SULING NAGA : JILID-05


"Marilah, kita sudah dekat...!" kata kakek itu dengan napas terengah-engah dan dia mendaki bukit itu. Dan karena luka yang diderita oleh Pek-bin Lo-sian semakin parah, kini kakek itu hampir tidak kuat mendaki bukit itu.

Melihat ini, Sim Houw berkata, "Locianpwe terluka, marilah saya membantu locianpwe untuk meringankan penderitaan itu." Pemuda ini bermaksud untuk mengobati kakek itu dengan pengerahan sinkangnya. Akan tetapi kakek itu menggelengkan kepala.

"Tidak ada gunanya, hanya menghilangkan nyeri sebentar akan tetapi tak akan mampu menyembuhkan."

Sim Houw juga maklum akan hal ini dan dia merasa menyesal sekali. "Maafkan saya, locianpwe. Bukan maksud saya untuk... akan tetapi saya terdesak dan terpaksa..."

"Sudahlah, begini lebih baik. Roboh di tangan seorang pemuda seperti engkau tidak membikin hatiku penasaran. Kalau kau mau... kau gendong saja aku sampai ke puncak, aku khawatir akan putus nyawaku sebelum berhasil menyerahkan pusaka itu."

Sim Houw tanpa ragu-ragu lagi lalu menggendong kakek itu di belakang punggungnya. Baru beberapa langkah saja dia berjalan, tiba-tiba kakek yang tadinya nampak loyo itu menggerakkan tangan mencengkeram ke arah tengkuk Sim Houw.

"Tolol kau! Mencari mampus sendiri!" Tetapi tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan kaget karena tengkuk yang dicengkeramnya itu lemas seperti tak berotot atau bertulang sehingga cengkeramannya meleset dan tenaga yang dipergunakannya bagai tenggelam ke dalam air saja.

Tahulah dia bahwa pemuda itu tidak setolol seperti yang disangkanya karena diam-diam pemuda itu telah bersiap melindungi dirinya dengan ilmu I-kiong-hoan-hiat, yaitu Ilmu Memindahkan Jalan Darah yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang sudah memiliki tenaga sinkang yang amat kuat! Dan sebelum dia sempat melakukan hal lain lagi, tahu-tahu tubuhnya sudah tidak dapat digerakkan karena pemuda itu telah menotoknya dan membuat kaki tangannya lumpuh! Diam-diam dia kagum dan girang sekali.

"Bagus! Kini barulah yakin hatiku bahwa engkau memang paling pantas menjadi pemilik Liong-siauw-kiam, karena selain lihai engkau pun cerdik sekali." Dia lalu menunjukkan jalan bagi Sim Houw yang tidak menjawab melainkan berlari dengan cepat mendaki bukit itu sambil menggendong tubuh kakek yang sudah tidak mampu bergerak lagi itu.

Setelah kakek itu menyuruhnya berhenti di depan sebuah goa besar, baru Sim Houw menurunkan tubuh kakek itu dari gendongan dan membebaskan totokannya sehingga kakek itu mampu bergerak lagi. "Maafkan saya yang terpaksa menotokmu, locianpwe," katanya dengan sikap tetap menghormat.

Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengangguk-angguk. "Jika engkau tidak cerdik dan tidak melindungi tubuhmu, tentu cengkeramanku akan mematikanmu. Dan memang lebih baik engkau mati kalau tidak mampu melindungi diri dari kecurangan seperti itu. Musuh-musuhmu yang akan kau hadapi puluhan kali lebih curang dari pada yang kulakukan tadi. Tadi aku memang hanya mengujimu. Kalau kau gagal, kau mampus, dan karena kau lulus, maka sekarang aku merasa lebih yakin kau akan mampu mempertahankan Liong-siauw-kiam."

Tiba-tiba kakek itu batuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.

"Locianpwe, harap kau beristirahat...!" kata Sim Houw dengan kaget karena muntah darah itu menunjukkan bahwa luka yang diderita kakek itu sudah amat berat.

"Heh-heh-heh...!" Pek-bin Lo-sian mengusap darah dari bibirnya sehingga ujung lengan bajunya menjadi merah semua. "Kau... kau tunggu... akan kuambil pusaka itu..." Dan dengan terhuyung-huyung dia memasuki goa yang lebar dan dalam itu.

Sim Houw menanti di luar dengan hati tegang. Hatinya tidak merasa gembira sedikit pun. Tanpa sebab, tanpa permusuhan apa pun dia telah menyebabkan seorang kakek yang memiliki kesaktian luar biasa menderita luka parah, luka yang dia tahu akan membawa maut bagi kakek itu. Dan sesungguhnya dia sama sekali tidak menginginkan pusaka orang, walau pun sikap dan kata-kata kakek itu tentang pusaka yang disebut Liong-siauw-kiam menarik perhatiannya.

Tiba-tiba dia melihat kakek itu keluar lagi, dan cara jalannya semakin terhuyung-huyung, bahkan saat tiba di depan goa, kakek itu terguling roboh dan kembali muntahkan darah segar.

"Locianpwe...!" Sim Houw meloncat dan berlutut dekat kakek itu.

Akan tetapi kakek itu sudah bangkit duduk bersila, mengusap darah dari bibirnya dan dia mengangkat tinggi-tinggi sebuah benda hitam yang ternyata sama benar bentuknya dengan senjata kakek itu yang pernah patah oleh pedang Koai-liong Po-kiam.

"Inilah Liong-siauw-kiam, pusaka ampuh itu yang akan kuserahkan kepadamu, Sim Houw."

Pemuda itu memandang dengan sinar mata ragu-ragu. Benda itu serupa benar dengan senjata kakek tadi, dan tentu saja dia meragukan keampuhannya. Hanya sebuah benda sepanjang kurang lebih tiga kaki, terbuat dari kayu hitam yang diukir membentuk seekor naga, dengan ekor meruncing dan tepinya tajam seperti pedang, di tengahnya yang tebal terdapat lubang-lubang seperti suling. Sebatang Pedang Suling Naga? Jika hanya terbuat dari kayu, mana dapat menjadi senjata yang ampuh? Mana mungkin dapat dibandingkan dengan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam?

Agaknya Pek-bin Lo-sian dapat menduga apa yang diragukan pemuda itu. "Sim Houw, coba kau keluarkan pedangmu dan kau babatlah pusaka ini untuk membuktikan bahwa pusaka ini tidak kalah dibandingkan dengan pedangmu itu."

Wajah Sim Houw berubah agak merah karena isi pikirannya ternyata dapat ditebak dengan tepat oleh kakek itu. Dia lalu mengeluarkan Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar biru berkelebat menyeramkan. Pek-bin Lo-sian sendiri memandang kagum dan mengangguk-angguk.

"Pedang itu memang hebat, akan tetapi cobalah kita adu dengan pusaka ini." Dia lalu mengacungkan Liong-Siauw-kiam itu dan memegang dengan dua tangannya. "Babatlah dan pergunakan tenagamu. Aku sendiri ingin menguji keampuhan pusaka ini!"

Sim Houw lalu bangkit berdiri, mengerahkan tenaga serta mengayun pedangnya. Sinar biru berkelebat bagai kilat dan pedang itu membacok Suling Naga itu dengan kuatnya karena didasari tenaga sinkang.

"Cringggg...!"

Bunga api berpijar keras. Sim Houw merasa betapa pedangnya bertemu dengan benda seperti baja kerasnya sehingga pedangnya membalik. Akan tetapi karena tenaganya sangat besar dan kakek itu sudah lemah, hampir saja pusaka itu terlepas dari kedua tangannya. Sim Houw memandang dan ternyata benda itu sama sekali tidak rusak, lecet pun tidak! Tentu saja dia menjadi kagum bukan main. Jangankan hanya kayu, biar baja sekali pun, jika bukan baja terbaik, tentu akan patah terbabat Koai-liong Po-kiam. Akan tetapi suling atau pedang kayu hitam itu sama sekali tidak rusak.

"Heh-heh-heh...!" Pek-bin Lo-sian terkekeh dan mengulurkan tangannya. "Nih, terimalah Liong-siauw-kiam, mulai saat ini menjadi milikmu, Sim Houw."

Sim Houw menerima benda itu. "Terima kasih, locianpwe..."

Ketika menerima pedang dia menyentuh jari-jari tangan kakek itu. Dia menjadi terkejut bukan main karena jari-jari tangan itu terasa amat panas seperti api! "Ah, kau... kenapa locianpwe?"

Kakek itu tidak menjawab dan kembali muntah-muntah darah. Wajahnya pucat bukan main dan ketika Sim Houw hendak menolongnya, dia menolak dengan tangannya. "Tak perlu ditolong lagi. Kau pergilah, bawalah pusaka yang menjadi milikmu itu, pertahankan dengan nyawamu, dan berhati-hatilah. Ada tiga orang murid keponakanku yang amat lihai mengincar pusaka itu... kau... kau harus dapat melawan mereka..."

"Siapakah mereka, locianpwe?"

"Sam-kwi... mereka... ahh, sudahlah, cepat pergilah dan tinggalkan aku sendiri." Pek-bin Lo-sian menggerakkan tangannya mengusir Sim Houw.

Terpaksa pemuda itu menjura dan mengucapkan terima kasih sekali lagi, baru dia pergi dengan berlari cepat sekali turun dari bukit itu sambil membawa Liong-siauw-kiam. Dia adalah seorang pemuda yang berhati-hati sekali karena telah lama merantau di dunia kang-ouw, di mana terdapat banyak sekali kaum sesat yang licik dan curang. Dia dapat menduga bahwa melihat sikap dan perbuatannya, Pek-bin Lo-sian tentulah seorang datuk sesat pula yang mengasingkan diri, maka tadi pun dia tidak sampai kena diserang secara menggelap karena dia sudah siap siaga.

Kini pun dia belum mau menelan begitu saja semua keterangan kakek itu dan dia masih memegang pusaka itu dengan hati-hati. Dia sudah mempergunakan kepandaiannya untuk meneliti apakah benda itu dilumuri racun dan setelah mendapat kenyataan bahwa benda itu bersih dari racun, dia tetap masih memegangnya dengan hati-hati, khawatir kalau-kalau di situ tersembunyi senjata rahasia yang akan membahayakan dirinya.

Setelah menuruni bukit itu, barulah Sim Houw memeriksa pusaka yang barusan saja diterimanya dari Pek-bin Lo-sian. Dia memeriksa dengan teliti dan merasa kagum sekali. Benda itu benar-benar terbuat dari pada kayu, akan tatapi kayu hitam itu luar biasa keras dan kuatnya, tidak kalah dengan baja asli! Dan ukirannya demikian indah dan halus.

Pada waktu dia memegang bagian kepala yang menjadi gagang dan mencoba untuk memainkannya, dia terkejut sendiri dan juga girang. Benda itu enak benar dimainkan sebagai pedang, dengan bobot yang tepat. Dan saat dia mencoba satu dua jurus, benda itu mengeluarkan suara merdu, tidak kalah dengan suling emasnya! Lalu dia mencoba untuk meniupnya, ternyata benda itu merupakan sebuah suling yang suaranya amat merdu!

Dengan hati girang luar biasa Sim Houw lalu kembali ke Lembah Naga Siluman. Setelah dia menyeberang dan bertemu dengan Cu Kang Bu dan isterinya, dia menceritakan pengalamannya dan memperlihatkan pusaka itu. Suami isteri itu kagum bukan main dan juga merasa amat gembira.

"Ahhh, engkau sungguh beruntung, Sim Houw," kata Cu Kang Bu dengan kagum sambil mengembalikan pusaka itu. "Ternyata kakek aneh itu tidak membohongimu dan engkau telah mendapatkan sebuah pusaka yang amat hebat."

"Dengan demikian engkau memiliki tiga buah pusaka ampuh, Sim Houw," kata Yu Hwi dengan suara yang jelas mengandung iri. "Sebuah suling emas, sebuah pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dan sekarang pusaka Liong-siauw-kiam!"

Cu Kang Bu dapat mendengar suara mengandung iri dari isterinya, maka dia cepat berkata dengan suara lantang. "Tentu saja dan memang dia berhak memiliki semua itu. Suling emasnya adalah tanda bahwa dia murid Pendekar Suling Emas Kam Hong, pedang Koai-liong Po-kiam adalah warisan ayahnya, sedangkan Pedang Suling Naga ini adalah pemberian Pek-bin Lo-sian setelah Sim Houw berhasil menundukkannya. Jadi memang semua itu adalah haknya!"

Tetapi, sebelum menghadap suami isteri itu, dalam perjalanannya meninggalkan kakek itu, dan setelah mencoba Liong-siauw-kiam dan tahu benar bahwa pusaka itu memang ampuh, Sim Houw sudah mengambil satu keputusan.

"Cek-kong berdua, Liong-siauw-kiam ini bisa digunakan sebagai suling dan juga sebagai pedang. Dengan sendirinya, pusaka ini seperti pengganti suling emas dan Koai-liong Po-kiam menjadi satu. Bahkan penggabungan kedua ilmu akan dapat lebih mantap jika dimainkan dengan pusaka ini, hanya tinggal melatih saja. Karena itu Koai-liong Po-kiam beserta suling emas akan saya tinggalkan di sini, dan saya serahkan kepada cek-kong sekeluarga."

"Ah, apa maksudmu dengan keputusan ini?" Cu Kang Bu yang berwatak keras dan jujur itu bertanya dengan suara lantang dan sinar matanya menatap wajah Sim Houw penuh selidik.

"Cek-kong Cu Kang Bu, harap jangan salah mengerti. Saya sudah mendengar bahwa lembah ini dahulunya bernama Lembah Suling Emas, dan bahwa pusaka suling emas yang terkenal itu berasal dari tempat ini. Juga sekarang lembah ini diganti dengan nama Lembah Naga Siluman, dan pedang pusaka Naga Siluman juga berasal dari tempat ini. Meski suling emas di tangan saya bukan suling emas yang asli, melainkan hanya tiruan saja, akan tetapi biarlah saya serahkan kepada keluarga Cu berikut pedang pusaka Naga Siluman. Dengan demikian terhapuslah sudah semua rasa penasaran dan kedua pusaka itu kembali ke tempat asalnya."

"Akan tetapi...," Cu Kang Bu hendak membantah.

"Aihhh, mengapa engkau malah hendak menolak niat baik dari Sim Houw? Niatnya itu membuktikan bahwa dia adalah seorang gagah sejati, yang tahu akan jalannya sejarah dan mengenal pula sumbernya."

"Keluarga Cu adalah keluarga yang tadinya berhak atas kedua pusaka itu. Dan keluarga Cu masih belum habis, masih ada engkau dan sekarang ada pula Cu Kun Tek, putera kita. Apakah tidak pantas kalau puteramu kelak mewarisi pusaka-pusaka lembah yang turun-temurun dihuni oleh keluarga Cu ini?" kata Yu Hwi dengan penuh semangat.

Cu Kang Bu masih mengerutkan alisnya yang tebal. "Sim Houw, apakah tidak ada maksud-maksud tersembunyi di balik niatmu ini? Apakah engkau tidak akan menyesal kelak? Ingat, yang menguasai ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut adalah engkau seorang, jadi kedua pusaka itu memang sudah menjadi hakmu."

Sim Houw mencabut keluar suling emas dari pinggangnya, kemudian meloloskan sabuk pedang Koai-liong Po-kiam dari punggungnya, lalu menyerahkan dua pusaka itu kepada Cu Kang Bu dengan sikap hormat dan wajah penuh keramahan.

"Saya menyerahkannya dengan hati ikhlas dan rela, cek kong. Biarlah kedua pusaka ini, walau pun suling emasnya hanyalah tiruan, menjadi pusaka-pusaka keturunan keluarga Cu."

"Wah, aku senang sekali kalau punya dua senjata itu!" Tiba-tiba si kecil Kun Tek berseru girang. "Kelak aku ingin bisa menjadi seperti Sim Houw!"

"Hemm, enak saja kau bicara!" ayahnya menegur, "Tanpa mempunyai ilmu-ilmu sakti Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut, mana bisa seperti Sim Houw?”

"Jangan khawatir, Kun Tek." Ibunya menghibur. "Ayahmu dapat mengajar ilmu dengan suling emas, dan aku akan mengajarkan ilmu pedang padamu."

Nyonya ini bukan hanya membual. Ia adalah seorang ahli pedang, bahkan ia memiliki Ilmu-ilmu Kiam-to Sin-ciang, yaitu ilmu yang membuat lengannya dapat digerakkan dengan ampuh seperti berubah menjadi pedang dan golok. Di samping ini, juga ia ahli ilmu Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru) dan ilmu ini dapat pula dimainkan dengan pedang menjadi Ilmu Pedang Delapan Penjuru Angin.

Karena melihat kesungguhan hati dan kerelaan Sim Houw, dan juga mengingat bahwa memang bukan keliru alasan Sim Houw yang mengatakan bahwa kedua pusaka itu berasal dari lembah mereka, akhirnya Cu Kang Bu menerima juga penyerahan dua pusaka itu dengan hati girang.

"Aku akan menyimpan benda-benda ini sebagai pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman dan mudah-mudahan kami akan mampu menjaganya," katanya dengan hati lega. "Dan banyak terima kasih kepadamu, Sim Houw. Engkaulah yang telah menyatukan kembali keretakan yang pernah terjadi pada mendiang ayah dan ibumu."

Setelah tinggal di lembah itu selama tiga hari, Sim Houw lalu berpamit dan diantar oleh keluarga Cu ayah ibu dan anak itu sampai ke tepi jembatan tambang. Sim Houw lalu meninggalkan lembah itu dan mulai dengan perantauannya.

Selama tiga tahun ini, banyak sudah yang dia lakukan demi menegakkan kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar. Karena dia tidak pernah meninggalkan nama, atau jarang sekali memperkenalkan diri, akhirnya yang lebih dikenal di dunia kang-ouw hanyalah senjata barunya itu dan mulailah dia dijuluki orang Pendekar Suling Naga.....

********************

Demikianlah peristiwa tiga tahun yang lalu itu, semua terbayang dalam benaknya ketika Sim Houw beristirahat ditepi Sungai Wu-kiang, duduk di atas rumput hijau tebal yang bersih itu. Alam di sekelilingnya amat indahnya, dan setelah Sim Houw menghentikan lamunannya, dia mulai masuk ke dalam keheningan yang penuh dan maha luas itu.

Pagi yang indah cerah, sinar matahari kuning emas yang menerobos celah-celah daun dan dahan nampak seperti garis-garis lurus yang amat indah. Sebagian sinar matahari sempat menimpa permukaan air sungai yang membentuk jalan lurus panjang berwarna kuning kemerahan.

Dia merasa betapa kulit pinggul dan belakang pahanya dingin, oleh karena embun yang tadinya menghias ujung rumput yang didudukinya meresap melalui celana, kemudian membasahi kulit pahanya. Semilir angin pagi yang membuat rambut kepalanya berkibar lembut mendatangkan rasa nyaman seperti membelai-belai leher dan dagunya.

Dengan kesadaran penuh akan keadaan sekeliling dirinya, Sim Houw melihat keindahan yang tiada taranya. Sukar untuk dapat diceritakan karena kata-kata amatlah terbatas.

Kata-kata hanya dapat menceritakan hal-hal yang telah lalu saja, tidak mungkin dapat menggambarkan keadaan SAAT INI. Keindahan dalam keheningan itu hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya pada saat itu juga. Cerita yang dituturkan kemudian sama sekali berbeda dengan kenyataan pada saat itu.

Kenyataan yang demikian indahnya, yang menimbulkan rasa bahagia dan keharuan yang mendalam sehingga tanpa terasa lagi ada air mata membasahi kedua mata Sim Houw. Bukan air mata kesenangan atau air mata kesedihan, melainkan air mata yang muncul ketika batinnya yang paling dalam tersentuh oleh sesuatu yang halus, yang mendekatkan batinnya pada HIDUP yang sejati, bukan kehidupan di dunia fana yang penuh dengan permainan emosi ciptaan sang aku.

Sang aku tidak ada pada saat seperti itu, dirinya telah lebur menjadi satu dengan segala sesuatu, dengan alam, dengan keheningan. Berkericiknya air sungai, berkicaunya burung-burung di dalam pohon, semua itu termasuk di dalam keheningan yang maha luas itu. Hening, tapi bukan kesepian. Keheningan yang nyaman karena tidak adanya pikiran, tidak adanya sang aku, namun bukan pula tidur lelap, bukan pula termenung atau tenggelam ke dalam sesuatu. Sadar sesadar-sadarnya, segalanya terbuka, wajar, tanpa pamrih

.

Seperti otomatis, Sim Houw mengeluarkan suling naga dari balik jubahnya. Benda ini selalu berada pada dirinya, tersembunyi aman tak nampak dari luar diselipkan di ikat pinggang, tertutup baju. Keharuan selalu timbul dalam keadaan seperti itu, dan selalu mendorongnya untuk meniup suling! Getaran batin dapat disatukan melalui suara suling yang ditiup.

Segera melayang suara merdu dari suling itu ketika Sim Houw mulai meniup sulingnya. Pemuda ini memang telah menguasai ilmu-ilmu dari Kam Hong yang pernah menjadi gurunya dan juga bekas calon ayah mertuanya. Bukan hanya pelajaran ilmu kesaktian Kim-siauw Kiam-sut saja yang dipelajarinya, melainkan juga ilmu meniup suling, baik meniup dengan mulut biasa untuk menciptakan lagu mau pun tiupan dengan bantuan pengerahan khikang untuk menyerang lawan yang tangguh.

Suara suling itu mengalun dan kadang-kadang melengking tinggi sekali sampai tidak tertangkap telinga manusia biasa, kemudian merendah dan menggereng sampai lenyap dari pendengaran pula. Merdu dan sesuai sekali dengan suara-suara yang ada, dengan gemersik daun-daun yang terhembus angin pagi, dengan gemerciknya air di tepi sungai, dengan kicau burung, dengan detak jantungnya sendiri. Getaran hatinya hanyut dalam aliran suara suling yang merdu.

Demikian asyiknya Sim Houw meniup suling sehingga seluruh keadaan dirinya lahir dan batin bagaikan masuk ke dalam suara itu. Dia seperti melayang-layang bersama suara sulingnya.

"Heiiii...! Bising sekali suara sulingmu!" Mendadak terdengar suara orang menegurnya, suaranya berteriak melengking tak kalah nyaringnya menyaingi suara suling.

Sim Houw melihat meluncurnya sebuah perahu di atas air sungai dan di atas perahu itu terdapat seorang wanita muda yang memegang tangkai pancing. Gadis itulah yang berteriak menegurnya. Akan tetapi Sim Houw bersikap tenang, melanjutkan tiupan sulingnya sampai lagunya habis barulah dia menghentikan tiupan sulingnya.

Kini perahu kecil itu sudah berada di tepi sungai di depannya dan seorang gadis yang duduk di dalam perahu sambil memegang tangkai pancing itu memandang kepadanya dengan mata melotot. Kemudian gadis itu menuding ke arah Sim Houw dengan tangkai pancingnya sambil berseru marah, "Kebisingan sulingmu itu menggangguku! Kalau mau menyuling jangan di sini, mengganggu aku yang sedang berlatih!"

Sim Houw memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang menarik sekali, wajahnya manis sekali, kecantikan yang asli karena gadis itu tidak merias mukanya. Sikapnya gagah dan rambutnya diikat ke atas dengan pita dan ujungnya digelung secara sederhana. Pakaiannya yang ringkas membayangkan bentuk tubuhnya yang penuh dan padat, di punggungnya tergantung sebatang pedang dengan ronce merah muda.

Melihat keadaan gadis ini, Sim Houw sudah dapat menduga bahwa nona di atas perahu itu adalah seorang gadis ahli silat. Apa lagi ketika gadis itu menuding dengan tangkai pancing dan ketika mengangat tangkai itu, ujungnya hanya terdapat sehelai tali tanpa pancing, dia pun dapat menduga bahwa tadi gadis itu sebenarnya bukan memancing, melainkan melakukan semacam latihan dengan bantuan tangkai pancing itu. Dan dia pun kagum ketika dia menduga bahwa tentu gadis itu sedang berlatih semedhi dengan bantuan tangkai pancing.

Banyak macam orang bersemedhi dengan maksud mengumpulkan konsentrasi pada suatu hal saja. Ada orang mengggunakan bantuan api lilin yang dipandangnya terus, atau sebuah gambar lingkaran dengan titik di tengah, atau gambar pat-kwa, ada pula yang menggunakan patung dan sebagainya. Semua itu hanya dipergunakan sebagai alat untuk menujukan seluruh perhatian.

Gadis ini agaknya menggunakan tangkai pancing dengan tali yang tak ada pancingnya, tetapi ujungnya diikatkan pada sepotong batu. Dan gadis itu tentu berlatih konsentrasi sambil mencurahkan seluruh perhatiannya pada tangkai pancing yang dipegangnya dan air di mana nampak tali pancing ini tenggelam. Sebuah cara melatih perhatian yang amat aneh akan tetapi juga istimewa.

Teringatlah Sim Houw akan sebuah dongeng tentang Sang Bijaksana Kiang Cu Ge di dalam dongeng Hong-sin-pong, ketika Kiang Cu Ge memancing seperti yang dilakukan oleh gadis itu, dengan sebatang tangkai, sehelai benang dan di ujung benang terdapat pancing yang lurus tanpa umpan! Tentu saja cara ini tak akan mendapatkan ikan! Cara memancing Kiang Cu Ge itu hanya kiasan saja, karena yang dipancing bukanlah ikan melainkan penguasa-penguasa atau pemimpin-pemimpin rakyat yang bijaksana. Dan tentu saja juga dipergunakan untuk melatih konsentrasi karena pencurahan perhatian amat penting dalam ilmu silat.

"Eihh, nona, kenapa di ujung tali itu tidak ada mata pancingnya?" Dia pura-pura tidak mengerti dan bertanya heran.

Gadis itu juga tadi memandang ke arah Sim Houw dengan penuh perhatian. Tadinya ia menyangka bahwa pria yang dapat meniup suling dengan suara menggetar-getar itu tentu bukan orang sembarangan. Akan tetapi hatinya kecewa melihat betapa pria itu nampak sederhana saja, tidak memperlihatkan sifat-sifat gagah seorang pendekar dan agaknya hanya seorang dusun yang pandai meniup suling saja.

Juga dari atas perahunya ia tidak melihat sesuatu yang aneh pada suling yang kelihatan hitam itu, hanya sebatang suling yang bentuknya agak aneh, batangnya berlekak-lekuk seperti tubuh ular. Dan pertanyaan pemuda itu pun menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang biasa saja yang tidak tahu apa-apa tentang pancingnya.

"Hemm, kuberitahu juga engkau tidak akan mengerti. Sudahlah, engkau jangan meniup suling itu lagi."

"Kenapa, nona?"

"Suaranya tidak sedap didengar dan menggangguku! Mengerti? Tidak usah bertanya lagi, sebaiknya kau pergi saja dari sini dan jangan meniup sulingmu karena kalau kau lakukan lagi, aku akan mematahkan sulingmu itu dan membuangnya ke tengah sungai!"

Setelah berkata demikian, gadis manis itu menggunakan sebuah dayung dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kiri tetap memegang tangkai pancing, dan menggerakkan dayung itu. Hanya dengan sebelah tangan saja ia mendayung, akan tetapi hebatnya, perahu itu meluncur menentang arus dan laju bukan main.

Sim Houw tersenyum seorang diri. Seorang gadis yang cantik manis, gagah perkasa dan agaknya memiliki kepandaian yang lumayan. Seorang gadis yang agaknya suka pula akan keheningan dan berada di tempat sunyi dan liar itu seorang diri saja! Sinar mata gadis itu demikian tajamnya dan suaranya demikian merdu! Sim Houw tersenyum dalam renungannya sendiri.

Akan tetapi dia terkejut ketika melihat berkelebatnya lima orang kakek di tepi sungai dan lima orang itu agaknya mengejar ke arah perginya perahu gadis itu tadi. Entah apa sebabnya dia menduga bahwa lima orang itu membayangi gadis di dalam perahu. Akan tetapi hatinya merasa tidak enak dan ia pun cepat bangkit dan berdiri membayangi lima orang kakek itu.

Perahu gadis itu meluncur dengan amat cepatnya, dan lima orang kakek itu pun berlari dengan menggunakan ilmu berlari cepat sehingga Sim Houw menjadi semakin curiga. Akan tetapi, karena tidak mengenal lima orang itu, juga tidak mengenal siapa adanya gadis itu, dia pun hanya membayangi dari jauh saja.

Kecurigaan dan kekhawatiran hati yang mendorong Sim Houw untuk membayangi lima orang kakek itu memang tak sia-sia. Dia melihat betapa gadis itu mendayung perahunya menepi di seberang sini. Secara lincah sekali ia meloncat ke darat, menyeret perahunya dan mengikatkan tali perahu pada sabatang pohon. Tepian itu merupakan kaki sebuah bukit kecil dan nun di atas puncak bukit itu nampak sebuah pondok yang terpencil, dikelilingi ladang sayuran dan di sebelah kanan pondok itu tumbuh pohon-pohon buah dengan suburnya.

Dan begitu gadis itu selesai mengikatkan perahunya, tiba-tiba saja lima orang kakek itu berloncatan keluar dari balik semak-semak dan mengepung si gadis yang memandang dengan tajam akan tetapi sikapnya tenang, bahkan senyumnya mengejek. Sim Houw segera mendekam di balik semak belukar untuk nenonton pertemuan antara lima orang kakek dan gadis itu dengan hati tegang. Nampak jelas olehnya betapa sikap lima orang kakek itu membayangkan niat yang tidak baik terhadap si gadis.

Melihat sikap lima orang kakek itu, si gadis segera mengerutkan alisnya. Lima orang itu membentuk setengah lingkaran menghadapinya, seolah-olah mengurung. Sikap mereka tidak bersahabat, bahkan alis mereka berkerut dan sinar mata mereka mengandung kemarahan dan ancaman.

"Kalian lima orang tua ini siapakah dan mengapa menghadang perjalananku?"

Seorang di antara lima kakek itu, yang berjenggot panjang berwarna putih dan agaknya menjadi orang paling tua di antara mereka, memandang tajam. Tangan kiri mengelus jenggot, tangan kanan kini menunjuk ke arah nona itu dan bertanya, suaranya halus namun tegas dan mengandung kemarahan.

"Apakah nona yang bernama Souw Hui Lan?"

"Benar sekali, dan siapa kalian?" Gadis yang bernama Souw Hui Lan itu menjawab, sikapnya masih angkuh dan seperti orang memandang rendah, membuat kelima orang kakek itu saling pandang dan mereka menjadi semakin marah.

"Engkau murid dari Beng-san Siang-eng (Sepasang Garuda Beng-san)?" bertanya pula kakek berjenggot.

Kini Hui Lan mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu. "Kalau sudah tahu kenapa kalian berani menghadang perjalananku? Kalian siapa?"

"Kami adalah Bu-tong Ngo-lo (Lima Kakek Bu-tong-pai)."

Mendengar sebutan Beng-san Siang-eng tadi Sim Houw tidak pernah mendengarnya, tetapi mendengar sebutan Bu-tong Ngo-lo, dia terkejut. Lima orang kakek Bu-tong-pai itu pernah terkenal sekali. Mereka adalah tokoh-tokoh Bu-tong-pai yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi juga terkenal sebagai pemberantas penjahat-penjahat, bahkan mereka berlima pernah mengobrak-abrik perkumpulan Hui-to-pang (Perkumpulan Golok Terbang) yang berkedok sebagai perkumpulan para patriot akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan orang-orang jahat yang amat kejam.

Karena perbuatannya membongkar keburukan Hui-to-pang dan membasminya, maka nama Bu-tong Ngo-lo ini dipuji dan dikagumi orang-orang di dunia persilatan, terutama di kalangan para pendekar. Sim Houw sudah banyak mendengar nama lima kakek itu, akan tetapi baru sekarang melihat orang-orangnya dan dia pun menjadi semakin ragu-ragu melihat betapa lima orang kakek ini agaknya memusuhi gadis yang bernama begitu indah dan yang katanya murid Sepasang Garuda dari Beng-San.

Sementara itu, mendengar disebutnya nama lima orang kakek itu, si gadis tidak menjadi kaget, bahkan tersenyum mengejek.

"Hemmm, tidak peduli lima kakek dari Bu-tong atau dari Neraka, tanpa ijin kami, tidak boleh sembarangan melanggar wilayah kami. Bu-tong-san amat jauh dari sini dan kami tidak pernah ada urusan dengan Bu-tong-pai, kenapa kalian ini lima kakek Bu-tong-pai hari ini menghadang perjalanan orang dan melanggar daerah kami tanpa ijin?"

Sim Houw tercengang. Gadis ini masih muda, paling banyak dua puluh tahun usianya dan melihat sikapnya tentulah seorang yang memiliki ilmu kepandaian, tetapi mengapa sikapnya demikian tekebur dan angkuh? Bahkan nama Bu-tong Ngo-lo yang dihormati dan dikagumi para pendekar juga tidak dipandangnya sama sekali.

Mendengar teguran itu, kelima orang itu nampak jengah, akan tetapi kakek berjenggot putih panjang segera menudingkan telunjuknya kepada Hui Lan. "Memang kami sudah melanggar daerah orang tanpa ijin dan hal ini merupakan suatu kesalahan, akan tetapi semua ini gara-gara engkau, nona jahat. Engkau mengatakan tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai, akan tetapi tiga bulan yang lalu engkau telah membunuh seorang murid Bu-tong-pai bernama Ji Kang, dan gurumu membunuh seorang tokoh perguruan kami bernama Kui Siok Cu."

Gadis itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, kemudian mengangguk-angguk. "Kami memang pernah bertanding dengan dua orang itu, akan tetapi sama sekali tidak ada urusannya dengan Bu-tong-pai. Mereka datang sebagai pelamar yang gagal, sama sekali tidak mewakili Bu-tongpai dan tidak ada urusan dengan perkumpulan itu. Juga kami tidak membunuh siapa-siapa. Jika mereka kalah, menderita luka-luka dan mungkin kemudian tewas, apakah hal itu lalu menjadi alasan kalian untuk menyalahkan kami? Bagaimana kalau dalam pertandingan waktu itu kami yang kalah, luka-luka lalu mati? Apakah kalian juga akan menyalahkan mereka? Hayo jawab!"

Sim Houw tidak tahu apa urusan yang telah timbul di antara mereka, tetapi jawaban gadis itu membuatnya menduga-duga bahwa tentu pernah terjadi masalah pribadi di antara murid dan tokoh Bu-tong-pai yang mengakibatkan perkelahian di antara mereka dengan akibat terluka dan tewasnya orang-orang Bu-tong-pai. Dan agaknya kini Bu-tong Ngo-lo datang untuk membalas dendam.

Lima orang kakek itu kembali saling lirik. Jawaban gadis itu agaknya membuat mereka sejenak bingung dan tidak mampu menjawab walau pun tidak mengurangi kemarahan mereka. Akan tetapi akhirnya si jenggot panjang berkata, suaranya tegas sekali. "Oho, kiranya selain pandai membunuh, engkau pandai pula berdebat! Kami selamanya tidak akan membela yang salah, melainkan selalu menentang yang jahat dan sewenang-wenang. Kami datang bukan hanya untuk menegur, akan tetapi kalau perlu membasmi gadis pembunuh yang berhati kejam, yang telah menewaskan banyak pemuda gagah perkasa dengan kecantikanmu dan dengan pedangmu!"

Gadis itu menjadi marah sekali. "Ngaco! Enak saja kalian bicara! Kalian kira aku takut kepada nama Bu-tong Ngo-lo? Kalian datang mau membasmi aku? Hemm, majulah, hendak kulihat sampai di mana kehebatan kalian, apa sepadan dengan kesombongan kalian!" Hui Lan berkata dengan marah sekali, mukanya merah, alisnya terangkat dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Memang, siapakah orangnya yang dapat melihat keangkuhan diri sendiri seperti mudahnya melihat kesombongan orang lain?

Dalam perselisihan ini, Sim Houw yang nonton tanpa berpihak itu memperoleh pelajaran yang sangat mengesankan hatinya. Kakek yang lima orang itu, yang namanya sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh tua penentang kejahatan, telah menuduh gadis itu sebagai pembunuh kejam dan mereka datang untuk membunuh gadis itu! Sebaliknya, si gadis menuduh mereka sombong dengan sikap angkuh pula.

Agaknya sukar mencari orang di dunia ini yang mau membuka mata untuk mengenal diri sendiri, sikap dan isi hati dan pikiran sendiri karena mata itu selalu sibuk untuk meneliti orang lain! Meneliti orang lain hanya akan menimbulkan suka atau benci, sedangkan meneliti diri sendiri akan menimbulkan kesadaran.

"Siancai...! Gadis ini adalah setan yang patut dibasmi!" bentak seorang di antara lima orang kakek itu dan orang ini bertubuh tinggi besar dengan muka hitam. Setelah berkata demikian, dia langsung menerjang dan mengirim pukulan dengan tangan kanan yang dimiringkan ke arah kepala Hui Lan.

"Wuuuutt...!"

Angin pukulan yang amat kuat menyambar. Pukulan itu bukan main-main, melainkan pukulan membacok dengan tangan miring yang dilakukan dengan tenaga sinkang amat kuatnya.

Diam-diam Sim Houw terkejut juga dan merasa khawatir terhadap gadis yang masih muda itu. Dia mengira bahwa gadis itu tentu akan mengelak, karena dari gerak-geriknya dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki gerakan yang gesit sekali. Akan tetapi, heranlah dia ketika melihat betapa gadis itu menggerakkan kedua tangannya, yang kiri menangkis dan yang kanan membalas dengan totokan ke arah pangkal leher.

"Dukkk...!"

Pukulan tangan kakek itu kena ditangkis dan agaknya gadis itu pun sama sekali tidak terguncang. Tangkisannya mantap dan kuat sehingga dua lengan yang bertemu itu saling terpental, akan tetapi jari tangan kanan gadis itu meluncur ke arah leher dengan kecepatan kilat.

"Ihhhh...!"

Kini kakek bermuka hitam itu yang terkejut dan cepat dia melempar tubuh ke belakang lalu berjungkir balik. Hanya dengan cara beginilah dia dapat menghindarkan totokan pada pangkal lehernya tadi yang amat berbahaya dan merupakan serangan maut. Dia terhindar dari mala petaka, akan tetapi segebrakan ini saja sudah menunjukkan betapa dia terdesak.

"Wuuuttt...!"

Angin pukulan menerjang Hui Lan dari kanan dan kakek ke dua sudah menyerang Hui Lan dengan cengkeraman ke arah lambung dengan tangan kirinya sedangkan tangan kanan kakek itu juga sudah mencengkeram ke arah kepala. Serangan berganda yang dilakukan dengan kedua tangan membentuk cakar harimau, amat berbahaya karena jari-jari tangan itu sudah terlatih, kini penuh dengan tenaga sinkang dan dapat mencakar hancur batu karang sekali pun!

Namun, Hui Lan tidak menjadi gentar atau gugup menghadapi serangan berbahaya itu. Sekali ini ia tidak menangkis, akan tetapi tubuhnya meliuk dengan lemas dan cepatnya, tubuh bawah ke kiri dan tubuh atas ke kanan, tubuhnya melipat dengan amat lemasnya sehingga dua serangan itu pun luput. Akan tetapi seperti juga tadi, Hui Lan membarengi gerakan mendadak itu dengan gerakan menyerang pula, yaitu dengan kedua tangannya yang kanan menusuk ke arah mata, yang kiri menotok ke arah jalan darah di ulu hati!

Kakek kedua itu terkejut dan terpaksa harus meloncat beberapa langkah ke belakang karena sama sekali dia tidak menduga bahwa orang yang menyerangnya itu berbalik menyerang pada saat yang sama atau hanya satu dua detik berikutnya!

Dan kini Sim Houw memandang kagum. Gadis ini benar-benar hebat, pikirnya, memiliki tingkat kepandaian yang sama sekali tak pernah diduganya. Yang amat mengagumkan adalah cara gadis itu berkelahi. Menangkis atau mengelak sambil sekaligus menyerang, bahkan membalas kontan serangan lawan. Hal ini merupakan cara berkelahi yang membutuhkan pencurahan perhatian, membutuhkan ginkang yang amat cepat dan juga membutuhkan kesempurnaan gerakan.

Serangan yang dilakukan sambil menangkis atau mengelak itu memang berbahaya sekali. Orang yang menyerang tentu daya tahannya menjadi agak lemah, oleh karena pencurahan perhatiannya ditujukan pada serangannya sehingga kalau tiba-tiba lawan yang diserang membarengi dengan serangan, tentu saja dia terkejut dan kedudukannya menjadi lemah.

Akan tetapi kini kakek ketiga sudah menerjang lagi sebagai lanjutan serangan kakek kedua. Ketika Hui Lan juga berhasil mengelak dan balas menyerang yang membuat kakek ini terdesak, kakek ke empat lalu menyerang, disusul kakek kelima. Kiranya lima orang kakek itu biar pun tidak mengeroyok secara berbareng telah maju semua secara beruntun!

Dan melihat betapa gadis itu terlampau kuat kalau dilawan satu demi satu, akhirnya mereka mengurung dan mengeroyok Hui Lan dengan serangan-serangan mereka yang penuh! Agaknya lima orang kakek itu sudah tidak lagi melihat kenyataan bahwa mereka adalah tokoh-tokoh tua Bu-tong-pai dan yang mereka hadapi hanyalah seorang gadis berusia dua puluh tahun.

Dalam keadaan biasa, andai kata mereka melakukan pibu (pertandingan silat) tentu mereka tak akan mau melakukan pengeroyokan, karena hal itu akan memalukan sekali. Akan tetapi kini mereka datang dengan niat membasmi gadis yang mereka anggap jahat dan berbahaya, maka mereka tidak lagi memakai banyak pertimbangan atau aturan lagi. Mereka datang untuk membunuh dan mengenyahkan kejahatan dari muka bumi, bukan untuk mengadu ilmu dan gadis itu ternyata memang lihai bukan main sehingga perlu dikeroyok oleh mereka berlima.

