SULING NAGA : JILID-09
"Ingatlah, Bi Lan. Keracunan di tubuhmu dan tidak lancarnya jalan darah ke kepalamu sudah membuat sikapmu menjadi aneh seperti orang yang miring otaknya. Engkau suka tertawa-tawa sendiri, bicara seorang diri. Kebiasaan ini, andai kata engkau sadar pun, di depan suci-mu harus terus kau lanjutkan. Jangan sampai suci-mu melihat perubahan pada dirimu sebelum engkau sembuh benar.”
Kemudian Kao Kok Cu memesan agar gadis itu menghentikan semua latihan sinkang dan pernapasan seperti yang diajarkan Bi-kwi, dan dia memberikan suatu cara berlatih semedhi untuk menghimpun hawa murni di dalam tubuh gadis itu. "Latihan ini selain akan membantu cepatnya seluruh hawa beracun meninggalkan tubuhmu, juga akan menghimpun tenaga baru untuk menghentikan tenaga sesat yang sudah terhimpun selama bertahun-tahun dalam dirimu."
Setelah mengalami pengobatan, Bi Lan lalu membawa kayu yang sudah dikumpulkan oleh kakek dan nenek itu. Kakek Kao Kok Cu dan isterinya sudah membangun sebuah gubuk darurat dari kayu-kayu pohon yang mereka robohkan dan dengan tekun mereka berdua mengobati Bi Lan. Di samping mengobati, kakek dan nenek itu juga membantu gadis itu menghimpun tenaga sinkang yang baru dan murni.
Sungguh beruntung sekali nasib Bi Lan sehingga tanpa disengaja ia berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, dan telah menarik perhatian suami isteri pendekar sakti ini sehingga ia bukan saja tertolong dari cengkeraman maut yang ditanamkan oleh Bi-kwi di tubuhnya, juga gadis itu telah mendapat latihan menghimpun sinking. Bahkan suami isteri itu mulai pula memberi petunjuk-petunjuk dalam ilmu silat tinggi kepadanya!
Penyembuhan perlahan-lahan tentu saja tidak dapat terasa oleh Bi Lan. Ia tidak merasa betapa kini otaknya menjadi bersih dari hawa beracun, jalan darahnya lancar dan dia bertambah cerdik! Dia pun kini memperoleh kegembiraan hidup, wajahnya selalu berseri kemerahan, mulutnya yang kecil itu selalu tersenyum manis dan ia kini menjadi seorang dara yang berwatak gembira dan jenaka sekali.
Setelah mengalami pengobatan selama tiga bulan lebih setiap hari tanpa berhenti dan terus-menerus, akhirnya ia sembuh sama sekali dan mulai hari itu, kakek dan nenek yang makin lama makin merasa sayang kepada gadis itu, memberi pelajaran ilmu silat tinggi kepada Bi Lan! Melihat bakat besar yang ada pada diri gadis itu, Kao Kok Cu ingin mengajarkan ilmu yang tangguh, juga isterinya. Maka mereka lalu berunding, kemudian mereka memberi tahukan kepada Bi Lan yang sudah menghadap mereka.
"Bi Lan, setelah melihat engkau sembuh sama sekali, maka mulai hari ini kami ingin mengajarkan ilmu silat kepadamu. Akan tetapi kami tidak mungkin dapat mengajarkan ilmu kepada orang yang bukan murid kami," kata Wan Ceng.
Pada dasarnya Bi Lan adalah seorang gadis yang cerdik. Apa lagi setelah sembuh dari gangguan hawa beracun, dan setelah jalan darahnya ke kepala sudah lancar kembali. Kesadaran membuat ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek dan nenek itu.
"Aku telah menerima budi kecintaan dari kakek dan nenek berdua, telah memperoleh pengobatan dan petunjuk yang penuh kasih sayang selama berbulan-bulan. Ucapan terima kasih saja masih belum ada artinya dibandingkan dengan budi ji-wi. Oleh karena itu, apabila ji-wi sudi menerimanya, biarlah aku menyatakan diri menjadi murid ji-wi." Ia memberi hormat sambil berlutut dan menyembah-nyembah.
Wan Ceng segera memeluk dan menariknya bangkit berdiri. "Bagus, engkau memang anak yang baik, Bi Lan. Sejak pertama kali berjumpa kami sudah dapat menduganya dan kalau tidak demikian, untuk apa kami bersusah payah selama ini?"
Ia lalu menoleh kepada suaminya karena bagaimana pun juga, nenek ini tidak berani mendahului suaminya untuk menerima gadis itu sebagai murid mereka walau pun tadi mereka telah berunding.
"Bi Lan, kami menerimamu sebagai murid. Akan tetapi kami tidak akan lama lagi tinggal di sini. Setelah engkau sembuh, kami hanya ingin mengajarkan masing-masing satu macam ilmu kepadamu, dan setelah itu, kami akan kembali ke utara. Kami sudah tua dan kami akan menghabiskan sisa usia kami dengan hidup tenang di sana."
Kembali Bi Lan berlutut. "Suhu, subo... teecu akan ikut ke utara. Biarlah teecu yang akan merawat kesehatan suhu dan subo berdua sebagai balas budi teecu..."
Kao Kok Cu tersenyum, kemudian berkata halus, "Muridku, jangan sekali-kali engkau mengikatkan dirimu dengan budi, karena kalau engkau mengikatkan dirimu dengan budi berarti engkau mengikatkan pula dirimu dengan dendam. Budi dan dendam tidak dapat terpisahkan, sebagai perwujudan dari diri yang merasa diuntungkan dan disusahkan. Anggaplah saja bahwa segala yang dilakukan orang lain kepadamu, dan segala yang kau lakukan kepada orang lain, adalah suatu kewajaran yang tidak perlu ada ekornya yang mengikat diri. Mengertikah engkau?"
Tentu saja Bi Lan tidak mengerti! "Teecu selanjutnya mohon petunjuk suhu, karena apa yang suhu katakan tadi berada di luar jangkauan pengertian teecu."
"Bi Lan, engkau tidak boleh begitu mudah melupakan yang lama setelah menemukan yang baru!" tiba-tiba Wan Ceng berkata sambil tersenyum pula. "Begitu engkau sudah menemukan kami sebagai guru baru, engkau lalu akan begitu saja meninggalkan tiga orang gurumu yang lama, yang menurut ceritamu juga telah bersikap baik kepadamu. Bagaimana pun juga, semenjak kecil engkau adalah murid Sam Kwi, dan kami berdua menjadi gurumu hanya untuk memulihkan sinkang-mu, dan memberi pelajaran ilmu silat untuk melengkapi kepandaianmu, atau katakan saja sebagai pengganti tenaga-tenaga sinkang yang telah lenyap bersama hawa beracun dari tubuhmu ketika kami melakukan pengobatan. Karena itu, sungguh tidak bijaksana kalau engkau kemudian meninggalkan mereka begitu saja tanpa mereka setujui."
"Subo, walau pun Sam Kwi merupakan guru-guruku, akan tetapi kenyataannya mereka tidak pernah secara langsung mendidik teecu sehingga teecu diserahkan kepada suci yang bahkan telah mengajar teecu secara menyesatkan."
"Sudahlah, Bi Lan. Bukankah ketiga orang gurumu sedang bertapa? Bagaimana pun juga, engkau tidak mungkin ikut bersama kami sebelum mendapatkan ijin dari ketiga orang gurumu. Bukan berarti kami tidak suka kalau engkau ikut dengan kami ke utara. Dan sekarang perhatikan baik-baik, kami akan mengajarkan ilmu kepadamu, semacam dari suhu-mu dan dariku sendiri semacam," kata nenek Wan Ceng.
Pendekar sakti itu bersama isterinya lalu mulai mengajarkan ilmu silat tinggi kepada Bi Lan. Gadis ini memang memiliki bakat yang amat baik, dan juga bagaimana pun juga, ia telah memperoleh dasar yang kuat juga dari Sam Kwi dan Bi-kwi, maka dengan tekun ia mengikuti petunjuk kedua orang suami isteri itu dan berlatih dengan penuh semangat. Bahkan kini ia makin sering datang ke tempat itu di waktu malam, dan baru pulang kalau sudah memperoleh petunjuk-petunjuk selanjutnya dari kedua orang kakek dan nenek itu.
Tanpa terasa, enam bulan telah lewat semenjak Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya tinggal di dalam hutan sebuah puncak Pegunungan Thai-san itu. Kao Kok Cu telah memberi pelajaran Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti), sedang nenek Wan Ceng mengajarkan Ilmu Ban-tok Ciang-hoat (Ilmu Silat Selaksa Racun).
Karena ketekunannya, ditambah daya ingatannya yang amat kuat, Bi Lan akhirnya bisa menguasai kedua ilmu silat ini. Dari kakek dan nenek itu ia pun mendengar tentang diri mereka, nama mereka, bahkan dia diperkenalkan pula dengan nama putera mereka, bekas panglima Kao Cin Liong dan isterinya Suma Hui, juga diperkenalkan dengan nama para tokoh pendekar sakti di dunia persilatan.
Terhadap Bi-kwi, Bi Lan bersikap biasa saja, bahkan ia masih pura-pura seperti orang gendeng. Juga pada saat suci-nya menurunkan pelajaran dan latihan, ia masih berlatih seperti yang diajarkan suci-nya. Akan tetapi tentu saja kini dia sudah memiliki dasar sinkang yang murni dan sama sekali tidak menghimpun tenaga melalui pernapasan dan cara semedhi yang diajarkan secara kacau dan terbalik oleh suci-nya.
Di dalam kamarnya sendiri atau di luar, dia tekun melatih diri dengan pernapasan dan semedhi seperti yang diajarkan oleh kakek dan nenek dari Istana Gurun Pasir. Bahkan dia masih pura-pura gendeng dan linglung kalau Bi-kwi melampiaskan kebenciannya dengan tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan melalui latihan ilmu silat.
Ia akan mempertahankan semua ini, bukan sebab takut kepada suci-nya, bukan karena berbakti kepada suci-nya yang tidak pernah berlaku baik terhadap dirinya, melainkan karena ingin menanti sampai ketiga orang suhu-nya keluar dari pertapaan mereka. Saat itu baru ia akan melaporkan semua perbuatan suci-nya itu kepada Sam Kwi dan minta pertimbangan dan keadilan. Kalau tiga orang suhu-nya itu tidak membelanya, dia akan meninggalkan mereka semua.
Biar pun Bi Lan sudah berlaku cerdik, namun kepura-puraan ini akhirnya menimbulkan kecurigaan hati Bi-kwi yang juga termasuk wanita yang cerdik sekali. Ia teringat bahwa beberapa bulan yang lalu, sumoi-nya itu sudah menunjukkan gejala-gejala keracunan dengan muka yang pucat, tubuh yang kadang-kadang menggigil, pandang mata yang jelas menunjukkan ketidak warasan otaknya.
Akan tetapi akhir-akhir ini ia melihat betapa wajah sumoi-nya makin segar saja. Kedua pipinya kemerahan seperti buah apel masak, matanya jernih dan jeli, penuh kegairahan hidup, senyumnya semakin manis dan membuat ia semakin iri hati saja, dan tidak ada lagi nampak gejala-gejala seperti dahulu. Walau pun dalam ilmu silat sumoi-nya masih bersilat dengan kacau dan kalau ia pukuli dan tendangi masih tidak mampu membalas, akan tetapi hatinya mulai curiga.
Karena melihat betapa sumoi-nya amat rajin pergi mencari kayu atau memikul air dari sumber yang agak jauh, maka pada suatu hari, masih pagi-pagi sekali ketika ia melihat sumoi-nya pergi untuk mencari kayu, diam-diam ia membayangi dari jauh.
Baru teringat olehnya betapa banyaknya sumoi-nya membutuhkan kayu untuk masak. Bahkan di waktu malam, kini sering sekali sumoi-nya membuat api unggun besar yang menggunakan banyak sekali kayu bakar. Kalau ditanya, sumoi-nya mengatakan bahwa hawanya amat dingin dan banyak nyamuk maka ia membuat api unggun besar.
Ia tidak curiga karena memang menurut perhitungannya, hasil himpunan tenaga sinkang sumoi-nya yang dilakukan dengan terbalik dan kacau-balau itu bukan hanya membuat sumoi-nya tidak akan dapat menahan hawa dingin, bahkan hawa beracun di tubuhnya kadang-kadang bisa mendatangkan rasa dingin sekali. Akan tetapi sekarang, setelah rasa kecurigaannya semakin besar, ia memperhatikan hal ini dan akhirnya ia mengambil keputusan untuk membayangi kalau sumoi-nya pergi mencari kayu.
Ia membayangi dari jauh sekali sehingga Bi Lan sama sekali tidak tahu bahwa ia sejak tadi dibayangi oleh suci-nya. Ketika melihat Bi Lan berhenti di dalam hutan, ia mengintai dari balik semak-semak yang cukup jauh di depan sebuah gubuk kayu yang sederhana. Sepasang mata Bi-kwi berkilat penuh kemarahan pada saat melihat munculnya seorang kakek dan seorang nenek dari dalam gubuk itu dan melihat pula betapa Bi Lan berlutut di depan mereka.
Kemarahan membuat Bi-kwi tak dapat menahan diri lagi. Ia meloncat dan dengan cepat sekali telah tiba di dekat sumoi-nya.
"Pengkhianat, kiranya engkau hanya seorang bocah pengkhianat yang tidak mengenal budi! Suhu bertiga pernah menyelamatkanmu, memeliharamu dan kami bersusah payah mendidikmu hanya untuk kau balas dengan pengkhianatan ini?"
Bi Lan meloncat bangun dan memandang suci-nya dengan muka agak pucat karena terkejut melihat suci-nya mendadak berada di situ, hal yang sama sekali tidak pernah disangkanya. Namun, dua kali tarikan napas panjang saja sudah membuat dia tenang kembali.
"Suci, aku tidak mengkhianati siapa-siapa."
"Mulut busuk, jangan sembarangan ngoceh! Bukankah aku telah berpesan bahwa siapa saja yang kau temukan di daerah ini harus kau bunuh? Tetapi apa yang kau lakukan sekarang? Engkau malah berhubungan dengan mereka ini. Pengkhianat harus mampus dulu kau sebelum kubunuh mereka!"
Bi-kwi sudah menyerang dengan ganasnya, sekali ini bukan sekedar hendak menghajar sumoi-nya seperti yang sudah-sudah, namun serangannya ditujukan untuk membunuh!
Dia cerdik dan maklum bahwa kalau dia menggunakan jurus ilmu silatnya, kebanyakan sumoi-nya telah menguasainya dan akan mampu menghindarkan diri. Maka sekali ini ia menyerang tanpa menggunakan jurus-jurus ilmu silat, namun pukulannya mengandung hawa pukulan maut karena tangan yang menyerang diisinya dengan tenaga Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan tangan itu menyambar ke arah dada Bi Lan dengan kecepatan kilat!
Terdengar suara bercuit nyaring ketika tangan itu menyambar dada dan Bi-kwi sudah membayangkan betapa dada sumoi yang dibencinya ini akan tertusuk tangannya, dan ia akan mencengkeram di dalam dada, menarik keluar jantungnya kalau berhasil. Ia tidak takut lagi dimarahi tiga orang suhu-nya karena sekarang dia memiliki alasan kuat untuk membunuh Bi Lan.
"Wuuuttt... plakkk...!"
Dan Bi-kwi terkejut setengah mati. Bukan hanya sumoi-nya mampu mengelak, bahkan tangkisan tangan sumoi-nya tadi ketika mengenai lengannya, membuat tangannya yang menyerang terpental kembali dan ada hawa tenaga yang lunak akan tetapi kuat sekali keluar dari tangan sumoi-nya! Rasa kaget, heran dan juga penasaran membuat ia jadi marah sekali.
"Bagus! Keparat jahanam, kau berani melawanku, he?" Dan ia pun menerjang lagi.
Akan tetapi Bi Lan sudah cepat-cepat meloncat ke belakang nenek itu yang mengangkat kedua tangan ke atas.
"Sabarlah, nona...!" kata nenek Wan Ceng kepada Bi-kwi.
Dari tadi ia sudah tahu bahwa tentu inilah wanita cantik yang disebut Bi-kwi itu. Kalau saja hal ini terjadi dua tiga puluh tahun yang lalu, melihat seorang wanita yang demikian kejam dan jahat, tentu tanpa banyak cakap lagi nenek Wan Ceng sudah turun tangan menentang dan membasminya. Akan tetapi sekarang ia adalah seorang nenek tua isteri yang bijaksana dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka sikapnya tenang saja pada saat ia mengangkat kedua tangan melindungi Bi Lan dan menyabarkan Bi-kwi.
Akan tetapi sebaliknya, Bi-kwi sudah menjadi marah bukan main. Melihat ada orang berani tinggal di tempat yang dianggap masih wilayah kekuasaannya itu saja sudah membuatnya marah, apa lagi mengingat bahwa kakek dan nenek ini agaknya menjadi sahabat sumoi-nya.
"Tua bangka yang bosan hidup!" bentaknya.
Bi-kwi sudah meloncat ke depan menyerang nenek Wan Ceng dengan pukulan maut dari Ilmu Silat Kiam-ciang!
"Dukkkk...!"
Sebuah lengan dengan gerakan Ilmu Silat Kiam-ciang juga telah menangkisnya dan keduanya tergetar. Akan tetapi Bi Lan yang menangkis itu agak terhuyung, sedangkan Bi-kwi hanya melangkah mundur dua tindak. Dengan sikap tegak dan pandang mata menyinarkan perlawanan, Bi Lan berkata dengan suara tegas dan berani.
"Suci, jangan kau menyerangnya! Mereka ini tinggal di sini karena mereka hendak menolongku, menyelamatkan aku dari bahaya maut yang menjadi akibat perbuatanmu yang keji! Engkau telah sengaja memberi latihan yang terbalik dan tersesat sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun di dalam tubuhku. Mereka menaruh iba kepadaku dan menyelamatkanku, karena itu engkau tidak boleh menyerang mereka!"
Bi-kwi tertegun sejenak, hatinya terlampau kaget. Pertama, sumoi-nya berani membela nenek itu dan bahkan dapat menangkis serangannya yang dahsyat tadi dengan jurus yang sama dan ia merasa pula betapa sumoi-nya kini memiliki tenaga sinkang yang amat kuat, hampir dapat menyamai tenaganya. Pula, ia melihat sikap Bi Lan demikian tegas dan sama sekali tidak terbayang lagi sikap gendengnya, padahal kemarin masih bersikap seperti orang gendeng.
Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun segera dapat menduga bahwa sumoi-nya itu agaknya pada hari-hari yang lalu telah berpura-pura gendeng untuk mengelabuinya. Pikiran ini membuatnya menjadi semakin marah.
"Mereka tidak berhak mencampuri urusan kita dan mereka harus mampus!" bentaknya.
Ia siap untuk menerjang lagi, siapa saja di antara mereka bertiga yang berada paling dekat akan diserangnya. Ia sudah mengambil keputusan untuk membunuh ketiga orang ini.
Sebelum Bi Lan menjawab, nenek Wan Ceng berkata halus, "Bi Lan, minggirlah dan biarkan kami menghadapi iblis betina ini."
"Baik, subo," kata Bi Lan.
Ia pun meloncat ke pinggir, membiarkan nenek itu menghadapi suci-nya. Ia tahu akan kelihaian suci-nya dengan pukulan-pukulan yang keji dan ampuh, maka dia pun ingin sekali melihat bagaimana kedua orang gurunya yang baru itu menghadapi suci-nya. Hanya jika ia teringat betapa nenek itu sekali cengkeram saja dapat membuat sebatang pohon menjadi hancur di sebelah dalamnya dan tumbang, diam-diam ia bergidik dan tak terasa lagi ia menyambung, "Subo, harap suka maafkan suci dan jangan menghajarnya terlalu keras!"
Nenek itu melirik kepadanya dan tersenyum maklum bahwa murid barunya itu merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau dia akan membunuh suci-nya itu. Dia pun mengangguk. Lalu ia menghadapi Bi-kwi dan dengan suara masih halus berkata, "Nona, tentu engkau ini yang berjuluk Bi-kwi, suci dari Bi Lan. Ingat, nona, engkau telah bertindak keji dan hendak membunuh sumoi-mu sendiri perlahan-lahan, dan sekarang engkau mendengar sendiri betapa Bi Lan masih memintakan ampun untukmu. Maka, sadarlah, nona, ingat bahwa kekerasan hanya akan menyeretmu sendiri ke lembah kesengsaraan."
"Sudah mau mampus masih cerewet! Terimalah ini!" Dan Bi-kwi sudah memotong kata-kata nenek itu dan menyerang dengan amat hebatnya, ia masih terus mempergunakan Kiam-ciang karena menganggap bahwa ilmu ini yang paling ampuh untuk melakukan penyerangan mendadak.
Bi-kwi sudah merasa girang sekali ketika melihat betapa nenek itu hanya menangkis dengan gerakan lambat saja, tidak mengelak. Ia sudah membayangkan bahwa ia akan berhasil membikin patah atau bahkan buntung lengan nenek itu dengan tangannya yang dapat menjadi seampuh pedang.
Bi Lan yang mengenal keampuhan Kiam-ciang, mengerutkan alisnya dan memandang dengan khawatir juga, biar pun ia sudah yakin akan kesaktian subo-nya. Tak terelakkan lagi, tangan Bi-kwi bertemu dengan lengan kanan nenek Wan Ceng.
"Dukkk!"
Terdengar pula bunyi kain robek. Ternyata lengan baju nenek itu robek seperti dibacok pedang, akan tetapi tangan itu sendiri berhenti ketika bertemu dengan kulit lengan, dan Bi-kwi terhuyung ke belakang seperti terdorong oleh tenaga yang amat kuat.
Bi-kwi terkejut bukan main. Ilmunya memang telah berhasil merobek lengan baju nenek itu, akan tetapi ketika tangan yang dimiringkan tadi bertemu dengan lengan, ia merasa betapa kulit lengan itu lembut dan lunak, serta tenaga Kiam-ciang itu membalik dan membuatnya terhuyung. Di lain pihak, diam-diam nenek Wan Ceng juga terkejut karena tak menyangka bahwa tangan gadis cantik itu sedemikian ampuhnya sehingga dapat menjadi tajam seperti sebatang pedang saja.
Bi-kwi telah menerjang lagi. Tiba-tiba nenek itu mendapat pikiran untuk memberi contoh kepada Bi Lan bagaimana caranya mempergunakan ilmu silat Ban-tok Ciang-hoat yang telah diajarkannya kepada Bi Lan untuk menghadapi serangan-serangan Bi-kwi. Melihat namanya, yaitu Ilmu Silat Selaksa Racun, tentu merupakan ilmu silat kaum sesat yang mengandung racun.
Memang asal mulanya demikian. Dahulu, di waktu dia masih gadis, nenek Wan Ceng pernah menjadi murid seorang nenek iblis yang berjuluk Ban-tok Mo-li dan dari wanita sesat ini Wan Ceng menerima ilmu-ilmu silat yang mengandung racun amat jahatnya. Akan tetapi, setelah ia menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, ia telah menjadi seorang pendekar wanita dan tidak mau lagi menggunakan ilmu silat yang pukulannya mengandung hawa beracun.
Dengan bantuan suaminya, ia kemudian merubah Ban-tok Ciang-hoat dari ilmu pukulan beracun menjadi ilmu pukulan yang mengandung sinkang lembut akan tetapi di balik kelembutan itu terkandung tenaga yang amat hebat seperti yang pernah diperlihatkan kepada Bi Lan ketika tangannya mencengkeram batang pohon. Kini, Ban-tok Ciang-hoat hanya tinggal namanya saja yang mengerikan, akan tetapi sudah menjadi semacam ilmu silat yang lihai dan bersih, tidak lagi menggunakan racun. Ilmu inilah yang oleh nenek itu diajarkan kepada Bi Lan. Kini, menghadapi serangan-serangan Bi-kwi, nenek itu lalu sengaja memainkan ilmu silat ini untuk memberi contoh kepada Bi Lan.
Melihat ini, Kao Kok Cu maklum akan niat isterinya dan dia pun berbisik kepada Bi Lan, "Lihat baik-baik gerakan subo-mu ketika menggunakan ilmu silat itu."
Bi Lan mengangguk. Gadis yang cerdik ini pun segera maklum akan maksud subo-nya. Dia berterima kasih sekali karena kini dia dapat lebih jelas melihat bagaimana cara mempergunakan ilmu silat itu untuk menghadapi serangan suci-nya dengan ilmu-ilmu silat yang sudah dikenalnya pula.
Hal ini amat penting baginya karena semenjak sekarang dia harus dapat membela diri terhadap serangan-serangan suci-nya. Mengandalkan ilmu-ilmu silat yang diperolehnya dari suci-nya untuk membela diri, tentu kurang meyakinkan dan kurang kuat, karena tentu saja dia kalah latihan, juga kalah kuat tenaga dalamnya yang dahulu dilatihnya secara keliru.
Perkelahian antara Bi-kwi dan nenek Wan Ceng itu memang seru bukan main. Bi-kwi amat lihai dan ia sudah berlatih secara matang. Ilmu-ilmu silat dari tiga orang gurunya sudah diresapinya benar, juga sudah dilatihnya secara matang. Betapa pun juga, kini ia melawan nenek Wan Ceng yang telah menjadi isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, maka ia menemukan seorang lawan berat dan andai kata nenek itu masih belum setua itu, dua puluh tahun yang lalu saja, tentu Bi-kwi akan sulit memperoleh kemenangan.
Akan tetapi, kini nenek itu sudah tua. Selain tenaganya berkurang juga daya tahannya menurun, apa lagi semangatnya untuk berkelahi dan mencari kemenangan telah lemah. Maka setelah lewat seratus jurus lebih, nenek itu mulai kelelahan.
Nenek Wan Ceng merasa sudah cukup memberi contoh kepada muridnya, dan dia pun maklum bahwa jika ia melanjutkan menghadapi gadis yang amat lihai itu dengan tangan kosong saja, keadaannya akan menjadi berbahaya.
"Singgggg...!"
Tiba-tiba nampak sinar menyilaukan mata dan sebatang pedang yang mengeluarkan hawa mengerikan telah berada di tangan kanan nenek itu. Bi-kwi sendiri terbelalak dan bergidik, maklum bahwa nenek itu telah memegang sebatang pedang yang ampuh dan mengandung hawa aneh.
Itulah Ban-tok-kiam! Dulu pernah pedang ini oleh nenek Wan Ceng diberikan kepada puteranya, putera tunggal yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi setelah Kao Cin Liong menjadi seorang panglima, ia mengembalikan pedang itu kepada ibunya karena ia harus membawa pedang kekuasaan yang menjadi lambang kedudukannya.
Pedang Ban-tok-kiam ini adalah sebatang pedang yang dulu diterima oleh nenek Wan Ceng dari gurunya, nenek iblis Ban-tok Mo-li dan pedang ini adalah sebatang pedang yang terbuat dari pada baja pilihan. Yang mengerikan adalah bahwa senjata ini sudah direndam sampai puluhan tahun dalam ramuan racun-racun yang sangat kuat, maka diberi nama Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun). Sedikit saja tergores pedang ini sudah cukup membuat korbannya tewas!
Melihat isterinya mencabut Ban-tok-kiam, Kao Kok Cu cepat meloncat ke depan dan menarik lengan isterinya. "Kau istirahatlah," katanya halus.
Wan Ceng sadar bahwa tidak semestinya ia menggunakan pedang itu. Maka dengan muka merah dia pun melangkah mundur di dekat Bi Lan sambil menyimpan kembali pedangnya.
Sementara itu Kao Kok Cu sudah menghadapi Bi-kwi sambil berkata, "Nona, hentikan kemarahanmu dan tidak perlu kau melanjutkan serangan-seranganmu. Kami datang ke tempat ini bukan bermaksud buruk, melainkan hendak mengobati Can Bi Lan..."
"Mampuslah!"
Bi-kwi yang masih marah dan penasaran karena tidak mampu mengalahkan nenek itu, kini sudah menerjang maju, menghantam dengan Kiam-ciang ke arah kepala kakek itu.
"Bi Lan, lihat baik-baik!" kata kakek itu.
Dia pun sengaja mengelak lalu bersilat dengan Ilmu Silat Sin-Liong Ciang-hoat untuk memberi contoh kepada murid barunya bagaimana menggunakan ilmu silat itu untuk menghadapi Bi-kwi. Kalau dia mau, tentu saja dengan sekali gebrakan dia akan mampu merobohkan Bi-kwi. Tingkat kepandaiannya terlampau jauh lebih tinggi dari pada tingkat Bi-kwi. Akan tetapi Pendekar Naga Sakti ini tidak mau berbuat demikian karena dia ingin memberi petunjuk kepada Bi Lan.
Gadis ini pun mengerti dan diamatinya dengan baik gerakan-gerakan suhu-nya ketika menghadapi Bi-kwi.
Bi-kwi agaknya maklum bahwa ilmu kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi dari pada si nenek, maka ia pun mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu silatnya untuk menyerang kakek itu. Berturut-turut ia menggunakan ilmu-ilmu dari ketiga orang suhu-nya. Ilmu Tendangan Pat-hong-twi dari Iblis Akhirat dan Hun-kin Tok-ciang dari Iblis Mayat Hidup, lantas diakhiri Ilmu dari Raja Iblis Hitam yang disebut Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan belas Jurus Ilmu Silat Lutung Hitam).
Akan tetapi, semua ilmu itu seperti permainan kanak-kanak saja ketika dihadapi oleh kakek lengan satu itu dengan Sin-liong Ciang-hoat. Semua pukulan dan tendangan dapat dihalau dengan mudah dan setiap kali kakek itu balas menyerang dengan jurus dari ilmu silatnya, Bi-kwi terkejut dan langsung terdesak hebat. Bahkan kalau kakek itu melanjutkan serangannya, tentu Bi-kwi akan terkena pukulan atau cengkeraman. Tetapi Kao Kok Cu sengaja tidak melanjutkan serangan balasannya, karena dia hanya ingin memperlihatkan saja kepada muridnya bagaimana caranya mengalahkan Bi-kwi dengan ilmu silat itu.
Diam-diam Bi Lan girang bukan main. Jelas nampak olehnya semua itu dan mulailah ia melihat kelemahan-kelemahan pada ilmu-ilmu silat yang dimainkan suci-nya, dan ia pun kagum bukan main karena kalau tadi subo-nya hanya membuktikan bahwa subo-nya dapat menandingi suci-nya tanpa terdesak, sekarang suhu-nya benar-benar menguasai keadaan dan kalau suhu-nya menghendaki sudah sejak tadi Bi-kwi roboh!
Hal ini dirasakan pula oleh Bi-kwi. Di samping rasa kagetnya, ia juga merasa penasaran sekali. Tadi melawan si nenek, sukar sekali baginya untuk dapat menang dan nenek itu ternyata mampu mengimbanginya. Nenek itu saja dia tidak mampu mengalahkan, dan kini, kakek itu ternyata memiliki kelihaian yang sama sekali tidak pernah disangkanya.
Hanya dengan sebuah lengan, kakek itu telah menutup seluruh lubang sehingga sama sekali ia tak mampu menyerang dengan berhasil. Bahkan tiap kali kakek itu membalas, ia bingung dan hampir terkena kalau saja kakek itu tidak menghentikan serangannya di tengah jalan. Jelaslah bahwa kakek itu sengaja mempermainkannya.
Ia, Bi-kwi, kini dipermainkan seorang kakek tua renta! Padahal ialah orang yang telah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian Sam Kwi! Untuk kedua kalinya dalam hidup, dia merasa terpukul lahir batin. Pertama pada waktu ia melawan Pendekar Suling Naga, dan kedua kalinya sekarang inilah! Hampir Bi-kwi menangis saking jengkel dan marahnya.
Makin penasaran rasa hatinya dan semakin besar harapannya agar tiga orang gurunya berhasil menciptakan sebuah ilmu yang akan dapat dipakai menghadapi lawan-lawan tangguh seperti kakek ini dan Pendekar Suling Naga. Tetapi pada saat itu, kemarahan membuat ia lupa diri dan tiba-tiba ia mencabut pedangnya.
"Srattttt...!"
Wanita ini jarang mempergunakan pedang karena kedua tangannya saja sudah cukup untuk merobohkan dan membunuh lawan. Tadi kalau si nenek yang tangguh itu terus menyerangnya dengan pedang yang mengerikan itu, tentu ia pun akan mengeluarkan pedangnya. Sekarang, merasa tidak sanggup menandingi kakek yang luar biasa itu, ia mencabut pedangnya. Padahal ini hanya untuk gertakan belaka.
Dengan pedang di tangan, ia tidak akan menjadi lebih lihai. Bahkan tanpa pedang ia dapat memainkan ilmu-ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Satu di antara ilmu Iblis Akhirat, yaitu Toat-beng Hui-to, merupakan senjata rahasia pisau terbang yang tidak dapat dilakukannya dengan pedang dan ia masih belum mempersiapkan pisau-pisau yang cocok untuk dipakai dalam ilmu melempar pisau yang dapat terbang membalik itu.
Melihat gadis itu mengeluarkan pedang, Kao Kok Cu mengerutkan alisnya dan berseru nyaring, "Tak baik main-main dengan senjata! Lepaskan pedang!"
Pada saat itu, Bi-kwi sudah membacokkan pedangnya. Kakek itu menangkis dengan tangan kanan, menyambut begitu saja pedang telanjang itu dengan jari-jari tangannya. Nampak pundak kiri kakek itu bergerak dan tahu-tahu lengan baju kiri yang kosong itu meluncur ke depan dan menotok pinggang Bi-kwi. Bi-kwi mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya lemas dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya dan dia tidak kuat berdiri lagi, lalu jatuh bertekuk lutut!
Bi Lan memandang dengan bengong penuh kagum. Setelah dikehendakinya, ternyata kakek itu mampu merobohkan Bi-kwi dan sekaligus membuat pedang terlempar. Bukan main!
Akan tetapi Bi-kwi yang tidak tahu diri menjadi semakin berang sampai mata gelap dan ia lalu meloncat berdiri lagi dan menggunakan tangan untuk menghantam dada kakek itu.
"Desss...!"
Bukan kakek itu yang roboh, melainkan tubuh Bi-kwi yang terjengkang dan terbanting keras sebelum pukulannya mengenai dada, karena kakek itu telah menggerakkan tangan kanannya yang melakukan gerakan mendorong ke depan sehingga tubuh wanita itu diterjang angin pukulan yang amat kuat.
Tetapi bantingan ini tidak membuat Bi-kwi menjadi jera. Ia sudah melompat bangun lagi. Mukanya menjadi pucat saking marahnya dan sambil mengeluarkan suara melengking, tubuhnya sudah meluncur deras ke atas dan ke depan, ke arah kakek itu dalam sebuah serangan maut yang amat hebat. Dalam serangan ini dua buah tangannya menyerang dua bagian tubuh, juga kedua kakinya melakukan tendangan!
"Hemm...!" Pendekar Naga Sakti mengeluarkan seruan dari hidung dan menggerakkan tangan kanan, disusul lengan baju kirinya yang kosong menyambar ke depan.
"Desss...! Brukkk...!"
Tubuh Bi-kwi terbanting lebih keras lagi dan kini agaknya ia merasa pening karena ia merangkak dan tidak dapat segera bangkit.
Bi Lan menjatuhkan diri berlutut di depan Kao Kok Cu. "Harap suhu suka mengampuni suci Bi-kwi." Gadis ini menoleh ke arah suci-nya, lalu membentak. "Suci, engkau tidak tahu siapa yang kau lawan! Beliau adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Apakah kau masih berani kurang ajar lagi?"
"Ahhh...!" Bi-kwi terkejut bukan main, merasa seperti disambar halilintar kepalanya. Ia mengangkat muka memandang kakek itu, melihat ke arah lengan baju kiri yang kosong dan ia pun teringat.
Tentu saja ia pernah mendengar nama besar Pendekar Naga Sakti dari Istana Gurun Pasir, ayah kandung bekas Panglima Kao Cin Liong, nama yang dalam kebesarannya tidak kalah oleh nama Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Dan ia tadi sudah mati-matian menyerangnya!
"Aihhh...!" katanya lagi. Dia pun melompat bangun lalu melarikan diri, kembali ke tempat guru-gurunya. Hatinya merasa gentar, juga malu, juga marah dan penasaran.
Setelah Bi-kwi pergi jauh, Kao Kok Cu menarik napas panjang. "Siancai... suci-mu itu memang lihai dan ilmu kepandaiannya sudah tinggi, agaknya sukar dicari bandingannya untuk waktu ini. Akan tetapi sayang, batinnya tidak semaju lahirnya sehingga ilmu kepandaian itu disalah gunakan untuk mengumbar kejahatan."
"Akan tetapi sekarang engkau tak perlu takut lagi menghadapinya, Bi Lan. Engkau tadi sudah melihat betapa Ban-tok Ciang-hoat mampu membendung semua serangannya, dan dengan Sin-liong Ciang-hoat engkau tentu akan mampu membela diri dan bahkan mengalahkannya," kata Wan Ceng.
Suami nenek itu mengangguk. "Benar, dalam hal ilmu silat, engkau tidak perlu khawatir karena kemampuanmu sekarang masih dapat diandalkan untuk membela diri dari serangan-serangan suci-mu, andai kata ia berniat buruk. Akan tetapi, engkau tidak boleh ikut dengan kami sebelum memperoleh ijin dari guru-gurumu. Sekarang kami akan pergi. Engkau kembalilah ke tempatmu, usahakan agar dapat berdamai dengan suci-mu. Kalau engkau sudah tidak melihat jalan lain, tentu saja setiap waktu engkau boleh mencari kami ke Gurun Pasir. Akan tetapi, engkau baru dapat menemukan tempat kami itu kalau engkau lebih dahulu mencari putera kami yang bernama Kao Cin Liong dan yang kini tinggal di kota Pao-teng di sebelah selatan kota raja. Dia berdagang rempah-rempah di sana dan mudah dicari rumah orang yang bernama Kao Cin Liong. Nah, selamat berpisah, Bi Lan. Mudah-mudahan kedamaian dan kebahagiaan akan selalu menyertaimu dalam hidupmu."
Nenek Wan Ceng merangkul muridnya. Nenek ini sudah merasa sayang sekali kepada murid ini sehingga agak berat rasanya harus berpisah darinya. "Bi Lan, bawa dirimu baik-baik dan aku masih merasa khawatir atas keselamatanmu. Karena itu, ini kuberi pinjam Ban-tok-kiam kepadamu. Jangan pergunakan ini kalau tidak terpaksa sekali, dan kelak kau dapat kembalikan kepadaku kalau kau mengunjungi kami di utara." Nenek itu menyerahkan pedang yang mengerikan tadi, yang kini tersembunyi di dalam sarungnya yang indah.
Sebetulnya, di dalam hatinya Kao Kok Cu tidak setuju isterinya menyerahkan pedang itu kepada Bi Lan. Pedang itu amat berbahaya, dan dapat menimbulkan bencana kalau dipergunakan secara sembarangan. Akan tetapi karena isterinya telah memberikannya, dia pun tidak mau mencela.
"Bi Lan, lebih baik kau sembunyikan pedang itu agar jangan sampai diketahui suci-mu. Kalau terpaksa membawanya, sembunyikan di balik baju, karena banyak orang yang akan berusaha merampasnya kalau mereka tahu akan Ban-tok-kiam itu." Akhirnya dia memberi nasehat.
"Bi Lan, berhati-hatilah!" Nasehat terakhir Wan Ceng terdengar penuh keharuan.
Bi Lan menjatuhkan dirinya berlutut untuk menghaturkan terima kasih dan hatinya juga merasa berduka sekali harus berpisah dari dua orang gurunya ini. Selama setengah tahun ini berdekatan dengan mereka, dia melihat betapa bedanya watak antara ketiga orang gurunya dan suci-nya, dibandingkan dengan kakek dan nenek yang halus budi dan berwatak mulia ini. Akan tetapi tiba-tiba ia mendengar angin menyambar dan ketika ia mengangkat muka memandang, ia hanya melihat bayangan dua orang itu berkelebat dan lenyap dari situ.
Ia terkejut dan penuh kagum, termangu-mangu, kemudian memberi hormat lagi sambil berlutut, "Teecu Can Bi Lan takkan melupakan budi kebaikan suhu dan subo."
Setelah beberapa lama termenung, baru sekarang Bi Lan sadar bahwa sesungguhnya pertemuannya dengan kakek dan nenek itu merupakan suatu peristiwa luar biasa yang telah menyelamatkan nyawanya dari ancaman bahaya maut. Bahkan bukan itu saja, melainkan ia kini telah memperoleh bekal, menguasai ilmu-ilmu yang dapat melindungi dirinya dari pada ancaman Bi-kwi.
Gadis ini kemudian kembali ke puncak tempat kediaman guru-gurunya. Dan sebelum menampakkan diri di puncak, ia lebih dahulu menyembunyikan Ban-tok-kiam di dalam jepitan dua buah batu besar yang hanya dikenalnya sendiri, tak jauh dari bawah puncak. Sebelum menyembunyikan pusaka ini, ia lebih dahulu berlari cepat mengelilingi tempat itu dan menyelidiki bahwa tidak ada seorang pun tahu akan perbuatannya itu.
Setelah merasa yakin bahwa senjata itu sudah disembunyikan di sebuah tempat yang rahasia, ia lalu menenteramkan hatinya agar tenang dan berlari mendaki puncak. Ia sudah siap andai kata suci-nya akan menghadang dan menyerangnya. Ia sudah tahu bagaimana harus melawan suci-nya dan Ilmu Sin-liong Ciang-hoat tadi ia lihat mampu menundukkan suci-nya.
Akan tetapi apa yang dilihatnya di tempat tinggal Sam Kwi amat mengejutkan hatinya, walau pun juga amat menggirangkan. Ia melihat bahwa tiga orang gurunya itu kini telah keluar dari tempat pertapaan mereka dan sekarang tiga orang kakek itu sudah duduk berdampingan di atas bangku-bangku baru mereka, sedangkan Bi-kwi nampak duduk di atas bangku yang berhadapan dengan mereka.
Melihat dari jauh betapa tiga orang gurunya itu kini sudah nampak tua-tua sekali, hati Bi Lan diliputi keharuan. Biar pun tiga orang kakek itu berjuluk Tiga Iblis, biar pun ia tahu bahwa mereka itu amat kejam dan suka melakukan hal-hal yang jahat, namun bagai mana pun juga, mereka bertiga itu bersikap baik sekali kepadanya, melimpahkan budi yang amat besar kepadanya, maka mana mungkin ia membenci mereka?
Tidak sama sekali, ia tidak membenci mereka. Bahkan ada rasa sayang dalam hatinya terhadap mereka dan kini melihat betapa mereka sudah nampak tua dan lemah, sudah tujuh puluh tahun lebih usia mereka, hatinya diliputi keharuan.
Tidak dapat kita sangkal lagi, apa bila kita mau mempelajari segala macam watak manusia melalui pengamatan terhadap diri sendiri, karena watak masyarakat, watak manusia, watak dunia adalah watak kita juga, akan nampaklah kaitan-kaitannya yang tidak terpisahkan dari penilaian dan rasa suka dan tidak suka dengan ke-aku-an yang selalu mendambakan kesenangan, sang aku yang selalu mengejar-ngejar kesenangan. Penilaian akan sesuatu atau pun akan seseorang, baik buruknya, juga tak terlepas dari pengaruh sang aku.
Betapa baik pun seseorang menurut pendapat orang sedunia sekali pun, kalau si orang baik itu merugikan kita, maka otomatis kita akan berpendapat bahwa orang itu tidak baik dan kita tidak suka kepada orang itu, bahkan membencinya. Sebaliknya, biar pun orang seluruh dunia berpendapat bahwa seseorang amatlah jahatnya, tetapi kalau si orang itu menguntungkan kita, baik keuntungan lahir mau pun batin, maka sukar bagi kita untuk berpendapat bahwa dia jahat, sebaliknya kita akan menganggapnya orang yang baik dan kita menyukainya.
Dengan demikian jelas bahwa penilaian itu tergantung sepenuhnya dari pertimbangan pikiran, dan pertimbangan pikiran selalu didalangi oleh si-aku yang senantiasa diboboti oleh untung dan rugi. Dengan demikian, maka semua penilaian adalah palsu dan bukan merupakan kenyataan sejati
.Karena itu, tidaklah aneh kalau Bi Lan menganggap bahwa tiga orang kakek yang oleh umum dinamakan Tiga Iblis itu sebagai orang-orang yang baik dan disayangnya. Siapakah yang mengatakan bahwa harimau itu buas dan jahat? Tentulah mereka yang merasa terancam keselamatannya oleh binatang itu. Kelompoknya dan anak-anaknya tidak akan menganggap demikian!
Dengan cepat Bi Lan berlari menghampiri mereka dan setelah tiba di depan tiga orang gurunya, ia pun menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Sebelum berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, belum pernah Bi Lan memperlihatkan rasa sayang dan hormatnya kepada tiga orang kakek ini, karena memang pendidikan mereka terhadap Bi Lan tidak demikian. Mereka itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang sama sekali tidak pernah peduli tentang segala macam peraturan dan sopan santun sehingga bagi mereka merupakan hal yang biasa saja kalau murid mereka Ciong Siu Kwi atau Bi-kwi selain menjadi murid pertama juga menjadi kekasih mereka!
"Aihh, suhu bertiga sudah selesai bertapa? Harap sam-wi suhu berada dalam keadaan baik-baik dan sehat," berkata Bi Lan dengan kegembiraan yang wajar karena memang hatinya gembira melihat tiga orang kakek itu nampak sehat walau pun muka mereka agak memucat karena kurang mendapatkan sinar matahari selama berbulan-bulan.
Melihat ulah Bi Lan ini, Sam Kwi memandang heran, termangu dan saling pandang oleh karena belum pernah mereka melihat murid itu demikian sopan.
Akan tetapi Bi-kwi segera menuding ke arah sumoi-nya dan berkata, "Inilah pengkhianat itu, suhu! Ia telah berhubungan dengan orang luar, bahkan telah berkhianat mengangkat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya menjadi guru-gurunya pula! Bukankah ini merupakan tamparan bagi muka suhu bertiga? Murid pengkhianat ini harus dibunuh sekarang juga untuk membersihkan muka suhu bertiga dari penghinaan!"
Ketiga orang kakek itu saling pandang. Tadi mereka keluar dari pertapaan dan yang menyambut mereka adalah Bi-kwi yang segera menceritakan tentang diri Bi Lan atau Siauw-kwi yang katanya berkhianat itu. Kini mereka dengan pandang mata ragu lalu bertanya, diucapkan oleh Im-kan Kwi atau Iblis Akhirat.
"Siauw-kwi, benarkah keterangan Bi-kwi itu? Engkau telah menjadi murid orang-orang lain tanpa seijin kami? Apakah engkau tidak puas menjadi murid kami?"
Mendengar pertanyaan yang nadanya penuh ancaman dari Im-kan Kwi yang biasanya amat sayang kepadanya dan bersikap sebagai kakek sendiri, Bi Lan menarik napas panjang menenangkan hatinya yang terguncang, lalu dia berkata dengan suara tegas karena sudah mengambil keputusan untuk melawan tuduhan-tuduhan suci-nya dengan membuka rahasia suci-nya.
"Sam-wi suhu tentu sudah tahu akan isi hati teecu…."
Kembali ketiga orang datuk sesat itu saling pandang karena sikap dan ucapan Bi Lan benar-benar telah berubah. Gadis itu nampak halus dan lembut biar pun sinar matanya memancarkan kegembiraan dan kelincahan yang tadinya tak pernah mereka lihat. Tiga orang kakek itu benar-benar menyaksikan perubahan yang luar biasa pada diri murid mereka itu.
"Teecu merasa berhutang budi kepada sam-wi, teecu merasa amat sayang dan kasihan kepada sam-wi dan menganggap sam-wi selain guru juga seperti kakek teecu sendiri. Karena itu, mana mungkin teecu akan menghina dan mengkhianati sam-wi suhu?"
Biar pun hati tiga orang kakek itu sudah mengeras dan membatu, namun karena ada rasa sayang kepada murid ini, hati mereka tersentuh pula oleh pernyataan Bi Lan tadi. Mereka maklum bahwa Bi Lan tak pernah bohong, sama sekali tidak boleh disamakan dengan Bi-kwi yang tidak akan ragu-ragu untuk membohongi nenek moyangnya sekali pun! Mereka ketahui benar kepalsuan, juga kejahatan dan kekejaman Bi-kwi, bahkan hal itu membuat mereka merasa bangga mempunyai murid seperti itu!
"Akan tetapi, Siauw-kwi, menurut keterangan suci-mu engkau telah berpaling kepada orang lain, dan mengangkat guru kepada seorang pendekar dan isterinya," kata Iblis Mayat Hidup penuh teguran.
"Maaf, suhu bertiga. Tidak dapat teecu sangkal akan hal itu, akan tetapi ada sebabnya mengapa teecu berhubungan dengan mereka. Ketahuilah bahwa pada suatu pagi, enam bulan yang lalu, ketika teecu habis dipukuli dan disiksa oleh suci seperti biasa, teecu diharuskan memenuhi gudang kayu. Teecu pergi mencari kayu seperti biasa dan di dalam hutan itu teecu berjumpa dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya. Mereka berdualah yang melihat bahwa teecu keracunan, bahwa kalau tidak diobati, teecu akan menderita dan tewas. Dan semua ini adalah perbuatan suci Bi-kwi! Suhu bertiga telah mewakilkan pendidikan atas diri teecu kepada suci, dan ternyata suci memberi pelajaran yang menyesatkan, sengaja dibalik dan disesatkan sehingga latihan-latihan itu menghimpun hawa beracun dalam tubuh teecu, bahkan mempengaruhi otak sehingga pikiran teecu menjadi bingung dan nyaris gila. Untunglah ada mereka berdua yang mengetahui keadaan teecu. Mereka lalu untuk sementara tinggal di hutan itu, khusus untuk mengobati teecu. Oleh karena mereka telah menyelamatkan nyawa teecu, maka tanpa ragu-ragu lagi teecu mengangkat mereka menjadi guru supaya teecu bisa menerima latihan-latihan yang dapat mengusir hawa beracun itu. Nah, demikianlah kenyataannya dan terserah kepada keputusan sam-wi suhu."
Kini tiga orang kakek itu menoleh dan memandang kepada Bi-kwi yang mendengarkan sambil tersenyum-senyum mengejek.
"Huh, anak ini memang tidak mengenal budi!" katanya. "Kalau memang aku tak pernah memberi pelajaran dengan baik kepadanya, mana mungkin dia menguasai semua ilmu silat kita, bisa paham dan juga pandai memainkan Hek-wan Sip-pat-ciang, Pat-hong-twi, Hun-kin Tok-ciang, bahkan Kiam-ciang?"
Kembali tiga orang kakek itu menoleh kepada Bi Lan yang menjawab lantang. "Teecu sama sekali tidak pernah diajari ilmu-ilmu itu, suhu, melainkan diajar ilmu-ilmu pukulan yang menyesatkan, penggunaan pernapasan yang terbalik, cara penghimpunan tenaga sinkang yang sengaja disesatkan sehingga teecu keracunan sendiri. Tidak akan teecu sangkal bahwa teecu mengenal dan paham akan semua ilmu-ilmu suhu itu, akan tetapi hal itu teecu dapatkan dari menonton kalau suci latihan seorang diri. Dari nonton inilah teecu lalu belajar sendiri, dan terpaksa teecu keluarkan ketika suci menyerang teecu dengan ilmu-ilmu itu untuk membunuh teecu."
Kembali tiga orang kakek itu saling pandang. Iblis Akhirat lalu bertanya, "Siauw-kwi, kau maksudkan bahwa hanya dengan menonton suci-mu berlatih, dan engkau sudah dapat menguasai ilmu-ilmu itu?"
"Benar, suhu."
"Benarkah demikian, Bi-kwi?" tanya pula Iblis Akhirat.
"Bohong! Mana mungkin hanya nonton orang bersilat lalu dapat menguasai ilmu silat itu? Ia bohong, suhu!" bantah Bi-kwi.
Kini Raja Iblis Hitam bangkit dan dia berkata "Perlu dibuktikan kebenaran omongan kalian. Nah Bi-kwi dan Siauw-kwi, aku memiliki sebuah ilmu silat yang belum pernah kuajarkan kepada siapa pun juga. Kalian lihat baik-baik, aku akan memainkan ilmu silat itu, akan berlatih dan menghabiskan tiga belas jurus ilmu itu. Ingin kulihat siapa di antara kalian yang dapat menguasainya hanya dengan menonton."
Setelah berkata demikian, kakek yang tinggi besar bagaikan raksasa ini lalu bersilat. Gerakannya aneh dan mengandung tenaga sampai menimbulkan angin menderu-deru. Bi-kwi dan Bi Lan segera memperhatikan gerakan-gerakan itu. Memang, semenjak dia keracunan, terjadi perubahan pada otak Bi Lan dan dia kini memiliki ingatan yang luar biasa tajamnya.....
Komentar
Posting Komentar