SULING NAGA : JILID-28
"Mereka yang menjadi korban pembunuhan rahasia itu, semua terbunuh oleh orang orang pandai yang tidak dilihat sepak terjangnya, hanya nampak bayangannya saja. Dan menurut penyelidikan, mereka yang tewas itu semua adalah orang-orang yang menentang kekuasaan Hou Seng. Bahkan mendiang Pangeran Cui Muda juga sering menentangnya karena merasa kalah bersaing dalam istana dan pangeran itu pernah menghinanya di suatu pesta."
"Lalu apa yang akan Taijin lakukan?"
"Pembunuhan-pembunuhan gelap seperti ini tidak boleh didiamkan begitu saja!" kata menteri itu penuh semangat. "Seolah-olah pemerintah kita terdiri dari algojo-algojo yang boleh saja saling bermusuhan dan saling mengirim pembunuh. Bagaimana kalau nanti semua pembesar memelihara jagoan-jagoan untuk saling bunuh. Sudah terlalu banyak jatuh korban. Saya akan memberanikan diri untuk menghadap kaisar dan menceritakan semua ini, dan kalau perlu saya akan menemui Hou Seng dan akan saya tegur atas perbuatannya yang sewenang-wenang dan kotor itu!"
Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang. Percakapan mereka harus terhenti pada saat munculnya Suma Lian dan Li Sian. Mereka masuk sambil bergandengan tangan dan Suma Lian memberi dua buah apel merah kepada kakeknya.
"Kek, Li Sian ini baik sekali kepadaku dan kebun apelnya penuh dengan buah apel yang manis. Ini dua buah untukmu, kek. Aku sudah kekenyangan makan apel!"
"Hushh, bagaimana engkau menyebut namanya begitu saja? Ia puteri seorang menteri, setidaknya engkau harus menyebutnya siocia (nona)!" kata Bu-beng Lo-kai.
"Ia tidak mau, kek. Dan usia kami memang sebaya, akan tetapi aku lebih tua beberapa bulan maka ia malah menyebut enci kepadaku."
Sementara itu, Li Sian berkata kepada ayahnya. "Ayah, enci Lian ini pandai sekali! Menurut kakak-kakakku, enci Lian pandai silat dan ketika dicoba, semua kakakku kalah olehnya. Aku sendiri pun dalam lima jurus saja sudah keok! Wah, ia lihai dan juga ia pandai menulis sajak. Sungguh seorang anak pengemis yang luar biasa, ayah. Kini aku menganggapnya sebagai saudaraku sendiri!"
Menteri Pouw mengangguk-angguk senang dan memandang kagum pada Suma Lian. "Bagus sekali kalau engkau dapat menghargai orang pandai, anakku. Ketahuilah bahwa ia adalah keturunan langsung dari keluarga Pendekar Pulau Es, tentu saja ia amat lihai."
"Ehhh? Kakek memperkenalkan keluarga kita?" Suma Lian memandang pada kakeknya dengan mata terbelalak, seperti menegur.
Kakeknya menggeleng kepala sambil tersenyum. "Anak baik, nama keluargamu sudah amat terkenal di sini. Begitu engkau menyebutkan she (nama marga) Suma tadi, Pouw Taijin juga sudah dapat menduga bahwa engkau tentu keturunan dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es."
"Dan engkau..." hampir saja Suma Lian memperkenalkan keadaan diri kakek itu sebagai mantu Pendekar Super Sakti, suami dari mendiang Puteri Milana yang terkenal sekali.
Kakek itu memotong, "aku adalah Bu-beng Lokai dan tidak ada keterangan lain sebagai tambahan."
Suma Lian mengangguk. Saat itulah digunakan oleh Pouw Tong Ki untuk menyatakan hasrat hatinya. "Locianpwe, kami mohon dengan hormat dan sangat kepada locianpwe, sudilah kiranya locianpwe memberi bimbingan kepada Li Sian, anak kami ini yang suka sekali akan ilmu silat, berbeda dengan kakak-kakaknya yang suka akan ilmu sastera.”
"Benar, kek, Li Sian ini lebih berbakat dari pada kakak-kakaknya. Ia juga minta belajar silat kepadaku. Akan tetapi aku sendiri masih belajar, bagaimana mungkin bisa memberi pelajaran? Kalau kakek mau membimbingnya bersamaku, betapa akan senangnya kami berdua untuk berlatih bersama dan aku yang akan memberi petunjuk kepadanya."
Kakek itu tersenyum lebar akan tetapi tidak menjawab, melainkan memandang ke arah Pouw Li Sian dan dia melihat bahwa memang anak perempuan itu memiliki bakat yang baik, dapat dilihat dari gerak-geriknya. "Ha-ha-ha, setua aku ini mana bisa menerima murid? Kalau hanya sekedar petunjuk dan bimbingan saja, tentu dengan senang hati..."
"Li Sian, cepatlah berlutut dan menghaturkan terima kasih kepada locianpwe Bu-beng Lo-kai!" kata Pouw Tong Ki yang cerdik.
Li Sian juga seorang anak yang patuh dan cerdik. Ia sudah dapat mengerti bahwa kalau Suma Lian saja sedemikian lihainya sehingga anak perempuan berusia dua belas tahun itu dapat mengalahkan kakaknya yang paling tua berusia Sembilan belas tahun secara mudah saja, maka apa lagi kepandaian kakek dari Suma Lian! Tentu kakek ini seorang sakti!
Dan ia pun pernah mendengar dongeng tentang para pendekar Pulau Es, tentang Puteri Nirahai, Puteri Milana yang pernah menjadi panglima-panglima perang kerajaan. Maka, mendengar perintah ayahnya, ia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu sambil berkata, "Locianpwe, saya Pouw Li Sian menghaturkan terima kasih atas bimbingan locianpwe."
Kakek itu tertawa senang. "Ha-ha-ha, keluarga Pouw sungguh pandai merendah, dan kerendahan hati ini selalu menguntungkan seseorang, lahir mau pun batin. Bangkitlah, anak baik. Suma Lian, ajaklah ia duduk. Aku hanya akan memberi bimbingan, bukan mengangkat murid. Biarlah engkau belajar bersama-sama Suma Lian."
Suma Lian merangkul sahabatnya itu, kemudian diajaknya duduk. Dalam percakapan berikutnya, sambil tetap menggandeng tangan Suma Lian, Li Sian pun berkata kepada ayahnya, "Ayah, aku sudah mengambil keputusan untuk belajar bersama enci Lian, baik belajar ilmu silat mau pun ilmu baca tulis. Aku minta agar ia dan locianpwe ini suka tinggal selamanya di sini. Kalau mereka tidak mau dan akan pergi dari sini, aku akan ikut bersama mereka! Enci Lian sudah kuanggap enci-ku sendiri, ayah."
Ayahnya hanya tersenyum dan memandang kepada Bu-beng Lo-kai yang juga hanya tersenyum melihat betapa dua orang gadis cilik itu begitu bertemu terus dapat cocok sedemikian rupa. Padahal, keduanya memiliki watak dan sifat yang berbeda, bahkan mungkin berlawanan.
Suma Lian mempunyai watak yang periang, lincah jenaka dan suka bicara, bahkan agak nakal dan ugal-ugalan. Sebaliknya, Pouw Li Sian berwatak pendiam, tak banyak bicara, sabar namun tegas. Akan tetapi keduanya sama-sama suka kagagahan, menentang hal-hal yang jahat, dan suka membantu orang-orang lemah. Keduanya mempunyai jiwa pendekar!
Demikianlah, mulai hari itu, Bu-beng Lo-kai dan Suma Lian menjadi tamu kehormatan, bahkan sudah dianggap warga dari keluarga Pouw yang ramah tamah itu. Kakek itu mendapatkan sebuah kamar dekat tuan rumah, sedangkan Suma Lian tidur sekamar di kamar Li Sian.
********************
Menyusul percakapan-percakapannya dengan kakek Bu-beng Lo-kai, semangat Pouw Tong Ki semakin berkobar dan dia pun melanjutkan rencananya yang sudah menjadi keputusan hatinya untuk menentang tindakan Hou Seng yang sewenang-wenang. Pada suatu persidangan dengan kaisar, selain melaporkan hal-hal yang mengenai keuangan, dia menggunakan kesempatan ini untuk melaporkan hal lain.
"Hamba mohon paduka suka mengambil perhatian akan keadaan rakyat yang mengeluh karena berulang kali terjadi pemungutan pajak liar dari para tuan tanah yang sudah memperoleh ijin langsung dari istana. Pemungutan pajak harus didasari keadilan, bukan hanya sekedar mendatangkan keuntungan bagi pemerintah. Kalau hal itu merupakan penindasan, maka rakyat akan mengeluh dan tidak merasa tenteram hidupnya."
Kaisar memandang kepadanya dengan alis berkerut. Dari Hou Seng kaisar ini sudah sering sekali mendengar bisikan-bisikan tentang ‘buruknya’ menteri Pouw ini yang suka melontarkan protes ke atasan.
"Apa yang kau maksudkan dengan keadilan dalam pemungutan pajak itu?" tanya kaisar.
"Begini, Sribaginda. Dalam memungut pajak, besar kecilnya penghasilan para petani itu harus diperhitungkan secara seksama. Kalau sekali waktu hasil panen mereka amat kecil karena datangnya musim kemarau panjang atau terserang hama sehingga hasil keringat mereka itu untuk dimakan keluarga sendiri saja masih belum mencukupi, hendaknya diadakan peraturan agar para tuan tanah tidak memaksakan pemungutan pajak. Dan pemerintah pun memberi kelonggaran kepada para tuan tanah dalam hal membayar pajak. Memang tentu saja pemasukan di istana menjadi berkurang, akan tetapi hal itu disebabkan oleh bencana alam. Biar pun pemasukan berkurang, akan tetapi semua pihak tidak mengeluh dan kalau hasil panen besar dan baik, tentu mereka suka membayar pajak penuh dengan hati rela."
Kaisar Kian Liong yang tidak begitu beminat lagi untuk memperhatikan keadaan yang dianggap tidak penting itu, hanya mengangguk-angguk. "Pendapat dan usul itu baik sekali untuk diperhatikan."
"Ampun, Sribaginda yang mulia. Hamba kira bahwa peraturan pajak yang kini diadakan pemerintah telah cukup baik dan adil. Jika pemerintah terlampau longgar, maka mereka yang berkewajiban membayar pajak itu selalu akan mempergunakan kelemahan atau kelonggaran pemerintah untuk menghindarkan diri dari pembayaran pajak. Tanpa ada tekanan, mereka itu tidak akan mau membayar!"
Ucapan yang dikeluarkan Hou Seng ini membuat Kaisar kembali mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebenaran dalam ucapan ini. Hatinya menjadi bimbang dan dia pun memandang kepada Pouw Taijin, sinar matanya bertanya bagaimana pendapat menterinya yang terkenal pandai itu.
"Ampunkan hamba, Sribaginda yang mulia. Hamba pun sudah mengerti bahwa semua peraturan yang dikeluarkan pemerintah adalah bijaksana dan adil! Tapi biasanya, yang tidak bijaksana dan tak adil adalah pelaksanaannya. Para petugas yang melaksanakan peraturan, sering kali menyalah gunakan kebijaksanaan pemerintah dan menggunakan peraturan-peraturan itu sebagai modal untuk melakukan penindasan dan pemerasan demi kegendutan perut sendiri. Oleh karena itu, betapa pentingnya untuk melakukan pengamatan terhadap para pelaksana atau petugas itu, Sribaginda. Betapa pun baiknya pemerintah dan semua peraturannya, tanpa didukung pelaksanaan yang baik oleh petugas-petugas yang setia dan jujur, maka pemerintahan takkan berhasil. Dan menurut pengamatan hamba, saat ini pemerintahan paduka sedang dirongrong oleh penguasa-penguasa yang berambisi buruk dan saling bertentangan. Pembunuhan-pembunuhan terjadi di kalangan para pejabat tingkat atas, karena ada penguasa yang memelihara tukang-tukang pukul untuk melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap saingan-saingannya. Kalau paduka tidak segera mencegahnya, keadaan yang buruk ini dapat berlarut-larut dan semakin memburuk, Sribaginda."
Kaisar mengerutkan alisnya dan melempar pandang ke arah para menteri yang duduk di dalam ruangan sidang itu. "Benarkah sampai demikian parah sehingga ada yang saling bunuh di antara para pembantuku?"
"Apa yang dilaporkan oleh Menteri Pouw itu benar, Sribaginda. Baru-baru ini malah Pangeran Cui Muda menjadi korban pembunuhan yang amat kejam, juga semua saksi mata, pengawal, dibunuh oleh pembunuh rahasia."
"Kami sudah mendengar bahwa pangeran itu tewas oleh perampok di dalam rumah pelesir," kata kaisar itu.
"Bukan perampok, Sribaginda, karena tiada barang yang hilang, melainkan pembunuh bayaran yang diutus oleh seorang saingannya," kata pula Pouw Teng Ki.
Kaisar menggeleng-geleng kepala dengan alis berkerut dan pada saat itu, Hou Seng segera berkata, "Urusan itu adalah urusan yang menyangkut keamanan dan menjadi bagian serta tugas Coa Tai-ciangkun yang menjadi kepala bagian keamanan untuk menyelidiki dan mengurusnya, Sribaginda. Dan Coa Tai-ciangkun juga hadir, kenapa paduka tidak menyerahkan saja kepadanya?"
Kaisar lalu menoleh ke kiri dan memandang kepada seorang panglima tinggi besar bermuka hitam "Bagaimana pendapatmu dalam urusan ini, Coa-ciangkun?"
Panglima tinggi besar itu memberi hormat dan terdengarlah suaranya yang berat dan dalam, amat sesuai dengan bentuk tubuhnya. "Tadinya memang hamba juga menduga bahwa pembunuhan atas diri Pangeran Muda itu merupakan perampokan, akan tetapi kemudian menurut penyelidikan, pembunuhan itu dilakukan orang karena dendam sakit hati urusan perempuan, Sribaginda. Pembunuhnya memiliki kepandaian tinggi dan tidak meninggalkan jejak, akan tetapi hamba masih terus mengutus pembantu-pembantu yang pandai untuk mencari jejaknya."
Kaisar mengangguk-angguk lega. "Bagus kalau begitu, Coa-ciangkun dan selanjutnya atur dan jagalah agar keadaan tetap aman."
"Selama ini keamanan dalam kota raja sudah terjaga dengan baik, Sribaginda. Keadaan para penghuni dan kehidupan mereka sehari-hari berjalan seperti biasa, tidak pernah ada gangguan, kecuali pencuri kecil-kecilan yang tidak berarti. Kalau ada orang merasa tidak aman di kota raja, berarti bahwa dia menyimpan kesalahan sehingga merasa tidak sedap makan tidak nyenyak tidur."
Nampak beberapa pembesar tinggi menahan tawa dan tersenyum-senyum, sedangkan Hou Seng sendiri tidak menyembunyikan senyumnya yang lebar dan dengan pandang mata penuh ejekan dia memandang ke arah Pouw Tong Ki. Pouw Tong Ki dan mereka yang menentang Hou Seng tak mampu berkata apa-apa lagi dan merasa ditertawakan. Mereka hanya tahu bahwa panglima she Coa itu sudah dirangkul oleh Hou Seng dan tentu saja membelanya!
Ketika persidangan itu bubaran, Pouw Tong Ki menyusul Hou Seng yang melangkah menuju ke keretanya. "Hou Taijin, saya mau bicara sebentar!" katanya dengan muka merah karena mendongkol.
Hou Seng menoleh. Melihat betapa Pouw Tong Ki melangkah lebar menghampirinya, dia tersenyum mengejek. Dua orang pengawalnya siap di belakangnya dan dia tidak takut terhadap lawan ini. "Ahh, kiranya Pouw Taijin. Ada apakah?"
"Hou Taijin, di depan Sribaginda saya telah gagal. Akan tetapi, demi peri kemanusiaan, hentikanlah pembunuhan-pembunuhan itu! Kalau engkau hendak bersaing, lakukanlah dengan patut dan bersih, bukan dengan menggunakan tangan pembunuh-pembunuh bayaran! Engkaulah yang menyuruh bunuh Pangeran Cui Muda!"
Hou Seng mamandang dengan mata melotot. "Tutup mulutmu yang lancang itu, orang she Pouw! Engkau melakukan fitnah keji dan aku tidak sudi bicara lagi denganmu!" Dengan marah Hou Seng melangkah lebar dan memasuki keretanya yang segera pergi meninggalkan halaman istana.
"Aihh, engkau telah menanamkan bibit racun yang akan tumbuh mekar dan berbahaya bagimu sendiri, kawan," kata seorang menteri tua yang kebetulan melihat peristiwa itu.
Akan tetapi Pouw Tong Ki menggerakkan pundaknya dan pergi, sedikit pun tak merasa takut akan bayangan itu. Dia pun bukan tidak tahu bahwa sikapnya terhadap Hou Seng dan pelaporannya terhadap peristiwa pembunuhan-pembunuhan itu di depan kaisar merupakan suatu tantangan terbuka kepada Hou Seng, dan bahwa akibatnya dia akan dimusuhi oleh pembesar yang sedang mabok kekuasaan itu.
Mungkin dia akan terancam bahaya, tetapi betapa pun juga, dia sudah mengeluarkan segala rasa penasaran dalam hatinya. Dia telah memberi contoh kepada para pembesar lainnya untuk secara berterang menentang Hou Seng, dan hatinya merasa lega walau pun dia tahu bahwa semua usahanya tadi tidak berhasil. Dengan cerdik Hou Seng telah bersembunyi di belakang Coa-ciangkun yang memang selaku kepala bagian keamanan paling berkuasa untuk menentukan urusan keamanan, dan Hou Seng telah lebih dahulu merebut Coa-ciangkun untuk berpihak kepadanya!
Sayang sekali bahwa Pouw Tong Ki termasuk orang yang memiliki keangkuhan. Biar pun dia tahu bahwa nyawanya terancam, namun dia tidak takut dan sama sekali tidak mau membicarakan urusan itu dengan Bu-beng Lo-kai karena dia tidak mau mendapat kesan seolah-olah dia minta perlindungan kakek sakti itu!
Tidak, dia tidak akan menyeret orang lain ke dalam urusannya itu. Akan dihadapinya sendiri dan dia tidak takut! Pouw Tong Ki memang bukan orang lemah karena dia juga pernah belajar silat sampai tingkat yang lumayan sehingga dia pernah menjadi seorang perwira tinggi.
Dan peringatan menteri tua ketika dia menyerang Hou Seng dengan kata-kata itu pun bukan hanya omong kosong belaka. Bibit racun itu memang telah tumbuh, dan betapa cepatnya!
Memang Hou Seng membawa pulang perasaan marahnya terhadap Pouw Tong Ki. Di sepanjang perjalanan ke rumahnya, dia mengepal tinju dan berkali-kali memukul telapak tangan kirinya sendiri, seolah-olah Pouw Tong Ki yang dianggapnya musuh besar itu berada di atas telapak tangan itu. Begitu tiba di rumah, dia menjadi gelisah, menimbang-nimbang dan merencanakan apa yang akan dilakukan terhadap Pouw Tong Ki. Orang she Pouw itu jelas merupakan musuhnya, orang yang membencinya dan berusaha memburukkan namanya di depan kaisar.
Malam itu, Pouw Tong Ki tidur agak malam dari biasanya. Sore tadi sampai jauh malam, dia bercakap-cakap dengan Bu-beng Lo-kai dan dengan susah payah dia membujuk kakek itu untuk tinggal lebih lama lagi di dalam gedungnya.
"Terima kasih atas segala kebaikan Taijin," kakek itu membantah. "Akan tetapi, kami sudah biasa hidup bebas merantau di dunia ini, dan kami tidak ingin membikin repot taijin lebih lama dari pada waktu yang dijanjikan..."
"Ahhh, locianpwe tentu maklum bahwa tentang janji dan hukuman itu hanya main-main saja dari kami. Biar pun sudah sebulan locianpwe dan nona Suma berada di sini, akan tetapi kami sekeluarga telah menganggap ji-wi seperti keluarga sendiri. Terutama sekali Li Sian, bagaimana mungkin dia ditinggalkan nona Suma? Locianpwe melihat betapa akrab hubungan antara dua orang anak itu, betapa Li Sian akan berduka dan merana kalau ditinggalkan."
"Kalau begitu, biarkan ia ikut merantau dengan kami!" Bu-beng Lo-kai berkata. "Suma Lian sudah berkali-kali membujukku, juga nona Pouw sudah berulang kali minta agar ia kami bawa serta kalau kami terpaksa meninggalkan rumah ini."
"Membiarkan ia merantau...?" Mata pembesar itu terbelalak.
Dan dia membayangkan betapa anak perempuannya yang satu-satunya itu melakukan perjalanan jauh bersama kedua orang ini, memakai pakaian seperti pengemis! Makan dari sumbangan orang, dan siapa tahu mungkin harus mencuri makanan! Sukar baginya dapat menerima bayangan ini.
Dia seorang bangsawan! Seorang menteri! Dan dia membayangkan isterinya. Betapa akan berat hati ibu itu kalau ditinggalkan oleh puteri satu-satunya, apa lagi ditinggal merantau tak tentu tempat tujuannya. Isterinya pasti berkeberatan dan menentangnya.
Bu-beng Lo-kai tersenyum. "Tentu berat bagi taijin, akan tetapi demikianlah keinginan puteri taijin, juga menjadi keinginan Suma Lian dan saya sendiri. Puteri taijin berbakat baik sekali dalam ilmu silat."
"Wah, saya menjadi bingung, locianpwe... berilah saya waktu untuk memikirkan hal ini sampai besok. Harus saya rundingkan dulu dengan isteri saya.”
Kembali kakek itu tersenyum. "Segala keputusan sebaiknya dilakukan tanpa ragu-ragu, taijin. Karena itu, besok pagi-pagi sekali kami akan pergi, dan keputusannya hanyalah, puteri taijin ikut bersama kami atau tidak. Saya harap besok sebelum kami pergi, taijin sudah mengambil keputusan yang pasti."
Demikianlah, dengan hati berat Pouw Tong Ki membicarakan urusan anak perempuan mereka itu dengan isterinya.
"Tidak... ahh, jangan pisahkan aku darinya...!" Isterinya menangis. "Mengapa ia harus merantau seperti seorang pengemis? Kalau mau belajar silat kepada Bu-beng Lo-kai itu, biarlah kita belikan sebuah tempat, kalau dia menghendakinya, kita bangunkan sebuah rumah di mana saja, di tempat tertentu, dan Li Sian boleh belajar bersama Suma Lian di tempat itu. Akan tetapi bukan merantau tanpa tujuan sebagai seorang pengemis. Aku tidak rela...!"
Tentu saja hati Pouw Tong Ki menjadi bimbang, penuh keraguan dan biar pun akhirnya dia dapat menghibur isterinya sehingga tertidur, dia sendiri masih belum dapat tidur.
Sementara itu, di sebuah kamar lain, kamar di mana Li Sian tidur bersama Suma Lian, dua orang gadis cilik itu pun belum dapat tidur dan bercakap-cakap dengan suara lirih. Mereka juga bicara tentang keberangkatan Suma Lian pada besok pagi-pagi bersama Bu-beng Lo-kai dan sejak tadi Li Sian menyatakan bahwa bagaimana pun juga, ia harus ikut bersama mereka pergi merantau kalau Bu-beng Lo-kai berkeras tidak dapat dibujuk untuk tinggal lebih lama lagi di rumah keluarga Pouw.
"Kalau ayah dan ibu melarang, aku akan minggat saja dan ikut bersama kalian!" Li Sian berkata berkali-kali.
"Ahh, kurasa kalau begitu tidak benar, Li Sian,” kata Suma Lian. "Aku yakin kakek tidak akan membolehkan engkau minggat dan ikut bersama kami. Kakek amat memegang aturan, dan tentu dia tidak mau menyusahkan orang tuamu. Pula, kalau engkau minggat dan ikut bersama kami, kami bisa dituduh menculikmu."
"Siapa yang akan menuduh? Aku dapat bilang bahwa aku ikut dengan suka rela! Biar bagaimana pun juga, aku harus ikut pergi!"
"Adikku yang manis, kau tentu tahu bahwa aku pun tidak suka berpisah darimu, dan akulah orang pertama yang akan merasa gembira bukan main kalau engkau dapat pergi bersamaku. Akan tetapi, cara yang kau akan pakai itu, yaitu dengan minggat, sungguh tidak menyenangkan. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak enak dan tidak senang dalam hati ayah ibumu terhadap kami. Padahal, mereka sudah begitu baik terhadap kami. Tenanglah, Sian-moi, aku tadi sudah minta kepada kakek agar supaya dia suka membujuk ayahmu sehingga ayahmu akan memperbolehkan engkau ikut bersama kami dengan baik-baik."
"Tapi aku khawatir ibuku akan berkeberatan. Ahhh, biarlah aku akan minta keputusan mereka sekarang juga. Aku merasa gelisah dan tersiksa kalau belum diberi keputusan dan kalian berdua akan berangkat besok pagi-pagi!"
Li Sian lalu keluar dari dalam kamar itu, diikuti oleh Suma Lian yang menggandeng tangannya. Li Sian bertekad untuk mengetuk pintu kamar orang tuanya dan bertanya tentang keputusan mereka mengenai keinginannya ikut pergi merantau bersama Suma Lian.
Akan tetapi tiba-tiba Suma Lian menarik tangannya dan diajak bersembunyi di balik sebuah pot bunga besar karena gadis cilik ini melihat ada bayangan berkelebat cepat sekali, melayang turun dari atas genteng! Bayangan itu dengan kecepatan luar biasa telah tiba di jendela kamar Pouw Tong Ki, kemudian menggunakan kedua tangannya, sekali tarik daun jendela itu pun terbuka dan tubuhnya meloncat ke dalam kamar.
Yang amat mengejutkan hati Suma Lian adalah ketika ia mengenal tubuh tinggi besar dan kepala gundul itu. Sai-cu Lama! Karena maklum bahwa pendeta jahat itu tentu mempunyai niat busuk, tanpa berpikir panjang lagi Suma Lian lalu meninggalkan Li Sian dan dia pun lari mengejar. Satu-satunya keinginan adalah untuk membela Pouw Taijin yang ia tahu tidur di dalam kamar itu! Akan tetapi ia masih sempat berteriak sebelum dengan nekat meloncat ke dalam kamar itu melalui jendelanya yang sudah terbuka.
"Kakek, tolong ada penjahat...!"
Ketika kakek yang bukan lain adalah Sai-cu Lama itu tadi meloncat masuk, Pouw Tong Ki belum tidur dan begitu daun jendela terbongkar, dia sudah merasa terkejut sekali dan cepat meloncat keluar dari atas tempat tidurnya. Isterinya juga terkejut oleh gerakan ini dan terbangun.
Pada waktu Pouw Tong Ki melihat seorang kakek tinggi besar berperut gendut sudah meloncat masuk ke dalam kamarnya, dia mengerti bahwa tentu itu orang jahat, maka dia menyambar pedang yang tergantung di dinding kamar.
"Penjahat busuk!" bentaknya dan dia pun sudah lantas menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada yang telanjang karena bajunya terbuka itu.
"Krakkk...!"
Pedang itu tepat menusuk dada, akan tetapi saking kerasnya Pouw Taijin dan saking kuatnya dada yang ditusuk, pedang itu patah menjadi dua potong! Kakek itu memang Sai-cu Lama yang diutus oleh Hou Seng untuk membunuh Pouw Tong Ki. Ketika tadi melihat serangan pedang, Sai-cu Lama sudah dapat mengukur kekuatan orang, maka dia berani menerima tusukan itu.
"Ha-ha-ha, kiranya orang she Pouw ini hanya begini saja!" katanya dan tangannya menyambar.
"Desss...!"
Tangan yang amat kuat itu secara dahsyat telah menyambar dan mengenai leher Pouw Tong Ki, membuat tubuh pembesar itu terbanting ke tepi ranjang.
"Ouhh... tolooongg...!" Isteri Pouw Tong Ki cepat menubruk suaminya yang menggeletak tak bergerak lagi itu.
Pada waktu itulah Suma Lian meloncat masuk. Melihat betapa Pouw Tong Ki sudah menggeletak ditubruk oleh isterinya, dan melihat betapa Sai-cu Lama berdiri sambil tertawa, Suma Lian lupa diri dan dia menjadi marah sekali.
"Pendeta jahanam yang jahat!" bentaknya dan ia pun sudah menyerang Sai-cu Lama dengan pukulan kedua tangannya.
Sai-cu Lama terkejut dan heran, tetapi ketika dia melihat bahwa yang menyerangnya hanya seorang gadis cilik, apa lagi gadis itu adalah Suma Lian yang segera dikenalnya, ia tertawa dan menerima pukulan-pukulan itu dengan perutnya.
"Pukk! Pukkk!"
Kedua tangan kecil itu mengenai perut gendut, akan tetapi seperti mengenai benda lunak saja sehingga kedua tangan itu masuk ke dalam perut dan tidak dapat ditarik kembali!
"Ha-ha-ha, kiranya engkau, kuda binal cilik! Ha-ha-ha!" Dia tertawa lagi.
Pada saat itu, isteri Pouw Tong Ki menjerit. Sai-cu Lama menjadi marah. Tangan kirinya mencengkeram punggung baju Suma Lian kemudian ditariknya anak itu ke atas, sambil kakinya diayun ke arah kepala nyonya Pouw. Tubuh nyonya itu pun terkulai di samping tubuh suaminya karena tendangan itu seketika merenggut nyawanya!
"Braakkkk..."
Daun pintu kamar itu ambrol dan masuklah seorang kakek tua renta berpakaian tambal-tambalan. Melihat betapa suami isteri itu telah roboh dan kini Suma Lian diangkat ke atas oleh seorang pendeta Lama berperut gendut, Bu-beng Lo-kai terkejut bukan main.
"Aahhhh, kau jahat sekali...," bentaknya dan kedua tangannya sudah bergerak ke depan dengan amat cepat.
Ketika pintu jebol, Sai-cu Lama juga terkejut, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanya seorang yang sudah amat tua, dia memandang rendah. Baru setelah kedua tangan kakek itu melakukan pukulan ke arah lambung dan lehernya, dia terkejut setengah mati. Angin pukulan yang datang itu bukan hanya amat dahsyat dan kuat sekali, akan tetapi juga yang menuju ke tenggorokannya itu mengandung hawa panas seperti api sedangkan yang menyambar ke arah lambungnya mengandung hawa dingin seperti salju!
"Celaka...!" serunya dan terpaksa dia melepaskan cengkeramannya pada punggung Suma Lian lalu mengerakkan ke dua tangan ke bawah untuk menangkis karena untuk mengelak sudah tidak ada kesempatan lagi sedangkan menerima pukulan-pukulan itu mengandalkan kekebalan, dia tidak berani.
"Dukkk! Dessss...!"
Tubuh Sai-cu Lama hampir saja terjengkang dan dia terhuyung ke belakang, sedangkan Bu-beng Lo-kai sudah berhasil menggandeng tangan cucunya yang selamat. Pada saat itu, Li Sian berlari masuk melalui pintu yang ambrol. Melihat ayah ibunya menggeletak di atas lantai, ia menubruk mereka dan menangis.
Sementara itu Sai-cu Lama terkejut bukan main ketika tubuhnya terpental tadi dan dia pun mengenal ilmu sinkang yang panas dan dingin tadi. Kakek tua renta ini sama sekali tak boleh disamakan dengan nenek yang dulu pernah bertempur dengannya ketika dia menculik Suma Lian. Tentu kakek ini seorang pendekar dari keluarga Pulau Es yang tangguh. Maka dia pun merasa jeri, apa lagi kamar itu terlampau sempit untuk dipakai berkelahi.
Selain itu, Hou Taijin pun sudah mempunyai rencana lain. Tugasnya hanya membunuh Pouw Tong Ki, dan kalau mungkin seluruh keluarganya, lalu pergi. Dia hanya berhasil merobohkan Pouw Tong Ki dan membunuh isterinya, tidak yakin apakah pukulannya tadi sudah cukup untuk merenggut nyawa Pouw Tong Ki. Maka dia pun cepat meloncat keluar dari jendela.
Bu-beng Lo-kai tidak mengejar karena dia ingin lebih dahulu menolong Pouw Taijin dan isterinya, kalau-kalau masih dapat diselamatkan. Dia memeriksa nyonya Pouw yang telah tewas dan ketika dia memeriksa Pouw Tong Ki, hati yang tua itu berduka sekali. Pembesar ini mengalami luka parah oleh pukulan yang amat kuat, dan napasnya sudah empas-empis. Dia hanya dapat mengurut dada Pouw Tong Ki dan menotok beberapa jalan darah untuk menyadarkan pembesar itu.
Pouw Tong Ki membuka matanya dan saat melihat Bu-beng Lo-kai, dia hanya sempat berkata lirih, "... locianpwe... tolong... bawa Li Sian..." dan lehernya terkulai karena dia telah menghembuskan napas terakhir.
Pada saat itu pula, terdengar suara gaduh di luar kamar dan terdengar teriakan-teriakan orang banyak, "Tangkap kakek pengemis itu! Dia pembunuh Pouw Taijin...!"
Bu-beng Lo-kai mengerutkan alisnya, memandang keluar pintu yang berlubang. Dia melihat banyak sekali orang berpakaian seragam berdatangan ke tempat itu dan teriakan-teriakan mereka menunjukkan bahwa mereka itu menuduh dia yang melakukan pembunuhan!
Bu-beng Lo-kai tidak ingin terlibat dalam urusan ini dan banyak repot, maka dia lalu menyambar tubuh Suma Lian dan Li Sian, kemudian sekali dia menggerakkan tubuh, dia sudah membawa kedua orang anak perempuan itu meloncat keluar, kemudian melayang ke atas genteng.
"Itu dia! Dia membunuh Pouw Taijin dan menculik Pouw Siocia!"
Bu-beng Lo-kai tidak tahu siapa yang berteriak, akan tetapi dengan heran dia melihat bahwa pendeta Lama gendut yang tadi berada di kamar, kini berada di antara orang-orang berpakaian seragam itu! Tahulah dia bahwa dia akan kena fitnah, maka dia pun mempercepat gerakannya. Sebentar saja pendekar itu lenyap dari pandang mata para pengejarnya.
Kiranya orang-orang berpakaian seragam itu ialah pasukan tentara penjaga keamanan yang dipimpin oleh Coa Tai-ciangkun sendiri, panglima yang menjadi kepala barisan keamanan! Setelah gagal menangkap pengemis tua itu, Coa Tai-ciangkun ini kemudian menangkapi seluruh sisa keluarga Pouw Tong Ki, yaitu empat orang puteranya dan semua penghuni rumah, lalu membawa mereka sebagai tahanan-tahanan, sedangkan rumah itu pun diduduki sebagai rumah sitaan pemerintah!
Gegerlah kota raja oleh peristiwa yang sangat hebat ini. Coa Tai-ciangkun (Panglima Coa) segera membuat pelaporan kepada Kaisar dan juga memberi keterangan kepada para pejabat lainnya akan jalannya peristiwa, seperti yang memang sudah diaturnya bersama Hou Seng!
Dia menceritakan bahwa dia memperoleh laporan dari para penyelidiknya, bahwa diam-diam Pouw Tong Ki yang di depan kaisar pura-pura mencela orang-orang berkuasa memelihara tukang-tukang pukul, di rumahnya sendiri telah menerima seorang datuk penjahat besar yang belum diketahui jelas siapa namanya dan apa maksudnya. Karena itulah, Coa-ciangkun menjadi curiga sekali, dan apa lagi, menurut ceritanya, ketika dia mendengar laporan yang mengatakan bahwa Pouw Tong Ki pernah bertengkar dengan tamunya yang aneh itu.
Karena merasa khawatir, dia lalu memperlakukan persiapan untuk setiap saat menyerbu tempat kediaman keluarga Pouw itu, dengan tuduhan bahwa keluarga itu bermaksud membuat persekutuan dengan orang kang-ouw untuk melakukan pemberontakan! Lalu, dia melaporkan bahwa Pouw Tong Ki dan isterinya terbunuh oleh tokoh kang-ouw yang mengenakan pakaian pengemis itu, bahkan pengemis yang diduga tentu datuk penjahat besar itu telah melarikan puteri Pouw Tong Ki. Berdasarkan pelaporan ini, maka semua keluarga Pouw yang masih hidup dijatuhi hukuman berat!
Memang demikianlah keadaan masyarakat manusia di seluruh dunia yang dibentuk oleh kita sendiri. Yang menang pasti benar, akan tetapi yang benar belum tentu menang! Kekuasaanlah yang menentukan benar atau salah, hanya kekuasaanlah yang menang dan oleh karena itu, kekuasaan ini diperebutkan oleh seluruh umat manusia di dunia ini.
Kekuasaan dalam pemerintahan, kekuasaan dalam perkumpulan, kekuasaan dalam kelompok atau pun kekuasaan dalam keluarga sendiri. Kita gandrung kekuasaan karena kita tahu bahwa kekuasaan akan membuat kita selalu benar dan menang! Dari sinilah timbulnya kesewenang-wenangan ketika kekuasaan itu disalah gunakan, dipakai demi kepentingan dan kesenangan diri sendiri.
Dari sini timbul konflik-konflik antara yang menang dan yang kalah, yang menindas dan yang ditindas dan konflik-konflik ini tidak akan pernah berhenti selama manusia masih berlomba untuk mencari kekuasaan. Memang, pengejaran kesenangan jugalah yang sebenarnya melandasi perebutan kekuasaan itu. Dan perebutan kekuasaan ini konon menurut dongengnya sudah terjadi sejak pra sejarah, sejak dongeng di kahyangan di antara para dewata dan malaikat!
Bu-beng Lo-kai mempergunakan ilmu ginkang-nya untuk melarikan Suma Lian dan Li Sian keluar dari bahaya. Baru sekali ini semenjak dia menjadi pertapa di puncak Telaga Warna Pegunungan Beng-san bersama isterinya sampai kemudian kematian isterinya itu, dia mempergunakan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengerjakan sesuatu secara serius.
Dia kini benar-benar terlibat dan berusaha menyelamatkan dua orang anak perempuan itu. Dan melalui keributan yang terjadi di gedung keluarga Pouw, dia berhasil melarikan dua orang anak perempuan itu keluar bahkan terus dia larikan sampai ke luar kota raja.
Li Sian menangis terisak-isak ketika akhirnya kakek itu berhenti berlari. Suma Lian lalu merangkulnya dan menghiburnya, sedangkan Bu-beng Lo-kai menarik napas panjang berkali-kali.
"Sudahlah, nona Pouw, jangan terlalu menurutkan hati yang bersedih. Ayah ibumu tewas oleh orang yang ilmu kepandaiannya tinggi, dan karena sebelumnya memang ayahmu telah menitipkan engkau kepadaku, maka biarlah mulai sekarang engkau ikut bersama kami."
Sambil masih terisak-isak, Li Sian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek itu. "Locianpwe, aku mohon agar locianpwe suka membimbingku dengan ilmu silat tinggi agar kelak aku dapat membalas kematian kedua orang tuaku dan mencari pembunuh itu!"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Aihh, cita-cita itu buruk sekali, nona Pouw. Engkau ketahuilah, dan ini sebagai pelajaran pertama, bahwa dengan adanya dendam kebencian di dalam hatimu, maka hal itu sudah membuat keruh batin, menjadi racun dalam darahmu dan dalam keadaan seperti itu, mana mungkin engkau akan dapat belajar ilmu yang tinggi? Hanya batin yang tenang saja yang akan mampu menghimpun tenaga yang kuat. Orang tuamu memang sengaja melibatkan diri dalam urusan besar dan kalau dia sekeluarga kini tertimpa bencana sebagai akibatnya, hal itu wajar, bukan? Siapa bermain dengan air menjadi basah, bermain dengan api mungkin saja terbakar. Nona Pouw, kalau engkau dapat melihat kenyataan itu, engkau tentu akan terbebas dari racun dendam kebencian."
Li Sian yang pendiam itu terlalu cerdik untuk membantah. Ia pun mengangguk-angguk dan untuk mengalihkan percakapan, ia berkata, "Harap locianpwe mulai sekarang tidak lagi menyebutku dengan nona Pouw, melainkan memanggil namaku saja seperti enci Lian."
"Baiklah, Li Sian. Kita tak akan kembali ke kota raja. Kita cari tempat yang aman di luar kota raja dan jangan sampai kita didapatkan oleh pasukan yang tentu akan disebarkan untuk mencari kita. Mereka tentu akan menangkap kita dengan tuduhan bahwa akulah yang telah membunuh keluarga Pouw dan melarikanmu."
"Ah, ini fitnah!" teriak Suma Lian. "Kita dapat melaporkan hal yang sebenarnya terjadi, kek! Akulah saksi hidup bahwa mereka dibunuh oleh Sai-cu Lama, dan Li Sian tentu akan menjadi saksi hidup bahwa kakek sama sekali tidak menculiknya melainkan malah menyelamatkannya."
Kakek tua itu tersenyum. "Aih, engkau belum tahu betapa curang dan liciknya mereka yang sudah terlibat perebutan kekuasaan di dalam pemerintahan, Lian. Biarlah, untuk sementara kita menjauhi keributan dan kita bersembunyi saja di tempat yang aman."
Dan kakek itu kemudian mengajak dua orang anak perempuan itu untuk melanjutkan perjalanan…..
********************
Pao-teng merupakan kota yang cukup besar dan ramai, terletak di sebelah selatan kota raja. Kemelut yang terjadi di kota raja karena persaingan antara Hou Seng dan para pembesar yang menentangnya, tentu saja menjadi sumber berita dan berita itu sudah tiba di Pao-teng.
Apa lagi akhir-akhir ini, di kota raja dikabarkan bahwa Pouw Taijin dan keluarganya bersekutu dengan orang-orang kang-ouw, bahkan kemudian Pouw Taijin dan isterinya dikabarkan terbunuh oleh orang kang-ouw, sedang keluarganya ditangkap pemerintah dengan tuduhan pemberontak! Semenjak terjadinya peristiwa itu, sering kali di kota raja, di pasar-pasar, di rumah-rumah makan dan di hotel-hotel, juga di pintu-pintu gerbang, diadakan pembersihan dan penangkapan-penangkapan bagi mereka yang dicurigai.
Hal yang sangat ditakuti oleh orang-orang yang merasa pernah belajar ilmu silat adalah munculnya pasukan berpakaian preman yang dipimpin oleh orang-orang pandai. Sudah cukup banyak orang-orang kang-ouw ditangkap dan diperiksa. Mereka yang bersikap anti pemerintah atau anti pembesar Hou Seng, segera dijebloskan penjara dan bahkan banyak pula yang terbunuh dalam pembersihan dan penangkapan-penangkapan itu. Dunia kang-ouw menjadi gelisah.
Orang-orang yang tinggal di kota Pao-teng mendengar pula akan kemelut itu. Mereka khawatir bahwa pembersihan-pembersihan dan penangkapan yang dilakukan pasukan itu akan menjalar sampai ke Pao-teng. Apa lagi melihat betapa banyak keluarga orang kang-ouw meninggalkan kota raja dan lari mengungsi ke selatan. Tentu saja setibanya di Pao-teng mereka itu menyebarkan berita yang simpang siur dan membuat penduduk menjadi semakin gelisah.
Berita seperti itu, yang menyangkut keamanan rakyat dan pergolakan di kalangan atas, tentu saja menarik perhatian Kao Cin Liong yang di waktu mudanya pernah menjabat sebagai seorang panglima muda. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kao Cin Liong bersama keluarganya tinggal di kota Pao-teng dan berdagang rempah-rempah. Semenjak itu dia sama sekali tidak pernah mencampuri urusan pemerintahan, bahkan jarang-jarang menonjolkan diri di dunia kang-ouw.
Bekas jenderal yang juga seorang pendekar perkasa itu kini berusia kurang lebih lima puluh tahun, tinggal di sebuah rumah yang cukup besar dengan isterinya yang tercinta, yaitu Suma Hui yang sekarang juga telah berusia empat puluh tahun, dan puteri mereka yang merupakan anak tunggal, bernama Kao Hong Li, berusia tiga belas tahun.
Apa lagi ketika terdengar berita yang mengatakan bahwa keluarga Pouw Tong Ki yang masih menjadi seorang menteri telah terbunuh, bahkan keluarganya ditangkap dengan tuduhan mengusahakan pemberontakan dengan mengadakan persekutuan dengan orang-orang jahat yang berilmu tinggi, Kao Cin Liong terkejut dan berduka sekali.
Dia mengenal sahabatnya itu sebagai orang yang amat setia dan jujur terhadap kaisar, seorang yang bijaksana dan tidak mau menggunakan kedudukannya untuk mencari keuntungan diri sendiri. Sukar dia dapat percaya bahwa seorang yang begitu setia seperti Pouw Tong Ki berusaha mengadakan pemberontakan! Kecuali kalau keadaan sudah terpaksa sekali dan di istana terjadj hal-hal yang luar biasa. Tentu ada sebabnya, atau kalau tidak, tentu sahabatnya ini hanya kena fitnah saja. Dia mengemukakan rasa penasaran di hatinya itu di depan isterinya.
"Ingin sekali aku menyelidiki kematian sahabatku itu. Tentu ada suatu rahasia di balik peristiwa itu. Dia dan isterinya terbunuh, puterinya diculik orang dan putera-puteranya ditangkap pemerintah dan dihukum! Tak mungkin nasibnya seburuk itu. Dia orang yang baik sekali!"
"Aihh!" Isterinya yang bernama Suma Hui, seorang cucu dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, mengerutkan alis. "Sudah belasan tahun kita hidup dengan tenteram tanpa mencampuri urusan pemerintah mau pun dunia kang-ouw. Kalau sekali kita terjun, kita tentu akan terlibat dan kesulitan-kesulitan, pertentangan dan permusuhan tentu akan datang bertubi-tubi menghancurkan hidup kita yang tenteram. Kau telah mengundurkan diri, mengapa sekarang hendak mencari penyakit? Biarkanlah mereka yang masih haus akan kekuasaan itu bekerja. Aku yakin bahwa urusan yang terjadi di kota raja itu tidak lain hanyalah masalah perebutan kekuasaan belaka. Perlukah kita mencampurinya?"
Kao Cin Liong mengangguk-angguk dan menyentuh lengan isterinya. "Engkau benar, benar sekali. Kadang-kadang rasa penasaran membuat batinku memberontak! Tetapi apakah kalau aku bercampur tangan lalu keadaan akan menjadi baik? Apakah aku akan mampu mengatasi semua kemelut yang sedang terjadi di kota raja? Ah, aku yakin tidak mungkin bisa. Jangan-jangan pencampur tanganan dariku bahkan menambah besarnya kemelut. Engkau benar. Urusan pemerintahan bukan urusanku, dan sahabatku Pouw Tong Ki itu menjadi korban karena dia masih menjabat menteri. Andai kata dia tidak menjadi pembesar dan hidup seperti kita, kurasa dia pun tidak akan mengalami nasib sedemikian buruknya."
Pada saat itu, seorang anak perempuan yang bermata lebar dan berwajah manis berlari masuk. Anak perempuan berusia tiga belas tahun yang lincah ini adalah Kao Hong Li, puteri dan anak tunggal suami isteri pendekar itu.
"Ayah, ada seorang tamu ingin bertemu dengan ayah. Dia seorang pemuda berpakaian serba biru, bernama Gu Hong Beng."
"Hemm, ada keperluan apakah orang muda itu datang?" tanya Kao Cin Liong, merasa terganggu karena dia sedang membicarakan urusan yang penting dan serius dengan isterinya.
"Dia tak mengatakan keperluannya. Orangnya amat pendiam dan kelihatan malu-malu. Mungkin dia datang untuk minta pekerjaan, ayah."
Dengan gerakan tangan tidak sabar karena merasa terganggu, Kao Cin Liong berkata kepada Hong Li, "Kau tanya apa keperluannya, kalau benar dia datang minta pekerjaan, katakan saja bahwa pada waktu ini aku belum memerlukan bantuan tenaga baru."
Hong Li lalu berlari ke luar. Gadis cilik yang lincah ini melihat betapa sikap ayah ibunya kaku dan wajah mereka keruh. Tentu ada sesuatu yang mengganggu ayah ibunya dan hatinya ikut merasa tak senang. Ia menganggap bahwa kemunculan pemuda itu hanya mengganggu saja.....
Komentar
Posting Komentar