"Hemm, tidak mudah mengambil nyawaku, tua bangka tua bangka tak tahu malu!" Hui Lan membentak. Nampaklah sinar terang berkilauan ketika ia telah mencabut pedang dari punggungnya.

"Singgg…! Singgg...!"

Sinar pedangnya menyambar-nyambar, membuyarkan pengepungan lima orang kakek itu.

"Siancai...! Inilah pedang yang sudah membunuh banyak orang itu. Terpaksa kami akan menggunakan senjata pula!" Kata kakek yang berjenggot panjang.

Lima orang kakek itu serentak meraba ke bawah jubah mereka dan nampaklah senjata berkilauan di tangan. Tiga orang di antara mereka memegang pedang dan yang dua orang lagi masing-masing memegang sebuah rantai baja yang panjangnya ada enam kaki. Rantai itu tadinya menjadi ikat pinggang, sedangkan pedang para tosu Bu-tong-pai itu tadi tersembunyi di balik jubah mereka.

Lima orang kakek itu adalah pendeta-pendeta tosu dari Bu-tong-pai. Walau pun mereka bukan para pimpinan Bu-tong-pai, namun mereka adalah murid-murid Bu-tong-pai dan di perkumpulan persilatan yang besar itu mereka termasuk tokoh-tokoh besar.

Hui Lan tidak mau banyak cakap lagi. Melihat betapa lima orang kakek itu benar-benar lihai dan kini mereka semua memegang senjata, dia pun lalu mengeluarkan teriakan nyaring melengking dan tahu-tahu tubuhnya sudah berkelebat ke depan, didahului sinar pedangnya yang bergulung-gulung.

Kembali Sim Houw tertegun kagum. Gadis itu benar-benar lihai. Kini setelah memegang pedang, ternyata gadis itu lebih hebat pula. Ilmu pedangnya aneh dan sangat cepat gerakannya, lebih lihai dibandingkan ilmu silat tangan kosongnya tadi.

Sim Houw berusaha untuk mengenali ilmu pedang ini seperti tadi pun dia berusaha mengenal ilmu silat gadis itu, akan tetapi kembali dia gagal. Dia merasa seperti pernah melihat corak ilmu silat dengan gaya seperti yang dimainkan gadis itu, namun dia lupa lagi di mana dia pernah bertemu ilmu silat seperti itu, dan dia sama sekali tidak mengenalnya.

Sebaliknya, ilmu silat tangan kosong dan ilmu pedang lima orang kakek itu tidak asing baginya. Dia sudah mengenal ilmu silat dari Bu-tong-pai, dan karena dia tahu betapa indah dan lihainya ilmu pedang dari perkumpulan itu, yaitu Bu-tong Kiam-hoat (Ilmu Pedang Bu-tong-pai), walau pun hatinya merasa semakin tegang, dia memperhatikan dengan penuh perhatian.

Ilmu pedang Bu-tong-pai memang hebat, apa lagi dimainkan oleh lima orang ahli yang tingkatnya sudah tinggi. Perlahan-lahan gadis itu mulai terdesak dan kini ia hanya dapat memutar pedangnya menjadi gulungan sinar yang melindungi seluruh tubuhnya saja. Andai kata gadis itu disiram air, atau hujan turun, tentu ia tidak akan basah karena tubuh itu terlindung oleh benteng sinar pedang!

Hebatnya, ketika seorang di antara lawannya lengah, yaitu kakek muka hitam, tangan kiri gadis itu mencuat keluar dari gulungan sinar pedangnya dan tangan yang kecil dan nampak lunak itu menampar ke arah kepala kakek ini. Si kakek muka hitam terkejut bukan main karena tidak menyangka gadis yang sudah didesak hebat itu akan mampu melakukan serangan yang demikian tiba-tiba. Tamparan ke arah kepalanya itu sangat berbahaya, maka dia cepat mengelak.

"Plakkk!"

Tetap saja telapak tangan kiri Hui Lan menyentuh pundak si kakek muka hitam dan dia menggigil seperti orang kedinginan, lalu cepat-cepat berhenti, berdiri dan menghimpun tenaga dalam untuk melawan hawa dingin menusuk yang timbul ketika pundaknya kena ditampar tadi.

Melihat ini, tiba-tiba saja Sim Houw teringat dan hampir dia meloncat ke luar dari balik semak-semak. Benar! Hanya ada satu cabang persilatan saja di dunia ini yang dapat memainkan ilmu silat yang sekaligus dapat mengerahkan sinkang keras dan lunak, panas dan dingin, Yang-kang dan Im-kang dan satu-satunya itu adalah persilatan dari keluarga Pulau Es!

Dia pernah melihat pendekar-pendekar keluarga Pulau Es dan kini dia ingat benar bahwa corak ilmu silat dan ilmu pedang yang dimainkan gadis bernama Souw Hui Lan ini mengandung sifat-sifat dari ilmu silat keluarga Pulau Es. Dia hampir yakin akan hal ini walau pun dia sendiri tentu saja tidak mengenal ilmu silat keluarga itu secara mendalam. Akan tetapi, setiap cabang ilmu silat mempunyai ciri-ciri khas tertentu dan di antara ciri khas ilmu keluarga para pendekar Pulau Es adalah penggunaan sinkang yang saling berlawanan itu.

Betapa pun lihainya Hui Lan dengan pedangnya, karena dikeroyok lima orang tokoh besar Bu-tong-pai, akhirnya ia kewalahan juga. Si muka hitam tadi sudah pulih kembali dan kini, sudah maju mengeroyok dengan sikap lebih hati-hati. Gadis itu sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk membalas lagi dan mulai repot menghadapi hujan serangan dari lima orang lawannya.

Tentu saja dengan memutar terus senjata untuk melindungi tubuhnya akan memeras tenaganya sehingga makin lama ia menjadi makin lelah dan putaran pedangnya makin berkurang kecepatannya. Akhirnya sebuah sabetan rantai baja menyerempet paha Hui Lan.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga