SULING NAGA : JILID-11
Dengan lirikan ujung matanya, Bi Lan melihat betapa seorang pemuda yang duduk di sudut ruangan itu, sejak tadi kadang-kadang melirik ke arah mejanya. Pemuda ini belum tua benar, paling banyak dua puluh tahun. Seorang pemuda yang berwajah cerah dan tampan, namun amat sederhana, baik perawakan, muka dan rambutnya yang dikuncir tebal itu mau pun pakaiannya yang hanya terbuat dari kain kasar berwarna biru dan sepatunya dari kulit.
Pemuda itu makan bakmi dengan sumpitnya, dan cara makannya juga sopan, tanda bahwa pemuda itu bukan orang yang suka ugal-ugalan walau pun pakaiannya tidak menunjukkan bahwa dia seorang terpelajar. Di atas mejanya terdapat sebuah buntalan yang agak panjang, mungkin terisi pakaian dan ini saja menandakan bahwa pemuda itu tentu seorang pendatang dari luar kota pula, bukan penduduk di situ dan agaknya dia baru saja masuk kota, terbukti dari bekal pakaian yang masih dibawanya, seperti juga Bi Lan dan Bi-kwi sendiri yang menaruh buntalan pakaian mereka di atas meja.
Juga Bi Lan melihat betapa suci-nya beberapa kali mengerling ke arah pemuda itu dan karena inilah sebetulnya maka ia menjadi tertarik dan ikut-ikut melirik. Ia dapat menduga dari sikap suci-nya, bahwa suci-nya sudah kambuh pula penyakitnya, yaitu penyakit mata keranjang. Tentu suci-nya naksir pemuda tampan itu, pikirnya dan kembali ada perasaan tidak enak menekan hatinya. Sejak dahulu, melihat watak suci-nya, ia merasa muak dan tidak senang. Akan tetapi karena hal itu adalah urusan pribadi suci-nya, dia pun pura-pura tidak tahu dan tidak ingin mencampurinya pula.
Tiba-tiba seorang pelayan berseru, "Celaka, dia datang lagi... !"
Mendengar seruan ini, pengurus restoran menjadi pucat wajahnya, dan semua pelayan juga nampak gugup ketakutan. Pengurus restoran yang kurus itu lalu mengambil uang dari laci mejanya dan menyembunyikannya di bawah tumpukan bungkusan bumbu-bumbu masakan. Beberapa orang tamu yang melihat hal itu menjadi heran, dan ada juga yang menjadi khawatir karena tentu akan terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.
Tak lama kemudian, di depan pintu restoran itu sudah muncul seorang laki-laki. Dengan sudut matanya, Bi Lan dan Bi-kwi melirik. Laki-laki itu usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya nampak tegap dan kokoh kuat. Tetapi yang menyolok adalah pakaian laki-laki ini yang terbuat dari kain yang berwarna serba merah!
Lebih menyolok lagi adalah sepasang golok yang dijadikan satu dan masuk dalam satu sarung, tergantung di pinggang kirinya. Di jaman itu, membawa senjara tajam secara demikian menyolok merupakan hal yang aneh, karena pemerintah sudah lama melarang membawa senjata tajam di tempat umum. Hal ini saja menunjukkan bahwa tentu orang berpakaian serba merah ini adalah seorang jagoan.
Laki-laki baju merah itu mempunyai sepasang mata yang lebar dan sikap yang galak. Begitu tiba di depan pintu, matanya lalu menyapu ruangan restoran, melihat ke arah para tamu yang hanya enam meja itu, dan agak lama pandang matanya berhenti pada meja Bi Lan.
"Hemmm, rakyat lagi hidup sengsara dan kekurangan, kurang makan kurang pakaian, dan kalian enak-enak makan lezat di sini. Sungguh tidak tahu peri kemanusiaan! Hayo setiap orang menyumbang seharga makanan yang dipesannya!"
Tentu saja ucapan dan sikap laki-laki ini mendatangkan bermacam reaksi di kalangan para tamu. Ada yang memandang marah, ada yang ketakutan, dan suasana menjadi tegang. Pengurus restoran yang kurus itu tergopoh-gopoh lari menghampiri laki-laki baju merah yang sudah melangkah memasuki restoran, tangannya membawa segenggam uang dan dia membungkuk-bungkuk di depan laki-laki itu.
"Harap si-cu (orang gagah) jangan mengganggu para tamu di sini. Kedatangan si-cu kemarin dulu menimbulkan kepanikan dan kalau terus-menerus begini, tamu-tamu dan langganan kami akan takut untuk makan di restoran kami. Harap si-cu maafkan kami dan suka meninggalkan tempat kami, ataukah si-cu juga ingin makan minum? Mari silahkan..."
"Diam!" hardik orang baju merah itu. "Dan jangan mencampuri urusanku!"
"Tapi, si-cu, ini adalah tempat kami mencari nafkah... harap si-cu suka menerima sedikit sumbangan ini. Biarlah kami atas nama para tamu menyerahkan sumbangan ini." Sang Pengurus itu dengan tangan gemetar lalu memberikan segenggam uang itu kepada si baju merah.
Si baju merah melihat segenggam uang itu dan karena uang itu hanya terdiri dari uang kecil, marahlah dia.
"Aku bukan pengemis!" bentaknya.
Dan sekali tangan kirinya bergerak, dia sudah mencengkeram baju si pengurus restoran bagian dadanya, mengangkat tubuh orang itu dan sekali lempar, tubuh si kurus itu terjengkang dan terbanting, uang kecil segenggam itu jatuh berhamburan di atas lantai. Tentu saja peristiwa ini amat mengejutkan semua tamu.
Tiga orang tamu pria yang duduk paling depan merasa takut, dan cepat-cepat mereka membayar harga makanan ke meja pengurus yang kini sudah melangkah ketakutan dan kembali ke belakang mejanya tanpa memunguti uang yang berhamburan tadi, kemudian tiga orang itu hendak melangkah keluar dari restoran. Tetapi tiba-tiba orang baju merah itu sudah menghadang mereka dan memalangkan lengan kanannya di depan pintu.
"Bayar dulu kepadaku seharga makanan kalian itu, baru kalian boleh keluar dari sini," katanya.
"Akan tetapi kami sudah bayar makanan kami. Kalau engkau hendak minta sumbangan, seharusnya kepada pemilik restoran, bukan kepada kami!" kata seorang di antara tiga orang itu, sikapnya agak berani karena mereka bertiga dan pengacau itu hanya seorang saja.
"Aku mau minta kepada pemilik restoran atau tidak adalah urusanku, kalian tidak perlu mencampuri. Aku datang untuk minta pajak kepada kalian, kalau tidak mau memberi, terpaksa aku akan mengeluarkan lagi makanan dan minuman yang tadi kalian makan!"
Ucapan ini biar pun berupa ancaman akan tetapi dianggap tak masuk akal, maka tiga orang itu berkeras menolak. "Engkau sungguh mau enaknya sendiri saja!" seorang di antara mereka mencela.
Tiba-tiba si baju merah itu bergerak. Cepat sekali gerakannya dan tahu-tahu tiga orang itu telah dipukul dan ditendangnya, masing-masing satu kali dan tepat mengenai perut mereka bagian atas, tepat di bawah ulu hati. Keras sekali pukulan dan tendangan itu, mengguncangkan pencernaan mereka dan tanpa dapat dicegah lagi, tiga orang itu lalu muntah-muntah dan benar saja, semua makanan yang tadi telah mereka makan keluar semua!
"Masih belum mau bayar?" bentak si baju merah.
Tiga orang itu dengan menahan rasa nyeri dan ketakutan, terpaksa merogoh saku dan membayar kepada si baju merah tepat sebanyak yang mereka bayar kepada pengurus restoran tadi. Tamu-tamu lain dari tiga meja berikutnya cepat-cepat membayar harga makanan, dan tanpa banyak membantah mereka pun membayar kepada si baju merah ketika mereka keluar dan terhadang oleh si baju merah. Kini tinggal pemuda yang duduk sendirian dan dua orang wanita yang masih melanjutkan makan minum.
Bi Lan sejak tadi merasa betapa perutnya panas. Ingin sekali ia bangkit dan memberi hajaran kepada si baju merah itu. Akan tetapi ia selalu dididik oleh Sam Kwi dan Bi-kwi agar tidak mencampuri urusan orang lain kalau tidak menyangkut diri sendiri. Biar ada orang membunuh atau menyiksa orang lain, kalau hal itu tidak merugikan diri sendiri, tidak perlu dicampuri, demikian pelajaran yang diterimanya.
Biar pun kini ia merasa marah sekali terhadap si baju merah, pelajaran itu yang sudah meresap di hatinya membuat Bi Lan menahan kemarahannya. Apa lagi karena ia pun melihat betapa suci-nya tetap makan minum seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu di tempat itu. Dan anehnya, ketika melirik ke arah pemuda itu, ia melihat pemuda itu juga masih makan bakminya, perlahan-lahan seolah-olah pemuda itu sengaja memperlambat makan bakminya dan memberi kesempatan kepada dua orang gadis itu untuk selesai lebih dulu dan membayar lebih dulu! Akan tetapi Bi Lan melihat betapa suci-nya juga melakukan hal yang sama, seolah-olah suci-nya ingin melihat pemuda itu selesai lebih dulu dan suci-nya ingin menjadi tamu yang paling akhir meninggalkan tempat itu.
Karena dua meja yang dinanti-nantinya itu agaknya sengaja memperlambat makan mereka, akhirnya si baju merah menjadi kehabisan sabar. Sejak tadi dia menanti sambil mengumpulkan uang hasil pemerasannya itu ke dalam sebuah kantong kecil. Dia duduk di atas meja paling depan dan memandanq kepada pemuda dan dua orang gadis yang masih terus enak-enak makan minum seolah-olah dunia ini amat tenteram dan penuh kedamaian!
Si baju merah menjadi tidak sabar. Dengan langkah lebar dia masuk ke dalam ruangan itu dan karena meja Bi kwi dan Bi Lan berada lebih dekat dari pada meja pemuda itu, maka si baju merah berhenti dekat meja mereka. Kedua matanya yang lebar itu melotot memandang kepada Bi-kwi dan Bi Lan secara bergantian. Akan tetapi dia tidak jadi marah ketika melihat bahwa dua orang wanita itu ternyata lebih cantik dari pada ketika dilihatnya dari depan tadi.
Tiba-tiba Bi Lan yang sejak tadi merasa marah dan mendongkol kepada si baju merah berkata dengan suara lantang, "Suci, masakan di restoran ini cukup lezat, akan tetapi sayang, ada lalat merah yang mengotorkan tempat ini. Sungguh menjijikkan!"
Tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dan pemuda yang duduk sendirian itu mengomel seorang diri, "Tepat sekali, lalat merah memuakkan!"
Tentu saja si baju merah menjadi marah karena dia tahu bahwa yang dinamakan lalat merah itu tentu dirinya. Tetapi dia malah tersenyum menyeringai dalam kemarahannya dan berkata, "Dua nona manis, kalian tidak perlu membayar pajak kepadaku, cukup kalau kalian masing-masing memberi ciuman di bibirku, masing-masing tiga kali saja. Bagaimana?" Dia terkekeh secara kurang ajar sekali.
Bi Lan melihat api bernyala di kedua mata suci-nya dan kalau tadi ia marah kepada si baju merah, kini ia merasa khawatir. Tidak perlu diragukan lagi, kalau suci-nya bangkit dan turun tangan, tentu si baju merah ini akan mati dalam keadaan mengerikan. Ia telah mengenal kekejaman hati suci-nya kalau sedang marah dan pada waktu itu, suci-nya marah sekali. Maka ia mendahului suci-nya, bangkit berdiri dan menghadapi si baju merah tadi.
Melihat Bi Lan bangkit, si baju merah tertawa girang. "Heh-heh, nona manis. Engkau yang akan memberi ciuman lebih dulu? Bagus, aku senang sekali!" katanya dan dia pun meruncingkan bibirnya yang hitam kasar dan tebal.
"Plakkk! Inilah ciumanku!"
"Aduhhhh...!" Laki-laki itu terpelanting ketika pipinya terkena tamparan tangan Bi Lan. Dia merasa seolah-olah kepalanya pecah, demikian kuatnya tamparan itu tadi. Tahulah dia bahwa gadis itu mempunyai kepandaian maka berani menamparnya. Kemarahan membuat dia lupa akan rasa nyeri di pipinya yang sudah membengkak merah, hampir sama dengan warna pakaiannya.
"Keparat! Berani engkau memukul aku? Tidak tahukah bahwa aku seorang tokoh Ang-i Mo-pang?" bentak laki-laki itu dan dia sudah mencabut keluar sepasang goloknya.
Tentu saja Bi Lan sudah mendengar nama perkumpulan Ang-i Mo-pang (Perkumpulan Iblis Baju Merah), karena suci-nya pernah bercerita bahwa perkumpulan itu sudah ditaklukkan oleh suci-nya dan bahkan menjadi pembantunya. Tapi mengapa ada orang kini mengaku tokoh Ang-i Mo-pang dan berani bersikap kurang ajar terhadap suci-nya? Namun pada saat itu, orang baju merah itu sudah menggerakkan sepasang goloknya, diputar-putarnya sepasang golok itu di atas kepala, dengan muka beringas dan sikap mengancam dia hendak menyerang Bi Lan.
Pada saat itu nampak cairan putih menyambar ke arah muka si baju merah yang tidak sempat mengelak dan tahu-tahu mukanya sudah kena siram kuah bakso yang panas. Dia gelagapan dan melangkah mundur, mengusap mukanya dan terutama matanya yang terasa pedih itu dengan lengan baju, lalu memandang ke kanan. Kiranya yang menyiram mukanya dengan kuah bakso dari mangkok itu adalah seorang pemuda yang tadi duduk sendirian makan bakmi di meja sebelah dalam.
Sepasang mata orang berpakaian merah itu mendelik. Kemarahannya memuncak. Baru kemarahan terhadap gadis di depannya yang sudah menampar mukanya saja belum terlampiaskan, dan kini muncul lagi seorang pemuda yang begitu berani mati menyiram mukanya dengan kuah bakso. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa pemuda ini biasa saja.
Seorang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, berpakaian sederhana berwarna biru, tubuhnya sedang-sedang saja dan wajahnya bersih dengan kulit putih sehingga nampak cukup tampan. Tidak ada apa-apanya yang istimewa, juga tidak membayangkan seorang yang terlalu kuat atau yang memiliki ilmu silat tinggi.
Agaknya, pemuda itu tadi ketika melihat si baju merah mengeluarkan golok dan hendak menyerang Bi Lan, sudah cepat bangkit dari tempat duduknya. Tangan kanannya masih memegang sepasang sumpit dan tangan kiri menyambar mangkok bakso yang sudah dimakannya dan tinggal tersisa kuahnya, lantas bangkit menghampiri laki-laki itu dan menyiramkan kuah bakso.
"Kau... kau... keparat bosan hidup!" bentak si tokoh Ang-i Mo-pang dan kini goloknya yang kanan sudah menyambar ke arah kepala pemuda itu.
Bi Lan yang sejak tadi memandang dengan heran atas keberanian pemuda itu, kini terkejut. Akan tetapi dia tidak mau mencampuri karena dia melihat betapa pemuda itu bersikap tenang sekali. Pada saat golok itu menyambar ke arah kepalanya, pemuda itu sama sekali tidak nampak takut atau hendak mengelak, sebaliknya malah mengangkat tangan kanannya yang memegang sumpit dan dengan sepasang sumpit itu dia lalu menyambut sambaran golok.
"Wuuuuttt... !" Golok menyambar.
"Trakkk... !"
Sepasang sumpit itu menyambut dan tahu-tahu sudah menjepit golok secara tepat dan luar biasa sekali. Tahu-tahu golok itu telah dijepit oleh sepasang sumpit dan tidak dapat bergerak lagi!
Si baju merah terkejut bukan main karena tiba-tiba goloknya terhenti gerakannya. Dia cepat mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia belaka. Goloknya seperti telah dijepit jepitan baja yang amat kuat dan dia sama sekali tidak mampu menggerakkan golok itu, apa lagi melepaskannya dari jepitan. Kini barulah dia dapat menduga bahwa seperti juga gadis cantik itu, si pemuda ini pun ternyata bukan orang sembarangan.
Akan tetapi dasar wataknya memang sombong, dia tidak mau mengerti akan kenyataan ini, dan bahkan merasa penasaran. Golok di tangan kirinya juga menyambar, dengan cepatnya dia telah menggerakkan golok kiri itu untuk menusuk perut si pemuda baju biru. Pemuda itu kembali tidak mengelak, akan tetapi tiba-tiba mangkok di tangan kirinya digerakkannya ke depan dan tepat memukul pergelangan tangan kiri lawan. Demikian cepat gerakannya sehingga sebelum golok itu menyambar, pergelangan tangan tokoh Ang-i Mo-pang sudah dihantam mangkok itu.
"Dukkk!"
Si baju merah mengeluarkan seruan kesakitan dan golok itu terlepas dari tangan kirinya.
"Mundurlah kau, kami tidak minta bantuanmu!" Mendadak Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi berseru dengan suara dingin.
Pemuda itu agaknya terkejut mendengar suara dingin ini dan dia menarik kembali sepasang sumpitnya, lalu melangkah mundur dan menjura ke arah dua orang gadis itu. "Maafkan saya," katanya, lalu dia kembali ke mejanya, melanjutkan makan bakminya yang belum habis! Pemuda itu bersikap seolah-olah tidak terjadi sesuatu.
"Hemmm, kau masih bengong di situ, tidak lekas berlutut? Kau harus mencium lantai sampai tiga kali dan minta ampun, baru aku akan membiarkan engkau pergi dari sini!" kata Bi Lan dengan sikap galak dibuat-buat.
Akan tetapi, orang yang mengaku sebagai tokoh Ang-i Mo-pang itu agaknya tidak biasa dikalahkan orang sehingga beratlah baginya untuk mengakui kekalahannya. Apa lagi harus berlutut menciumi tanah dan minta ampun kepada seorang gadis muda! Dia tadi memang sudah merasakan kehebatan pemuda itu dan kalau pertempuran dilanjutkan, mungkin dia akan kalah.
Akan tetapi gadis ini belum mengalahkannya, baru tadi menamparnya dan hal ini tidak menunjukkan bahwa gadis ini lihai. Untung bahwa pemuda lihai itu sudah kembali ke tempat duduknya dan agaknya tidak lagi mencampuri urusan itu. Dia kini memperoleh kesempatan melampiaskan kedongkolan hatinya kepada gadis ini, sekalian membalas tamparan yang membuat pipinya biru membengkak.
Dia memang merendahkan tubuhnya, akan tetapi bukan untuk berlutut, melainkan untuk menyambar golok kirinya yang tadi terlepas dan jatuh di lantai. Kini dengan kedua batang golok di kedua tangan, orang itu lalu menyerang Bi Lan kalang-kabut seperti seekor babi buta. Tentu saja dengan mudah Bi Lan mengelak ke kanan kiri karena baginya, gerakan orang itu masih terlalu lambat.
Bi Lan maklum bahwa kalau berhadapan dengan suci-nya, tentu orang ini tidak akan selamat, tentu akan tewas atau setidaknya akan tersiksa dan terluka parah, atau menderita cacad selama hidup. Dia memang tidak suka kepada orang yang jahat, kejam dan bertindak sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya ini dan memang sudah selayaknya kalau orang ini dihajar. Akan tetapi, juga jangan sampai terjatuh ke tangan suci-nya yang amat kejam. Dia merasa ngeri juga membayangkan apa yang akan terjadi dengan orang ini kalau terjatuh ke tangan suci-nya. Karena itu, ia mendahului suci-nya menghajar orang ini agar cepat pergi dan terhindar dari kekejaman tangan suci-nya.
Sepasang golok itu menyambar-nyambar dengan ganasnya. Akan tetapi, hanya dengan gerakan kedua kakinya, Bi Lan dapat menghindarkan semua sambaran golok dan tiba-tiba kedua kakinya bergerak bergantian dan terdengarlah seruan kaget si baju merah yang disusul suara sepasang golok berkerontangan terlempar ke atas lantai. Kemudian, sekali tangan Bi Lan meluncur ke depan, ke arah pundak orang itu.
“Krekkk!” terdengar suara yang disusul jeritan orang itu yang kemudian terjengkang ke atas lantai dengan tulang pundak patah!
"Nah, manusia sombong, pergilah cepat dan jangan ulangi lagi kejahatanmu memeras orang yang sedang makan di restoran!" kata Bi Lan.
Orang itu memandang kepada Bi Lan dengan mata terbelalak. Baru sekarang agaknya dia sadar bahwa seperti juga pemuda itu, gadis ini lihai bukan main, sama sekali bukan tandingannya. Maka dia pun merayap bangun, memegangi pundak kanan yang patah tulangnya dengan tangan kiri, sekali lagi memandang melotot kemudian membalikkan tubuh menuju ke pintu sambil berseru, "Tunggu pembalasan Ang-i Mo-pang!"
"Heii, berhenti kamu!" Tiba-tiba terdengar suara Setan Cantik, suaranya melengking dan mengandung rasa dingin menyusup tulang sehingga kembali pemuda sederhana yang kini sudah menyelesaikan bakminya itu memutar bangku dan menghadapinya, melihat apa yang akan terjadi.
Si baju merah juga kaget dan menghentikan langkahnya di ambang pintu, lalu memutar tubuhnya menghadapi dua orang gadis itu. Dia sudah kalah, mau apa lagi dua orang gadis itu?
Setan Cantik masih duduk di atas bangkunya dan dua batang golok milik si baju merah yang tadi terlepas dari tangannya kini berada di depan kaki itu. Dengan kaki kirinya yang bersepatu merah, Bi kwi mencokel sebatang golok dan begitu wanita itu menggerakkan kakinya, golok itu terlempar dan jatuh berkerontangan tepat di depan kaki si tokoh Ang-i Mo-pang.
"Kamu sudah berdosa terhadapku, hayo cepat kau tinggalkan tangan kananmu!" bentak Setan Cantik dengan suara dingin.
Laki-laki baju merah itu memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti apa maksud wanita cantik itu.
"Apa... apa maksudmu...?" tanyanya, masih penasaran, marah akan tetapi juga jeri.
"Ambil golok itu dengan tangan kirimu dan buntungi tangan kananmu, baru kau boleh pergi membawa nyawa tikusmu dari sini," kata pula Si Setan Cantik. Orang itu terbelalak dan mukanya menjadi pucat.
"Suci, kurasa tidak perlu begitu!" Bi Lan juga berkata dengan hati ngeri mendengar tuntutan suci-nya.
"Diam! Kau anak kecil tahu apa!" bentak suci-nya kepada Bi Lan.
Bi Lan tidak dapat berkata apa-apa lagi karena tentu saja dia tidak mau ribut dengan suci-nya hanya untuk membela orang yang jahat dan kurang ajar itu. Sementara itu, pemuda yang nonton tidak memperlihatkan apa-apa pada wajahnya yang tetap tenang itu.
Si baju merah itu memandang dengan muka berubah merah sekali, tetapi kemudian menjadi pucat lagi. Dia merasa terhina dan marah bukan main, akan tetapi juga maklum bahwa kalau dia menyerang lagi, sama halnya dengan membunuh diri. Maka dia lalu mendengus tanpa menjawab, dan segera membalikkan tubuhnya lagi.
Akan tetapi dengan gerakan yang cepat bukan main, Ciong Siu Kwi atau Si Setan Cantik itu sudah menyambar golok ke dua dari atas lantai, kemudian sekali tangannya bergerak, golok itu meluncur ke depan, ke arah tokoh Ang-i Mo-pang yang hendak pergi itu.
"Crakkk... cappp...!"
Golok itu meluncur bagaikan kilat, menyambar dan mengenai lengan kiri si baju merah, dan setelah membabat putus lengan itu sebatas siku, golok masih meluncur terus dan menancap pada daun pintu!
"Aduhhhh...!" Si baju merah menjerit dan terhuyung-huyung.
Ia lalu membalikkan tubuh dan memandang ke arah buntungan lengannya di atas lantai, kemudian memandang kepada lengan kirinya yang tinggal sepotong dan sambil menjerit panjang dia lalu melarikan diri dari tempat itu, meninggalkan darah yang berceceran di sepanjang jalan.
Tentu saja peristiwa ini mengejutkan pengurus restoran dan para pelayan, juga nampak banyak orang menonton di luar restoran itu walau pun mereka hanya berani nonton dari jauh ketika tadi mendengar ada orang berpakaian merah memeras para pengunjung restoran. Akan tetapi Setan Cantik tidak mempedulikan semua itu, malah meneriaki pelayan untuk menambah arak dan menambah satu kilo daging bebek panggang!
Wanita ini nampak tenang saja, hanya satu kali melempar pandang ke arah pemuda yang juga masih duduk di tempatnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun atau sikap yang merasa heran. Diam-diam Bi-kwi mendongkol melihat pemuda itu yang bersikap tak acuh, seolah-olah perbuatannya tadi tidak hebat dan tidak ada apa-apanya untuk dikagumi.
Melihat para pelayan menjadi sibuk dan terlihat bingung ketakutan memandang ke arah potongan lengan di dekat ambang pintu, Bi Lan lantas berkata kepada mereka, "Harap kalian tidak menjadi bingung. Kami sedang menanti kembalinya orang tadi bersama kawan-kawannya!"
Akan tetapi, pengurus restoran itu lalu menghampiri mereka dan dia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi dengan tubuh gemetar dan muka pucat. "Harap ji-wi lihiap suka mengampuni kami..."
Bi-kwi mengerutkan alisnya dan sinar matanya menyambar ke arah muka pengurus restoran itu. "Sekali lagi kau menyebut lihiap, kau akan kubunuh!"
Tentu saja pemilik restoran itu terkejut bukan main dan menjadi semakin ketakutan.
"Sebut nona kepada suci-ku," kata Bi Lan yang maklum bahwa ancaman suci-nya tadi bukan ancaman kosong belaka.
Suci-nya menganggap semua pendekar di dunia persilatan sebagai manusia-manusia sombong dan sebagai musuh-musuhnya, maka sebutan lihiap (pendekar wanita) yang selalu dimusuhinya merupakan penghinaan bagi dirinya.
"Siocia... harap sudi memaafkan saya... kami... kami tidak berani tinggal di sini lebih lama lagi... ijinkanlah kami pergi dari tempat ini..."
Kembali Bi-kwi yang menjawab dengan suara kaku, "Siapa yang berani meninggalkan tempat ini akan kubuntungi lengannya juga seperti orang tadi!"
Bi Lan cepat mendekati pengurus restoran itu, yaitu seorang laki-laki berusia hampir lima puluh tahun. "Lopek (paman tua), dengarlah baik-baik. Suci hendak tinggal di sini sebentar untuk menunggu kembalinya orang tadi yang tentu akan membawa teman-temannya. Kalian semua tenang-tenang sajalah dan layani permintaan suci. Jangan ada yang keluar dari sini kalau tidak mau celaka."
"Tapi... tapi... dia tadi adalah orang dari perkumpulan Ang-i Mo-pang, aduh akan celaka kita semua..."
"Diamlah dan kembali ke tempatmu!" Bi Lan kini menghardiknya karena gadis ini pun merasa jengkel melihat kecengengan orang itu.
Dihardik demikian, kuncup pula rasa hati si pengurus restoran dan dia pun bangkit, lalu melangkah kembali ke tempat duduknya dengan muka tunduk, sedangkan para pelayan berkumpul di belakangnya dengan muka pucat. Akan tetapi, mereka melayani pesanan Bi-kwi dengan cepat.
"Aku juga minta bebek panggang seperti itu!" tiba tiba terdengar pemuda tadi berseru, suaranya lembut akan tetapi nadanya sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia gentar atau heran.
Pengurus restoran dan para pelayan tentu saja khawatir sekali dan diam-diam memaki pemuda yang tidak tahu diri itu. Bagaimana kalau nona-nona galak itu marah dan membuntungi lengannya atau membunuhnya?
Akan tetapi anehnya, dua orang gadis itu sama sekali tak mempedulikan sikap pemuda itu. Hanya Bi Lan yang mengerling dan melihat betapa pemuda itu juga mengerling kepadanya. Ia pun cepat-cepat mengalihkan pandang matanya. Diam-diam Bi Lan juga menduga-duga siapa adanya pemuda yang lihai itu, dan mengapa pemuda itu agaknya memang sengaja hendak menunggu kelanjutan dari peristiwa ini. Akan tetapi, Bi Lan juga tidak ambil peduli dan ia pun makan bebek panggang bersama suci-nya.
Mereka bertiga masih makan dengan santai ketika terdengar suara ribut-ribut di luar pintu restoran.
"Inilah restorannya."
"Dan itu potongan lengan A Pai!"
Muncullah tiga orang pria berpakaian serba merah. Berdiri paling depan adalah seorang laki-laki berusia hampir enam puluh tahun, bertubuh tinggi kurus bermuka pucat dan di punggungnya tergantung sepasang golok melintang. Dua orang lainnya bertubuh tinggi besar dan mereka memegang sebatang pedang terhunus dengan sikap galak. Namun, begitu mereka memasuki restoran, melangkahi lengan buntung yang menggeletak di atas lantai lalu memandang ke arah Bi-kwi, tiga orang itu terbelalak.
"Ciong-siocia...!" Kakek tinggi kurus muka pucat itu berseru.
Bi-kwi masih duduk saja dan kini ia memandang kepada tiga orang itu dengan sinar mata penuh selidik, lalu terdengarlah suaranya yang dingin menyeramkan, "Hemmm, kalian datang untuk membela lengan buntung itu dan ingin menebusnya dengan kepala kalian?"
Mendengar suara ini, tiba-tiba kakek itu bersama dua orang temannya menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bi-kwi. "Siocia... ampunkan kami... ahh, siapa tahu bahwa Siocia malah yang berada di sini? Sungguh pertemuan ini merupakan berkah dari langit, karena siapa lagi yang akan menolong kami selain Siocia?"
Si Setan Cantik memandang dengan alis berkerut. "Tee Kok! Seorang anak buahmu berani kurang ajar kepadaku dan kini kau datang malah hendak minta tolong? Omongan apa ini? Hayo katakan dahulu siapa pemilik lengan itu dan bagaimana anak buahmu sampai tidak mengenal aku?"
"Itulah dia, Siocia. Dia bukan anak buah kami, melainkan anak buah orang yang baru datang sebulan yang lalu. Dia datang dan menalukkan saya, kemudian memaksa untuk mengambil alih kedudukan ketua Ang-i Mo-pang. Sekarang dia bersama belasan orang anak buahnya yang menguasai keadaan. Orang tadi adalah seorang di antara mereka."
Bi-kwi mengangguk-angguk. "Hemmm... begitukah? Siapa dia?"
"Dia tidak pernah memperkenalkan namanya, bahkan teman-temannya juga tidak tahu siapa namanya, akan tetapi dia memakai julukan Thian-te Siauw-ong dan minta disebut Siauw-ong! Akan tetapi ilmu kepandaiannya amat hebat, Siocia."
"Apakah dia masih muda?" tanya Bi-kwi sambil menengok ke arah pemuda yang masih duduk di tempatnya semula. "Semuda dia itu?" Ia menuding ke arah pemuda itu.
Kakek tinggi kurus muka pucat itu adalah Tee Kok, ketua Ang-i Mo-pang yang lihai! Seperti kita ketahui, kakek ini telah menjadi pembantu Bi-kwi dan dia bersama seluruh anggota Ang-i Mo-pang telah menjadi pembantu Bi-kwi, maka tadi Bi Lan merasa heran melihat ada orang mengaku tokoh Ang-i Mo-pang berani kurang ajar terhadap suci-nya. Setelah mendengar penuturan kakek itu, barulah Bi Lan tahu mengapa terjadi hal yang aneh itu. Kiranya orang yang lengannya dibuntungi suci-nya tadi bukan anggota asli dari Ang-i Mo-pang, melainkan pendatang-pendatang baru yang mengambil alih kedudukan pimpinan di perkumpulan iblis itu.
Tee Kok mengangkat muka memandang pemuda itu. "Masih muda, akan tetapi tidak semuda itu. Usianya kurang lebih tiga puluh tahun."
"Hemm, pria-pria muda sekarang ini memang besar kepala, sombong dan berlagak. Pangcu, aku akan segera menemui laki-laki sombong Thian-te Siauw-ong itu, akan tetapi lebih dulu, aku minta engkau suka memberi hajaran kepada laki-laki muda yang jumawa ini!" Kembali ia menuding ke arah pemuda itu.
"Suci, perlu apa mencari perkara? Dia toh tidak bersalah apa-apa," Bi Lan menegur suci-nya karena ia khawatir kalau pemuda yang sama sekali tidak berdosa itu celaka di tangan suci-nya.
"Siauw-kwi, diamlah kau! Orang ini telah kurang ajar sekali, sombong memamerkan sedikit kepandaiannya kepada kita, perlu dihajar. Hendak kulihat apakah kepandaiannya juga sebesar kesombongannya! Jika dia mampu mengalahkan Ang-i Mo-pangcu, biarlah kuampuni karena kesombongannya itu beralasan. Akan tetapi kalau dia kalah, biarlah dia membawa mati kesombongannya itu. Pangcu hajar dia sampai mati!"
Tee Kok adalah ketua Ang-i Mo-pang, perkumpulan yang tentu saja termasuk golongan sesat. Nama perkumpulannya saja Perkumpulan Iblis Baju Merah! Dan Tee Kok sendiri adalah bekas anggota perkumpulan Hek-i Mo-pang yang terkenal ganas dan jahat.
Maka, kini mendengar perintah Bi-kwi yang ditakutinya itu, dia tersenyum menyeringai, lalu bangkit berdiri dan dengan pandang mata memandang rendah dia menghampiri pemuda yang masih duduk dengan tenang itu. Bagi orang yang sudah biasa melakukan kejahatan seperti Tee Kok, perintah untuk menghajar orang tentu saja dianggap amat menyenangkan.
Pertama, dia sendiri memang berwatak sadis dan memperoleh nikmat dari menyiksa orang lain. Ke dua, dia memperoleh kesempatan untuk memenuhi perintah orang yang ditakutinya dan menyenangkan orang itu. Ke tiga, dia mengharapkan bantuan Bi-kwi untuk menentang musuh yang merampas kedudukannya, maka kini dia harus lebih dulu membuat jasa.
"Orang muda, bangkit dan majulah untuk menerima hajaran dariku, heh-heh!" Tee Kok berkata sambil terkekeh dan dia pun sudah melolos sepasang goloknya. Dia bermaksud untuk menyiksa orang ini, tidak segera membunuhnya karena hal ini tentu akan makin menyenangkan hati Si Setan Cantik.
Bi-kwi memang memandang dengan wajah berseri-seri. Sama sekali bukan disebabkan kegirangan hatinya akan melihat betapa pembantunya itu menyiksa dan membantai pemuda itu. Tidak, ia bukan orang yang demikian tolol. Dari gerakan pemuda tadi, ia cukup dapat menduga bahwa pemuda itu bukan orang yang begitu mudah untuk dikalahkan. Dan inilah yang menggembirakan hatinya. Ia akan melihat tontonan yang amat menarik, perkelahian yang seru dan mati-matian.
Sebaliknya, Bi Lan nonton dengan hati gelisah dan alis berkerut. Gadis ini sama sekali tidak menyetujui akan sikap dan tindakan suci-nya. Pemuda itu sama sekali tidak berdosa, bahkan kalau tadi pemuda itu maju menentang si baju merah, bukankah hal itu menunjukkan bahwa pemuda itu membela ia dan suci-nya? Kenapa hal itu dianggap suatu kesombongan dan kekurang ajaran oleh suci-nya yang kini demikian kejam untuk menyuruh orangnya membunuh pemuda itu?
Tidak, dia tidak setuju dan diam-diam gadis ini pun sudah bersiap untuk mencegah dan melindungi pemuda itu apa bila perlu. Ia kini tidak perlu lagi berpura-pura takut kepada suci-nya. Memang, ia telah berjanji untuk membantu suci-nya, akan tetapi bantuan yang terbatas pada perampasan pusaka Liong-siauw-kiam dan usaha suci-nya untuk menjadi bengcu. Itu saja. Ia tidak akan membantu suci-nya dalam hal lain, dan jelas tidak akan membantu suci-nya melakukan kejahatan-kejahatan seperti yang hendak dilakukannya terhadap pemuda ini.
Pemuda itu bangkit berdiri. Tangan kanannya masih tetap memegang sepasang sumpit. Melihat Tee Kok dan dua orang temannya yang juga berpakaian merah-merah, dia pun melirik ke arah Bi Lan dan berkata, "Eh, seekor lalat merah diusir pergi, malah datang tiga ekor!"
Karena merasa bahwa pemuda itu bicara dengan menyangkut dirinya yang menjadi orang pertama yang menggunakan istilah lalat merah, Bi Lan menahan senyumnya, akan tetapi ia segera berkata kepada suci-nya, "Suci pernah bilang bahwa ketua Ang-i Mo-pang yang menjadi pembantunya memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau kini mampu mengalahkan pemuda yang tidak terkenal ini dengan sepasang goloknya, sungguh itu namanya nama besar yang tidak sesuai dengan kenyataannya."
Bi-kwi mengerutkan alisnya dan menoleh kepada sumoi-nya dengan sikap marah. Dia merasa tidak pernah memuji-muji kepandaian Tee Kok di depan sumoi-nya dan tahulah dia bahwa sumoi-nya itu sengaja menggunakan taktik mengangkat lalu membanting, yaitu berpura-pura memuji Tee Kok untuk menjatuhkannya. Dan memang taktiknya itu berhasil.
Ketika melihat Bi Lan, Tee Kok tidak mengenal siapa wanita muda cantik yang duduk dengan Bi-kwi yang ditakutinya itu. Akan tetapi barusan gadis itu menyebut suci kepada Bi-kwi. Maka, setelah mendengar pujian tentang kelihaiannya, dia tertawa bergelak dan cepat menyimpan kembali kedua goloknya dan menghadapi pemuda itu dengan tangan kosong saja sambil tersenyum lebar kepada Bi Lan! Melihat ini, Bi kwi mengerutkan alis makin dalam dan sama sekali tidak setuju, akan tetapi ia pun diam saja.
Bagaimana pun juga, Tee Kok marah sekali kepada pemuda itu yang jelas memakinya sebagai lalat merah. Baiknya, kemarahannya itu tadi disiram oleh kesenangan hati dipuji oleh seorang gadis cantik yang menjadi sumoi Bi-kwi, maka kini dia dapat menghadapi pemuda itu dengan senyum lebar.
"Orang muda, majulah dan mari kau berkenalan dengan kaki tanganku yang sudah gatal-gatal karena beberapa hari lamanya tidak pernah menghajar orang, heh-heh-heh!" katanya dengan sikap jumawa sekali.
Pemuda itu tersenyum. "Seekor lalat merah yang sudah kehilangan sengatnya, tinggal suaranya saja mengiang membisingkan."
Tentu saja Tee Kok menjadi semakin marah. "Bocah keparat! Kalau begitu aku tidak hanya akan menghajarmu, akan tetapi juga akan membunuhmu!"
Baru saja dia berhenti bicara, tubuhnya sudah menubruk ke depan dengan gerakan cepat dan kuat. Kedua lengannya dikembangkan dan menyerang dari kanan kiri, persis seperti seekor harimau yang menubruk domba. Tee Kok memang ingin menerkam dan menangkap pemuda itu pada kedua pundaknya, karena dia yakin bahwa begitu dia berhasil mencengkeram pundak dan mencengkeram jalan darah di kedua pundak, pemuda itu tentu takkan mampu berkutik lagi.
Akan tetapi pemuda itu sama sekali tidak tergesa-gesa menghadapi serangannya. Pertama-tama, sepasang sumpit yang tadi dipegang di tangan kanan, kini dia selipkan dulu di ikat pinggang. Setelah itu, barulah dia menghadapi serangan lawan, sementara kedua lengan lawan sudah dekat sekali dan dua tangan Tee Kok dengan jari-jari tangan terbuka sudah hampir menyentuh kedua pundaknya.
Tiba-tiba kedua tangan pemuda itu dari bawah bergerak naik dan kedua lengannya sudah menangkis dua lengan lawan dari bawah, dan begitu menangkis keluar, kedua tangan itu dilanjutkan ke depan menghantam dada.
"Dukkk...!"
Dada kanan kiri ketua Ang-i Mo-pang terdorong oleh kedua tangan pemuda itu sehingga tubuhnya terjengkang ke belakang. Dia terbanting roboh dan terbatuk-batuk keras oleh karena isi dadanya seperti rontok terkena dorongan kedua tangan tadi. Dia merasa marah dan malu bukan main.
Pemuda itu hanya mempergunakan gerakan yang biasa saja. Menangkis dari dalam kemudian mendorong dari dalam seperti itu hanya merupakan gerakan-gerakan dasar yang dipelajari oleh semua orang yang berlatih silat. Tetapi hebatnya, justru gerakan sederhana ini sudah berhasil merobohkannya dan membuat dia terbatuk-batuk seperti orang terserang penyakit mengguk, sampai terpingkal-pingkal.
Bi Lan yang masih duduk di atas kursinya mengejek. "Eh, pangcu. Engkau ini datang mau menghajar orang ataukah mau demonstrasi caranya orang batuk-batuk?"
Pengurus restoran dan para pelayan yang menonton sejak tadi dengan hati penuh rasa takut, hampir tak dapat menahan ketawa mereka. Akan tetapi dengan sekuat tenaga mereka menahan ketawa dan bersembunyi di balik meja dan kursi.
Tee Kok bangkit dengan muka merah dan mata melotot. Dalam segebrakan saja dia telah dirobohkan dan dibikin malu. Akan tetapi, orang yang berwatak sombong selalu mengagulkan diri sendiri dan memandang rendah orang lain. Dia menganggap bahwa kekalahannya tadi hanya terjadi karena dia memandang rendah saja.
Pemuda itu tadi merobohkannya bukan dengan ilmu silat yang hebat, hanya dengan gerakan sederhana. Dan andai kata dia tidak memandang rendah dan tidak bertindak sembrono dalam penyerangannya, tidak mungkin pemuda itu mampu merobohkannya. Demikianlah pendapat orang yang selalu mengagulkan diri sendiri dan sikap ini jelas merugikan diri sendiri, membuat dia bertindak ceroboh.
"Bocah keparat, bersiaplah untuk mampus!" teriaknya dan dia sudah mencabut lagi sepasang goloknya.
Kini dia tidak dapat tersenyum-senyum lagi sambil melirik ke arah Bi Lan seperti tadi. Sepasang matanya ditujukan kepada pemuda itu dan di dalam pandang matanya memancar nafsu membunuh. Akan tetapi pemuda baju biru itu hanya memandangnya dengan sikap tenang dan tahu-tahu sepasang sumpit tadi sudah berada di tangannya, kini di kedua tangan, masing-masing sebatang sumpit bambu kecil itu.
Golok kanan Tee Kok menyambar disusul golok kiri, yang kanan menabas ke arah leher sedangkan yang kiri menusuk perut. Semua orang yang menonton perkelahian itu, kecuali Bi-kwi, dan juga Bi Lan yang masih terus siap melindungi pemuda itu kalau perlu, merasa ngeri dan membayangkan bahwa tidak lama lagi pemuda itu tentu akan roboh menjadi mayat dengan tubuh tidak utuh lagi.
Akan tetapi, terjadilah keanehan. Sepasang golok di tangan Tee Kok itu, sekian kali menyambar ke arah tubuh pemuda itu, selalu terhenti di tengah jalan dan ditarik kembali seolah-olah ketua Ang-i Mo-pang itu tidak tega melukai tubuh si pemuda baju biru! Dan sebagai lanjutan dari sikap tidak tega ini, kakek kurus pucat itu menyerang semakin hebat saja dan semakin marah walau pun semua serangannya itu kemudian terhenti pula.
Hanya Bi-kwi dan Bi Lan yang tahu apa yang telah terjadi dan mereka berdua terkejut, juga Bi-kwi merasa terheran-heran dan Bi Lan merasa kagum sekali. Sama sekali bukan karena Tee Kok merasa tidak tega melukai pemuda itu, tetapi dia terpaksa menahan serangannya sebab jika dilanjutkan, bukan lawannya yang terbacok atau tertusuk golok, melainkan dia sendirilah yang akan celaka.
Kiranya, setiap kali dia menyerang, baik dengan golok kanan mau pun kiri, dan sebelum senjatanya mengenai tubuh lawannya, tiba-tiba saja sebatang sumpit telah menghadang dan mengancam dekat sekali dengan jalan darah di pergelangan tangan, siku mau pun bawah pangkal lengan, sehingga jika ia meneruskan serangannya itu, sebelum senjata menyentuh tubuh lawan yang menjadi sasaran, terlebih dahulu ujung sumpit itu akan menotok jalan darahnya! Ke mana pun juga dia menyerang, selalu saja sumpit-sumpit itu membayanginya dan mendahului setiap serangannya.
Tentu saja hal ini membuat Tee Kok amat terkejut, keheranan dan juga penasaran lalu menjadi marah bukan main sehingga setiap kali dia terpaksa menarik goloknya lalu dia menyerang lagi dengan lebih ganas! Namun sama saja, agaknya pemuda itu memiliki gerakan yang jauh lebih cepat lagi sehingga sumpit-sumpitnya selalu menodong ke arah jalan darah yang akan melumpuhkan lengan Tee Kok kalau serangannya dilanjutkan.
Bi-kwi sejak tadi juga nonton perkelahian itu dan diam-diam wanita ini pun merasa heran dan penasaran sekali. Ia mengenal tingkat kepandaian Tee Kok. Biar pun tidak terlalu tinggi dan dia sendiri akan mampu merobohkannya dalam waktu kurang dari sepuluh jurus saja, akan tetapi melihat perkelahian itu, ia tahu bahwa kalau pemuda baju biru itu mau, dalam segebrakan saja sumpitnya tentu akan mampu melakukan totokan dan merobohkan Tee Kok.
Ia memperhatikan dan ingin mengenal ilmu silat yang dimainkan pemuda itu agar dapat mengetahui dari perguruan mana pemuda itu berasal. Namun, pemuda itu bergerak sembarangan saja dan agaknya malah tidak bersilat, hanya kedua lengannya yang selalu bergerak cepat melakukan penodongan dengan sumpit-sumpitnya itu melenggak-lenggok macam dua ekor ular saja.
Tentu semacam Ilmu Silat Ular, pikirnya, akan tetapi dari cabang manakah? Sebagai seorang tokoh sesat yang berpengalaman, dan juga sudah banyak bertanding melawan orang-orang dari berbagai partai persilatan, Bi-kwi banyak mengenal ilmu-ilmu silat dari dunia persilatan. Akan tetapi sekarang ia mendongkol sekali karena ia sungguh harus mengaku bahwa ilmu silat yang dimainkan pemuda baju biru itu tidak dikenalnya sama sekali.
Sebetulnya, hal itu tidak mengherankan karena ilmu silat yang dimainkan pemuda itu bukanlah ilmu silat biasa, melainkan ilmu silat yang sumber atau asalnya dari keluarga para pendekar Pulau Es! Pemuda itu bukan lain adalah Gu Hong Beng, putera tunggal mendiang Gu Hok, tukang kayu di Siang-nam yang dahulu tewas oleh Bong-ciangkun komandan Siang-nam itu.
Seperti telah kita ketahui, Gu Hok dan isterinya tewas, akan tetapi putera tunggal mereka yang bernama Gu Hong Beng dan pada waktu itu baru berusia sebelas tahun, diselamatkan oleh pendekar Suma Ciang Bun, seorang pendekar dari keluarga Pulau Es. Anak itu kemudian menjadi murid Suma Ciang Bun.
Selama hampir delapan tahun lamanya Hong Beng digembleng dengan keras dan tekun oleh Suma Ciang Bun. Karena dia memang berbakat baik sekali, maka kini dia telah menjadi seorang murid yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es dengan baiknya.
Menghadapi Tee Kok yang gencar menyerangnya dengan sepasang golok, Hong Beng mainkan ilmu yang sebenarnya bersumber pada Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang menjadi satu di antara ilmu-ilmu keluarga para pendekar Pulau Es, akan tetapi dimainkan dengan sepasang sumpit. Tentu saja Bi-kwi tidak mengenal ilmu itu.....
Komentar
Posting Komentar