, hentikan serangan-seranganmu itu!" bentaknya.
Mendengar bentakan ibunya, Hong Li meloncat ke belakang. Keringat membasahi dahi dan lehernya. Ia merasa penasaran sekali tadi karena semua serangannya luput atau tertangkis, akan tetapi setelah ayah ibunya muncul, ia pun kini sadar bahwa ialah yang lebih dulu menyerang pemuda itu. Maka sebelum pemuda itu ditanyai, ia lebih dahulu berkata kepada ibunya.
"Siapa yang tidak mendongkol? Orang ini mengaku-ngaku sebagai murid paman Suma Ciang Bun!"
"Anak bodoh! Apakah engkau sudah tak mengenal lagi gerakan-gerakannya yang jelas membuktikan kebenaran pengakuannya?" berkata Suma Hui, dan dengan hati girang ia memandang kepada pemuda itu yang sudah menjatuhkan diri berlutut di depan ia dan suaminya.
"Harap bibi guru dan paman tidak menyalahkan adik ini. Sayalah yang bersalah dan maafkan kelancangan saya," kata Hong Beng yang diam-diam teringat betapa dia tadi sudah ‘menghajar’ gadis cilik itu dengan menampar pinggulnya! Ia menjadi khawatir kalau-kalau si kecil itu mengadu kepada orang tuanya.
"Engkau murid adikku Suma Ciang Bun?" Suma Hui bertanya. "Dan siapa namamu tadi? Hong Li sudah memberi tahukan kepada kami akan tetapi kami lupa..."
"Namanya Gu Hong Beng dan kalau dia tidak berhati-hati menjaga kelancangan tangan dan mulutnya, tentu akan kuhajar lagi!" kata Hong Li.
Dari ucapan ini saja sudah membuat Hong Beng semakin gelisah. Kiranya anak ini telah menyindir bahwa kalau dia tidak bersikap baik, tentu gadis cilik itu akan menghajarnya dengan mengadu kepada ayah dan ibunya.
"Adik yang baik, harap maafkan aku."
Kao Cin Liong tidak senang melihat kemanjaan puterinya. Jelas tadi bahwa yang terus-menerus melakukan penyerangan adalah Hong Li, akan tetapi kini sikap puterinya itu seolah-olah pemuda itu yang bersalah.
"Sudahlah, mari kita masuk dan bicara di dalam."
Mereka masuk ke dalam rumah dan kemudian duduk di ruangan dalam. Suma Hui bertanya tentang adik laki-lakinya yang sudah lama tidak pernah dijumpainya itu. Hong Beng menceritakan keadaan dirinya, betapa dia diselamatkan oleh Suma Ciang Bun pada tujuh tahun yang lalu, kemudian menjadi muridnya.
"Teecu telah diutus oleh suhu untuk melakukan penyelidikan tentang seorang pembesar bernama Hou Seng karena suhu mendengar betapa pembesar itu menguasai kaisar dan merajalela di kota raja."
Suami isteri itu saling pandang. "Ah, jadi berita tentang orang she Hou itu sudah sampai sejauh itu?" Kao Cin Liong berseru heran.
"Hal itu tidak aneh. Berita tentang kebaikan seseorang tak akan melewati ambang pintu gerbang, sebaliknya berita mengenai kebusukan seseorang akan terbawa angin dan meluas dengan cepatnya."
"Lalu apa yang sudah kau lakukan, Hong Beng?" tanya Cin Liong sambil memandang wajah tampan sederhana itu.
Hong Beng lalu menceritakan betapa dia sudah pergi ke kota raja. "Teecu pergi ke kota raja bukan hanya untuk memenuhi perintah suhu, akan tetapi juga untuk mencari jejak seorang pendeta Lama dari Tibet yang sudah melarikan adik Suma Lian, puteri dari susiok (paman guru) Suma Ceng Liong."
Suami isteri itu terkejut sekali. "Aihh! Apa yang telah terjadi dengan anak itu?" teriak Suma Hui. Tentu saja ia mengenal Suma Lian karena beberapa kali sudah ia bertemu dengan puteri tunggal Suma Ceng Liong itu.
Hong Beng menceritakan mengenai kunjungannya ke dusun Hong-cun dan kebetulan sekali dia sempat membantu nenek Teng Siang In yang berkelahi melawan Sai-cu Lama memperebutkan Suma Lian yang diculik oleh kakek itu, sampai akhirnya nenek Teng Siang In tewas dan Suma Lian dilarikan oleh Sai-cu Lama. Mendengar cerita ini, kedua suami isteri itu menjadi semakin terkejut.
"Bibi Teng Siang In sampai tewas? Aihhh... kami sama sekaii tidak mendengar!"
"Mungkin susiok Suma Ceng Liong tidak sempat memberi kabar karena tentu dia dan isterinya cepat-cepat melakukan penyelidikan dan hendak mencari puteri mereka," kata Hong Beng.
"Adik Lian diculik orang? Wah, siapa penculiknya itu! Ayah dan ibu, marilah kita pergi mencari adik Lian dan menyelamatkannya!" teriak Hong Li marah mendengar betapa adik misannya itu diculik orang jahat.
Kao Cin Liong memberi isyarat supaya puterinya itu tidak membuat gaduh, lalu dia bertanya kepada Hong Beng, "Kalau sampai bibi Teng Siang In tewas di tangan orang itu, tentu orang itu lihai sekali. Orang macam apakah yang bernama Sai-cu Lama itu?"
"Sai-cu Lama memang lihai sekali, sudah tua, bertubuh tinggi besar, perutnya gendut dan kepalanya gundul. Ia mengenakan pakaian jubah pendeta Lama dari Tibet. Nenek Teng Siang In terluka oleh Ban-tok-kiam sehingga akhirnya tewas..."
"Ban-tok-kiam...?!" Kao Cin Liong dan Suma Hui berteriak hampir berbareng.
Hong Beng teringat bahwa pedang pusaka itu adalah milik subo (ibu guru) dari Bi Lan, yaitu nenek Wan Ceng atau ibu kandung Kao Cin Liong ini. "Benar, pedang pusaka itu adalah milik locianpwe Wan Ceng dan oleh Sai-cu Lama pedang itu dirampasnya dari tangan nona Can Bi Lan."
"Ehhh, bagaimana pula ini? Siapa itu Can Bi Lan dan bagaimana pedang Ban-tok-kiam milik ibuku bisa berada di tangannya?" Kao Cin Liong bertanya tak sabar lagi. Tak disangkanya bahwa pemuda yang datang ini membawa banyak sekali berita yang amat penting dan mengejutkan.
"Nona Can Bi Lan pernah menerima latihan ilmu dari locianpwe Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan nona itu menerima pedang pusaka Ban-tok-kiam yang dipinjamkan oleh subo-nya untuk melindungi diri. Akan tetapi ternyata, di depan teecu sendiri, kakek Sai-cu Lama merampasnya. Kami berdua telah berusaha untuk merampasnya kembali, namun kakek itu amat lihai dan dapat meloloskan diri. Dan kemudian, teecu bertemu pula dengan kakek itu ketika kakek itu bertempur melawan locianpwe Teng Siang In, melukainya dengan Ban-tok-kiam dan menculik adik Suma Lian puteri dari susiok Suma Ceng Liong."
Suami isteri itu terkejut dan terheran-heran. "Ahhh! Ban-tok-kiam terampas orang dan dipakai membunuh bibi Teng Siang In, dan puteri adik Suma Ceng Liong juga diculik oleh perampas Ban-tok-kiam itu! Ah, kita tidak boleh tinggal diam saja!" kata Suma Hui sambil mengepal tinju.
Cin Liong yang lebih tenang sikapnya itu hanya mengangguk, lalu memandang wajah Hong Beng. "Orang muda, berita yang kau bawa ini sungguh amat penting sekali bagi kami dan kami berterima kasih sekali kepadamu. Karena kami pun mendengar kabar-kabar angin yang buruk sekali mengenai kota raja, maka dapatkah kau menceritakan bagaimana sebenarnya keadaan di sana?"
"Teecu sudah melakukan penyelidikan di kota raja, tetapi tidak menemukan jejak Sai-cu Lama yang telah melarikan Ban-tok-kiam dan adik Suma Lian. Teecu mendengar bahwa pembesar yang bernama Hou Seng itu amat berkuasa di istana dan kini dia dibantu oleh banyak orang sakti. Juga teecu mendengar akan banyaknya pertentangan-pertentangan dan pembunuhan-pembunuhan rahasia yang terjadi di kota raja, di antara orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, Karena teecu tidak tahu apa yang harus teecu lakukan, maka teecu teringat akan pesan suhu agar menemui bibi guru di sini dan minta nasehat dari locianpwe yang lebih tahu akan seluk-beluk para pembesar di kota raja."
Kao Cin Liong menarik napas panjang. "Sudah belasan tahun aku sendiri tidak pernah mencampuri urusan pemerintah dan dunia kang-ouw sehingga aku sendiri tidak dapat banyak memberi nasehat. Tadinya kami sama sekali tidak menaruh minat dan tak ingin terlibat karena semua kemelut itu terjadi akibat para pembesar yang saling berebut kekuasaan. Namun setelah mendengar bahwa Suma Lian diculik orang, juga pusaka ibuku yang dipinjamkan kepada gadis bernama Can Bi Lan itu dirampas orang pula, dan orang itu agaknya menuju ke kota raja, maka kami tidak akan tinggal diam saja. Setelah melihat sendiri keadaan di kota raja, barulah aku akan dapat menentukan apa yang sebaiknya harus dilakukan."
"Ayah, aku ikut ke kota raja. Aku harus membantu agar supaya adik Lian dapat segera diselamatkan dan kita hajar penculiknya!" kata Hong Li dengan gemas.
Hong Beng memandang gadis cilik itu dan merasa kagum. Gadis cilik ini biar pun galak, akan tetapi penuh semangat dan keberanian, jiwa seorang pendekar sejati.
"Hong Li, ayah ibumu bukan ingin pergi ke kota raja untuk pelesir. Engkau harus tahu bahwa kita berhadapan dengan orang yang pandai sekali. Lihat, ini suheng-mu yang demikian pandai pun tak mampu menandingi penculik itu! Engkau harus menjaga rumah dan kami yang akan pergi melakukan penyelidikan. Kami harus dapat menolong adikmu Suma Lian," kata Suma Hui kepada anaknya.
Setelah bercakap-cakap menceritakan pula keadaan gurunya, Hong Beng lalu berpamit untuk melanjutkan penyelidikannya di kota raja. Suami isteri itu tidak menahannya dan berjanji akan segera berangkat juga ke sana.
"Mudah-mudahan kita nanti dapat saling bertemu dan bergabung di sana," kata Kao Cin Liong.
Setelah pemuda itu pergi dan bicara berdua saja, Kao Cin Liong dan Suma Hui memuji pemuda murid Suma Ciang Bun itu.
"Dia masih muda sekali, kepandaiannya sudah cukup tinggi dan melihat sikapnya, apa lagi ketika melayani kerewelan Hong Li, dia itu orangnya sabar dan bijaksana. Sungguh seorang pemuda yang baik sekali," kata Kao Cin Liong.
Isterinya mengangguk dan memandang wajah suaminya, seperti ingin menjenguk isi hatinya. "Kau pikir cukup baik untuk anak kita?"
Kao Cin Liong mengangguk-angguk. "Kalau saja anak kita yang hanya satu-satunya itu kelak bisa berjodoh dengan seorang pemuda seperti Gu Hong Beng itu, pasti aku akan merasa bersyukur sekali. Akan tetapi, tentu saja semua itu terserah kepada Hong Li sendiri."
"Benar," kata isterinya. "Memang pemuda itu baik, akan tetapi itu menurut pandangan dan pendapat kita. Dalam hal perjodohan, pendapat anak yang bersangkutanlah yang penting, bukan pandangan orang tua."
Cin Liong mengangguk. "Engkau benar, isteriku. Tidak ada contoh yang lebih baik dari pada perjodohan antara kita sendiri. Anak kita yang harus menentukan kelak, siapa yang akan menjadi suaminya, betapa pun condongnya hati kita untuk bermenantukan seorang pemuda seperti Hong Beng itu."
"Benar, dan pula, biar pun Ciang Bun itu adik kandungku sendiri, kita sudah tahu akan kelainan pada dirinya. Hal ini yang menimbulkan keraguan. Siapa tahu Hong Beng yang menjadi muridnya itu pun memiliki kelainan yang sama. Ahh, sudahlah. Biar kelak Hong Li memilih sendiri dan kita sebagai orang tua hanya ikut mengamati saja agar pilihannya tidak keliru."
Pendapat seperti yang diucapkan oleh Suma Hui inilah yang sering kali menjadi pokok dasar pertentangan antara orang tua dan anaknya dalam pemilihan jodoh. Orang tua bilang tidak akan memilihkan, dan membiarkan si anak memilih dan menentukan sendiri jodohnya, dengan embel-embel supaya anaknya tidak KELIRU memilih! Ini sama saja dengan keharusan menurut pilihan orang tua!
Tentu saja kalau orang tua tidak suka dengan calon suami pilihan anaknya, dengan mudah mereka melontarkan kata-kata KELIRU memilih itulah! Kalau orang merasa tidak suka, mudah saja mencari cacat cela orang yang tidak disukainya itu, sebaliknya kalau orang merasa suka, juga mudah pula mencari segi-segi kebaikannya untuk ditonjolkan.
Memang kalau sudah ada penilaian, tidak ada orang yang hanya baik saja tanpa cacat, juga tidak ada orang yang sama sekali busuk tanpa kebaikan sedikit pun. Kalau si anak memilih orang yang disuka, maka dikatakan bahwa pilihannya itu sudah benar, akan tetapi kalau sebaliknya yang dipilih itu tidak disukai, tentu dikatakan bahwa pilihannya keliru dan terjadilah pertentangan.
Ini bukan berarti bahwa orang tua harus membebaskan anaknya sebegitu rupa hingga si anak boleh melakukan apa saja sesuka hatinya! Bebas bukan berarti ‘semau gua’. Bebas dalam arti kata tidak tertekan oleh kekuasaan orang lain, akan tetapi di dalam kebebasan itu terdapat disiplin diri yang tidak terlepas dari pada tata cara pergaulan dalam masyarakat.
Karena itu, orang tua yang bijaksana, di samping memberi kebebasan yang seluasnya kepada si anak, juga sepenuh perhatian memberi bimbingan dan pendidikan kepada si anak, sehingga si anak tumbuh menjadi manusia yang cerdas, berakal budi, dan bukan hanya menjadi seorang hamba nafsu belaka. Perjodohan baru benar kalau berdasarkan cinta kasih. Cinta adalah urusan batin yang bersangkutan, yang hanya dapat dirasakan dan diketahui oleh orang yang bersangkutan saja.
Pilihan orang tua tidak mungkin berdasarkan cinta kasih ini karena mereka tidak ikut merasakan. Pilihan orang tua tentu hanya berdasarkan keadaan si calon yang dipilih, wajah dan watak yang baik, dari keturunan keluarga yang baik, kedudukan yang baik dan sebagainya, yang kesemuanya diukur dari keadaan umum atau dari selera mereka sendiri. Sebaliknya, pilihan orang yang bersangkutan biasanya berdasarkan cinta.
Sayang bahwa kebanyakan cinta kasih di antara mereka ini sebenarnya hanyalah nafsu belaka, tertarik karena wajah elok, kepandaian, kedudukan dan sebagainya sehingga kelak mereka akan menemui kegagalan
.....********************
Ketika Sim Houw dan Bi Lan memasuki pintu gerbang kota raja, nampaknya semua berjalan biasa saja dan keadaan di kota raja juga tetap ramai dan tenang. Mereka tidak tahu bahwa sebenarnya mereka sudah diintai dan dibayangi sejak mereka tiba di pintu gerbang!
Bhok Gun dan Bi-kwi, dua orang yang kini bertugas memimpin pasukan berpakaian preman yang melakukan pembersihan sampai di mana-mana, bagaikan dua orang yang hendak menjala ikan, melihat dari jauh betapa Sim Houw dan Bi Lan memasuki kota raja seperti ikan-ikan kakap memasuki jaring yang mereka pasang! Mereka tidak mau turun tangan ketika melihat dua orang muda ini, khawatir kalau sampai dua orang itu dapat meloloskan diri. Maka, mereka hanya menyuruh anak buah membayangi dari jauh segala gerak-gerik dua orang itu, sedangkan mereka sendiri membuat laporan kepada Kim Hwa Nionio dan membuat persiapan.
Kim Hwa Nionio menjadi girang sekali mendengar bahwa orang yang kini menguasai Liong-siauw-kiam telah datang ke kota raja. Ia harus merampas kembali pusaka yang dulu menjadi milik gurunya itu. Ialah yang berhak memiliki pusaka itu, bukan orang lain.
Sim Houw dan Bi Lan melihat bahwa keadaan di kota raja nampak tenang saja, masih ramai dan biar pun hari telah senja, masih banyak toko yang buka dan banyak pula orang yang berlalu lalang memenuhi jalan-jalan raya. Demikian banyaknya orang di kota raja sehingga diam-diam Bi Lan yang selamanya baru sekali itu berkunjung ke kota besar yang ramai itu, menjadi bingung ke mana ia harus mencari Sai-cu Lama yang merampas Ban-tok-kiam itu.
"Wah, ke mana kita harus mencari dia di tempat sebesar dan seramai ini?" katanya lirih ketika mereka berjalan-jalan di sepanjang toko-toko itu.
"Sekarang hari telah hampir malam. Kita perlu beristirahat dulu. Besok kita melakukan penyelidikan ke kuil-kuil karena barang kali ada hwesio yang mengenal pendeta Lama itu. Atau ke pasar-pasar, ke tempat-tempat umum. Mari lebih dahulu kita mencari rumah penginapan."
Bi Lan yang belum berpengalaman dalam hal ini, hanya menurut saja dan mengikuti kawannya. Mereka memasuki salah sebuah rumah penginapan dan Sim Houw minta disediakan dua buah kamar. Setelah mereka diantar ke kamar masing-masing, Bi Lan segera menyatakan keheranannya.
"Sim-toako, selama dalam perjalanan kita bersama, kita bermalam di dalam kuil-kuil tua, di dalam hutan bawah pohon-pohon, selalu kita berada dalam satu ruangan, tidur dalam satu ruangan. Akan tetapi sekarang, di tempat ini, mengapa mendadak engkau minta disediakan dua kamar dan kita tiduk terpisah? Mengapa?"
Sim Houw tersenyum, terharu melihat kepolosan hati gadis ini. Dia tahu bahwa sejak kecil Bi Lan hidup seperti liar, jauh dari masyarakat umum, jauh dari apa yang oleh masyarakat disebut sebagai kesopanan atau tata-susila. Karena itu maka Bi Lan dapat mengajukan pertanyaan dan demikian terbuka dan polos.
"Lan-moi, agaknya masih banyak sekali hal yang tidak kau ketahui tentang kehidupan bermasyarakat, kehidupan yang sudah dipenuhi dengan berbagai peraturan-peraturan umum, dengan kesopanan dan tata-susila, dengan kebudayaan dan peradaban. Ada garis pemisah antara pria dan wanita di semua bidang, terutama kamar tidur. Hanya suami isteri saja yang boleh tidur di satu ruangan, Lan-moi. Di dalam kehidupan ramai ini, segalanya ada aturannya. Berpakaian pun harus diatur, bahkan cara makan, cara kita bicara, apa lagi bagi wanita, ditentukan oleh peraturan-peraturan. Contohnya, kalau makan kita tidak boleh nongkrong seenaknya, harus duduk dengan sopan dan bahkan saat mengunyah makanan pun ada aturannya. Tak boleh tergesa-gesa memperlihatkan kelahapan, dan tidak boleh sampai mengeluarkan bunyi, sedikit demi sedikit, terutama wanita. Tertawa pun bagi wanita ada aturannya, mulut harus ditutup tangan dan sebisa mungkin jangan sampai terdengar gelak tawa."
"Hayaaa... repot benar kalau begitu!"
"Memang merepotkan sekali. Akan tetapi umum sudah menentukan demikian dan siapa melanggar ketentuan umum ini dianggap tidak sopan, tidak tahu aturan, bahkan bisa saja dianggap gila!"
"Wah, merekalah yang gila kalau begitu."
"Memang. Akan tetapi betapa gila pun, kalau umum, menjadi baik, Lan-moi. Kehidupan di masyarakat ramai memang sudah menjadi tidak wajar lagi, penuh dengan kepalsuan. Dan kita, kalau sudah hidup di dalam masyarakat ramai, mau tidak mau kita harus pula ikut-ikutan karena kalau tidak kita akan dicap sebagai orang yang tak tahu aturan, tidak sopan, atau bahkan gila!"
Apa yang dikatakan oleh Sim Houw itu, betapa pun pahitnya, adalah suatu kenyataan yang tak dapat kita bantah lagi kalau kita mau membuka mata. Akan tetapi kita harus waspada dan membuka mata penuh perhatian, karena kalau tidak, kita tidak akan dapat melihat itu semua, karena sejak kecil kita sudah hanyut di dalamnya. Kita sudah menjadi bagian dari tata-cara yang palsu itu, kitalah yang membentuk kepalsuan-kepalsuan itu, yang menjadikan kita ini orang-orang munafik. Betapa pun janggalnya, kalau sudah menjadi kebiasaan, nampaknya wajar dan normal saja karena kebiasaan ini membentuk watak kita.
Peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum, termasuk kita sendiri, sudah menjadi sifat kehidupan kita. Sering kali kita hidup tidak menurutkan kata hati lagi, tidak menurutkan kebutuhan badan lagi, melainkan harus menyesuaikan hidup kita dengan peraturan-peraturan dan pandangan-pandangan umum. Bahkan agar dianggap ‘umum’ jika perlu kita menyiksa hati dan badan. Kita berlomba untuk mendapat penghormatan dan penghargaan umum, jika perlu dengan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan hati dan badan kita sendiri, bahkan kalau perlu menyiksa diri sendiri.
Banyak sekali nampak kenyataan-kenyataan ini dalam kehidupan kita sehari-hari. Cara kita berpakaian, yang didahulukan adalah kesopanan menurut pendapat dan peraturan umum. Kalau umum menghendaki bahwa yang dianggap sopan adalah berjas dan dasi, maka kita akan memakainya, walau pun badan merasa tersiksa karena panas dan gerahnya.
Akan tetapi peraturan umum ini berubah-ubah, dan selalu kita mengikutinya dengan membuta. Biar pun hati kita sedang menangis, mulut kita senyum-senyum, hanya untuk menuruti kesopanan umum itulah. Cara kita menghormat dan menghargai orang sudah ditentukan oleh keadaan lahir belaka. Penghormatan dan penghargaan bukan menjadi urusan hati lagi, melainkan urusan lahir, untuk pameran belaka. Kita sudah tak mungkin hidup wajar lagi di masyarakat ramai ini, karena kewajaran seperti yang diperlihatkan Bi Lan, berarti pelanggaran norma-norma susila yang sudah kita tentukan, kita yang dalam hal ini berarti umum
.Setelah mendapat penjelasan dari Sim Houw, Bi Lan dapat mengerti. Terpaksa ia pun tidur dalam kamar sendiri. Setelah makan malam di restoran sebelah, mereka berdua lalu beristirahat di kamar masing-masing. Justru karena tidur terpisah inilah maka mala petaka terjadi! Biasanya, kalau mereka tidur di kuil-kuil kosong atau di dalam hutan, mereka berjaga dengan bergilir. Kini, setelah tidur dalam kamar masing-masing, dengan jendela dan pintu terkunci, mereka merasa aman dan keduanya melepaskan lelah dan mulai tidur.
Hujan yang turun rintik-rintik malam itu membuat Bi Lan tidur nyenyak. Tubuhnya yang lelah membuat ia tidur enak sekali sehingga ia tidak tahu bahwa ada beberapa orang mendekati kamarnya ke arah jendela. Ketika itu menjelang tengah malam, semua tamu sudah tidur nyenyak dan suasana sunyi sekali. Hanya rintik hujan di atas genteng yang terdengar seperti musik yang aneh namun mengasyikkan.
Ketika daun jendela kamar dijebol orang dan beberapa bayangan berloncatan masuk, barulah Bi Lan terkejut. Sebagai seorang gadis yang memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, begitu terbangun, semua urat syaraf dan otot di dalam tubuhnya sudah siap siaga dan begitu ada orang menubruk ke arah dirinya di atas tempat tidur, cepat disambutnya tubrukan orang itu dengan sebuah tendangan kilat.
"Brukkk...!"
Orang yang menubruknya itu, seorang laki-laki tinggi tegap, terkena tendangan pada dadanya sehingga terlempar dan terbanting jatuh di atas lantai. Bi Lan cepat meloncat bangun. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa selain beberapa orang yang tak dikenalnya, di dalam kamar itu terdapat pula orang-orang yang telah dikenalnya dengan baik, yaitu Bi-kwi dan Bhok Gun! Marahlah Bi Lan karena ia maklum bahwa dua orang itu muncul tentu dengan niat hati yang buruk dan kotor.
"Manusia-manusia jahat, pergilah!" Ia membentak dan ia sudah menerjang ke depan, menyerang Bhok Gun.
Orang ini meloncat ke samping sambil menangkis dan mengejek, "Nona manis, lebih baik menyerah sajalah!"
Akan tetapi, dengan marah Bi Lan menyerang terus, dan kali ini serangannya ditujukan kepada Bi-kwi yang sudah menghadang di depannya. Bi-kwi menangkis dan Bhok Gun sudah menubruk dari samping, bermaksud untuk menotok pundak Bi Lan. Namun gadis ini dapat miringkan tubuh mengelak sambil mencuatkan kakinya menendang ke arah pusar laki-laki itu. Cepat dan kuat tendangannya itu, dan hampir saja mengenai sasaran.
Akan tetapi Bhok Gun melempar tubuh ke belakang sehingga lolos dari tendangan yang berbahaya itu. Pada saat itu, muncul Kim Hwa Nionio. Begitu tangannya bergerak, bulu bulu kebutan di tangannya itu menyambar-nyambar. Pada saat itu, Bi Lan sedang sibuk menghadapi serangan Bi-kwi dan Bhok Gun yang mengeroyoknya. Maka ketika nenek itu menerjang dengan kebutannya, ia tidak mampu menghindarkan diri lagi. Jalan darah di punggung dan pundaknya tertotok dan ia pun roboh dengan tubuh lemas. Semua ini berjalan dengan amat cepatnya sehingga kedatangan Sim Houw sudah terlambat.
"Brakkkk...!"
Daun pintu kamar Bi Lan itu jebol ketika diterjang Sim Houw dari luar. Pemuda ini tadi mendengar ribut-ribut di kamar sebelah, kamarnya Bi Lan! Dia pun cepat mengenakan sepatu, berlari dan menerjang daun pintu kamar temannya itu. Dan Sim Houw berdiri tertegun ketika melihat dan mengenal Bi-kwi dan Bhok Gun, apa lagi melihat betapa Bi Lan telah diringkus dan seorang nenek yang memegang sebatang kebutan memegang lengan gadis itu dan mengancam kepala gadis itu dengan gagang kebutannya.
"Hemm, apa artinya ini? Kenapa kalian mengganggu kami?" Sim Houw berkata dengan sikap tenang, matanya berganti-ganti memandang kepada Bi-kwi, Bhok Gun, dan nenek itu.
"Artinya, orang she Sim, bahwa engkau harus segera mengembalikan Liong-siauw-kiam kepadaku, karena akulah yang berhak atas pusaka itu," kata si nenek.
"Hemm, siapakah engkau?" Sim Houw bertanya, alisnya berkerut.
Dia mulai membuat perhitungan dengan pandang matanya. Nenek ini tentu lihai sekali dan ancamannya terhadap Bi Lan membuat dia tidak berdaya. Kalau saja Bi Lan tidak diancam seperti itu, tentu dia dapat menerjang dan mengajak gadis itu meloloskan diri dari kepungan. Akan tetapi gadis itu telah ditodong, kalau dia bergerak, tentu nenek itu lebih cepat untuk lebih dulu membunuh Bi Lan.
"Aku adalah Kim Hwa Nionio, murid tunggal dari mendiang Pek-bin Lo-sian..."
"Hemmm...!" Pernyataan ini sungguh mengejutkan hati Sim Houw karena tidak pernah disangkanya bahwa dia akan berhadapan dengan murid kakek itu yang dahulu sudah memperingatkan dia agar berhati-hati terhadap Sam Kwi, tiga orang murid keponakan kakek itu.
"Hi-hi-hik, engkau nampak terkejut, orang muda? Aku adalah muridnya, murid tunggal. Maka engkau tentu mengerti bahwa pedang suling pusaka itu adalah hakku untuk mewarisinya dari suhu, bukan engkau seorang luar. Nah, serahkan pedang pusaka itu kepadaku atau... kebutanku akan menghabiskan nyawa anak perempuan ini!"
"Sim-toako, jangan layani ia! Jangan serahkan pedang pusakamu kepadanya. Biar ia membunuhku, huh, ia takkan berani!"
"Orang she Sim, majulah dan gadis ini akan mampus!" Kim Hwa Nionio menempelkan gagang kebutannya pada ubun-ubun kepala Bi Lan. Sekali tekan saja cukup baginya untuk membunuh gadis itu dan hal ini dimaklumi oleh Sim Houw.
"Baiklah, Kim Hwa Nionio. Engkau bebaskan gadis itu dan aku akan memberikan Liong-siauw-kiam kepadamu."
"Jangan, sukouw (bibi guru)! Aku pernah ditipunya. Kalau Siauw-kwi dibebaskan, dia akan menyerahkan pedang akan tetapi segera akan merampasnya kembali! Jangan bebaskan dulu bocah setan itu!" teriak Bi-kwi dan ia pun kini mendekati Bi Lan dan mengancam dengan menempelkan pedangnya di punggung Bi Lan.
"Bi-kwi, engkau memang orang yang jahat sekali!" Bi Lan membentak marah.
"Dan engkau seorang murid yang murtad!" Bi-kwi balas memaki.
"Serahkan dulu pedang itu dan kami akan membebaskan gadis ini," kata pula Kim Hwa Nionio dengan penuh gairah karena ia membayangkan bahwa pusaka itu akhirnya akan jatuh ke tangannya. "Cepat, atau aku akan kehabisan sabar dan membunuh anak ini!"
Sim Houw maklum bahwa dengan tertawannya Bi Lan, berarti dia telah kalah.
"Baiklah," katanya sambil melepaskan tali pengikat sarung pedang itu di pinggangnya.
"Jangan, Sim-toako, engkau akan ditipunya Mereka ini adalah orang-orang yang sangat jahat, yang tidak pantang melakukan segala macam kecurangan. Jangan pedulikan aku, lawan saja dan jangan serahkan pedang!" teriak Bi Lan.
"Diam kau!" bentak Bi-kwi. "Apa kau ingin mampus?"
"Bi-kwi, kau tahu bahwa aku tidak takut mampus!" Bi Lan balas membentak, matanya melotot, sedikit pun ia tidak merasa takut walau pun ia sudah tidak berdaya.
"Kim Hwa Nionio, berjanjilah bahwa engkau akan membebaskan nona Can Bi Lan setelah aku menyerahkan Liong-siauw-kiam kepadamu."
Bagi seorang datuk sesat seperti Kim Hwa Nionio, berjanji merupakan suatu silat lidah atau tipu muslihat saja, maka tanpa ragu-ragu ia pun berjanji, "Baik, aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Liong-siauw-kiam kau serahkan kepadaku."
Meski ia belum percaya benar kepada nenek itu, akan tetapi karena keadaan memaksa untuk menyelamatkan Bi Lan, terpaksa Sim Houw melolos pedang dan sarungnya dan menyerahkannya kepada si nenek.
Melihat nenek itu hendak menyambut, cepat Bi-kwi berseru, "Jangan, sukouw. Suruh seorang anak buah menerimanya."
Ia pun cepat menyuruh seorang pengawal menerima pedang itu dari tangan Sim Houw. Memang Bi-kwi ini cerdik sekali. Karena yang menerimanya hanya seorang pengawal biasa, Sim Houw tidak dapat berbuat sesuatu dan terpaksa menyerahkan pedang itu. Pengawal itu pun membawanya kepada Kim Hwa Nionio yang menerimanya, kemudian mencabut pedang itu, tertawa-tawa dan mencium pedang suling naga itu.
"Liong-siauw-kiam..., akhirnya engkau kembali ke pangkuan majikan lama...," dan nenek itu tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya basah. Ternyata saking girangnya nenek itu sampai mengeluarkan air mata.
"Kim Hwa Nionio, sekarang bebaskan nona itu," kata Sim Houw, sikapnya masih tenang walau pun pedang pusakanya telah dirampas orang.
"Bukan aku yang menangkapnya, mintalah kepada mereka yang menangkapnya untuk membebaskannya," kata nenek itu dengan sikap acuh.
Hal ini memang sudah dikhawatirkan oleh Sim Houw. Dia memandang dengan muka merah dan membentak, "Nenek iblis, sungguh kau bermuka tebal dan tak tahu malu melanggar janji sendiri!"
"Srattttt..." Pedang suling naga itu sudah tercabut oleh Kim Hwa Nionio.
"Tutup mulutmu yang lancang, orang muda! Yang menawan nona ini bukan aku. Kalau aku yang menawannya, sekarang tentu aku bebaskan. Lihat, siapa yang menawannya sekarang?"
Bi-kwi tersenyum mengejek. "Akulah yang menawannya dan aku tidak berjanji apa-apa kepada orang she Sim ini!"
"Subo, orang ini merupakan bahaya bagi kita. Sebaiknya dia pun dibasmi atau ditawan saja!" kata Bhok Gun.
"Singgg...!"
Tiba-tiba pedang kayu yang berbentuk naga itu menyambar ke arah Bi Lan. Dan berhamburanlah rambut kepala Bi Lan. Tidak kurang dari satu dim panjangnya ujung rambut itu sudah putus oleh sinar Liong-siauw-kiam yang tadi menyambar, diiringi suara ketawa nenek itu, dan dipandang dengan penuh kagum oleh Bi-kwi dan Bhok Gun.
Mereka tak pernah mengira bahwa pedang kayu itu sedemikian hebatnya, dan juga Sim Houw diam-diam terkejut. Dia tahu bahwa tadi nenek itu sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, dan cara nenek itu mempergunakan pedang suling naga memang luar biasa. Jelas bahwa nenek itu, seperti halnya Pek-bin Lo-sian gurunya, telah mempelajari semacam ilmu tersendiri untuk mempergunakan pedang itu.
"Kalau aku menghendaki, bukan rambutnya melainkan lehernya yang putus, heh-heh!" nenek itu tertawa girang.
Sim Houw maklum bahwa dia telah tertipu. Dia menjadi marah bukan main. "Keparat, kalian memang orang-orang jahat dan curang!"
Dia pun menerjang maju dengan tangan kosong saja, menyerang ke arah nenek Kim Hwa Nionio! Biar pun hanya bertangan kosong, namun dari kedua tangan pemuda itu menyambar hawa pukulan yang sangat hebat, mendatangkan angin yang menyambar dahsyat.
Kim Hwa Nionio terkejut. Cepat ia menggerakkan kebutannya untuk menangkis kedua serangan dengan kedua tangan itu. Bulu-bulu kebutannya yang menjadi kaku karena disaluri tenaga sinkang itu terpental ketika bertemu dengan kedua tangan Sim Houw, akan tetapi pada saat itu, nenek yang lihai ini juga membalas dengan tusukan pedang Liong siauw-kiam yang sudah berada di tangannya, menusuk ke arah leher lawan.
Tusukan ini berbahaya sekali, namun Sim Houw yang memang memancing agar nenek itu menggunakan Liong-siauw-kiam, telah miringkan tubuh dan tangannya diputar untuk menangkap dan merampas pedangnya!
Pada saat itu, Bhok Gun sudah memyerangnya dari belakang dengan tusukan pedang. Serangan ini amat mengganggu pencurahan tenaga dan kecepatan Sim Houw untuk merampas pedang karena dia harus mengelak dari tusukan yang dilakukan Bhok Gun, maka nenek itu dapat menarik kembali Liong-siauw-kiam.
Wajah nenek itu agak pucat karena ia tahu bahwa ia telah terpancing mempergunakan pedang itu dan sekiranya tadi muridnya tidak membantu, besar sekali kemungkinannya pusaka itu akan dapat dirampas kembali oleh Pendekar Suling Naga yang memang lihai bukan main ini! Cepat nenek itu melangkah mundur, menyimpan pedang pusaka di balik jubahnya.
Kini ia maju lagi menyerang dengan menggunakan kebutannya, membantu Bhok Gun yang sudah terdesak hebat oleh Sim Houw. Ketika kebutan itu meledak dan menyerang ke arah kepala, Sim Houw mengakhiri desakannya dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Bhok Gun.
Bhok Gun telah mengerahkan sinkang melindungi lambungnya. Tetapi saking kerasnya tendangan kaki Sim Houw, tubuhnya terlempar dan terbanting keras ke atas meja kamar itu, membuatnya nanar!
Kim Hwa Nionio berkelahi dengan hebatnya melawan Sim Houw. Pendekar ini merasa betapa kamar itu terlalu sempit, maka dia pun meloncat keluar melalui pintu yang tadi diterjangnya. Setelah tiba di ruangan luar kamar, dia telah dikepung oleh para prajurit dan kini Kim Hwa Nionio maju lagi bersama Bhok Gun yang sudah dapat memulihkan keadaannya. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan agak nanar saja oleh tendangan tadi.
Dan terjadilah pengeroyokan yang amat seru. Biar pun Pendekar Suling Naga sudah kehilangan senjata pusakanya, namun sepak terjangnya masih amat hebat sehingga biar pun dikeroyok dua oleh Kim Hwa Nionio dan Bhok Gun, masih dikepung oleh dua puluh lebih prajurit, dia sama sekali tidak nampak terdesak. Bahkan setiap kali ada prajurit berani mencoba-coba untuk membantu nenek itu, prajurit ini tentu roboh oleh tamparan atau tendangan kakinya.
Bhok Gun sendiri agak jeri dan hanya menyerang dari jarak jauh mengambil keuntungan dari pedangnya menghadapi lawan bertangan kosong itu. Hanya Kim Hwa Nionio yang berani menyerang pemuda itu dari jarak dekat dan secara bertubi-tubi, dan nenek itu harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, karena kalau tidak, keselamatannya pun terancam. Sim Houw memang menujukan serangan-serangannya kepada nenek ini, untuk merobohkannya dan untuk merampas senjata pusakanya.
Hebat memang sepak terjang Sim Houw, Si Pendekar Suling Naga itu. Lawannya, nenek Kim Nwa Nionio adalah seorang yang sakti, mewarisi hampir seluruh kepandaian mendiang Pek-bin Lo-sian, dan dibantu pula oleh muridnya, Bhok Gun yang juga lihai sekali. Guru dan murid itu memegang senjata, akan tetapi Sim Houw yang bertangan kosong dan dikeroyok dua itu sama sekali tidak menjadi terdesak.
Pemuda ini mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di antara awan hitam di angkasa. Gerakan-gerakannya mantap dan mengandung tenaga yang sangat kuat sehingga beberapa kali Bhok Gun terpaksa harus agak menjauh karena angin pukulan lawan teramat kuat.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa halus dari Bi-kwi. "Ha-ha-ha, Sim Houw, lihat. Apakah engkau belum juga mau menyerah? Aku akan membunuh Can Bi Lan, menggorok lehernya kalau kau tidak mau menyerah."
Dengan sudut matanya Sim Houw memandang sambil melayani serangan dua orang pengeroyoknya dan jantungnya hampir berhenti ketika dia melihat betapa Bi-kwi benar-benar telah menempelkan pedangnya yang tajam itu di leher Bi Lan! Pedang yang tajam itu sudah ditekankan dan nampak betapa kulit leher yang putih mulus dan halus itu tertekan mata pedang.
Dia tahu bahwa Bi Lan tertotok, tidak mampu mengerahkan tenaga dan sedikit saja pedang itu ditekan, maka kulit dan daging leher itu akan koyak dan tersayat, urat-urat leher akan putus dan nyawa Bi Lan tidak akan dapat tertolong lagi. Dan dia pun tidak berdaya dalam keadaan seperti itu untuk membebaskan Bi Lan dari ancaman pedang Bi-kwi. Tanpa berpikir panjang lagi dia pun meloncat jauh ke belakang.
"Tahan dulu!" bentaknya.
Kim Hwa Nionio cepat mendekati Bi-kwi. Nenek yang cerdik ini maklum bahwa tentu perhatian lawan kini ditujukan kepada Bi-kwi yang menodong gadis itu, maka Bi-kwi yang harus dijaganya dan diperkuat kedudukannya.
"Nah, begitu jauh lebih baik, Sim Houw. Menyerahlah, karena engkau telah melawan pasukan pemerintah, berarti bahwa engkau telah melakukan pemberontakan terhadap pemerintah! Kalau engkau menyerah dengan baik-baik, mungkin kami masih akan dapat mempertimbangkan agar hukuman kalian ringan saja," kata pula Bi-kwi dengan sikap seperti seorang pembesar yang baik hati.
Dalam keadaan negara kalut, memang amat mudah bagi seseorang untuk menjatuhkan fitnah. Apa lagi mereka yang berada dalam kedudukan menang dan berkuasa, dengan mudahnya menjatuhkan fitnah ‘memberontak’ kepada orang-orang yang menjadi musuh atau yang tidak disukainya.
"Sim Houw, jangan pedulikan mereka! Serang terus atau kau loloskan diri! Jangan kau pedulikan diriku. Mereka boleh siksa, boleh bunuh, aku tidak takut mati!" teriak Bi Lan dengan marah sekali.
Akan tetapi, mana mungkin Sim Houw bisa meninggalkan gadis itu begitu saja menjadi tawanan orang-orang yang jahat ini? "Baiklah, aku menyerah dan jangan ganggu nona Can Bi Lan." Dia pun berdiri dengan lemas.
Bi-kwi kemudian menyuruh para anak buahnya untuk mengikat kaki tangan Sim Houw dengan rantai baja yang kuat, lalu beramai-ramai mereka membawa Sim Houw dan Bi Lan menuju ke gedung yang menjadi markas Kim Hwa Nionio dan para pembantunya.
Para tamu, bahkan pengurus penginapan yang tadi mendengar ribut-ribut dan keluar dari dalam kamar, segera bersembunyi lagi ke kamar masing-masing dengan tubuh gemetar ketika mereka tahu bahwa keributan itu terjadi karena pasukan keamanan kota raja sedang mengadakan ‘pembersihan’ di rumah penginapan itu. Mereka hanya berdoa bahwa pasukan itu tak akan memasuki kamar mereka untuk melakukan penggeledahan.
Karena kalau hal itu terjadi, andai kata mereka tidak ditangkap pun, setidaknya mereka akan kehilangan barang berharga dan uang yang berada di dalam kamar mereka! Hal ini sudah diketahui oleh semua orang. Setiap kali anak buah pasukan keamanan itu melakukan penggeledahan, tentu kesempatan itu mereka pergunakan untuk mengambil barang-barang berharga dan uang milik orang yang sedang digeledah tanpa orang itu mampu memprotes. Tidak ditahan pun sudah untung, maka orang-orang yang diambil barang-barangnya itu merasa lebih aman tutup mulut saja.
Bukan hanya barang berharga yang diganggu, juga kalau ada wanita muda dan bersih, tentu tidak akan terbebas dari gangguan tangan-tangan jail para anak buah pasukan itu. Karena itu, setiap kali ada pembersihan, rakyat sudah gemetar ketakutan.
Akan tetapi sekali ini, agaknya para pimpinan itu sudah puas ketika dapat menangkap Sim Houw dan Bi Lan. Terutama sekali Kim Hwa Nionio sudah puas dan girang karena berhasil mendapatkan kembali pusaka yang pernah oleh gurunya diberikan kepada orang lain. Pergilah pasukan itu membawa dua orang tawanannya ke gedung besar itu dan kedua orang tawanan ini dijebloskan ke dalam kamar tahanan yang kuat dan terjaga ketat, dan kaki tangan mereka masih dibelenggu, tubuh mereka ditotok pula.....
********************
Komentar
Posting Komentar