SULING NAGA : JILID-19


Tidak ada kesenangan yang lebih besar dari bersatunya dua hati yang dilanda asmara, akan tetapi juga tidak ada kedukaan yang lebih mendalam dari pada pecahnya dan putusnya pertalian antara dua hati itu. Tidak ada keresahan dan kesepian yang lebih mencekik dari pada ditinggal pergi kekasih hati dan tidak ada keputus asaan yang demikian ringkih dari pada orang yang dikasihi tidak membalas cintanya.

Haruskah demikian? Haruskah seseorang yang gagal dalam cintanya menjadi putus asa dan membiarkan diri dibenamkan duka nestapa? Cinta asmara antara pria dan wanita hanya dapat terjadi dan berhasil kalau keduanya menyambutnya. Cinta asmara tidak mungkin terjadi hanya dari satu pihak saja. Bodohlah orang yang membiarkan batin menderita karena orang yang dicintanya tidak menyambut atau membalas cintanya itu. Cinta tidak mungkin dapat dipaksakan pada seseorang. Cinta adalah urusan hati yang amat pribadi.

Cinta kasih yang sejati tidak akan mendatangkan duka. Cinta kasih kepada seseorang berarti rasa belas kasih dan kasih sayang kepada orang itu, dan yang ada hanyalah keinginan untuk membahagiakan orang itu, atau melihat orang itu berbahagia, baik orang itu menjadi miliknya atau tidak, dekat atau jauh darinya. Cinta kasih tak mengenal kepuasan diri sendiri. Yang mengejar kesenangan hati sendiri, yang mengharapkan kepuasan diri sendiri, yang ingin memiliki dan ingin menguasai, itu bukanlah cinta kasih, melainkan nafsu birahi.

Bukan berarti bahwa cinta kasih tidak seharusnya mengandung birahi. Cinta kasih mengandung semuanya, kecuali keinginan menyenangkan diri sendiri walau pun cinta kasih bisa mendatangkan kesenangan, kepuasan dan kebahagiaan. Cinta kasih adalah keadaan suatu hati yang penuh dengan sinar Illahi, sedangkan birahi adalah keadaan suatu tubuh yang normal dan wajar, menurutkan naluri badaniah.

Bagi hati yang penuh dengan sinar cinta kasih, birahi merupakan sesuatu yang indah dan suci, suatu kekuasaan Tuhan yang bekerja dalam badan dan batin, suatu gejolak yang digerakkan oleh daya tarik-menarik antara Im dengan Yang, suatu sarana untuk penciptaan yang maha agung, karena tanpa itu, tanpa adanya daya tarik Im dan Yang sehingga keduanya saling mendorong, maka alam semesta ini akan berhenti bergerak. Sebaliknya, kalau hati kosong dari cinta, birahi hanyalah merupakan suatu permainan belaka, kadang-kadang amat kotor dan hanya menjadi sarana untuk memuaskan nafsu di hati

.

Hong Beng bukanlah seorang pemuda yang menjadi hamba dari nafsu-nafsunya. Tidak, bahkan selamanya ia belum pernah berhubungan dengan wanita. Akan tetapi ia belum sadar akan cinta sejati dan sebagai seorang pemuda biasa, dia tunduk kepada keadaan batinnya yang masih dapat menjadi permainan akunya sendiri, di mana nafsu selalu berkuasa dan keadaan hati ditentukan oleh berhasil atau gagalnya nafsu. Diombang-ambingkan antara puas kecewa, harapan dan keputusasaan, senang dan susah.

Biar pun dia memperoleh gemblengan yang keras dari gurunya, namun gemblengan itu hanya memperkuat badannya, belum mampu mendatangkan kesadaran pada batinnya. Karena itu, badannya mungkin tahan pukulan, namun batinnya masih lemah dan mudah terguncang oleh kegagalan dan kekecewaan yang menimbulkan perasaan sesal dan iba diri yang menyengsarakan.....

********************

Bi Lan melarikan diri dengan cepat. Gadis ini bagaikan seekor burung yang nyaris kena sambaran anak panah. Terkejut, ngeri dan ketakutan. Ia seorang gadis yang masih hijau dalam hal urusan antara pria dan wanita. Yang pernah dia alami mengenai hal itu hanyalah yang buruk-buruk saja.

Pernah dia hampir diperkosa oleh tiga orang gurunya setelah hampir menjadi korban penganiayaan dan perkosaan sekelompok orang buas. Kemudian ia bertemu dengan Bhok Gun dan ia melihat sikap yang sama dari Bhok Gun. Sikap laki-laki yang haus dan yang menganggap wanita sebagai barang permainan saja.

Diam-diam timbul kemuakan dalam hatinya, membuat ia tidak percaya akan kejujuran pria dalam urusan kasih sayang. Yang pernah dialami dan dilihatnya hanya kebengisan nafsu birahi yang diperlihatkan pria terhadap wanita. Oleh karena itu ia kagum melihat kemesraan dan kesetiaan antara sepasang mempelai itu.

Akan tetapi ketika urusan cinta itu menyerang dirinya sendiri, dilontarkan oleh mulut Hong Beng, satu-satunya pria yang mendatangkan kagum dan kepercayaan dalam dirinya, ia menjadi terkejut, ngeri dan ketakutan. Maka ia pun melarikan diri, bukan takut terhadap Hong Beng, melainkan takut akan sikap pemuda itu, takut akan dirinya sendiri yang merasa ngeri dan asing dengan urusan hati itu.

Setelah berlari cepat sampai setengah hari lamanya, Bi Lan tiba di sebuah hutan di kaki gunung. Hutan yang penuh dengan pohon cemara, tempat yang indah. Ia merasa lelah dan duduklah ia di bawah sebatang pohon besar yang rindang daunnya. Angin bersilir membuat ia mengantuk dan ia pun duduk melamun, memikirkan Hong Beng dari sikap pemuda itu siang tadi. Matahari kini sudah condong ke barat, namun sinarnya yang kemerahan masih menerobos antara celah-celah daun pohon.

Hong Beng seorang pemuda yang amat baik, hal itu tidak diragukannya lagi. Seorang pemuda bermuka bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Sikapnya sederhana dan sopan, sinar matanya juga bersih dan jernih, tidak mengandung kekurang ajaran seperti pada sinar mata Bhok Gun atau pria-pria lain yang pernah dijumpainya di dalam perjalanan.

Ilmu silatnya juga hebat, apa lagi kalau diingat bahwa pemuda itu adalah murid keluarga Pulau Es! Selain ilmu silatnya tinggi, ia juga berwatak pendekar, gagah berani dan baik budi. Tak salah lagi, Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang sangat baik, seorang pemuda pilihan! Akan tetapi, apakah ia cinta kepada pemuda itu? Ia tidak tahu!

"Aku suka padanya...," demikian ia mengeluh.

Memang ia mengakui bahwa ia suka kepada pemuda itu, suka melakukan perjalanan bersamanya. Suka bercakap-cakap dengannya, dan suka bersahabat dengannya. Hong Beng merupakan kawan seperjalanan yang tidak membosankan, tidak banyak cakap, suka mengalah dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, sopan dan ramah.

Ia suka menjadi sahabat Hong Beng karena selain menyenangkan, juga Hong Beng merupakan seorang sahabat yang boleh diandalkan. Ia merasa aman dan tenang dekat pemuda itu dan seolah-olah pemuda itu memulihkan kembali kepercayaannya kepada pria pada umumnya. Akan tetapi cinta? Ia tidak tahu. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana cinta itu. Apakah sama dengan suka?

Akan tetapi, kalau cinta itu seperti sepasang mempelai yang dijumpainya di dusun itu, ia menjadi ragu-ragu. Tidak ada keinginan di hatinya untuk bermesra-mesraan walau pun ia merasa senang berdekatan dengan pemuda itu. Hanya rasa suka bersahabat, suka berdekatan. Apakah itu cinta? Kiranya bukan! Cinta sudah tentu lebih mendalam lagi, bantahnya. Akhirnya ia menjadi bingung sendiri dengan perbantahan yang berkecamuk di dalam batinnya.

Ia sendiri tidak yakin apakah benar Hong Beng mencintanya seperti yang diakui pemuda itu. Mencintanya? Bagaimana sih rasanya dicinta seorang pria? Tiga orang gurunya, Sam Kwi, jelas amat sayang kepadanya, pernah menyelamatkannya ketika ia masih kecil, kemudian mendidiknya melalui suci-nya dengan penuh ketekunan. Kalau tidak sayang kepadanya, tidak mungkin tiga orang aneh yang kadang-kadang kejam seperti iblis itu mau mempedulikan dirinya yang yatim piatu.

Kemudian, ketika ia dewasa dan hendak berpisah dari ketiga orang suhu-nya, mereka berusaha memperkosanya! Itukah cinta? Jelas bukan. Ia masih merasa heran mengapa tiga orang suhu-nya yang sudah bersusah-payah mendidiknya, setelah ia dewasa begitu tega untuk memperkosanya setelah melolohnya dengan arak sampai ia mabok. Ia sukar membayangkan apa yang akan dipikirkannya dan bagaimana keadaannya sekarang andai kata dulu Sam Kwi berhasil memperkosanya, andai kata tidak ada suci-nya yang menolongnya.

Ia dapat menduga bahwa Sam Kwi melakukan hal itu, bukan semata-mata karena ingin memiliki tubuhnya, tetapi lebih condong kepada ingin menguasainya dan memperoleh keyakinan akan kesetiaannya. Ia hendak dijadikan sebagai Bi-kwi kedua oleh Sam Kwi. Bukan, itu bukan cinta seperti yang dimaksudkan Hong Beng. Juga sikap Bhok Gun itu pun amat meragukan untuk dinamakan cinta. Dan bagaimana dengan cinta Hong Beng?

Benarkah pemuda itu mencintanya? Akan tetapi dia tidak merasakan apa-apa, hanya merasa kasihan kepada Hong Beng karena dia tidak dapat menerima cintanya, Juga marah karena pemuda itu telah merusak hubungan baik antara mereka. Ia masih ingin sekali melakukan perjalanan dengan pemuda itu, tetapi pengakuan cinta itu membuat dia tidak mungkin lagi dapat mendekati Hong Beng.

Bi Lan bangkit berdiri dan melanjutkan perjalanannya karena matahari sudah semakin condong ke barat. Ia tidak ingin kemalaman di hutan itu. Perutnya terasa lapar dan di dalam buntalan pakaiannya hanya tinggal beberapa potong roti kering dan daging kering saja. Biasanya, Hong Beng yang membawa minuman dan kini setelah ia terpisah dari pemuda itu, ia tidak berani makan roti dan daging yang serba kering itu tanpa ada air di dekatnya.

Sialan! Baru berpisah sebentar saja sudah terasa kebutuhannya akan bantuan pemuda itu! Ia harus dapat tiba di sebuah dusun sebelum malam tiba karena selain kebutuhan makan minum, ia pun ingin mengaso di dalam rumah, biar pun gubuk kecil sekali pun, agar aman dan tidak terganggu hawa dingin, hujan atau nyamuk.

Ketika keluar dari hutan kecil itu, Bi Lan naik ke atas bukit dan dari situ memandang ke bawah. Hatinya girang melihat dari jauh nampak beberapa buah rumah dengan genteng berwarna merah, tanda bahwa genteng itu masih belum begitu lama. Tentu sebuah dusun kecil, pikirnya dan ia pun cepat berlari menuruni bukit itu menuju ke arah rumah-rumah bergenteng merah.

Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa semenjak tadi ada beberapa pasang mata selalu mengamatinya dan beberapa bayangan orang berkelebatan turun dari bukit lebih dahulu sebelum ia menuju ke dusun itu. Ia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada bahaya besar sedang menantinya. Dengan tenang dia memasuki perkampungan kecil dengan rumah-rumah yang masih agak baru itu, dan melihat betapa daun-daun pintu dan jendela rumah-rumah itu tertutup, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah yang terbesar.

Seorang kakek berambut putih dengan jenggot dan kumis panjang membuka pintu. Melihat bahwa penghuni rumah itu adalah seorang kakek yang nampaknya di dalam keremangan senja itu sudah amat tua, Bi Lan segera memberi hormat.

"Maafkan aku, kek. Aku adalah seorang pejalan kaki yang kemalaman dan sekarang membutuhkan tempat untuk mengaso dan melewatkan malam ini. Dapatkah engkau menunjukkan apakah di kampung ini ada tempat penginapan, atau rumah kosong atau orang yang sekiranya mau menolong dan menampungku untuk semalam ini saja?"

Kakek itu tertawa. "He-heh-heh, di tempat sunyi ini siapa mau membuka penginapan, nona? Kebetulan aku hanya tinggal seorang diri di rumah ini, kalau engkau suka, silakan masuk. Ada kamar kosong untukmu di dalam rumahku."

Bukan main lega dan girang rasa hati Bi Lan. Penghuni rumah ini hanya seorang saja, biar pun laki-laki akan tetapi sudah amat tua sehingga ia tidak akan merasa terganggu. Ia memasuki rumah itu dan hidungnya mencium bau masakan yang masih panas dan sedap. Tentu saja ia merasa heran sekali.

Kakek ini sendirian dalam rumah itu, akan tetapi ia mempunyai masakan yang demikian sedap baunya. Agaknya dia seorang ahli masak, pikirnya. Kakek itu agaknya dapat menangkap keheranan pada wajah Bi Lan yang tertimpa sinar lampu yang tergantung di tembok.

"Heh-heh, jangan heran kalau aku mempunyai banyak masakan yang masih panas, nona. Sore tadi anakku dari kota datang memberi masakan-masakan itu yang dibelinya dari restoran, dan baru saja aku memanaskan masakan-masakan untuk makan malam. Dan engkau datang. Ha-ha-ha, bukankah ini berarti jodoh? Masakan itu terlalu banyak untuk aku sendiri. Mari, nona, mari kita makan malam, baru nanti kuantar ke kamarmu."

"Bukankah engkau hanya sendirian katamu tadi, kek?"

"Ohh? Kau maksudkan anakku? Dia sudah pulang sore tadi."

Bi Lan mengikuti kakek itu tanpa curiga sedikit pun menuju ke ruangan dalam di mana terdapat sebuah meja dan empat kursinya dan di atas meja itulah berderet mangkok-mangkok besar berisi masakan yang masih mengepulkan uap yang harum sedap, juga terdapat seguci arak berikut cawan-cawan kosong bertumpuk.

"Silakan duduk, nona, silakan makan. He-he-heh, sungguh girang hatiku mendapatkan seorang tamu dan teman makan untuk menghabiskan hidangan yang terlalu banyak untukku ini."

Bi Lan tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Kemudian ia melepaskan buntalan dari punggungnya dan meletakkannya di atas sebuah kursi kosong, lalu ia pun duduk di kursi sebelahnya. Kakek itu sudah duduk di depannya dan mendorong sebuah mangkok kosong ke depan Bi Lan, juga sebuah cawan kosong. Melihat kakek itu membuka tutup guci arak, Bi Lan segera berkata,

"Maaf, kek, aku tidak suka minum arak. Kalau ada teh atau air putih sekali pun untuk menghilangkan haus, aku akan berterima kasih sekali."

"Heh-heh, mana bisa begitu, nona? Mana di dunia ini ada aturan seperti itu? Kalau aku sebagai tuan rumah menyuguhkan teh atau air saja kepada tamuku sedangkan aku sendiri minum arak, wah, aku akan dimaki sebagai orang paling tidak tahu aturan oleh dunia! Ha-ha-ha, nona, engkau tentu tidak akan mau mengecewakan seorang tua renta seperti aku, bukan? Nah, kini terimalah secawan arak dariku sebagai ucapan selamat datang di gubukku yang buruk ini!"

Kakek itu sudah menuangkan secawan arak penuh dan bau arak yang harum itu sudah membuat Bi Lan merasa muak. Akan tetapi, bagaimana dia dapat menolak desakan kakek itu? Kalau ia menolak, ialah yang akan dimaki dunia sebagai seorang muda yang menjadi tamu dan yang tidak tahu aturan sama sekali. Ia merasa kasihan kepada kakek itu dan ia pun menerima cawan itu. Sebelum meminumnya, ia berkata,

"Baiklah, kuterima suguhan arakmu, kek. Akan tetapi, ingat, hanya satu cawan ini saja. Kalau engkau memaksakan cawan ke dua, biarlah aku tidak minum ini dan aku pergi saja dari rumah ini dan tidur di bawah pohon."

"Heh-heh-heh, engkau lucu sekali, nona," kata kakek itu dan dia melihat betapa Bi Lan tersedak ketika minum arak itu. Akan tetapi, gadis itu tetap menghabiskan araknya dan kakek itu sudah siap lagi dengan gucinya untuk memenuhi cawan arak Bi Lan.

"Tidak, sudah kukatakan hanya secawan, kakek yang baik!" kata Bi Lan menolak.

Pada waktu Bi Lan menggerakkan sumpitnya untuk mengambil masakan ke dalam mangkoknya, kebetulan ia mengangkat muka dan terkejutlah ia ketika melihat betapa sepasang mata kakek itu mencorong dan mengeluarkan sinar yang aneh. Akan tetapi hanya sebentar karena kakek itu sudah menundukkan pandang matanya dan terkekeh seperti tadi.

"Silakan, silakan...," katanya.

Kakek ini masih sehat dan segar sekali, pikir Bi Lan sambil memasukkan beberapa macam sayur dan daging ke dalam mangkoknya. Sikap dan kata-katannya seperti orang muda saja. Apakah barangkali kakek ini diam-diam mempunyai kepandaian yang tinggi? Jantungnya berdebar ketika berpikir demikian dan ia pun waspada kembali, berhati-hati. Bau arak itu masih membuat ia merasa muak dan dari leher ke perut terasa panas. Ia lalu menjepit sepotong sayur dengan sumpitnya dan membawa potongan sayur itu ke mulutnya.

"Ihhhh...!" Bi Lan meloncat dan menyemburkan potongan sayur itu dari mulutnya.

Perlu diketahui bahwa gadis ini pernah menjadi murid nenek Wan Ceng atau yang juga bernama Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu! Dari nenek Wan Ceng, yang pernah menjadi murid ahli racun Ban-tok Mo-li, selain menerima pinjaman pedang Ban-tok-kiam, juga gadis ini diberi pelajaran tentang racun.

Memang tidak banyak yang dapat dipelajarinya dari nenek ahli racun itu dalam waktu setengah tahun, akan tetapi terutama sekali ia telah mewarisi kepandaian mengenal segala macam racun melalui mulut dan hidungnya. Dengan kepandaiannya itu, sukarlah meracuni nona ini tanpa ia mengetahuinya. Tadi, ketika ia menyuapkan potongan sayur ke mulutnya, cepat sekali mulut dan hidungnya bekerja dan ia telah tahu dengan pasti bahwa sayur itu mengandung racun pembius yang kuat bukan main! Karena terkejut mendapatkan kenyataan yang sama sekali tidak disangkanya ini, Bi Lan menyemburkan sayur itu dan meloncat berdiri.

"Siapakah engkau?" bentaknya sambil menyambar buntalan pakaiannya, diikatkannya kembali buntalan itu di punggungnya tanpa mengalihkan pandang matanya kepada kakek itu sekejap mata pun.

Kakek itu tersenyum lebar. Kini nampaklah oleh Bi Lan bahwa kakek yang rambutnya sudah putih semua, mukanya yang bagian bawahnya tertutup kumis dan jenggot, serta mempunyai gigi yang berderet rapi dan putih, gigi orang yang masih muda. Kakek itu bangkit berdiri dan tangan kanannya meraih ke mukanya sendiri. Ketika dia menurunkan tangan, tanggallah rambut putih, kumis dan jenggot dari kepalanya. Nampaklah wajah seorang laki-laki muda yang tampan dan yang tersenyum menyeringai kepada Bi Lan.

"Kau...! Keparat busuk!" Bi Lan sudah memaki, menyambar sebuah mangkok berisi sayur dan melemparkannya ke arah muka laki-laki yang bukan lain adalah Bhok Gun itu! Laki-laki ini cepat-cepat mengelak, akan tetapi kuah sayur itu masih ada yang terpercik mengenai mukanya.

Bhok Gun tidak marah dan menghapus kuah itu dengan sapu tangannya. "Tenanglah, sumoi..."

"Cih! Aku bukan sumoi-mu!" Bi Lan membentak, masih marah sekali karena orang yang tadi berhasil memaksanya minum secawan arak lalu berusaha meracuninya bukan lain adalah Bhok Gun yang amat dibencinya itu.

“Tenanglah, nona, tenanglah Bi Lan. Kenapa engkau mesti marah-marah? Aku sengaja menaruh racun dalam sayur itu bukan dengan niat buruk, melainkan hendak menguji kepandaianmu karena menurut keterangan suci-mu, Bi-kwi, engkau ahli dan lihai sekali mengenal segala macam racun. Racun yang kupergunakan ini hanya untuk mencoba, sama sekali tidak berbahaya. Buktinya aku sendiri pun makan..."

"Cukup! Aku tidak sudi lagi mendengar ocehanmu!"

"Bi Lan, pertemuan sekali ini merupakan jodoh dan agaknya sudah diatur oleh Tuhan. Pertemuan ini mengguncang hatiku, Bi Lan, karena terus terang saja, sejak pertemuan kita itu, siang macam aku selalu teringat kepadamu, makan tak lezat tidur tak nyenyak, kalau tidur selalu penuh dengan mimpi-mimpi tentang dirimu. Aku cinta padamu, Bi Lan, sungguh mati, belum pernah aku jatuh cinta kepada wanita seperti kepada dirimu..."

"Tutup mulutmu!" bentak Bi Lan.

Ia pun menendang kursi yang menghalang di depannya, kemudian melompat keluar dari ruangan itu, mengambil keputusan untuk pergi saja meninggalkan manusia berbahaya dan jahat ini.

Tetapi, ketika dara ini tiba di luar pintu rumah itu, di luar telah menanti belasan orang berpakaian seragam merah dengan senjata di tangan, yaitu anak buah perkumpulan Ang-i Mo-pang! Sedangkan Bhok Gun juga mengejar ke luar sehingga kini Bi Lan telah terkurung di pekarangan depan rumah itu.

Orang-orang Ang-i Mo-pang itu menyalakan obor dan keadaan menjadi terang sekali. Dengan matanya Bi Lan menaksir bahwa pengepungnya tidak kurang dari dua puluh orang, semuanya bersenjata lengkap! Dengan marah ia membalikkan tubuhnya.

"Bhok Gun, kau mau apa? Jangan ganggu aku kalau engkau tidak mau cari penyakit!"

Bhok Gun tersenyum. "Nona manis, kalau marah menjadi semakin cantik! Terus terang kuajak engkau untuk bekerja sama, menjadi isteriku tercinta dan sama-sama mencari kemuliaan di kota raja, akan tetapi engkau menolak. Nah, sekarang lekas kau serahkan pedang pusakamu itu kepadaku..."

“Bhok Gun manusia laknat! Sekali ini kau akan mampus di tanganku!" bentak Bi Lan yang sudah siap hendak menyerang.

Akan tetapi para anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang secara bersama sambil mengepungnya sehingga terpaksa Bi Lan menghadapi penyerangan mereka. Dengan gerakan amat lincah Bi Lan mengelak sambil berloncatan ke sana-sini dari sambaran senjata golok, ruyung, tombak dan lain-lain yang datang bagaikan hujan.

Karena marah sekali kepada Bhok Gun, Bi Lan bukan hanya mengelak saja melainkan terus membalas dengan serangan kedua tangannya. Akibatnya hebat. Para pengeroyok itu bagai dilanda badai dan empat orang sudah jatuh tersungkur.

Dalam kemarahannya, Bi Lan tidak berlaku sungkan lagi, begitu membalas serangan ia telah memainkan Ilmu Silat Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun) yang amat ganas. Ilmu ini dipelajarinya dari nenek Wan Ceng. Tenaga sinkang yang mendorong serangannya amat ganas dan mengandung hawa beracun sehingga para anggota Ang-i Mo-pang yang terpelanting itu roboh dengan mata mendelik dan bagian yang terkena pukulan menjadi hijau menghitam!

Melihat ini, Bhok Gun segera berteriak, "Kalian semua mundur, kepung saja, jangan ikut menyerang!"

Dia tahu bahwa anak buahnya itu sama sekali bukan lawan Bi Lan dan kalau dibiarkan maju, mungkin mereka semua akan tewas di tangan Bi Lan. Mendengar seruan ini, para anggota Ang-i Mo-pang yang memang sudah amat gentar menghadapi gadis itu, cepat menahan senjata mereka dan berlompatan mundur, mengepung pekarangan itu dengan senjata di tangan, akan tetapi tidak ada yang berani mencoba untuk menyerang Bi Lan.

Gadis ini berdiri tegak di tengah kepungan. Sepasang matanya saja yang bergerak ke kanan kiri sedangkan seluruh tubuhnya diam tak bergerak seperti patung, namun setiap jalur urat syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga.

Melihat gadis ini berdiri dengan kedua tangan telanjang, sama sekali tidak memegang senjata dan juga tidak nampak adanya pedang pusaka mengerikan yang diinginkannya itu, Bhok Gun memandang heran. Ia merasa yakin benar bahwa Bi Lan tidak membawa pedang itu, tidak berada di pinggang, punggung, juga tidak berada di dalam buntalan pakaian itu.

"Bi Lan sumoi, di mana pedangmu itu? Hayo keluarkan pedangmu dan lawanlah aku!" katanya menantang, tentu saja dengan maksud agar nona itu mengeluarkan pedang pusaka yang pernah membuatnya terkejut dan gentar itu.

"Manusia jahanam! Tanpa senjata pun aku masih sanggup mengirimmu ke neraka!" Bi Lan membentak sambil terus menyerang dengan dahsyatnya.

Gadis ini tetap mempergunakan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat yang amat dahsyat itu. Melihat gerakan tangan yang mendatangkan hawa yang panas ini, Bhok Gun yang lihai cepat melompat ke samping dan dia sudah mencabut sehelai sapu tangan berwarna merah, lalu mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka lawan. Debu berwarna merah halus menyambar ke arah muka Bi Lan. Akan tetapi Bi Lan hanya meniup pergi debu itu dan bahkan membiarkan sebagian kecil mengenai mukanya.

Dan kembali Bhok Gun terperanjat. Jelas bahwa ada debu yang mengenai muka gadis itu dan tentu telah tersedot, namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh! Padahal, debu pembius yang berada di sapu tangannya itu amat keras dan ampuh, sedikit saja tersedot, orang akan jatuh pingsan. Dia tidak tahu bahwa Bi Lan adalah cucu murid Ban-tok Mo-li dan biar pun dara ini hanya setengah tahun mempelajari ilmu dari nenek Wan Ceng, ia sudah memperoleh ilmu tentang racun dan cara untuk menjaga diri dari serangan racun.

Karena terkejut dan heran, hampir saja Bhok Gun menjadi korban tamparan tangan kiri Bi Lan yang menyambar ganas. Tangan itu menyambar dengan amat cepatnya dan hanya dengan melempar diri ke kiri saja Bhok Gun dapat menghindarkan diri. Akan tetapi ketika tangan yang mengandung hawa pukulan panas itu lewat, dia terkejut dan maklum bahwa tangan itu mengandung hawa pukulan beracun!

Guru pemuda ini juga seorang ahli racun, maka tahulah dia akan bahayanya tangan beracun dari Bi Lan itu dan diam-diam dia pun terheran-heran mengapa gadis ini dapat memiliki ilmu aneh dan ganas itu, padahal dia tahu benar bahwa Bi-kwi tidak memiliki ilmu semacam itu. Teringatlah dia akan cerita Bi-kwi bahwa Bi Lan pernah digembleng selama beberapa bulan oleh Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga amat lihai. Dari mereka itukah gadis ini mempelajari ilmu pukulan beracun?

Bi Lan juga merasa lega karena ia tidak melihat munculnya Bi-kwi, suci-nya yang lihai itu. Kalau suci-nya muncul dan dia dikeroyok dua, rasanya sukar baginya untuk dapat menyelamatkan diri, apa lagi tanpa adanya Ban-tok-kiam di tangannya. Akan tetapi, suci-nya tidak juga muncul, maka jalan terbaik adalah cepat-cepat merobohkan dulu Bhok Gun.

Kalau tidak dikeroyok, ia tidak gentar menghadapi Bhok Gun mau pun suci-nya. Maka ia pun cepat menyerang dengan pukulan-pukulan gencar dan untuk mendesak lawan, ia mengubah gerakannya dan kini ia mainkan Sam Kwi Cap-sha-kun yang lebih ganas lagi itu! Ia tahu bahwa pada dasarnya, mereka berdua memiliki sumber ilmu silat yang sama dan untuk mengeluarkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari suci-nya atau Sam Kwi, tidak akan banyak gunanya menghadapi Bhok Gun.

Akan tetapi Sam Kwi Cap-sha-kun adalah ilmu ciptaan baru dari Sam Kwi dan kiranya suci-nya juga masih merahasiakan ilmu ini terhadap siapa pun. Dugaannya benar karena Bhok Gun terkejut bukan main menghadapi desakannya sehingga pemuda itu terserempet tamparan pada pundaknya, membuat dia terhuyung ke belakang. Tangan kiri Bhok Gun bergerak dan sinar-sinar kecil menyambar ke depan.

Bi Lan memiliki penglihatan tajam sekali dan ia pun dapat bergerak lincah. Begitu ada sinar menyambar, ia sudah dengan cepatnya meloncat ke kiri, tangan kanannya menyampok dan runtuhlah tiga batang paku hitam yang beracun! Kalau ia tidak cepat mengelak dan menyampok, paku-paku itu dapat mendatangkan bahaya maut!

Biar pun senjata rahasianya dapat dihindarkan lawan, akan tetapi setidaknya serangan gelap itu dapat memberi kesempatan kepada Bhok Gun untuk memperbaiki posisinya yang tadi terhuyung oleh serangan Bi Lan. Dia lalu berteriak ke arah rumah ke dua, "Para ciangkun harap suka keluar dan membantu kami menghadapi musuh!"

Terdengar teriakan jawaban dari rumah kedua itu, daun pintunya terbuka dan lima sosok bayangan orang berloncatan keluar dari rumah itu. Kiranya mereka adalah lima orang laki-laki bertubuh gagah yang memakai pakaian perwira kerajaan dan begitu mereka mengepung dan menggerakkan pedang mereka menyerang, Bi Lan terkejut karena ia memperoleh kenyataan bahwa lima orang ini memiliki ilmu pedang yang kuat dan cepat, sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan para anggota Ang-i Mo-pang.

Maka ia pun mempercepat gerakannya, menubruk ke samping dan dengan sebuah tendangan dan sambaran tangan, dia pun berhasil merobohkan seorang anggota Ang-i Mo-pang dan merampas pedangnya. Dengan pedang inilah ia kemudian menghadapi pengeroyokan lima orang perwira dan Bhok Gun!

Gadis ini memang hebat bukan main. Semangatnya besar, mempunyai keberanian dan ketenangan sehingga biar pun dikeroyok enam orang yang lihai, tetap saja dia dapat mengamuk bagaikan seekor naga betina. Pedangnya berubah menjadi sinar ketika ia mainkan Ilmu Pedang Ban-tok Kiam-sut.

Terdengar suara nyaring berdencingan ketika pedangnya itu menangkis serangan para pengeroyoknya. Lewat tiga puluh jurus, pedangnya berhasil melukai dua orang perwira, akan tetapi pada saat itu, pedang di tangan Bhok Gun yang datang dengan sangat kuatnya telah berhasil mematahkan pedang rampasan di tangan Bi Lan.

"Krakkk...!" Pedang itu patah menjadi dua dan pada saat itu, dua orang perwira datang menyerang dengan pedang mereka.

"Haiiiittt!"

Bi Lan mengeluarkan suara melengking nyaring. Tubuhnya menyambar ke depan bagai terbang, dengan tubuh direndahkan seperti menyeruduk ke depan. Itulah satu di antara jurus Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang dipelajarinya dari Kao Kok Cu! Dan kembali dua orang perwira rebah dan pedang mereka terlempar jauh, tidak tahan mereka menghadapi jurus dari Sin-liong Ciang-hoat yang aneh dan hebat itu. Akan tetapi, dari samping Bhok Gun sudah menggunakan kakinya pada saat Bi Lan melancarkan serangan tadi.

“Desss...!"

Pinggang Bi Lan terkena tendangan hingga tubuhnya terpelanting dan terguling-guling! Sementara itu, empat orang perwira yang roboh sudah bangkit kembali dan Bi Lan terkepung kembali ketika ia akhirnya dapat pula meloncat bangun. Pinggangnya terasa nyeri dan kepalanya agak pening. Kembali dara itu berdiri tegak dan tidak bergerak seperti patung, hanya melirik ke kanan kiri, ke arah enam orang yang kembali sudah mengepungnya dengan wajah beringas karena mereka kini menjadi marah sekali.

Lima orang perwira itu adalah utusan rahasia dari pembesar Hou Seng di kota raja, yang diutus oleh pembesar itu yang sudah berhubungan dengan guru Bhok Gun untuk mengundang Bhok Gun dan anggota Ang-i Mo-pang supaya memperkuat kedudukan guru itu menjadi kaki tangan dan orang kepercayaan Hou Seng!

Kini bukan hanya lima orang perwira dan Bhok Gun yang mengepung di sebelah dalam, akan tetapi di bagian luar pun belasan orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah mulai bergerak lagi atas perintah Bhok Gun, bahkan di antara mereka ada yang sudah mengambil senjata berupa jaring-jaring lebar yang dipegang oleh tiga orang.

Melihat ini, Bi Lan maklum bahwa ia terancam bahaya, apa lagi tendangan Bhok Gun masih terasa bekasnya, pinggangnya masih nyeri dan membuat sebelah kakinya tidak dapat bergerak selincah kaki yang lain. Akan tetapi, ia mengambil keputusan nekat untuk membela diri sampai titik darah terakhir dan tidak akan sudi menyerah!

Pada saat itu, ketika Bi Lan berada dalam keadaan terancam dan gawat, muncullah seorang pemuda perkasa. Pemuda ini muncul sambil membentak, "Sekumpulan laki-laki mengeroyok seorang wanita muda, sungguh amat memalukan. Hanya laki-laki berwatak pengecut saja yang sudi melakukan hal seperti ini!"

Bhok Gun terkejut dan cepat memandang. Juga Bi Lan mengerling ke arah orang yang baru muncul itu dan jantungnya berdebar ketika ia mengenal pemuda tinggi besar itu. Pemuda itu bukan lain adalah pemuda perkasa yang pernah mengagumkan hatinya ketika pemuda itu menolong keluarga sepasang mempelai dari Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya. Kini pemuda perkasa itu tiba-tiba saja muncul untuk menolongnya!

Beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang sudah menerjang maju untuk merobohkan pemuda yang dianggap lancang itu. Akan tetapi, segera terdengar teriakan-teriakan kaget ketika pemuda itu dengan mudahnya menendangi dan menangkapi orang-orang itu dan melempar-lemparkan mereka seperti orang melemparkan kayu bakar saja.

"Keparat, berani kau mencampuri urusan kami?" Bhok Gun marah sekali dan menerjang ke arah pemuda itu, menggunakan tangan kanan memukul ke arah kepala.

Serangannya ini selain cepat, juga kuat sekali karena dalam kemarahannya Bhok Gun sudah mengerahkan tenaga yang besar. Pemuda itu mengenal serangan ampuh, maka dia pun memasang kuda-kuda dan mengangkat lengan kanan menangkis.

"Dukkk...!"

Dua tenaga besar bertemu dan akibatnya amat mengejutkan hati Bhok Gun karena dia terdorong dan terlempar ke belakang oleh tenaga yang amat dahsyat! Tentu saja dia tidak tahu bahwa lawannya itu telah mewarisi tenaga raksasa dari ayah kandungnya, yaitu Cu Kang Bu yang berjuluk Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati).

Pemuda itu adalah Cu Kun Tek, jago muda dari Lembah Naga Siluman itu. Sebetulnya, kalau diukur ilmu silat di antara mereka, tingkat Bhok Gun masih lebih tinggi dari pada tingkat yang dikuasai Kun Tek. Tetapi, tadi Bhok Gun mengadu tenaga dan akibatnya dia kalah kuat sehingga dia merasa gentar, mengira bahwa pemuda tinggi besar ini memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya.

Melihat pemuda tinggi besar itu sudah bertanding melawan Bhok Gun, Bi Lan kemudian mempergunakan kesempatan baik ini untuk bergerak menyerang para pengepungnya, yaitu lima orang perwira tadi. Lima orang yang pernah merasakan kehebatan tangan Bi Lan menjadi gentar dan menjauhkan diri.

"Nona, mari kita lekas pergi!" Kun Tek berseru nyaring sambil merobohkan dua orang pengepung dengan tendangan-tendangannya.

Kegagahan Kun Tek tidak saja membuat gentar hati Bhok Gun, akan tetapi juga para pengepung menjadi ketakutan. Baru menghadapi nona itu saja mereka tadi merasa kewalahan untuk mengalahkannya, apa lagi sekarang muncul seorang pemuda tinggi besar yang demikian gagah perkasa. Karena merasa gentar, mereka tidak banyak bergerak untuk menghalangi ketika Bi Lan dan Kun Tek berlompatan keluar dari pekarangan itu.

Bhok Gun serdiri tidak melakukan pengejaran. Pertama adalah karena dia sendiri meragukan apakah dia akan dapat menang menghadapi Bi Lan dan pemuda tinggi besar itu walau pun dia dibantu oleh para perwira dah anggota Ang-i Mo-pang, dan ke dua karena dia tidak melihat pedang pusaka di tangan Bi Lan, dia pun tidak terlalu bernafsu untuk melakukan pengejaran.

Dia memang jatuh hati kepada Bi Lan yang dianggapnya amat manis menggiurkan. Terutama sekali karena gadis itu tidak mau menyerah dan tidak semudah wanita lain untuk ditundukkan, maka justru sikap inilah yang menambah daya tarik pada diri Bi Lan baginya. Andai kata Bi Lan mau, agaknya dia akan suka mempunyai seorang kawan hidup tetap, seorang isteri, seperti gadis itu. Wanita-wanita seperti Bi-kwi hanyalah menjadi teman bermain-main dan mencari kepuasan nafsu belaka, bukan untuk menjadi isteri dan ibu anak-anaknya. Akan tetapi Bi Lan menolaknya, bahkan nampak benci kepadanya.

Sementara itu, Bi Lan terus melarikan diri bersama permuda tinggi besar itu. Tidak tahu siapa di antara mereka yang memilih jalan, karena keduanya hanya menurutkan jalan kecil yang menuju ke utara itu saja. Akan tetapi setelah mereka merasa yakin bahwa pihak musuh tidak melakukan pengejaran, terpaksa mereka mengurangi kecepatan lari mereka dan hanya melanjutkan dengan jalan kaki biasa karena cuaca malam itu cukup gelap. Hanya bintang-bintang dan sepotong bulan di langit saja yang menurunkan sinar penerangan remang-remang.

Keduanya tidak banyak cakap, hanya melanjutkan perjalanan sampai akhirnya Bi Lan berhenti. Pemuda itu pun ikut berhenti. Mereka kini berada di sebuah jalan kecil yang membelah persawahan yang luas. Sunyi sekali di situ. Tidak nampak dusun di sekitar tempat itu. Kalau ada, tentu nampak lampu-lampu penerangan rumah-rumah mereka. Sunyi sepi dan tidak ada sedikit pun angin sehingga batang-batang gandum di kanan kiri jalan itu tidak ada yang bergerak. Tak ada apa pun yang bergerak kecuali berkelap-kelipnya laksaan bintang di langit dan suara yang terdengar hanya jengkerik dan bunyi katak yang saling bersahutan.

"Engkau siapakah?" Bi Lan bertanya, merasa agak tidak enak karena sejak tadi pemuda itu diam saja membisu, padahal ia tahu benar bahwa pemuda itu tidak gagu.

"Namaku Cu Kun Tek," jawab Kun Tek sambil menatap wajah yang walau pun hanya nampak remang-remang namun tetap saja mudah dilihat kecantikannya. Garis-garis dan lengkung lekuk wajah itu jelas membayangkan kemanisan dan sepasang mata yang jeli itu masih nampak memantulkan sinar bintang-bintang yang redup.

Jawaban yang singkat ini pun membuat Bi Lan mengerutkan alis. Sikap pemuda yang pendiam ini seakan-akan menunjukkan rasa tidak suka kepadanya. Sama sekali tidak ramah. Kalau begitu, kalau memang tidak menyukainya, kenapa tadi menolongnya?

"Kenapa kau membantuku?" Pertanyaan dalam hati itu keluar melalui mulutnya, seperti orang menuntut.

"Engkau seorang gadis muda, dikeroyok banyak pria, tentu saja aku membantumu." Jawaban ini pun singkat saja.

Suasana menjadi kaku. Bi Lan ingin meninggalkan pemuda itu, akan tetapi bagaimana pun juga, pemuda itu mendatangkan rasa kagum di hatinya dan sudah menolongnya, rasanya tidak pantas kalau ia pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri. Akan tetapi pemuda itu tidak bertanya, agaknya tidak ingin mengenalnya!

"Apa kau tidak tanya namaku?"

Barulah pemuda itu kelihatan bergerak seperti orang gelisah atau orang yang merasa canggung dan malu-malu. "Ehhh, siapakah namamu? Engkau masih begini muda akan tetapi ilmu silatmu sudah begitu hebat dan sanggup menghadapi pengeroyokan banyak orang lihai."

"Namaku Can Bi Lan. Eh, kau ini sombong amat, menyebutku gadis yang masih muda sekali. Apakah engkau ini sudah kakek-kakek? Kukira aku lebih tua darimu!" kata Bi Lan yang merasa mendongkol juga mendengar kata-kata pemuda itu.

"Tidak mungkin!" Kun Tek membantah. "Berapakah usiamu? Aku berani bertaruh bahwa aku jauh lebih tua."

"Hemm, kiranya engkau hanya seorang penjudi! Sampai-sampai urusan usia saja kau pertaruhkan."

"Aku tidak pernah berjudi selama hidupku!" Kun Tek membantah, mendongkol juga melihat sikap gadis yang ditolongnya ini demikian galak.

"Memang tak mungkin engkau bisa berjudi, engkau masih seperti kanak-kanak. Kutaksir usiamu paling banyak lima belas tahun, jadi aku masih lebih tua dua tahun." Tentu saja Bi Lan hanya sengaja menggoda karena hatinya merasa dongkol, tidak benar-benar mengira usia pemuda itu lima belas tahun.

Cu Kun Tek balas menggoda. "Aha, kiranya baru tujuh belas tahun! Masih amat muda, hampir kanak kanak. Aku sendiri sudah berusia sembilan belas tahun."

Keduanya berdiam kembali dan keadaan menjadi amat sunyi. Suara jengkerik kembali terdengar nyaring diselingi suara katak. Bi Lan tak dapat menahan lagi perasaan tidak enaknya. "Jadi engkau membantuku hanya karena melihat aku seorang perempuan muda, setengah kanak-kanak, dikeroyok banyak pria?"

"Bukan anak kecil, melainkan masih amat muda akan tetapi sudah amat lihai!" Kun Tek berkata cepat.

"Baiklah, seorang perempuan muda dan perempuan muda ini mengucapkan terima kasih atas bantuanmu, walau pun sesungguhnya aku sama sekali tidak mengharapkan dan tidak membutuhkan bantuanmu. Nah, selamat tinggal!"

Dengan marah Bi Lan lalu meloncat dan lari dari tempat itu. Ia meloncat ke depan, dan terdengarlah suara keras ketika ia terperosok ke dalam lubang yang besar di tepi jalan itu. Lubang itu penuh dengan tanah lumpur, sehingga tentu saja pakaian dan badannya penuh lumpur dan ia terkejut bukan main.

"Aduhhhh...!"

Dengan sekali loncatan saja Kun Tek sudah berada di tepi lubang dan mengulurkan tangan, memegang pergelangan tangan Bi Lan dan menariknya keluar. Melihat betapa seluruh pakaian Bi Lan kotor dan gadis itu menahan rasa nyeri pada tumitnya yang agaknya terkilir, Kun Tek menjadi khawatir sekali.

"Ah, kenapa tidak hati-hati? Gelap begini mana bisa melihat jalan? Apanya yang sakit? Kakimu? Mungkin terkilir, mana kubetulkan letak ototnya kembali."

Tanpa banyak cakap lagi Kun Tek lalu memegang kaki kiri Bi Lan, mengurut bagian pergelangan kaki dan memang jari-jari tangannya cekatan sekali dan penuh tenaga. Pemuda ini telah mempelajari ilmu pengobatan dari ayahnya, terutama sekali mengenai penyambungan tulang dan ilmu pijat otot. Biar pun pijatan-pijatan itu menimbulkan rasa nyeri, Bi Lan hanya menggigit bibir dan merintih lirih sampai akhirnya otot-ototnya pulih kembali dan rasa nyeri itu pun menghilang.

"Bagaimana? Sudah enakan?"

Bi Lan hanya mengangguk.

"Wah, pakaianmu kotor semua. Mari kita mencari sumber air bersih di mana kau dapat mencuci tubuhmu dan pakaianmu. Lain kali yang hati-hatilah, di tempat gelap yang tidak dikenal lagi."

Bi Lan bangkit berdiri dibantu oleh Kun Tek yang memegang lengannya. "Engkau sih!" Bi Lan mengomel. "Sikapmu tadi kaku dan tidak bersahabat, menimbulkan rasa dongkol dalam hatiku."

"Tidak bersahabat? Aih, bukankah aku telah membantumu? Maafkanlah, sesungguhnya aku bersikap kaku karena aku ingin bersikap sopan kepadamu..."

Meski mendongkol karena pakaian dan tubuhnya kotor penuh lumpur, Bi Lan terheran-heran mendengar pengakuan itu.

"Bersikap sopan?" Ia mendesak, menuntut penjelasan.

Kun Tek menundukkan mukanya, merasa canggung dan malu, lalu mengangkatnya kembali dan memandang wajah gadis itu dalam keremangan malam. "Kita baru saja berkenalan, kalau aku bersikap terlalu ramah, bukankah engkau akan menyangka yang bukan-bukan, bahwa aku seorang laki-laki yang ceriwis dan kurang ajar. Aku terus terang saja, aku belum pernah berkawan dengan seorang gadis, dan menurut ibuku, sebagai seorang pemuda aku tidak boleh bersikap... ehh, menjilat terhadap wanita..."

Bi Lan ingin tertawa keras, akan tetapi ditahannya dan ia hanya tersenyum. Pemuda ini sungguh seorang yang berwatak aneh dan jujur! "Siapa ingin kau menjilat dan bermuka-muka? Aku malah akan benci sekali jika engkau bermuka-muka dan bermanis di mulut saja."

Cu Kun Tek merasa betapa jantungnya berdebar girang. Gadis ini sekarang tidak marah lagi!

"Adik Bi Lan, mari kita mencari air bersih untuk engkau mencuci tubuh dan pakaianmu." Dia mendahului mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan sebatang anak sungai yang cukup bersih.

Karena malam itu hanya diterangi bintang-bintang yang remang-remang, Bi Lan tidak merasa canggung atau malu untuk membersihkan tubuhnya, lalu menanggalkan semua pakaiannya yang sudah berlumuran lumpur itu dan berganti dengan bakaian bersih. Untung pakaiannya yang berada di dalam buntalan tidak terkena lumpur. Selama ia membersihkan dirinya, Kun Tek menjauhkan diri sampai tidak dapat melihat gadis itu dalam keremangan malam. Dia membuat api unggun agak jauh dari situ, di bawah sebatang pohon.

Tak lama kemudian, Bi Lan datang mendekat dan duduk dekat api unggun. Rambutnya masih basah, tapi pakaiannya sudah berganti dengan pakaian bersih, sedangkan yang kotor sudah dicucinya, kini dibentangkannya di atas cabang pohon. Mukanya nampak segar kemerahan tertimpa cahaya api unggun dan diam-diam Kun Tek merasa kagum bukan main. Gadis ini memang manis dan gagah perkasa, juga amat sederhana, wajar dan lugu dalam gerak-geriknya.

"Dingin...?" tanya Kun Tek karena melihat betapa kini gadis itu berusaha mengeringkan rambutnya yang masih basah. Hawa udara malam itu memang agak dingin.

Bi Lan mengangguk. "Tadi memang airnya dingin sekali. Akan tetapi sekarang tidak lagi, hangat dan nyaman dekat api unggun ini."

Mereka berdiam diri agak lama, kadang-kadang saling pandang saja sekilas. Sikap Kun Tek yang canggung dan malu-malu, yang tidak berani menentang pandang mata gadis itu terlalu lama, menularkan perasaan canggung pada hati gadis itu.

Biasanya Bi Lan tidak pernah merasa canggung berhadapan dengan siapa pun. Ia polos dan wajar. Akan tetapi melihat betapa pemuda tinggi besar yang gagah perkasa ini agaknya malu-malu kepadanya, hal itu membuatnya sadar bahwa ada sesuatu yang tidak wajar dan dia pun menjadi malu-malu pula.

Ia sendiri merasa heran mengapa ada perasaan seperti ini terhadap pemuda yang baru dikenalnya ini, seolah-olah pemuda ini merupakan suatu keistimewaan. Padahal, apa bedanya pemuda ini dengan orang-orang lain? Mungkin karena sikap Kun Tek itulah! Dan ia pun tidak mengerti mengapa seorang pemuda gagah perkasa seperti ini bersikap demikian pemalu dan canggung terhadapnya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga