SULING NAGA : JILID-20


Dan suara keruyuk perut pemuda itu mengingatkannya bahwa ia pun sebenarnya sudah lapar sekali, apa lagi karena tadi berkelahi sehingga ia kehabisan tenaga, juga bekas tendangan Bhok Gun pada pinggangnya masih terasa nyeri. Ketika ia membersihkan tubuhnya tadi, ia meraba pinggangnya dan ternyata kulit di bagian itu matang biru dan memar.

"Aih, perutku lapar sekali," katanya sambil menekan senyum di hatinya. "Kau...?"

Pemuda itu mengangguk. "Aku juga lapar."

"Dan pinggangku terasa nyeri, tadi kena tendang si jahanam Bhok Gun."

"Bhok Gun? Laki-laki yang lihai itu? Orang apakah dia dan mengapa kau tadi dikeroyok? Siapa pula engkau ini, adik Bi Lan? Dari perguruan mana dan dari mana hendak ke mana?"

Kini Bi Lan memperoleh kesempatan untuk tertawa, melepas semua kegelian hati tanpa khawatir menyinggung seperti kalau ia mentertawakan keruyuk perut pemuda itu.

"Hi-hi-hik, kau menghujankan pertanyaan seperti itu. Kalau kujawab semua, tentu akan membuat perutku semakin lapar saja."

"Ohh, aku masih mempunyai dua buah bakpao yang kubeli siang tadi." Pemuda itu melepaskan buntalan pakaiannya dan memang dia mempunyai dua buah bakpao yang cukup besar, yang dibungkus dalam kertas putih, "Sayang bakpao ini sudah dingin, akan tetapi masih baik." Dia menyerahkan bakpao itu kepada Bi Lan.

Tanpa malu-malu lagi Bi Lan mengambil sebuah dan makan dengan lahap. Bakpao itu memang enak, lunak, dan dagingnya gurih. Kun Tek memandang dengan girang melihat betapa gadis itu makan demikian enaknya sehingga dia tidak tega untuk makan bakpao yang ke dua. Setelah bakpao itu habis dimakan Bi Lan, Kun Tek menyerahkan lagi yang ke dua.

"Nih, makanlah ini, nona. Engkau lapar sekali."

Bi Lan memandang bakpao itu dengan mata masih ingin, karena selain bakpao itu enak, juga ia lapar sekali, belum cukup hanya oleh sebuah bakpao tadi. Akan tetapi ia teringat akan berkeruyuknya perut Kun Tek, maka ia menggeleng kepala.

"Tidak, engkau sendiri juga lapar. Makanlah yang itu."

"Aku dapat bertahan sampai besok, adik Bi Lan..."

Bi Lan tertawa dan pemuda itu memandang khawatir. Apa lagi yang kini ditertawakan, pikirnya.

"Hi-hik, Cu Kun Tek, engkau ini memang orang aneh. Perut lapar berpura-pura lagi, dan bagaimana pula itu caramu memanggil aku. Sebentar adik, sebentar nona. Mengapa susah-susah amat sih? Namaku Bi Lan, panggil saja namaku seperti aku memanggil namamu Kun Tek. Kan lebih santai?"

Kun Tek tersenyum dan baru sekali ini Bi Lan melihat senyumnya. Wajah yang gagah itu tidak berapa menyeramkan kalau tersenyum. Memang tampan walau pun kulit muka itu agak gelap kehitaman.

"Maaf, aku memang canggung menghadapi wanita. Belum pernah punya teman wanita sih. Baiklah, aku memanggilmu Bi Lan saja. Nih, kau makan saja ini, Bi Lan. Aku sudah sering kali menahan lapar, kalau sampai besok saja masih kuat."

"Tidak, sedikitnya engkau harus makan sebagian, baru aku mau. Aku malu kalau harus menjadi orang yang pelahap dan tamak. Aku tadi mendengar perutmu berkeruyuk, tak perlu berpura-pura lagi."

Terpaksa Kun Tek mengalah dan membagi bakpao itu menjadi dua. Mereka lalu makan bakpao dan agaknya bukit es yang menghalang di antara mereka kini sudah mencair sehingga mereka dapat bercakap-cakap dengan santai tanpa merasa sungkan-sungkan lagi seperti tadi.

"Bi Lan, sekarang ceritakanlah tentang dirimu, tentang peristiwa pengeroyokan tadi."

"Nanti dulu," bantah Bi Lan, kini merasa nyaman setelah perutnya kemasukan bakpao satu setengah potong dan kehangatan api unggun sungguh nikmat rasanya. "Aku ingin mendengar lebih dulu tentang kau, terutama sekali tentang ibumu yang menasehatkan bahwa engkau tidak boleh bermuka-muka kepada wanita. Siapakah ayah ibumu dan siapa gurumu?"

Kun Tek menarik napas panjang. Biasanya dia tidak suka memperkenalkan namanya karena menurut ayahnya, nama besar di dunia kang-ouw hanya memancing datangnya banyak musuh dan lawan saja. Karena itulah dalam peristiwa di dusun itu pun dia tidak mau memperkenalkan nama.

Sebagai putera tunggal majikan Lembah Naga Siluman, tentu saja ada sedikit perasaan manja dalam hati Kun Tek, akibat kemanjaan yang diberikan ibunya, dan ada pula sifat sedikit tinggi hati. Akan tetapi dia sendiri merasa heran kenapa kini berhadapan dengan Bi Lan, dia menjadi lembut dan mau saja mengalah.

"Guruku adalah ayah ibuku sendiri," dia mulai bercerita. "Ayahku bernama Cu Kang Bu dan tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Aku dalam perjalanan merantau dan kebetulan sekali aku melihat peristiwa di dusun itu dan lalu turun tangan membantumu melihat kau dikeroyok begitu banyak orang lihai. Nah, sekarang giliranmu bercerita."

"Wah, sedikit amat kau cerita tentang dirimu!"

"Habis, tidak ada apa-apa lagi yang patut diceritakan, Bi Lan."

Orang ini sungguh tidak ingin menonjolkan diri, pikir Bi Lan yang merasa semakin suka kepada Kun Tek.

"Dan perbuatanmu di dusun ketika menolong sepasang pengantin dusun itu kau anggap tidak patut diceritakan?"

Kun Tek membelalakkan matanya memandang gadis itu. "Ehhh? Kau juga tahu tentang peristiwa itu?"

"Tentu saja, dari awal sampai akhir. Sejak kau memasuki ruangan itu, menghajar Phoa Wan-gwe dan para tukang pukulnya, sampai engkau meninggalkan ruangan tanpa memperkenalkan diri." Bi Lan tersenyum. "Engkau sungguh gagah, Kun Tek."

Kun Tek menundukkan mukanya, agak tersipu. "Ahhh, perbuatan seperti itu kan sudah seharusnya kita lakukan? Kalau tidak kita lakukan, lalu untuk apa kita bersusah payah mempelajari ilmu dan memiliki kepandaian silat? Nah, aku siap mendengarkan ceritamu, Bi Lan."

"Pertama-tama, aku sudah tidak punya ayah ibu lagi."

"Aduh kasihan! Apa yang terjadi dengan mereka?"

"Mereka telah meninggal dunia, tewas terbunuh orang-orang jahat ketika aku masih kecil."

"Ahhh! Siapakah orang-orang jahat itu, Bi Lan? Aku akan membantumu menghukum mereka itu!"

Bi Lan tersenyum. "Ehh, bagaimana engkau begitu sembrono, Kun Tek? Bagaimana kalau keluargaku yang jahat, lalu mereka yang membunuh ayah ibuku itu yang benar dan baik?"

"Mana mungkin. Bukankah engkau tadi yang mengatakan sendiri bahwa ayah ibumu dibunuh orang jahat?"

"Itu kan aku yang mengatakan, sebab mereka telah membunuh orang tuaku. Siapa tahu mereka juga mengatakan bahwa justru kami orang jahatnya. Bagaimana engkau berani mempercayai aku begitu saja?"

Cu Kun Tek tersenyum. "Memang benar kata-katamu, Bi Lan. Semua orang, baik atau buruk, tentu akan mengatakan jahat kepada musuhnya. Akan tetapi aku kan sudah berhadapan denganmu dan aku yakin bahwa orang seperti engkau ini tidak mungkin jahat."

"Kenapa engkau begitu yakin?"

Kun Tek menatap wajah gadis itu. "Karena sikapmu, karena wajahmu, karena matamu dan mulutmu... ahhh, sudahlah, Bi Lan, kau lanjutkan ceritamu. Mengapa orang tuamu dibunuh orang jahat?"

"Pada waktu aku masih kecil, saat berusia sepuluh tahun, bersama ayah ibu aku pergi meninggalkan kampung halaman kami di Yunan Selatan karena di sana dilanda perang. Di tengah jalan, kami dihadang sepasukan orang Birma. Ayah ibu terbunuh oleh mereka dan aku sendiri ditolong oleh tiga orang sakti yang kemudian mengambil aku sebagai murid dan mereka bertiga telah membasmi semua orang yang telah membunuh orang tuaku itu."

"Ahh, syukurlah kalau musuh-musuhmu sudah terbasmi. Siapakah tiga orang sakti yang menjadi gurumu itu?"

"Mereka berjuluk Sam Kwi."

Kun Tek tidak menyembunyikan perasaan kagetnya mendengar nama itu. Dia pernah mendengar dari ayahnya tentang tokoh-tokoh kaum sesat di dunia persilatan, dan di antaranya yang menonjol adalah nama Sam Kwi.

"Kau… kau maksudkan... Sam Kwi... para datuk kaum sesat itu?" tanyanya ragu sambil memandang wajah Bi Lan.

Bi Lan tersenyum mengangguk. "Benar sekali. Nah, engkau tentu mulai meragukan pendapatmu bahwa aku orang-orang baik sekarang."

Kun Tek menggeleng kepala. "Aku tidak percaya! Sungguh tidak mungkin seorang gadis seperti engkau ini menjadi murid tiga orang datuk sesat yang jahat." Dia berhenti sebentar tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah gadis itu, lalu melanjutkan, "Seorang gadis yang berwatak gagah dan memiliki sifat baik seperti engkau tentu tidak akan mau menjadi murid datuk-datuk sesat yang kabarnya amat jahat seperti iblis itu. Aku tidak percaya."

Bi Lan tersenyum. "Kun Tek, coba bayangkan ini. Andai kata engkau sendiri menjadi aku, dalam usia sepuluh tahun, melihat ayah ibu dibunuh orang-orang jahat, kemudian engkau sendiri diselamatkan oleh tiga orang datuk itu, yang juga membalaskan sakit hatimu dengan membasmi semua penjahat itu, dan lalu tiga orang itu memeliharamu, mendidikmu dengan ilmu silat, apakah engkau akan menolaknya?" Dia memandang tajam. "Boleh jadi Sam Kwi amat jahat terhadap orang-orang lain, akan tetapi terhadap diriku mereka itu baik sekali." Bi Lan masih merasa berhutang budi kepada tiga orang kakek itu, maka kepada siapa pun juga ia tidak sudi menceritakan usaha mereka untuk memperkosanya.

Kun Tek mengangguk-angguk, dapat membayangkan keadaan gadis itu dan dia pun tak dapat menyalahkannya, bahkan kini dapat mengerti mengapa seorang gadis seperti Bi Lan ini menjadi murid Sam Kwi yang terkenal jahat. Makin heranlah hatinya. Kalau Bi Lan menjadi murid tiga orang datuk sesat, kenapa gadis ini tidak mengikuti jejak guru-gurunya dan bahkan menjadi seorang gadis yang berwatak gagah dan begini baik budi?

"Aku mengerti sekarang. Bi Lan dan maafkan kata-kataku tadi. Dan sekarang, ceritakan kenapa engkau dikeroyok oleh orang-orang lihai itu? Siapakah mereka?"

"Lelaki yang lihai sekali itu, yang telah menendang pinggangku, masih terhitung seorang suheng-ku sendiri..."

"Ehhh...?" Kembali Kun Tek terkejut, akan tetapi dia segera teringat siapa adanya guru-guru gadis ini, maka dia pun tidak begitu heran lagi. "Siapa dia?"

"Namanya Bhok Gun, dia cucu murid mendiang Pek-bin Lo-Sian, paman guru dari Sam Kwi. Dia memang memusuhiku dan tadi dia ingin menangkapku, dibantu oleh para anak buahnya, yaitu para anggota Ang-i Mo-pang, dan dibantu lagi oleh para perwira yang aku sendiri tidak tahu siapa dan dari mana datangnya."

"Sungguh mengherankan keadaanmu, Bi Lan. Engkau, seorang gadis perkasa yang baik budi, bukan saja menjadi murid orang-orang seperti Sam Kwi, akan tetapi juga dimusuhi oleh seorang suheng sendiri! Kenapa dia memusuhimu?"

"Karena dia cinta padaku."

"Wah? Apa lagi ini? Dia cinta padamu maka dia memusuhimu? Aku tidak mengerti."

"Dia cinta padaku, itu menurut pengakuannya dan dia hendak memaksa aku menjadi isterinya, sekutunya untuk bekerja sama membantu seorang pembesar di kota raja. Aku menolak dan dia lalu memusuhiku."

"Hemmm, dan itu dia katakan mencinta? Mana ada cinta macam itu?" Kun Tek berseru marah.

Melihat kemarahan pemuda itu, Bi Lan tersenyum dan tertarik untuk membicarakan soal cinta yang juga tidak dimengertinya itu dengan pemuda ini. "Kun Tek, engkau lebih tua dariku dua tahun, tentu engkau lebih berpengalaman dan tahu tentang cinta. Apa sih sebenarnya cinta itu? Dan bagaimana seharusnya cinta itu?"

Kun Tek sering kali bicara tentang kehidupan, tentang cinta dan sebagainya dengan ibunya. Sekarang dia mengerutkan alisnya, sikapnya seperti seorang guru besar sedang memikirkan persoalan yang amat rumit, kemudian berkata, "Cinta itu sesuatu yang suci, mencinta berarti tidak akan memusuhi orang yang dicinta. Mencinta orang berarti ingin melihat yang dicintanya itu hidup berbahagia."

"Bagaimana kalau orang yang dicinta tidak membalas?" Dara ini teringat akan Hong Beng yang mengaku cinta kepadanya dan yang tidak dibalasnya. "Apakah dia tidak akan merasa kecewa dan marah seperti halnya Bhok Gun itu?"

"Hemm, tentu saja kecewa dan patah hati, akan tetapi tidak marah dan tidak membenci orang yang menolak cintanya. Mungkin yang ada hanya duka dan kecewa. Kalau dia marah-marah lalu memusuhi orang yang dicintanya seperti yang dilakukan Bhok Gun itu, jelas dia itu tidak mencinta dan dia jahat sekali!"

Bi Lan menahan ketawanya melihat betapa pemuda itu menarik muka seperti seorang guru besar memberi kuliah. "Dan bagaimana kalau engkau sendiri yang jatuh cinta? Bagaimana kalau engkau mencinta orang? Apa yang akan kau lakukan kalau orang yang kau cinta itu tidak membalas cintamu, Kun Tek?"

"Aku tidak akan jatuh cinta!" Jawab Kun Tek dengan singkat dan tegas, dan mukanya berubah merah.

"Begitukah? Akan tetapi seandainya engkau yang jatuh cinta, lalu bagaimana sikapmu terhadap orang yang kau cinta itu kalau ia tidak membalas cintamu?"

"Aku akan tetap mencintanya, melindunginya dengan taruhan nyawa, aku ingin melihat ia berbahagia."

"Biar pun ia tidak menjadi isterimu dan biar pun ia hidup di samping laki-laki lain?"

"Ya..."

"Dan engkau akan merana selama hidupmu, kecewa dan putus asa?"

"Tidak, aku...aku… ahhh, aku tidak akan jatuh cinta! Jatuh cinta itu suatu kebodohan!"

"Wah, ini sesuatu yang baru bagiku!" Bi Lan berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan. Ternyata Kun Tek ialah orang yang penuh kejutan dalam membicarakan soal cinta. "Jatuh cinta itu suatu kebodohan? Mengapa?"

"Karena jatuh cinta itu sama dengan mengundang datangnya kesengsaraan dan duka nestapa. Sekali orang jatuh cinta, berarti ia telah terperosok dengan sebelah kakinya ke dalam jurang yang akan membuat hidupnya merana."

Bi Lan sengaja menarik mukanya seperti orang merasa ngeri. "Ihhh! Jadi, menurut pendapatmu, tidak ada orang berbahagia karena mencinta dan dicinta?"

Kun Tek teringat akan keadaan ayah ibunya. Ia tahu bahwa dalam banyak hal, ayahnya selalu mengalah kepada ibunya, dan ayahnya telah banyak menyimpan kedongkolan hatinya karena kekerasan hati dan kerewelan ibunya, dan semua itu dilakukan ayahnya karena dia mencinta isterinya. Dia menggeleng kepala.

"Tidak ada! Cinta mendatangkan ikatan yang membuat orang selalu menderita duka. Dan kesetiaan seorang wanita terhadap kekasihnya sekali waktu akan teruji dan runtuh, dan sang pria yang akan menderita patah hati karena cinta, tenggelam dalam duka."

Bi Lan merasa tersinggung dan menahan kemarahannya. Dia masih tersenyum ketika bertanya, "Jadi, menurut pendapatmu, semua wanita itu tidak setia dan oleh karenanya engkau tidak mau jatuh cinta?"

"Begitulah. Aku hanya akan jatuh cinta kalau ada wanita yang setia sampai mati, yang lemah-lembut dan baik budinya, cantik jelita lahir dan batin, yang mencinta suaminya dengan seluruh tubuh dan jiwanya, yang selalu menyenangkan hati suaminya, tidak ada cacat celanya..."

"Perempuan begitu bukan manusia! Tetapi harus dipesan langsung ke surga, di antara bidadari dan malaikat! Pendapat seperti itu hanyalah pendapat orang gila yang tolol, sombong dan keras kepala."

Melihat Bi Lan sudah bangkit berdiri, membanting kaki dan mukanya membayangkan kemarahan itu, Kun Tek terkejut dan terheran-heran. "Kau... kau marah-marah, Bi Lan? Kenapa?"

Bi Lan segera teringat akan keadaan dirinya dan dia sadar kembali. Kenapa dia harus marah-marah? Biarlah pemuda ini berpendapat apa yang disukainya, biar pun pendapat itu tolol dan merendahkan kaum wanita. Hemm, ia ingin sekali membuat pemuda itu kecelik, membuat pemuda itu tersandung pendapatnya sendiri dan bertekuk lutut! Ia pun menarik napas panjang dan duduk kembali.

"Maaf, aku lupa diri... ahhh, aku sudah mengantuk, aku ingin tidur."

"Tidurlah, beristirahatlah, biar aku yang berjaga di sini."

Bi Lan kemudian merebahkan dirinya miring di dekat api unggun, berbantal buntalan pakaiannya. Melihat ini, Kun Tek cepat membuka buntalan pakaiannya. "Aku, membawa selimut tipis, kau pakailah ini," katanya sambil menyerahkan selimut itu.

"Tidak, aku tidak perlu selimut. Api itu sudah cukup hangat," kata Bi Lan. Suaranya masih ketus karena hatinya masih panas. Kalau dia memaksa diri untuk tidur, hal itu hanyalah untuk mencegah agar dia jangan sampai lupa diri dan marah-marah lagi.

"Terserah kepadamu, Bi Lan," berkata Kun Tek yang duduk kembali termenung sambil memandang api unggun, menambahkan kayu bakar yang tadi dikumpulkannya.

Ia melirik ke arah tubuh Bi Lan. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Oleh karena rebah miring, nampak jelas lekuk lengkung tubuh gadis itu yang bagaikan setangkai bunga yang sudah mulai mekar. Rambutnya yang tadinya dibiarkan terurai menutupi sebagian lehernya, dan di antara celah-celah gumpalan rambut nampak kulit leher yang mulus dan kuning lembut, bagai mengeluarkan kehangatan, seperti mengeluarkan kehangatan yang lebih nyaman dari pada kehangatan api unggun. Rambut itu terus menyelimuti pundak dan punggung.

Tiba-tiba Bi Lan membuka mata dan cepat-cepat Kun Tek memutar leher mengalihkan pandangannya kembali kepada api unggun. Dia tidak mau gadis itu melihatnya sedang memperhatikan.

"Kun Tek, benarkah engkau takkan jatuh cinta kecuali kalau ada gadis... yang... bagai mana tadi? Gadis yang setia sampai mati, yang lemah lembut dan baik budi, yang cantik lahir batin, yang mencinta dengan tubuh dan nyawa. Bagaimana kalau ada gadis seperti itu turun dari kahyangan dan menjumpaimu? Engkau akan jatuh cinta kepadanya?”

"Mungkin ya, mungkin juga tidak."

"Lho! Kok mungkin juga tidak? Bagaimana pula ini?" Bi Lan kembali bangkit duduk saking herannya mendengar jawaban itu. Kantuknya hilang seketika dan ia telah duduk memandang pemuda itu dengan mata terbelalak.

"Tergantung cocok atau tidaknya seleraku."

Hampir saja Bi Lan memukul pemuda itu, akan tetapi ia masih menahan perasaannya dan berseru, "Engkau memang orang gi..." ia masih sempat menahan makiannya. Pemuda ini baru saja dikenalnya, belum ada satu hari, tidak baik kalau ia mengeluarkan kemarahannya secara terbuka.

"Apa...?"

"Orang aneh sekali, belum pernah aku jumpa orang seaneh kau. Hemm, sekarang aku mau tidur!" Dan dengan keras Bi Lan membanting tubuhnya kembali di atas tanah berumput, membalikkan tubuh, miring membelakangi pemuda itu dan selanjutnya tidak mau menengok lagi. Begitu mengkal rasa hatinya, gemas dan dongkol tapi ditekan dan ditahannya.

Sementara itu, Kun Tek duduk termenung memandang api. Hati dan pikirannya penuh dengan diri Bi Lan. Gadis yang aneh sekali, pikirnya, aneh dan menarik. Baru saja mengenalnya sudah berani memaki-makinya. Gila, tolol, sombong dan keras kepala!

Kalau saja dia dimaki seperti itu oleh orang lain, tanpa sebab tertentu, agaknya dia tidak akan dapat menahan diri dan akan menghajar orang itu. Akan tetapi sungguh aneh. Kenapa dia dimaki-maki oleh gadis ini dan sama sekali tidak ada rasa marah di hatinya, melainkan bingung dan menyesal? Apakah karena mendengar akan nasib gadis ini yang ayah bundanya telah mati terbunuh orang ketika masih kecil membuat dia merasa kasihan dan mengalah?

Sementara itu, Bi Lan yang tidur miring membelakangi pemuda itu, merasa mendongkol sekali. Biar pun Kun Tek tidak menujukan pandangannya tentang perempuan itu kepada dirinya, akan tetapi ia merasa mendongkol dan seperti mewakili semua perempuan yang dipandang rendah oleh Kun Tek. Sombongnya!

Ia pun merasa penasaran. Hampir semua pria yang dijumpainya, selalu memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan suka, akan tetapi Kun Tek bersikap seolah-olah dia hanya terbuat dari angin saja! Dianggap angin lalu! Tidak memperlihatkan kemarahan, tidak pernah memuji, apa lagi kelihatan tertarik. Bahkan jelas memandang rendah kepadanya ketika mengatakan bahwa dia takkan jatuh cinta kecuali kepada perempuan khayalnya tadi. Tanpa cacat cela! Serba sempurna! Phuahhh! Dengan hati penuh kemurungan dan kesebalan, akhirnya Bi Lan tidak ingat apa-apa lagi karena sudah tidur pulas.....

********************

Rasa dongkol itu agaknya tidak juga terhapus oleh tidurnya. Begitu ia terbangun dari tidurnya, Bi Lan sudah teringat lagi dan merasa tak senang dan dongkol. Akan tetapi, pada saat ia bangkit duduk dan melihat kain yang menyelimuti tubuhnya, rasa panas dongkol itu menjadi agak dingin. Semalam Kun Tek telah menyelimuti tubuhnya!

Ia menoleh ke kanan kiri. Pemuda itu tak nampak, akan tetapi buntalan pakaiannya masih berada di situ. Sinar matahari pagi telah mengusir kegelapan malam dan api unggun sudah padam, baru saja padam karena masih berasap, agaknya padam setelah ditinggalkan pemuda itu.

Bi Lan menggeliat, seperti seekor kucing betina baru bangun dari tidurnya. Dan ia pun menyeringai karena ketika ia menggeliat, terasa pinggangnya masih nyeri. Keparat Bhok Gun, dia memaki dalam hatinya. Dilipatnya kain selimut itu dan diletakkannya di atas buntalan pakaian Kun Tek, lalu ia duduk melamun.

Pemuda macam itu yang demikian sombong, perlu apa didekati, pikirnya. Menurut hatinya yang panas, ia ingin pergi sekarang juga tanpa pamit. Akan tetapi, pikirannya mengatakan lain. Terlalu enak bagi Kun Tek kalau dibiarkan mengembang kempiskan hidungnya dengan sombong, melanjutkan pendapatnya yang memandang rendah kaum wanita. Pemuda seperti itu harus diberi pelajaran, harus dibuktikan bahwa pendapatnya itu hanya timbul sebagai suatu kepongahan, kesombongan, dan gertakan atau bualan belaka. Ia harus dapat membuat dia bertekuk lutut untuk membuktikan kepalsuan pendapatnya yang sombong itu.

"Bi Lan, kau sudah bangun? Nih, lihat apa yang kudapatkan!" Tiba-tiba terdengar suara Kun Tek dari jauh dan nampak pemuda itu berlari-lari datang sambil memanggul seekor kijang muda yang sudah mati. Binatang itu dia turunkan di depan kaki Bi Lan dan dia berkata, "Bi Lan, ketika aku mandi, nampak binatang ini turun minum air di hulu sungai, maka aku berhasil merobohkannya dengan lemparan batu. Apakah kau dapat memasak dagingnya?"

Tadinya Bi Lan hendak menolak, akan tetapi dia teringat akan niat hatinya, maka dia tersenyum manis dan menjawab, "Tentu saja bisa. Tapi bumbu-bumbunya..."

"Jangan khawatir. Buntalan pakaianku itu adalah sebuah almari yang cukup lengkap. Lihat ini, ada garam, ada bawang, ada kecap, bahkan aku membawa sebuah panci," katanya gembira dan ketika dia mengangkat muka menatap wajah gadis itu, hampir saja Kun Tek terpesona.

Wajah itu, wajah yang baru bangun tidur dan belum mencuci muka, namun begitu manis luar biasa. Rambutnya yang kemarin riap-riapan itu kini sudah kering dan awut-awutan, akan tetapi menambah kemanisannya. Apa lagi gadis itu tersenyum dan nampak lesung pipit di kanan kiri mulutnya, dengan bibir yang merah basah dan kedua pipi yang agak kemerahan, sepasang mata yang begitu bening dan bersinar tajam. Bukan main!

"Kau kenapa, Kun Tek?"

"Tidak apa-apa...," pemuda itu agak panik. "Hanya... sayang sekali aku tak mempunyai beras atau gandum..."

"Kijang muda ini cukup gemuk dan kurasa dagingnya cukup untuk mengenyangkan kita, malah takkan termakan habis."

"Biar sebagian kubikin dendeng agar dapat dibawa sebagai bekal."

"Aku mau mandi dulu," kata Bi Lan.

"Pergilah, aku akan mengulitinya. Mandinya di tempat kau membersihkan tubuh dan pakaianmu semalam, Bi Lan. Airnya jernih dan sejuk."

"Baik, akan tetapi kau jangan ke sana selagi aku mandi," kata Bi Lan sambil mengerling dan menahan senyum, sikap yang manja dan menarik sekali.

Kembali lagi Kun Tek melongo, kagum melihat segala keindahan wanita yang berada di depannya itu.

"Mau apa ke sana? Aku... aku tidak sekurang ajar itu, Bi Lan."

"Siapa tahu? Laki-laki biasanya suka mengintai, biasanya memang kurang ajar," kata Bi Lan dan tanpa menanti jawaban Kun Tek, sambil terkekeh ia lalu lari menuju ke anak sungai yang berada tak jauh dari tempat itu, namun tidak nampak karena terhalang oleh sekelompok pohon.

Sambil mandi, Bi Lan mengepal tinju. "Pasti akan kujatuhkan kau, manusia sombong!" katanya.

Ia kemudian teringat betapa suci-nya, Bi-kwi, pernah bercakap-cakap tentang laki-laki dengannya, pada saat hati suci-nya itu sedang puas dan senang. Mula-mula ia yang menegur suci-nya, kenapa suci-nya suka bermain-main dengan pria, berganti-ganti pria.

"Aku suka mempermainkan pria, siapa saja yang menarik hatiku."

"Ahh, bagaimana kalau kelak ada yang menolakmu, suci? Bukankah engkau akan malu sebagai wanita yang ditolak pria?"

"Hemm, laki-laki mana yang mampu menolak? Kalau diusahakan, kita kaum wanita, asalkan tidak cacat atau buruk sekali rupanya, akan mampu menundukkan laki-laki yang mana pun juga. Betapa pun gagah dan kuatnya pria, akan mudah bertekuk lutut kalau kita hadapi dengan senyum, dengan kerling mata memikat, dengan gerak-gerik yang luwes dan menggairahkan."

Mengingat akan ucapan suci-nya itulah sekarang Bi Lan mengambil keputusan untuk menjatuhkan Kun Tek, hanya untuk membuktikan bahwa pendapat Kun Tek mengenai wanita tidak benar, bahwa Kun Tek dapat jatuh cinta kepada seorang wanita, bukan seorang perempuan khayal. Ia merasa penasaran dan ingin memberi pelajaran kepada pemuda yang dianggapnya membual dan sombong itu.

Setelah selesai mandi, Bi Lan membereskan pakaiannya, mematut-matut diri sambil menyisiri rambutnya. Ia nampak semakin segar dan cantik jelita walau pun pakaiannya sederhana ketika dengan langkah perlahan ia kembali ke tempat di mana Kun Tek sibuk menguliti kijang tadi.

"Sudah selesaikah engkau menguliti kijang itu?" tanya Bi Lan dengan suara halus dan manis.

Kun Tek yang sedang berjongkok dan sibuk itu menoleh dan mengangkat mukanya. Dengan gembira sambil diam-diam mentertawakan pemuda itu, Bi Lan melihat betapa sepasang mata pemuda itu kini kehilangan sinar yang dingin dan acuh itu. Sinar mata itu kini penuh semangat memandang kepadanya, penuh kekaguman.

Dan memang Kun Tek terpesona. Karena Bi Lan datang dari arah timur, maka sinar matahari pagi nampak di belakang gadis itu, seperti cahaya keemasan mengantar dara manis itu, membuat ia nampak gilang-gemilang seperti seorang dewi pagi turun dari kahyangan menyeberang ke bumi melalui cahaya matahari!

"Kau... kenapa, Kun Tek?" Bi Lan menegur, menahan tawanya dan hanya tersenyum manis melihat betapa pemuda itu berjongkok seperti patung memandang kepadanya, tangan kanan memegang pisau berlumur darah, tangan kiri memegang sepotong tulang.
"Mau diapakan tulang itu?"

"Apa...? Tu... tulang...?" Kun Tek tergagap.

Dan baru dia melihat bahwa dia masih memegang tulang dan baru ia sadar bahwa dia melongo seperti orang bodoh, terlongong seperti orang bengong. "Eh, ini... aku sudah selesai menguliti kijang dan sedang menyayati dagingnya. Kau... kau nampak..."

"Ya...?" Senyum itu semakin manis. "Nampak bagaimana...?"

"Anu... nampak...segar sekali!"

Bi Lan tertawa renyah dan menghampiri pemuda itu. Pesona itu membuyar dan Kun Tek menyerahkan potongan-potongan daging kepada Bi Lan. "Cukupkah sebegini? Kalau cukup, lainnya akan kubuat dendeng."

"Cukup, kita berdua menghabiskan daging sebegini pun sudah akan kenyang sekali," jawab Bi Lan.

Kun Tek sudah menyalakan lagi api unggun dan sudah menyiapkan semua keperluan masak seperti panci, bumbu-bumbunya dan dia lalu membawa kulit, tulang-tulang dan sebagian daging yang akan dibuatnya dendeng, lalu pergi agak menjauh.

Tak lama kemudian, setelah keduanya bekerja tanpa bicara, mereka pun menghadapi masakan daging kijang yang dibuat oleh Bi Lan. Semenjak kecil, Bi Lan yang melayani gurunya memang sudah biasa memasak, bahkan biasa masak bahan-bahan yang sederhana menjadi masakan yang cukup enak.

Dengan bumbu seadanya, sekarang ia telah membuat dua macam masakan saja, yaitu daging panggang dan masakan yang ada kuahnya. Dan karena mereka berdua merasa lapar sekali, ditambah suasana yang amat menyenangkan hati, keduanya makan dengan lahap. Apa lagi Kun Tek. Dia makan dengan lahap dan kelihatan nikmat sekali.

"Lunak sekali masakanmu, Bi Lan. Daging kuah ini gurih dan sedap, dan panggang dagingnya juga enak. Kau memang pandai memasak!" puji Kun Tek sambil meggerogoti daging panggang.

Bi Lan tersenyum. "Terima kasih atas pujianmu, Kun Tek. Bagaimana dengan wanita khayalmu itu, Kun Tek?"

"Wanita khayal...? Apa... apa makudmu, Bi Lan?" Kun Tek benar terkejut mendengar pertanyaan yang tak diduga-duganya itu.

"Wanita khayalmu yang tanpa cacat itu. Apakah ia pun pandai masak?" Bi Lan menatap tajam wajah Kun Tek yang kulitnya menjadi semakin gelap ketika dia teringat akan makna pertanyaan itu.

"Tentu saja... tentu saja seorang wanita harus pandai masak, kalau tidak, dia tidak lengkap menjadi seorang wanita, bukankah begitu?" Kun Tek dibesarkan di daerah barat di mana kaum wanita bertugas di dapur, tidak seperti suku bangsa di selatan yang kedudukannya terbalik, yaitu kaum prianya yang biasa memasak di dapur sedangkan para wanitanya biasa pula memikul air dan bekerja di sawah.

Mereka selesai makan dan ketika Bi Lan hendak mencuci tangannya, dia mengeluh. Ketika bangkit dari duduk di atas tanah itu, gerakan ini mendatangkan rasa nyeri yang menusuk pada pinggangnya. "Aduhhh..."

Kun Tek terkejut dan cepat menghampiri. "Kau kenapa, Bi Lan?" Dan melihat gadis itu menekan-nekan pinggangnya yang kiri, dia pun bertanya, "Apakah pinggang yang kena tendang lawan itu masih terasa nyeri?"

Bi Lan mengangguk dan menyeringai kesakitan. "Nyeri sekali pada saat aku memutar pinggang, seperti tertusuk rasanya."

"Wah, jangan-jangan ada yang terkilir di situ. Kalau terkilir harus cepat-cepat dibetulkan letak otot-ototnya, Bi Lan, kalau tidak bisa membengkak dan semakin berbahaya."

Bi Lan menatap wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam. "Engkau mau mengobati pinggangku? Malam tadi engkau sudah mengobati kakiku yang terkilir, engkau tentu ahli membetulkan otot yang terkilir."

Kun Tek tersenyum dan mengangguk. "Aku pernah mempelajarinya dari ayah. Kalau engkau mau, tentu saja aku suka sekali mencoba untuk memeriksa dan membetulkan letak otot yang terkilir."

"Tentu saja aku mau, kenapa kau bertanya lagi. Siapa orangnya diobati sampai sembuh tidak mau?"

"Tapi... untuk memeriksa dan membetulkan bagian yang terkilir, aku harus melihatnya, menyentuhnya dan membetulkannya dengan pijatan-pijatan dan urutan-urutan, aku… aku harus... menangani bagian pinggangmu yang terkilir itu."

Diam-diam Bi Lan tertawa dalam hatinya. "Kalau begitu mengapa? Nah, kau lakukanlah cepat agar nyerinya segera hilang."

Tanpa ragu-ragu lagi Bi Lan lalu sedikit menurunkan celananya di bagian kanan dan menarik ke atas bajunya di bagian itu juga sehingga nampaklah kulit pinggangnya yang putih mulus, ke bawah sampai di lekuk pinggul dan ke atas sampai pada permulaan bukit dada.

Walau pun jantungnya berdebar seperti diguncang-guncang keras, Kun Tek menekan perasaannya dan dengan sikap biasa seolah-olah dia hanya akan mengobati lengan atau kaki saja, dia mulai memeriksa bagian pinggang itu dengan jari-jari tangannya yang terlatih. Setelah memijit sana mengelus sini, tak lama kemudian dia dapat meraba dan menentukan bahwa memang ada otot yang terkilir, akan tetapi tidak berapa parah dan mungkin rasa nyeri itu hanya karena memar saking keras dan kuatnya tendangan. Akan tetapi, cukup lama baginya meraba-raba itu sehingga mukanya penuh keringat, dan terasa jelas oleh Bi Lan betapa jari-jari tangan itu gemetar dan panas dingin!

Bi Lan menahan senyum, senyum kemenangan melihat betapa pemuda itu kini mulai mengobati pinggangnya dengan tekanan dan pijatan jari-jari tangannya yang gemetar. Ketika ia menoleh, ia melihat betapa pemuda itu telah memejamkan kedua matanya!

"Aduhhh... jangan kuat-kuat... di situ nyeri...!" Bi Lan sengaja merintih, lalu bertanya dengan nada suara heran, "Kun Tek, kenapa engkau memejamkan kedua matamu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu mengejutkan Kun Tek. Dia cepat membuka matanya, akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata gadis itu, yang seolah-olah sinarnya menusuk dan menjenguk ke dalam jantungnya, dia cepat memejamkan kembali kedua matanya.

"Ah, aku sudah terbiasa, ketika belajar dulu. Dengan memejamkan kedua mata, jari-jari tanganku lebih peka..."

"Tapi saat engkau mengobati kakiku yang terkilir, matamu tidak kau pejamkan! Jangan-jangan engkau memejamkan matamu agar tidak melihat pinggangku!"

"Ahh, kenapa?" bantah Kun Tek tanpa membuka matanya.

Bi Lan tertawa dalam hatinya. "Siapa tahu, pinggangku buruk."

"Pinggangmu bagus sekali!"

"Kulitnya kasar dan hitam."

"Tidak, halus dan putih mulus."

"Mungkin bau keringatku tidak enak sehingga kau muak."

"Bau keringatmu sedap, Bi Lan."

Hampir Bi Lan tak mampu menahan ketawanya dan ia cepat menutup mulutnya dengan tangan. Ia telah menjalankan siasat seperti yang pernah didengarnya dari suci-nya, si ahli pemikat laki-laki itu. Ternyata baru sebegitu saja, ia sudah merasa dapat menguasai Kun Tek!

Memang pinggangnya masih terasa agak sakit, akan tetapi tidaklah begitu nyeri dan sebetulnya tidak perlu disembuhkan dengan pijat. Tadi ia hanya berpura-pura saja untuk memancing Kun Tek dan ternyata siasatnya itu berhasil baik. Dia berhasil membuat pemuda ini berpeluh dan gemetar, bahkan lalu memuji-mujinya.

"Sudah cukup, Kun Tek, sekarang tidak terasa nyeri lagi. Terima kasih."

Ada dua macam perasaan menyelinap di hati pemuda itu pada waktu Bi Lan berkata demikian. Ada rasa lega karena dia seperti terbebas dari ketegangan yang membuat dia berpeluh dan gemetar, akan tetapi ada rasa kecewa pula bahwa jari-jari tangannya harus meninggalkan buah pinggang yang ramping, gempal, lunak, halus dan hangat itu.

"Tidak perlu berterima kasih, Bi Lan. Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik dan sudah sepatutnya kalau kita saling menolong?"

Bi Lan mau melanjutkan siasatnya untuk mencoba dan menjatuhkan Kun Tek agar ia dapat memberi pelajaran kepada laki-laki yang sombong ini. Ia kemudian bangkit dan mengemasi buntalan pakaiannya, menggendongnya di punggung kembali.

"Sekarang telah tiba saatnya aku melanjutkan perjalananku. Selamat berpisah, Kun Tek. Engkau baik sekali dan terima kasih." Berkata demikian, Bi Lan lalu meloncat pergi.

"Ehhh, Bi Lan, nanti dulu..." Kun Tek berseru dengan kaget. Keputusan Bi Lan yang mendadak untuk meninggalkannya itu sungguh mengejutkan hatinya. "Engkau hendak ke mana?"

"Aku hendak melanjutkan perjalananku."

"Kita dapat melakukan perjalanan bersama..."

"Tidak, aku mempunyai urusan penting sekali!"

"Aku akan membantumu, Bi Lan, sampai engkau berhasil dalam urusan itu!"

Bi Lan tersenyum manis. "Engkau memang seorang yang baik budi, Kun Tek. Akan tetapi, aku merasa tidak enak kalau harus mengganggumu selalu. Di antara kita tidak ada hubungan apa-apa..."

"Kita sahabat baik!"

Bi Lan mempermanis senyumnya sehingga nampak lesung pipit di kanan kiri. Manis sekali. "Memang, engkau seorang sahabatku yang baik sekali. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa engkau harus bersusah payah selalu untukku. Nah, selamat tinggal!"

"Bi Lan...!" Kun Tek berseru akan tetapi gadis itu tidak menoleh lagi dan berlari cepat meninggalkan tempat itu.

"Bi Lan...! " Kun Tek berteriak lagi.

Dan dia pun cepat mengumpulkan barang-barangnya, berkemas sambil kadang-kadang menengok ke depan, ke arah perginya Bi Lan yang sekarang sudah tidak nampak lagi bayangannya itu. Hati Kun Tek terasa panik dan khawatir sekali kalau-kalau dia akan kehilangan gadis itu dan tidak akan bertemu lagi dengannya.

Tetapi sebelum dia berlari untuk melakukan pengejaran, tiba-tiba berkelebat bayangan yang agaknya sejak tadi bersembunyi di balik semak-semak di seberang ladang itu dan bayangan ini membentak, "Manusia tak tahu malu, berhenti dulu aku mau bicara!"

Kun Tek terkejut, tidak menyangka bahwa di tempat sunyi itu ada orang bersembunyi di belakang semak-semak. Ketika dia membalikkan tubuhnya, ternyata orang itu adalah seorang pemuda yang usianya sebaya dengan dia, seorang pemuda bermuka bersih cerah, berkulit kuning. Seorang pemuda yang tampan walau pun pakaiannya yang berwarna biru itu amat sederhana.

Dengan alis berkerut, Kun Tek memandang tajam dan menegur, "Siapakah engkau dan ada urusan apa dengan aku maka engkau datang-datang mengatakan aku tidak tahu malu?"

Pemuda ini bukan lain adalah Gu Hong Beng! Pemuda ini merana sejak ditinggal pergi Bi Lan. Sakit sekali rasa hatinya oleh penolakan Bi Lan terhadap cintanya. Dia merasa hidupnya seakan-akan menjadi kosong dan sunyi. Dia melanjutkan perjalanan untuk memenuhi perintah gurunya, menuju ke kota raja, namun semangatnya sudah menipis sekali.

Malam tadi secara kebetulan sekali dia telah mengambil jalan yang sama dengan Bi Lan sehingga ketika Bi Lan yang ditolong oleh Kun Tek berhenti di tempat mereka kemudian melewatkan malam, dari jauh Hong Beng dapat melihat api unggun mereka. Pemuda ini curiga melihat api unggun itu dan dengan hati-hati dia mendekati. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat Bi Lan sedang tidur dan rebah miring di dekat api unggun, dan hati yang tadinya menjadi girang itu tiba-tiba berubah panas penuh rasa cemburu ketika dia melihat seorang pemuda tinggi besar menggunakan kain untuk menyelimuti tubuh Bi Lan yang tidur pulas!

Dan dia pun segera mengenal pemuda tinggi besar itu sebagai pemuda yang dipuji-puji oleh Bi Lan, pemuda yang turun tangan menghajar Phoa Wan-gwe dan tukang-tukang pukulnya. Dengan hati panas penuh rasa cemburu, Hong Beng lalu bersembunyi dan melakukan pengintaian. Dia merasa tidak enak kalau harus muncul menemui Bi Lan pada saat itu, apa lagi melihat gadis itu sedang tidur nyenyak.

Dia ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan dua orang muda itu, ingin melihat sampai sejauh mana hubungan di antara mereka yang nampaknya sudah akrab itu. Panas sekali hatinya. Tak disangkanya Bi Lan yang baru saja meninggalkannya, kini sudah bersahabat dengan seorang pria lain, dan mengingat betapa Bi Lan memuji-muji pemuda tinggi besar itu, hatinya penuh rasa iri dan cemburu.

Dia melihat segala yang terjadi dari tempat sembunyinya. Dia memang tidak melihat pemuda itu melakukan sesuatu, kecuali menyelimuti tubuh Bi Lan dengan kain, tetapi itu pun dilakukannya dengan sikap sopan. Kemudian melihat betapa mereka berdua itu bercakap-cakap yang tak dapat didengar suaranya karena tempat sembunyinya cukup jauh.

Dan hatinya semakin panas melihat betapa mereka berdua itu makan bersama dengan sikap yang demikian gembira. Namun, ketika dia melihat betapa pemuda itu mengobati pinggang Bi Lan dengan jalan meraba dan memijat pinggang yang telanjang itu, hampir dia tidak dapat menahan diri yang dibakar oleh api cemburu!

Dia dapat menduga bahwa tentu pemuda itu melakukan semacam pengobatan, akan tetapi caranya yang membuat dia tidak kuat menahan kemarahan hatinya. Pemuda itu begitu saja, dengan tangan telanjang, meraba dan memijat pinggang yang tidak tertutup itu. Kenapa Bi Lan membiarkan tubuhnya dipegang-pegang? Dan pemuda itu, betapa kurang ajar dan tidak sopan sekali!

Pada waktu dia melihat Bi Lan pergi meninggalkan pemuda itu dan melihat pemuda itu agaknya hendak mengejar, memanggil-manggil nama Bi Lan begitu saja, dia pun cepat meloncat keluar dari tempat persembunyiannya dan lari menghampiri Kun Tek. Tibalah saatnya untuk turun tangan menghajar pemuda tidak sopan itu, karena kalau Bi Lan masih berada di situ, tentu saja dia merasa malu untuk mencampuri urusan pribadi mereka. Kini Bi Lan tidak ada dan dia boleh menumpahkan semua perasaan hatinya yang panas dan penuh cemburu kepada pemuda itu.

Sejenak dua orang itu berdiri saling berhadapan dan saling memperhatikan dengan sinar mata tajam. Dua orang pemuda yang sebaya dan sama-sama tampan dan gagah. Hanya bedanya, kalau wajah Hong Beng diliputi kemarahan dan kebencian, sebaliknya wajah Kun Tek mengandung keheranan dan penasaran.

"Gadis yang baru pergi tadi, apamukah ia? Isterimukah?" Hong Beng bertanya dengan suaranya yang ketus.

Kerut merut di antara alis yang tebal di wajah Kun Tek semakin mendalam dan sinar matanya menyambar marah ke arah penanya itu. "Hemm, apa sangkut-pautnya hal itu denganmu?"

"Sangkut-pautnya dekat sekali!" kata Hong Beng semakin marah. "Gadis itu, Can Bi Lan, adalah seorang sahabatku!"

Kun Tek terbelalak dan memandang penuh selidik. Kalau pemuda ini sahabat baik Bi Lan, kenapa mengambil sikap bermusuh dengannya? "Begitukah? Akupun sahabat Bi Lan, sahabat baiknya."

"Tidak perlu engkau mengelabui aku. Engkau baru saja bertemu dengannya, karena ketika kami berdua melihat engkau turun tangan terhadap Phoa Wan-gwe, dia belum mengenalmu."

"Ah, kiranya engkau pun bersama Bi Lan ketika melihat aku melawan anak buah Phoa Wan-gwe? Kalau begitu tentu benar seorang sahabat. Siapakah engkau, sobat?"

"Aku Gu Hong Beng."

"Namaku Cu Kun Tek."

"Engkau seorang pemuda yang tidak sopan dan kurang ajar! Engkau sangat tidak tahu malu!"

Tentu saja Kun Tek kembali terbelalak dan dia mulai marah. "Saudara Gu Hong Beng, seingatku, baru sekarang kita saling berhadapan. Aku belum pernah mengganggumu, tapi mengapa engkau datang-datang memaki-maki aku? Jelaskan, apa kesalahanku maka engkau memaki aku?"

"Engkau masih pura-pura tidak tahu? Apa yang kau lakukan terhadap nona Can Bi Lan tadi? Kau kira aku tidak tahu? Sejak semalam aku sudah berada tak jauh dari sini dan menyaksikan semua perbutanmu yang tidak senonoh."

"Eh-eh-eh, apakah engkau ini orang gila? Aku tidak melakukan sesuatu yang tidak baik, kenapa mulutmu kotor sekali memaki-maki orang?"

"Hemm, dasar muka tebal! Engkau tadi meraba-raba dan memijati pinggang Bi Lan begitu saja, tanpa kain penutup, apakah kau kira perbuatan macam itu pantas dan patut dilakukan oleh seorang yang mengaku sopan? Engkau memang laki-laki ceriwis dan keji, mempergunakan kelemahan seorang gadis yang masih hijau untuk merayu. Orang macam engkau ini harus dihajar!" Berkata demikian, Hong Beng yang menjadi semakin marah karena membayangkan apa yang terjadi tadi, sudah menerjang dengan dahsyat.

"Ahh, manusia tolol!"

Kun Tek mengelak dengan lompatan ke samping. Diam-diam dia terkejut sekali karena serangan Hong Beng tadi benar-benar sangat dahsyat dan berbahaya. Baru angin pukulan saja menyambar sedemikian kuatnya. "Aku mengobatinya karena pinggangnya terkilir, dan kau menuduh yang bukan-bukan!"

"Aku bukanlah anak kecil," kata pula Hong Beng marah, "aku juga tahu bahwa engkau melakukan pengobatan, akan tetapi itu hanya dalih agar engkau dapat meraba-raba tubuhnya. Keparat, apakah engkau pura-pura tidak tahu bahwa yang boleh melakukan seperti itu hanya antara suami isteri saja? Engkau memang seorang berwatak cabul. Jai-hwa-cat!"

Dimaki jai-hwa-cat atau penjahat pemetik bunga, sebutan bagi penjahat yang suka memperkosa wanita, Kun Tek marah bukan main. "Jahanam bermulut kotor, kau kira aku takut padamu?"

Dan dia pun maju menyerang, membalas serangan Hong Beng tadi. Hong Beng sudah tahu akan kelihaian lawan, maka dia pun cepat menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sinkang.

"Dukkkk...!"

Keduanya terpental ke belakang dan Kun Tek terkejut bukan main ketika merasa betapa lengannya dijalari hawa yang amat panas. Cepat dia mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan. Di lain pihak, Hong Beng juga terkejut karena lawannya memiliki tenaga yang amat kuat sehingga dia pun terdorong mundur.

Segera kedua orang pemuda ini terlibat dalam perkelahian seru. Mereka berdua sama sekali tidak sadar bahwa perkelahian yang seru dan mati-matian itu hanya disebabkan oleh hal yang sepele saja! Oleh karena cemburu! Mereka berkelahi seolah-olah sedang saling memperebutkan Bi Lan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga