SULING NAGA : JILID-18



Akan tetapi, sebelum orang-orang tua yang berwenang memimpin upacara pertemuan pengantin, tiba-tiba terjadi keributan di luar. Seorang laki-laki berusia tiga puluhan tahun, bertubuh gemuk dengan perut gendut, pakaiannya mewah, mukanya dicukur licin dan pakaiannya menghamburkan bau minyak yang amat wangi, masuk diiringkan belasan orang yang bertubuh tegap dan berpakaian ringkas dengan sikap congkak dan jagoan.

Semua orang mengenal laki-laki itu karena dia adalah Phoa Wan-gwe (Hartawan Phoa) yang tinggal di sebuah dusun yang lebih besar, tak jauh dari dusun itu. Phoa Wan-gwe adalah orang yang paling kaya dan paling berkuasa di sedikitnya lima buah dusun di sekeliling tempat itu. Dialah raja kecil di dusun-dusun itu karena hampir semua tanah di tempat-tempat itu telah menjadi miliknya!

Dialah tuan tanahnya dan sebagai tuan tanah yang berhak atas tanah miliknya, dia bisa menentukan peraturan-peraturan tersendiri di atas tanah yang menjadi hak miliknya. Dan untuk memperkuat peraturan-peraturan yang dibuatnya sendiri itu, dia memelihara puluhan orang tukang pukul yang bertugas untuk menjamin dilaksanakannya peraturan-peraturan itu dan menghukum siapa saja yang berani menentangnya.

Para petani miskin yang tidak memiliki tanah bekerja sebagai buruh tani kepada Phoa Wan-gwe. Karena seluruh kehidupan keluarga para petani itu tergantung dari pemberian si hartawan, maka mereka pun semua merasa takut dan tunduk, memandang Phoa Wan-gwe seperti raja mereka.

Dan memanglah, hartawan ini, seperti para hartawan yang menjadi tuan-tuan tanah di dusun-dusun, merupakan raja yang sesungguhnya bagi para petani miskin. Kaisar yang dianggap sebagai raja dari negara itu berada sedemikian jauhnya dan tidak mungkin dihubungi, dan yang jelas terasa kekuasaannya adalah raja kecil di dusun yang menjadi tuan tanah seperti Phoa Wan-gwe itulah!

Sebagai seorang tuan tanah, Phoa Wan-gwe amat pintar mengemudikan pemerintahan kecilnya. Dia maklum bahwa tanpa tenaga petani miskin, biar pun memiliki tanah yang amat luas, tidak akan ada artinya. Dia sendiri tak mungkin mengerjakan semua tanah itu.

Hasil yang didapatkannya secara berlimpah dari tanahnya yang luas, lebih dari cukup dan dia pun tidak dapat dikata pelit dalam hal memberi upah kepada para buruh tani. Tidak, dia bahkan kadang-kadang merasa gembira sekali untuk dapat memperlihatkan kedermawanannya kepada para penduduk dusun, dan merasa senang sekali dipuji-puji dan disanjung-sanjung sebagai majikan yang baik hati dan murah hati. Tentu saja, semua yang dibagikannya kepada para petani itu hanya beberapa bagian kecil saja dari hasil yang diperolehnya dari tanahnya berkat cucuran keringat para petani.

Betapa pun juga, karena dia amat memperhatikan kebutuhan para petani sehingga para penduduk di lima dusun itu semua dapat makan kenyang setiap hari dan tidak sampai kehabisan pengganti pakaian, maka Phoa Wan-gwe dianggap orang baik dan tidak dibenci oleh para buruhnya. Namun, ada satu hal yang membuat orang-orang takut kepada Phoa Wan-gwe, dan juga kadang-kadang menimbulkan rasa iri dan benci pada banyak orang.

Pertama, karena ia dapat bersikap kejam, menghukum berat para pelanggar peraturan. Hal ini memang ada baiknya, merupakan cambuk bagi para buruh tani sehingga mereka itu rajin bekerja, dengan pengetahuan bahwa kalau bermalas-malasan, mereka berarti melanggar peraturan dan akan dihukum cambuk, akan tetapi jika rajin mereka pun akan berkecukupan, bukan sekedar makan kenyang dan dapat bertukar baju setiap hari, tapi juga mungkin bisa mengumpulkan uang simpanan.

Hal kedua yang merupakan cacat dan kelemahan Phoa Wan-gwe adalah sifatnya yang mata keranjang, gila perempuan dan dia tidak pernah mau melepaskan wanita cantik yang sudah diincarnya. Dia berkeluarga, mempunyai isteri dan beberapa orang anak, bahkan telah memiliki tidak kurang dari lima orang isteri muda. Akan tetapi, matanya yang tajam seperti burung elang itu masih selalu mengincar anak-anak ayam.

Kalau dia sedang berjalan-jalan di dusun-dusun yang menjadi wilayah kekuasaannya, banyak orang tua cepat-cepat menyembunyikan anak-anak perempuan mereka. Akan tetapi, tidak percuma Phoa Wan-gwe memiliki banyak kaki tangan yang setiap saat datang memberi laporan tentang adanya gadis-gadis cantik, baik di dalam mau pun di luar dusun.

Kalau dia sudah melihat sendiri gadis yang dipuji-puji kaki tangannya dan dia tergila-gila, dengan cara apa pun juga akan diusahakannya agar gadis itu menjadi miliknya. Biar pun bukan menjadi selir, setidaknya untuk beberapa hari, pekan atau bulan gadis itu harus menjadi miliknya! Dan dia terkenal royal dan tidak sayang mengeluarkan uang untuk mendapatkan wanita yang membuatnya mengiler.

Ketika Phoa Wan-gwe muncul di dalam pesta itu, semua orang yang mengira bahwa hartawan itu hendak datang bertamu, menjadi gembira dan juga memuji keluarga yang berpesta. Jarang ada keluarga petani yang dipenuhi undangannya oleh Phoa Wan-gwe yang biasanya hanya mengirim wakil dan mengirim pula sekedar sumbangan. Akan tetapi kini hartawan itu datang sendiri!

Akan tetapi, ketika melihat belasan orang tukang pukul, melihat pula betapa wajah hartawan itu amat keruh dan sikap para tukang pukul itu bengis, semua orang terkejut ketakutan. Mereka bangkit dari duduk mereka, memberi hormat kepada yang lewat dan saling pandang dengan sinar mata bertanya-tanya.

Ketegangan muncul dalam hati para tamu. Melihat kekeruhan wajah Phoa Wan-gwe, jelas bahwa hartawan itu sedang marah, apa lagi dikawal oleh belasan orang tukang pukul. Tentu ada urusan penting.

Biasanya, semua urusan, terutama yang mengenai pelanggaran, hartawan itu cukup mengirim jagoan-jagoannya untuk memberi hukuman, menagih hutang dan sebagainya. Mereka yang sudah mengenal cara hidup hartawan ini maklum bahwa hanya satu hal yang mendorong hartawan itu keluar dan menangani sendiri suatu urusan, yaitu urusan yang menyangkut wanita!

Setelah menerobos di antara para tamu, kini Phoa Wan-gwe dan para jagoannya telah tiba di ruang tengah di mana sedang sibuk dipersiapkan upacara pernikahan. Seorang jagoan berteriak lantang,

"Hentikan semua kebisingan musik itu! Lo Cin! Phoa Wan-gwe datang untuk bicara denganmu. Majulah!"

Semua orang menjadi panik dan memandang dengan hati penuh ketegangan. Suara musik berhenti dan nampak Lo Cin, tuan rumah, muncul dari belakang dan setengah berlari menuju ke ruangan itu. Mukanya agak pucat, akan tetapi sambil tersenyum ramah dia segera membungkuk dan memberi hormat di depan Phoa Wan-gwe yang memandang dengan sikap congkak karena dia sedang marah sekali, tidak seperti biasanya dia bersikap ramah kepada para penduduk.

"Ahhh, kiranya Phoa Wan-gwe yang datang! Maafkan bahwa karena tidak diberi tahu sebelumnya, saya tidak keluar menyambut," kata Lo Cin dengan senyum lebar yang dipaksakan karena dia pun dapat melihat bahwa hartawan ini sedang marah dan dia sendiri yang tahu mengapa hartawan itu marah-marah. Hal inilah yang mengecutkan hatinya.

Hartawan itu tetap memandang dengan muka keruh, bahkan kini kemarahan terpancar keluar dari sinar matanya. "Lo Cin, kami datang bukan untuk makan hidangan pestamu, melainkan untuk bertanya mengapa engkau berani melanggar peraturan yang telah disetujui olehmu sendiri? Puluhan kali engkau datang merengek minta bantuan, dan selalu aku mengulurkan tangan membantumu, dengan harapan engkau akan menepati janji, akan membayar pada waktu yang telah disepakati bersama. Akan tetapi apa kenyataannya? Engkau tidak membayar, hanya mengulur waktu terus menerus, dan sekarang, sedangkan hutang pun tidak dibayar, engkau malah menghamburkan uang untuk pesta pora. Uangku yang kau hamburkan itu! Dan engkau berani mengundang aku untuk bersama-sama makan uangku sendiri!"

Wajah tuan rumah itu menjadi pucat dan tubuhnya gemetar. Dia bukan saja merasa takut sekali, tetapi juga merasa malu karena semua tamu berkumpul mendengarkan ucapan itu. Dan dia pun tahu bahwa kemarahan hartawan itu sama sekali bukan hanya karena dia belum membayar hutang-hutangnya. Sama sekali bukan hal itu. Kalau hanya itu persoalannya, Phoa Wan-gwe tidak akan semarah itu dan juga tentu hanya akan menyuruh orang-orangnya datang menagih.

Dia teringat akan ucapan seorang di antara jagoan-jagoan hartawan itu yang pernah disampaikan kepadanya bahwa Phoa Wan-gwe menginginkan anak perempuannya, Cun Si! Hal inilah yang mendorongnya untuk segera merayakan pernikahan puterinya itu, yang sudah ditunangkan dengan seorang pemuda tani dari dusun lain. Dia harus segera menikahkan puterinya sebelum Phoa Wan-gwe sempat mengajukan pinangan atau minta sendiri kepadanya! Dan itulah agaknya yang menyebabkan Phoa Wan-gwe marah-marah sekarang ini.

"Harap tuan suka memaafkan saya," katanya dengan suara gemetar. "Seperti yang tuan ketahui, hasil panen kemarin payah, bahkan untuk dimakan keluarga kami sendiri pun kurang. Panen itu rusak oleh hama, juga oleh air yang terlalu banyak dan juga hasilnya dicuri orang di waktu malam. Ada pun pernikahan ini, kami dapatkan dari hasil pinjaman sana-sini dan bantuan saudara-saudara kami di dusun-dusun lain..."

"Alasan yang dicari-cari!" bentak hartawan itu.

Ketika dia menengok dan memandang pengantin perempuan yang nampak ketakutan itu kini dipeluk oleh pengantin pria yang bersikap seperti hendak melindungi, hatinya semakin panas. Gadis itu nampak semakin manis dan menggairahkan dalam pakaian pengantin.

"Karena engkau bisa memperoleh pinjaman dari orang lain, lalu memandang rendah kepadaku, ya? Pendeknya, kau harus dapat membayar hutang-hutangmu sekarang juga. Kalau tidak, rumah ini dan segala isinya akan kami sita dan kau sekeluargamu harus keluar dari sini!"

"Tuan Phoa... kasihanilah kami... setidaknya tunggulah sampai upacara pernikahan anak kami selesai dan setelah itu..."

"Tidak! Harus sekarang diselesaikan! Kesabaranku sudah habis!" kata pula hartawan itu.

"Tuan Phoa, kasihanilah kami...!" Isteri Lo Cin meratap dan menjatuhkan diri berlutut di depan hartawan itu. Lo Cin juga menjatuhkan diri berlutut.

"Persetan dengan bujuk rayumu!" Hartawan itu membentak, kemudian dengan kakinya mendorong tubuh Lo Cin sampai terjengkang. "Bayarlah atau kami akan melakukan kekerasan!"

Sementara itu, para tamu menjadi pucat dan mereka tidak mau ikut terlibat. Maka mereka pun lalu menjauhkan diri, keluar dari ruangan itu, berkelompok di luar rumah, bahkan ada sebagian yang cepat-cepat pulang karena mereka ini pun merasa masih mempunyai hutang kepada Phoa Wan-gwe dan takut kalau-kalau mereka kebagian kemarahan hartawan itu.

Melihat betapa ayah ibunya berlutut di depan hartawan itu dan ayahnya yang kena tendang itu sudah berlutut kembali, pengantin perempuan itu pun turut menangis dan menjatuhkan diri berlutut di belakang ayahnya. Calon suaminya juga sudah berlutut di sampingnya, memandang bingung karena pemuda ini pun sudah mengenal kekuasaan Phoa Wan-gwe. Dusunnya termasuk wilayah hartawan ini pula. Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu dan tidak pernah mengira bahwa hartawan itu menginginkan calon isterinya yang sudah beberapa tahun lamanya menjadi tunangannya.

Sementara itu, kepala pengawal Phoa Wan-gwe yang sudah tahu akan suasana yang menguntungkan bagi majikannya, melihat kesempatan terbuka baginya untuk turun tangan dan membuat jasa baik. Dia lalu mendekati Lo Cin, ikut berlutut dan berkata dengan lirih kepada petani itu.

"Lo Cin, kita semua tahu bahwa tuan Phoa adalah seorang yang bijaksana dan murah hati. Beliau marah karena engkau banyak berhutang kepadanya, sebelum melunasi hutang-hutangmu malah merayakan pernikahan puterimu. Hal ini berarti bahwa engkau kini menghadapi kesulitan karena anak perempuanmu. Sebab itu, sudah sepatutnya jika engkau menyuruh anak perempuanmu membujuk tuan Phoa supaya mengampunimu. Biarkan anakmu ikut bersama kami dan akan kuatur agar dia dapat menemui dan membujuk tuan Phoa dan aku yakin pasti akan berhasil. Tentang pernikahan, dapat diundurkan untuk beberapa pekan atau beberapa bulan." Berkata demikian, kepala pengawal ini memandang dan mengedipkan matanya kepada tuan rumah dengan arti yang tidak mungkin disalah tafsirkan lagi.

"Ahh... ahhh...!" Lo Cin mengeluh dengan bingung, sebentar menoleh ke arah puterinya yang berlutut di belakangnya, memandang isterinya dan memandang Phoa Wan-gwe yang kelihatannya tidak tahu menahu tentang bisikan kepala pengawalnya itu.

Namun Cun Si, pengantin wanita yang tadi menangis sambil menundukkan mukanya, ikut memperhatikan ucapan kepala pengawal itu dan ia pun mengerti. Ia sudah banyak mendengar tentang hartawan itu yang suka mengganggu anak bini orang, maka ia pun tahu apa maksudnya kepala pengawal itu, menyuruh ayahnya mengirim ia untuk pergi membujuk hartawan itu agar suka mengampuni ayahnya. Pernikahan diundur sampai beberapa pekan atau bulan! Ini saja sudah cukup baginya untuk dapat membayangkan atau menduga apa yang harus ia lakukan.

"Tidak...!" Tiba-tiba ia berkata lirih akan tetapi dengan muka pucat, mata terbelalak dan ia memegang lengan calon suaminya. "Tidak, aku tidak mau ke sana...! Ayah, aku tidak mau. Aku lebih baik mati sekarang juga..." Dan ia pun menangis.

Calon suaminya segera merangkulnya tanpa malu-malu lagi. Pemuda ini pun maklum mengapa calon isterinya begitu ketakutan dan berduka.

"Tenanglah, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggumu seujung rambut saja selama aku masih hidup!" Sungguh gagah sekali ucapan itu, tentu terdorong oleh tanggung jawab untuk melindungi dan membela isterinya.

Akan tetapi ucapan itu membuat merah muka si kepala pengawal. Dia meloncat berdiri dan dengan alis berkerut dia menghampiri mempelai pria.

"Apa yang kau bilang? Engkau menjadi pembela gagah berani, ya? Kalau begitu, hayo keluarkan uang, dan bayar semua hutang mertuamu. Itu baru gagah namanya!" Dan kakinya menendang ke depan.

Pemuda itu hanyalah seorang pemuda tani biasa. Walau pun tubuhnya kuat karena pekerjaannya yang kasar, akan tetapi dia tidak pandai ilmu silat. Pada saat ditendang, tangannya menangkis begitu saja, akan tetapi tetap saja tendangan itu mengenai punggungnya.

"Bukkk...!" Tubuh mempelai pria itu terguling-guling.

"Jangan...!" Mempelai wanita menjerit dan menubruk tubuh calon suaminya yang kini berusaha untuk bangkit itu. Ada darah keluar dari mulut pemuda itu.

"Bocah lancang ini perlu dihajar!" kata kepala pengawal yang agaknya mendapatkan pikiran baru. "Atau akan kubunuh sekali di sini! Bagaimana nona? Kubunuh saja dia atau engkau bersedia untuk menolong keluarga ayahmu?"

Agaknya dia memperoleh sasaran lain untuk membantu majikannya, bukan lagi sekedar janji pembebasan hutang atau ampunan, tetapi kini dia mengancam akan membunuh pengantin pria kalau gadis itu tidak mau memenuhi kehendak majikannya. "Tidak, aku tidak mau lebih baik kau bunuh saja kami berdua!" Mempelai perempuan meratap lirih sambil memeluk calon suaminya.

"Ya, bunuh saja kami. Kami rela mati bersama dari pada mengalami penghinaan," sambung pemuda itu.

"Jangan bunuh mereka...!" Ayah pengantin perempuan meratap dan memohon sambil berlutut dan menyembah-nyembah.

"Hemm, tidak mau memenuhi permintaan akan tetapi minta diampuni. Mana bisa?!" bentak pula kepala pengawal.

Sejak tadi, di antara para tamu yang kini bergerombol di luar sebagai penonton, terdapat seorang gadis bersama seorang pemuda. Mereka itu bukan tamu, melainkan dua orang yang kebetulan lewat di dusun itu, melihat ramai-ramai, tertarik dan mendekat. Mereka berdua itu adalah Gu Hong Beng dan Can Bi Lan yang seperti kita ketahui, melakukan perjalanan bersama menuju ke kota raja.

Mereka sejak tadi diam saja dan merasa kagum kepada sepasang pengantin itu yang demikian berani menentang maut walau pun mereka itu hanya sepasang muda mudi dusun yang lemah. Jelas nampak betapa mereka itu saling mencinta dan rela mati bersama. Baik Hong Beng mau pun Bi Lan belum pernah melihat atau mendengar pernyataan cinta yang sedemikian mendalam, dan diam-diam mereka merasa terharu sekali.

Melihat betapa kini kepala jagoan itu hendak menyiksa bahkan mengancam hendak membunuh, Bi Lan mengerutkan alisnya. Dia tadi sudah mendengar semuanya dan seperti juga Hong Beng, ia dapat menduga bahwa hartawan itu tentu menginginkan pengantin wanita dan kini mempergunakan kekuasaannya untuk merampas pengantin wanita. Akan tetapi sebelum ia atau Hong Beng meloncat ke dalam untuk membela keluarga pengantin, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

"Anjing-anjing serigala bermuka manusia yang sungguh menjemukan sekali!" Dan dari kerumunan orang-orang itu meloncat masuk seorang pemuda yang gagah perkasa.

Bi Lan dan Hong Beng memandang dan keduanya merasa kagum.

Pemuda itu memang mengagumkan sekali. Tubuhnya tinggi besar dan gagah perkasa. Mukanya yang berkulit agak gelap nampak jantan dan gagah. Usianya sebaya dengan Hong Beng, mungkin hanya lebih tua satu dua tahun, akan tetapi karena tubuhnya tinggi besar dia nampak lebih tua.

Di punggungnya terdapat buntalan pakaian seperti halnya Bi Lan dan Hong Beng, dan hal ini menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang sedang melakukan perjalanan jauh sehingga membawa bekal pakaian. Akan tetapi ada benda sepanjang kurang lebih tiga kaki di dalam buntalan itu, kelihatan menonjol kecil dan Bi Lan dapat menduga bahwa tentu benda itu sebatang pedang dalam gagangnya.

Pemuda gagah perkasa itu memang bukan pemuda sembarangan. Dia adalah Cu Kun Tek, putera tunggal pendekar sakti Cu Kang Bu dan isterinya Yu Hwi, pendekar dari Lembah Gunung Naga Siluman di Himalaya!

Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, pada waktu pendekar Sim Houw mengunjungi paman kakeknya, Cu Kang Bu, di lembah itu, pendekar ini telah menerima pedang pusaka Suling Naga dari kakek Pek-bin Lo-sian dan karena senjata itu sudah cukup ampuh baginya, maka pendekar Sim Houw lalu menyerahkan kembali pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang berasal dari lembah itu kepada paman kakeknya. Bahkan dia juga menyerahkan sebatang suling emas kepada keluarga Cu.

Saat itu, tujuh tahun yang lalu, Cu Kun Tek baru berusia dua belas tahun. Kini dia telah menjadi seorang muda perkasa berusia sembilan belas tahun, telah mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dari ayah bundanya! Dia mendapat anjuran dari ayah bundanya untuk turun gunung menuju ke dunia ramai di timur, untuk meluaskan pengetahuan dan menambah pengalaman.

Sebelum berangkat, ayah ibunya memperkenalkan nama-nama deretan pendekar yang mereka kenal, terutama sekali keluarga para pendekar Pulau Es dan lain-lain. Juga ayah bundanya memperingatkan dia akan nama-nama beberapa orang tokoh dunia hitam yang mereka kenal.

"Ingatlah selalu, Kun Tek, bahwa kepandaian silat yang kau pelajari selama ini hanya merupakan sekelumit saja dari ilmu-ilmu yang tinggi yang dimiliki tokoh-tokoh dunia persilatan. Oleh karena itu jangan sekali-kali pernah menonjolkan ilmu silatmu, apa lagi menyombongkannya. Engkau masih harus banyak belajar dan engkau hanya akan dapat belajar dan menambah pengetahuanmu kalau engkau bersikap kosong dan tidak memiliki kepandaian apa-apa. Hanya periuk yang selalu kosong dapat menampung tambahan air dari luar, sebaliknya periuk yang selalu penuh takkan mampu menampung apa pun dari luar. Jadilah seperti periuk yang selalu kosong. Akan tetapi, kalau engkau melihat peristiwa yang tidak adil, melihat kesewenang-wenangan yang dilakukan orang terhadap yang lemah, engkau harus turun tangan membela yang lemah tertindas, menentang yang kuat dan jahat. Engkau harus berwatak sebagai seorang pendekar budiman yang gagah perkasa dan pantang mundur untuk membela kebenaran dan keadilan!" kata ibunya.

Mendengar nasehat isterinya kepada putera mereka, Cu Kang Bu tersenyum. Memang isterinya berwatak keras dan gagah perkasa. "Benar kata ibumu, Kun Tek, akan tetapi engkau harus waspada dan kalau tidak perlu sekali, janganlah melibatkan diri dalam perkelahian. Ingat, engkau turun gunung untuk mencari pengalaman, bukan mencari permusuhan dengan siapa pun juga."

Ketika Kun Tek berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, baru saja dia tiba di lereng pertama, ibunya menyusulnya. Ibunya menyerahkan pedang Koai-liong Po-kiam kepadanya. "Bawalah pedang pusaka ini, anakku. Di dunia ramai banyak sekali orang jahat yang lihai. Pedang ini boleh kau pergunakan kalau engkau berada dalam ancaman bahaya. Hanya untuk melindungi dirimu, kalau tidak perlu jangan kau keluarkan, simpan saja dalam buntalan pakaian."

Cu Kun Tek merasa girang sekali. Memang dia amat sayang kepada pedang pusaka pemberian Sim Houw itu, pedang pusaka yang memang berasal dari keluarga mereka. Ketika dia mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, pedang pusaka itulah yang dia pakai untuk berlatih sehingga dia dapat memainkan pedang itu dengan baiknya. Kini ibunya memberikannya untuk bekal, tentu saja dia merasa girang sekali. Hatinya menjadi lebih besar dan tabah kalau membawa pedang pusaka itu.

Setelah dia berangkat meninggalkan ibunya yang berdiri mengikuti bayangan putera tercinta itu dengan mata basah, tiba-tiba terdengar suara lembut di belakang wanita itu. "Hemm, kau menyerahkan pedang pusaka itu kepadanya? Sungguh resikonya besar sekali."

Yu Hwi membalikkan tubuhnya dan memandang suaminya. "Dia memerlukan pusaka itu untuk membela diri. Banyak sekali penjahat-penjahat lihai di sana."

"Tapi pedang itu adalah pusaka keluarga kita sejak dahulu, sudah seharusnya disimpan dan dipuja oleh Lembah Naga Siluman. Bagaimana kalau sampai pedang pusaka itu hilang dirampas orang?"

"Aih, apakah engkau kurang percaya kepada putera sendiri? Kun Tek cukup kuat untuk menjaga pedang itu. Pedang itu pun amat berguna untuk melindunginya dari ancaman bahaya, kalau kaki tangannya sudah tidak mampu lagi melindungi dirinya. Pula, pedang itu adalah pedang pusaka keluarga Cu, dan bukankah Kun Tek merupakan keturunan terakhir dari keluarga Cu? Dia berhak memilikinya."

Cu Kang Bu menarik napas panjang. Dia maklum bahwa percuma saja berbantah dengan isterinya yang keras hati. Pula, perbuatan isterinya itu terdorong rasa cinta dan khawatir terhadap keselamatan Kun Tek. Dengan pedang itu di tangan, memang keadaan putera mereka lebih kuat.

Demikianlah, pada hari itu, seperti juga Bi Lan dan Hong Beng, Kun Tek kebetulan lewat di dusun itu dan melihat peristiwa yang membuat mukanya yang agak kehitaman itu menjadi lebih gelap karena marah. Dia marah sekali dan tidak dapat menahan gejolak hatinya untuk membela keluarga pengantin yang sedang ditekan oleh hartawan dan anak buahnya itu.

Mendengar bahwa dirinya dimaki anjing serigala, kepala pengawal itu marah sekali. Dia menoleh dan melihat kegagahan pemuda tinggi besar itu, kepala pengawal ini bersikap hati-hati. Pemuda ini nampak tegap dan kuat, dan kalau sudah berani memaki dia, tentu pemuda ini memiliki kepandaian yang diandalkan.

"Hemmm, orang muda yang lancang, siapakah engkau dan dari perguruan mana?" bentaknya, setengah menghardik dan setengah menyelidik.

"Namaku tidak ada sangkut pautnya dengan kalian serombongan serigala yang jahat!" bentak Kun Tek marah. Dia menoleh kepada Phoa Wan-gwe dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah hidung hartawan itu. "Dan kau, orang kaya yang hendak memeras dan menindas orang miskin, minggatlah dan bawa anjing-anjingmu pergi, kalau tidak, akan kuhajar kau dan anjing-anjingmu sampai berkuik-kuik minta ampun!"

Sikap pemuda itu benar-benar amat gagah dan semua ucapannya itu bukanlah karena kesombongannya, melainkan karena kemarahannya yang memuncak. Memang pemuda ini mewarisi kekerasan hati seperti ibunya. Dari ayahnya dia hanya mewarisi tubuh yang tinggi besar dan tenaga raksasa.

Kepala pengawal itu marah bukan main. Dia seorang yang sudah biasa menggunakan kekerasan memaksakan kehendaknya atau kehendak majikannya dan tidak malu-malu untuk mengandalkan jumlah banyak. Melihat sikap Kun Tek, dia merasa agak gentar untuk maju sendiri, maka dia lalu berteriak memberi aba-aba kepada anak buahnya yang berjumlah empat belas orang bersama dia itu.

"Mari kita hajar bocah ingusan sombong ini!"

Memang pekerjaan para jagoan, pengawal atau tukang pukul itu adalah untuk memukul dan menganiaya orang. Hanya dengan cara itulah mereka dapat menyenangkan hati majikan mereka, dan untuk keperluan itu pula mereka dibayar. Kini, mendengar perintah dari pemimpin mereka, belasan orang itu bergerak mengepung dan menyerang, dengan didahului oleh dua orang tukang pukul yang berada paling dekat dengan pemuda itu.

Kun Tek tidak bergerak dari tempat dia berdiri, hanya kedua tangannya bergerak cepat dan dua orang penyerang itu terpelanting dan mengaduh-aduh, tidak mampu bangkit lagi karena tulang pundak mereka telah patah ketika bertemu dengan jari-jari tangan Kun Tek!

Para pengawal lainnya menjadi marah dan terjadilah pergeroyokan yang kacau dan bising. Para pengawal itu berteriak-teriak, dan memang mereka itu sekumpulan orang yang kejam dan ganas.

Bi Lan yang nonton perkelahian itu melihat ketepatan makian pemuda itu tadi yang menamakan mereka itu segerombolan serigala. Memang mereka itu mengeroyok bagai serigala-serigala kelaparan, sambil menggonggong membisingkan.

Akan tetapi, pemuda tinggi besar itu sungguh mengagumkan sekali. Sikapnya tenang dan kokoh kuat, gerakannya mantap dan tabah penuh wibawa, seperti seekor naga yang dikeroyok. Dan hebatnya, kalau ada pukulan yang mengenai tubuhnya, pukulan itu bagai tak dirasakannya dan pemukulnya malah mengaduh menggoyang-goyang tangan yang dipakai memukul. Sedangkan setiap kali pemuda itu menampar atau menendang, tentu ada tubuh pengeroyok yang terpental atau terpelanting keras.

Perkelahian itu tidak berlangsung lama. Ketika orang terakhir, yaitu kepala pengawal, roboh oleh tendangan kaki Kun Tek, hartawan Phoa sudah cepat melarikan diri. Akan tetapi, Kun Tek yang sejak tadi memperhatikan orang itu, cepat meloncat ke depan dan seperti seekor harimau menerkam kelinci, dia sudah menubruk dan mencengkeram punggung baju orang itu. Ketika dia mengangkat tangan kirinya yang mencengkeram, hartawan itu terangkat ke atas. Dengan muka pucat dan mata terbelalak hartawan Phoa memandang kepada pemuda itu.

"Ampun... ampunkan aku..." ratapnya, dan dia sama sekali tidak ingat betapa seringnya ratapan minta ampun itu keluar dari mulut orang-orang yang pernah ditindasnya.

Kun Tek tersenyum mengejek. "Pernahkah engkau mengampuni orang lain?"

Dan sekali dia membanting, tubuh hartawan itu jatuh ke atas tanah dan dia tetap rebah tanpa berani bangkit lagi, mukanya menjadi semakin pucat. Para pengawal yang sudah mampu bangkit kembali hanya memandang, tidak berani berkutik. Di antara mereka ada yang menderita patah tulang, benjol-benjol dan babak belur.

Pada saat itu, Lo Cin, si petani menghampiri Kun Tek dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. "Taihiap, harap taihiap sudi melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia tidak bersalah. Sesungguhnya, sayalah yang bersalah, harap taihiap tidak menjadi salah mengerti dan suka membebaskan dia."

Tentu saja Kun Tek tertegun dan memandang heran. Orang ini bersama keluarganya tadi ditindas dan diancam. Dia turun tangan menghajar para penindas, tetapi mengapa orang ini malah memintakan ampun terhadap penindasnya?

"Paman, tidak kelirukah engkau? Bukankah hartawan ini tadi menindasmu dan hendak mengganggu puterimu? Memeras dan mengancam, bahkan tukang pukulnya tadi telah memukul mantumu?"

"Semua itu memang benar, akan tetapi sebabnya adalah karena kesalahan kami, taihiap. Phoa Wan-gwe telah banyak menolong keluarga kami, seperti juga keluarga semua petani di sini. Kalau kami kekurangan makan dan pakaian, selalu dialah yang mengulurkan tangan menolong kami. Akan tetapi, saya telah berkali-kali melanggar janji, tidak dapat mengembalikan hutang-hutangku yang banyak seperti yang telah saya janjikan. Karena itulah dia marah-marah melihat kami mengadakan pesta sedangkan hutang-hutang kami belum terbayar. Dan saya berjanji, asal Phoa Wan-gwe suka memberi kelonggaran hati, dalam beberapa bulan ini, dibantu mantuku, kami pasti akan membayar hutang-hutang itu."

Semua orang yang masih menonton di luar mengangguk-angguk. Tidak dapat mereka sangkal bahwa memang Phoa Wan-gwe seorang dermawan bagi mereka. Kalau terjadi keributan tadi, hanya karena kelemahannya, yaitu mudah tergila-gila perempuan cantik! Kini mereka pun mengerti akan sikap Lo Cin yang melindungi hartawan itu dari hajaran dan hukuman dari pendekar muda itu.

Orang yang merasa paling terpukul batinnya adalah Phoa Wan-gwe sendiri. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa orang yang menyelamatkan atau paling tidak berusaha menyelamatkannya adalah justru Lo Cin! Dia merasa terharu sekali dan sadarlah dia akan kelemahannya dan kesalahannya.

"Paman Lo Cin, aku minta maaf kepadamu, kepada keluargamu... biarlah hutang-hutang itu dihabiskan saja sampai di sini dan semua urusan dianggap sudah tidak ada lagi. Aku memang bersalah," katanya.

Mendengar ucapan ini, Kun Tek semakin terheran-heran. Benarkah hartawan ini orang baik-baik, ataukah dia penindas rakyat miskin? Melihat betapa di luar banyak terdapat orang dusun yang kini menonton keributan itu, dengan suara lantang dia berteriak.

"Saudara-saudara penduduk dusun ini, dengarlah! Karena melihat tindakan sewenang-wenang, aku turun tangan menghajar jagoan-jagoan ini dan menangkap hartawan ini. Akan tetapi, keluarga pengantin malah mintakan ampun. Bagaimana, apakah aku harus melepaskan hartawan ini, ataukah dia harus dihajar sampai tulangnya patah-patah agar dia lain kali tidak akan mengulangi perbuatannya?"

Dan Kun Tek melihat hal yang dianggapnya sangat aneh. Sebagian dari orang-orang itu menjatuhkan diri berlutut pula dan berseru kepadanya dari jauh, "Taihiap, harap suka melepaskan Phoa Wan-gwe. Dia dermawan penolong kami."

Kun Tek mengerutkan alisnya dan memandang kepada hartawan itu. "Sungguh aku tidak mengerti. Engkau tadi jelas sudah mengerahkan anjing-anjing ini untuk melakukan penganiayaan dan ancaman, akan tetapi mengapa orang-orang dusun ini membelamu? Hayo katakan, sebenarnya apa yang telah kau lakukan untuk menguasai mereka?"

Hartawan Phoa bangkit duduk dan memberi hormat. "Terus terang saja, taihiap. Selamanya saya bersahabat dengan penduduk dusun, membantu mereka dan kami bekerja sama dengan baik selama puluhan tahun, semenjak saya masih kecil dan ayah yang berkuasa di sini. Akan tetapi terus terang saja, saya telah bersalah, sebab terlalu menurutkan nafsu dan mudah tergiur oleh kecantikan wanita. Pengalaman hari ini akan menjadi peringatan bagi saya dan mudah-mudahan Tuhan akan membantu saya dan memberi kekuatan untuk melawan godaan setan." Hartawan itu lalu berkata kepada Lo Cin, "Paman Lo Cin, mari kita lanjutkan pesta ini. Biarlah aku yang membiayai, tambah lagi masakan dan saudara-saudara yang berada di luar, mari kita rayakan pernikahan puteri dari paman Lo Cin!"

Tentu saja sikap dan ucapan hartawan Phoa itu disambut sorakan gembira dari para penduduk dusun karena mereka kini mengenal lagi hartawan itu seperti biasanya kalau sedang memberi pertolongan dan derma kepada para penduduk dusun yang miskin. Para tukang pukul itu disuruh pulang oleh Phoa Wan-gwe untuk berobat dan merawat luka-luka mereka.

Ketika Lo Cin sekeluarga yang merasa gembira sekali itu hendak mengundang pemuda perkasa tadi untuk menjadi tamu kehormatan, ternyata pemuda itu telah lenyap dari situ dan agaknya telah pergi tanpa pamit, menyelinap di antara orang banyak.

Hal ini diketahui oleh Bi Lan dan Hong Beng dan mereka kagum bukan main, kemudian mereka pun diam-diam pergi dari tempat itu. Kedua orang muda-mudi itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan dusun itu dan di sepanjang perjalanan, mereka berdua lalu bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang baru mereka lihat di dusun tadi.

"Pemuda itu tadi luar biasa, bagaimana pendapatmu tentang dia, Hong Beng?" Bi Lan bertanya.

Sambil melangkah dengan tegap di samping gadis itu, Hong Beng memandang ke atas, melihat awan bergerak di hari yang cerah itu. "Dia? Wah, dia memang hebat. Kalau saja ada kesempatan, aku ingin sekali mencoba mengadu kepandaian dengan dia."

"Ehhh...?" Bi Lan terkejut dan menahan langkahnya sehingga Hong Beng terpaksa berhenti juga. Dengan alis berkerut gadis itu menatap wajah temannya dan bertanya, "Kenapa engkau punya pikiran seaneh itu, seolah-olah engkau ingin memusuhinya?"

Ditegur demikian, barulah Hong Beng merasa kaget dan mukanya berubah kemerahan. Tanpa sadar dia tadi telah mengeluarkan ucapan yang nadanya keras dan bermusuh terhadap pemuda perkasa yang tidak dikenalnya itu! "Tidak apa-apa, maksudku... aku kagum sekali dan ingin berkenalan dengan dia dan di kalangan kita yang suka akan ilmu silat, perkenalan akan lebih akrab kalau diawali dengan adu kepandaian silat."

"Hemm, dia merupakan lawan yang tidak ringan untuk dilawan, Hong Beng. Aku tidak yakin apakah engkau akan dapat mengalahkan dia," kata Bi Lan sambil melanjutkan perjalanan itu dengan langkah seenaknya.

Hong Beng melirik ke kiri. Akan tetapi wajah gadis itu tidak membayangkan sesuatu dan pemuda itu menekan perasaannya yang tidak enak. Alisnya berkerut. Gadis ini agaknya sudah tertarik sekali kepada pemuda tinggi besar itu, pikirnya tak senang.

"Akan tetapi aku yakin akan dapat mengatasinya. Biar pun tidak kusangkal bahwa dia lihai, akan tetapi ilmunya masih belum matang. Buktinya tadi dia membiarkan beberapa pukulan mengenai tubuhnya ketika dia menghadapi pengeroyokan itu."

"Akan tetapi pukulan-pukulan itu sama sekali tidak membuatnya tergoyah, sama sekali tidak dirasakannya!"

"Memang agaknya begitu. Akan tetapi engkau sendiri tentu tahu bahwa membiarkan tubuh terpukul lawan dengan melindungi tubuh menggunakan kekebalan bukanlah cara yang baik untuk membela diri. Kenapa ia tidak menggunakan kelincahan dan kecepatan gerakan untuk menghindarkan pukulan-pukulan itu? Hal itu hanya membuktikan bahwa dalam hal kecepatan gerak tubuh, dia belum berapa hebat. Karena itulah aku merasa yakin akan dapat mengalahkannya."

"Hong Beng, dia jelas seorang pendekar budiman yang gagah perkasa, bagaimana engkau berani memandang rendah kepadanya, bahkan ingin mencoba kepandaiannya? Apakah engkau ingin bermusuhan dengan seorang pendekar?"

"Akan tetapi dia agak sombong..."

"Kau keliru! Dia sama sekali tidak sombong, bahkan memperkenalkan nama pun tidak. Dia tegas dan gagah perkasa."

Hong Beng merasa betapa perutnya menjadi semakin panas ketika mendengar gadis itu terus memuji-muji pemuda tinggi besar itu setinggi langit. Akan tetapi dia menekan perasaannya dan berkata, "Sudahlah, kita tidak perlu membicarakan dia lagi. Kau tahu bahwa aku tidak ingin memusuhi orang. Yang lebih mengagumkan aku adalah sikap sepasang mempelai itu. Mereka berani menentang maut, berani menghadapi ancaman hartawan dan anak buahnya itu dengan gagah berani, padahal mereka berdua adalah orang-orang biasa yang lemah dan tidak berdaya melawan."

"Jangan bilang mereka itu lemah Hong Beng. Mereka berdua itu kuat sekali, lebih kuat dari pada maut..."

"Ehhh, maksudmu?" Hong Beng terkejut dan heran sampai menghentikan langkahnya, memandang gadis itu dengan mata terbelalak.

Bi Lan tersenyum. "Jangan pandang aku seperti orang melihat setan!" katanya. "Aku katakan bahwa mereka itu tidak lemah, karena mereka saling memiliki, mereka saling mencinta. Cinta itulah yang membuat mereka kuat dan berani menghadapi ancaman maut."

Pandang mata Hong Beng menjadi lunak dan sayu ketika dia mendengar ucapan ini, jantungnya berdebar. "Bi Lan... bagaimana kau tahu tentang semua itu?"

"Tentu saja. Siapa pun dapat melihat bahwa sepasang pengantin itu saling mencinta, dan dengan bersenjatakan cinta kasih, keduanya berani menentang maut. Lihat betapa pengantin pria yang lemah itu berani melindungi calon isterinya, dan lihat juga betapa pengantin wanita itu menyandarkan keselamatannya kepadanya, nampak jelas dalam pandang mata mereka, sikap mereka."

"Bukan itu, maksudku, bagaimana engkau tahu tentang cinta kasih? Kau mengatakan bahwa cinta kasih membuat mereka kuat dan berani. Apakah... ehhh, pernahkah... kau mengalaminya sendiri?"

Wajah gadis yang biasanya polos dan tidak pemalu itu kini berubah agak merah dan matanya memandang marah. "Iihh, prasangkamu buruk! Kau kira aku ini wanita macam apa? Aku tidak pernah jatuh cinta dan tak akan pernah!" Kemudian sambungnya lirih, "Laginya, siapa sih yang bisa jatuh cinta kepada orang macam aku ini?"

Hong Beng merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Dengan muka agak pucat kini dia memandang gadis yang berdiri di depannya itu. Sinar matanya seperti hendak menembus dan menjenguk isi hati Bi Lan. Dia merasa betapa kedua kakinya gemetar. Hatinya gentar untuk bicara, akan tetapi ada dorongan kuat sekali yang memaksanya membuka mulut dan suaranya terdengar aneh dan ringan, seperti suara lain datang dari jauh ketika akhirnya dia berkata, "Bi Lan... dengarlah aku..."

Bi Lan membelalakkan matanya. Ia melihat wajah pemuda itu menjadi aneh, begitu pucat dan sinar matanya begitu sayu akan tetapi juga ada sinarnya yang tajam penuh selidik, dan yang paling mengherankan hatinya adalah kata-kata itu, dan suaranya yang demikian lembut dan penuh getaran.

"Hong Beng, ada apakah? Sejak tadi pun aku mendengarkanmu," katanya mengomel karena dia sendiri merasakan sesuatu yang amat aneh dan membingungkan dari sikap pemuda itu.

"Bi Lan... tahukah engkau... bahwa ada seorang yang jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali melihatmu?"

Sepasang mata yang jernih itu terbelalak. Bi Lan benar-benar tidak dapat menangkap apa yang dimaksudkan pemuda itu. "Hong Beng, engkau ini bicara apakah? Jangan main gila kau, siapa yang kau maksudkan itu?"

"Aku...!" Hong Beng mengaku dan hatinya lega setelah dengan nekat akhirnya dia mampu juga membuat pengakuan yang menggelisahkan dan menegangkan hatinya itu. "Aku telah jatuh cinta padamu sejak pertama kali melihatmu, maka janganlah mengira bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta padamu."

Bi Lan merasa betapa jantungnya berdebar dengan kacau. Ia tidak tahu apakah ia harus marah atau bagaimana. Ia merasa canggung, tidak malu, hanya canggung dan tidak enak. Ia merasa dibawa ke suatu daerah yang sama sekali asing baginya, diseret ke dalam keadaan yang menggelisahkan karena sama sekali tidak dikenal dan diketahui olehnya.

Ia tidak tahu sama sekali tentang cinta kasih, meski tadi dengan mudah saja ia dapat bicara tentang cinta yang nampak antara sepasang mempelai di dusun itu. Setelah kini ada orang yang mengaku cinta kepadanya, ia menjadi bingung! Apa lagi yang membuat pengakuan ini adalah Gu Hong Beng, satu-satunya pria yang selama ini dekat dengan dirinya, yang dianggapnya sebagai seorang sahabat baru yang amat baik.

Akhirnya, keadaan yang menegangkan dan membingungkan hatinya itu menimbulkan kemarahan! Keterlaluan sekali pemuda ini, merusak suasana yang sudah begitu baik! Mendatangkan kecanggungan dan perasaan tidak enak saja. Kini setelah mendengar pengakuan pemuda itu, mana mungkin selanjutnya ia dapat berada di dekat pemuda ini?

"Bi Lan, maafkan kalau keterus teranganku tadi menyinggung perasaan hatimu," kata Hong Beng dengan halus ketika dia melihat betapa wajah gadis itu menjadi sebentar pucat dan sebentar merah, dan terbayang kemarahan pada sinar matanya.

"Maaf? Enak saja engkau bicara!" Bi Lan mengomel. Sengaja dia bersikap biasa untuk mengusir perasaan tidak enak dalam hatinya dan membuyarkan suasana tegang yang mencekam di antara mereka. "Kau sudah merusak suasana dan aku tidak mungkin lagi melakukan perjalanan bersamamu."

"Bi Lan...!"

"Biarlah kita kelak berjumpa lagi kalau ada kesempatan, akan tetapi aku tidak mau lagi melakukan perjalanan bersamamu." Gadis itu lalu meloncat.

"Bi Lan, tunggu...!"

"Mau apa lagi?"

Dengan satu kali loncatan, Hong Beng sudah berada di depan gadis itu, wajahnya pucat dan membayangkan kegelisahan dan kekecewaan. "Bi Lan, apakah pernyataan cintaku tadi menyakiti hatimu, menyinggung perasaanmu?"

"Tidak menyakiti, akan tetapi tentu saja menyinggung! Aku tidak suka bicara tentang itu!"

"Akan tetapi apakah kau... menolak cintaku? Bi Lan, berterus teranglah saja agar aku tidak tenggelam ke dalam keraguan dan kegelisahan. Apakah tidak ada cinta di hatimu terhadap diriku? Apakah engkau membenciku?"

Bi Lan membanting kakinya dengan gemas. "Aku tidak suka bicara tentang itu, engkau malah menghujani aku dengan urusan cinta! Huh, aku tidak mencinta siapa-siapa, dan juga tidak membenci siapa-siapa. Sudahlah, selamat tinggal!" Dan ia pun melarikan diri dengan cepatnya meninggalkan pemuda itu.

Hong Beng berdiri bengong dengan muka pucat. Ingin dia mengejar dan dia yakin akan dapat menyusul gadis itu kalau mengejarnya, akan tetapi dia tidak mau membikin marah gadis itu dengan desakannya. Dia hanya berdiri sambil mengepal tinju, dan diam-diam merasa menyesal kepada diri sendiri yang telah begitu tergesa-gesa menyatakan cinta kasihnya.

Tadinya memang dia tak berniat untuk menyatakan cintanya, biar pun sejak pertemuan pertama dia sudah jatuh hati. Bukan hanya perasaan kagum yang terasa olehnya terhadap gadis itu, melainkan perasaan cinta. Hal ini dia rasakan benar walau pun dia juga belum berpengalaman dalam hal itu. Tadinya ia hanya akan merahasiakannya saja sambil menanti kesempatan baik untuk kelak mengakui cintanya.

Akan tetapi, perjumpaan mereka dengan sepasang mempelai yang saling mencinta itu, kemudian membicarakan cinta kasih sepasang mempelai itu, ditambah lagi ucapan Bi Lan yang merasa bahwa tidak ada orang yang bisa jatuh cinta kepadanya, semua itu mendorongnya dan pernyataan cinta itu pun meluncur keluar dari mulutnya sebelum dia sempat menahannya lagi.

Dan kini semua itu telah terjadi. Dia sudah terlanjur menyatakan cinta dan gadis itu menolaknya, bahkan kini meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja! Hong Beng merasa betapa keadaan sekelilingnya tiba-tiba saja menjadi amat sunyi. Dia merasa ditinggalkan seorang diri, merasa disia-siakan, merasa tidak ada gunanya lagi. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menutupkan kedua tangan di depan mukanya sambil memejamkan kedua matanya.

Dia merasa terpukul dan terhimpit batinnya untuk ke dua kalinya selama hidupnya yang delapan belas tahun ini. Pertama kali ketika dia kehilangan ayah bundanya. Dan kedua kalinya sekarang ketika dia ditinggalkan Bi Lan. Perasaannya menjadi terapung seperti melayang di udara, hatinya kosong, kedukaan menyelimutinya, seperti gelombang besar menerkamnya, menenggelamkannya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga