SULING NAGA : JILID-06


Sim Houw terkejut sekali. Sejak tadi dia bingung tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak tahu benar apa yang menyebabkan permusuhan di antara gadis dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu sehingga merasa tidak enak untuk mencampuri perkelahian mereka. Akan tetapi kini melihat nyawa gadis itu terancam maut, tubuhnya sudah menjadi tegang dan hampir dia bergerak meloncat untuk mencegah pembunuhan. Akan tetapi tiba-tiba nampak dua bayangan orang berkelebat. Bagaikan dua ekor burung raksasa saja dua bayangan itu meluncur dari atas, menyambar ke arah perkelahian itu.

"Tringg! Tranggg...!"

Kedua orang kakek yang sudah menyerang Hui Lan dengan pedangnya terpental ke belakang dan mereka terkejut sekali. Ketika lima orang kakek itu memandang, ternyata di situ telah berdiri dua orang laki-laki yang nampak gagah perkasa dan sejenak mereka tertegun karena melihat bahwa dua orang pria itu mempunyai wajah yang serupa. Usia mereka antara empat puluh tahun, dengan pakaian ringkas dan sikap gagah.

Mudah diduga bahwa kedua orang pria ini adalah sepasang orang kembar. Tidak hanya wajah dan bentuk badan mereka yang serupa, juga pakaian yang mereka pakai, dari potongannya sampai warna dan corak pakaiannya, semuanya serba sama! Keduanya menyarungkan kembali pedang yang tadi baru mereka pakai untuk menolong Hui Lan menangkis dua batang pedang yang mengancam nyawa gadis itu.

Hui Lan agak terpincang ketika menghampiri dua orang pria itu. Dengan nada suara manja dia lalu berkata, "Suhu, mereka ini adalah Bu-tong Ngo-lo yang tidak tahu malu mengeroyokku..."

"Kami mengerti, mundurlah kau," kata seorang di antara dua pria kembar itu.

Hui Lan melangkah mundur sambil menyimpan pedangnya dan ia mengusap keringat yang sudah membasahi dahi dan leher, bahkan pakaiannya juga kusut dan basah oleh keringat. Perkelahian tadi amat melelahkan tubuhnya dan hantaman pada paha kirinya tadi juga menyakitkan. Robek pada celananya tidak dipedulikan dan kini dengan penuh perhatian Hui Lan menonton kedua orang suhu-nya yang berhadapan dengan Bu-tong Ngo-lo. Kalian akan mampus, demikian agaknya dia berpikir di balik senyumnya yang mengejek.

Dua orang pria kembar itu kini melangkah maju dan memandang kepada lima orang kakek itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. Kemudian seorang di antara mereka bertanya, suaranya tegas dan mantap, namun halus, "Bu-tong Ngo-lo adalah lima orang tokoh Bu-tong-pai, patutkah mengeroyok seorang wanita muda seperti murid kami? Apa maksud pengeroyokan yang tidak pantas ini?"

Lima orang kakek itu saling pandang dan muka mereka menjadi merah. Bagaimana pun juga, mereka merasa malu karena telah maju mengeroyok seorang gadis semuda itu yang pantasnya menjadi cucu murid mereka. Dan yang lebih memalukan lagi, meski mengeroyok, mereka ternyata tidak berhasil merobohkannya!

Kakek berjenggot panjang lalu menjawab dengan sikap galak, "Apakah kalian ini yang berjuluk Beng-san Siang-eng, Sepasang Garuda dari Beng-san?"

Dua orang pria kembar itu mengangguk.

"Bagus!" kata kakek berjenggot panjang. "Kami datang untuk membunuh kalian guru dan murid agar tidak jatuh lagi korban orang-orang tidak berdosa. Kalian adalah orang-orang kejam yang telah melakukan banyak dosa dan harus dienyahkan dari permukaan bumi ini!"

Seorang di antara dua pria kembar itu tersenyum. "Hemm, katakan saja bahwa kalian datang untuk membalas dendam, ataukah kalian datang dengan maksud yang sama seperti orang-orang Bu-tong-pai itu?"

"Tidak! Kami datang sengaja untuk mencari kalian guru dan murid yang berdosa, untuk menghukum dan membunuh kalian!" Bentak kakek berjenggot panjang. Tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju bersama empat orang saudaranya, menyerang dengan senjata mereka dengan dahsyat.

Akan tetapi sekali ini lima orang kakek Bu-tong-pai itu berhadapan dengan dua orang lawan yang jauh lebih lihai dibandingkan dengan Hui Lan tadi. Dua orang pria kembar itu menghadapi lima orang pengeroyoknya dengan tangan kosong saja, walau pun tadi ketika menyelamatkan Hui Lan, mereka menggunakan pedang.

Akan tetapi, walau pun tanpa senjata, keduanya dapat bergerak dengan bebas dan lincah sekali. Gerakan mereka memang cepat dan pantas mereka dijuluki Sepasang Garuda. Tubuh mereka berloncatan ke atas dan menyelinap di antara sinar senjata lawan. Mereka juga sempat membalas dengan serangan-serangan mereka yang meski pun hanya dilakukan dengan tangan dan kaki, akan tetapi tidak kalah dahsyatnya dari senjata lawan.

Terjadi perkelahian yang amat seru. Sim Houw yang nonton perkelahian itu kini merasa yakin benar bahwa sepasang pria kembar itu memang ahli dalam ilmu silat keluarga para pendekar Pulau Es. Begitu melihat gerakan dua orang laki-laki kembar itu, Sim Houw maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih lebih tinggi dari pada tingkat Bu-tong Ngo-lo dan walau pun dua orang kembar itu tidak memegang senjata, namun mereka tidak akan kalah.

Keduanya menguasai ginkang dan sinkang yang amat tinggi, bahkan kadang-kadang mereka berani menangkis pedang dan rantai baja dengan tangan kosong saja! Makin besar keyakinan hatinya bahwa dua orang kembar itu tentu murid para pendekar Pulau Es dan telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari Pulau Es.

Dugaan Sim Houw ini memang tidak meleset. Dua orang kembar itu masih cucu luar dari Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Mendiang Pendekar Super Sakti Suma Han mempunyai seorang puteri dari isterinya yang bernama Puteri Nirahai. Puteri ini diberi nama Puteri Milana yang kemudian menjadi isteri seorang pendekar sakti bernama Gak Bun Beng. Mereka berdua sekarang telah tua sekali dan tinggal di puncak Pegunungan Beng-san, hidup sebagai petani-petani sederhana. Mereka mempunyai sepasang anak kembar yang mereka beri nama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, yaitu dua orang pria inilah.

Gak Bun Beng adalah seorang pendekar yang berilmu tinggi, gagah perkasa dan juga memiliki jiwa patriot. Akan tetapi dia saling jatuh cinta dengan Milana yang mempunyai ibu puteri Mancu. Milana sendiri, sebagai puteri Pendekar Super Sakti, tahu bahwa ia mempunyai ibu puteri Mancu. Bahkan karena tertarik oleh ibunya, ia pernah berapa kali membantu pemerintah Mancu memimpin barisan dan menjadi panglima pasukan untuk membasmi pemberontakan.

Setelah semakin tua ia dapat melihat bahwa suaminya mulai diasingkan dan dipandang sebagai musuh oleh banyak orang gagah di dunia persilatan, sebagai seorang pendekar yang berpihak kepada pemerintah penjajah Mancu! Padahal, Milana tahu benar bahwa suaminya sama sekali tak berpihak kepada pemerintah Mancu. Ia dapat melihat betapa terjepitnya kedudukan suaminya yang oleh para pendekar dan patriot dianggap sebagai seorang pengkhianat atau antek penjajah.

Karena itulah, maka ia pun menyetujui keputusan suaminya untuk menyembunyikan diri menjadi setengah pertapa di puncak Beng-san. Dia tidak mencampuri lagi urusan dunia. Karena itulah maka kehidupan suami isteri ini menjadi terasing, bahkan nama mereka seperti terhapus di duna kang-ouw dan tidak ada orang mengetahui bagaimana dengan keadaan mereka.

Suami isteri Gak Bun Beng dan Puteri Milana ini, tentu saja mendidik anak kembar mereka dengan tekun. Akan tetapi, keduanya yang memiliki tingkat kepandaian tinggi itu dapat melihat bahwa bakat anak kembar mereka dalam ilmu silat tidaklah menonjol. Betapa pun juga, karena ketekunan mereka menggembleng putera-putera mereka, Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong dapat juga menguasai sebagian dari ilmu-ilmu ayah bunda mereka dan menjadi orang-orang yang dapat dibilang memiliki ilmu silat yang tinggi dan sukar dicari tandingan mereka.

Akan tetapi, setelah sepasang bocah kembar itu menjadi dewasa, Gak Bun Beng dan Milana mengalami kekecewaan yang amat besar. Dua orang pemuda Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu tidak mau menikah! Mereka bahkan marah-marah kalau orang tua mereka mengajak mereka bicara tentang pernikahan!

Di antara kedua pria kembar ini terdapat hubungan batin yang aneh bukan main, yang menimbulkan perasaan iri hati dan cemburu satu kepada yang lain dalam segala hal. Pakaian pun harus diberi yang serupa, dan mereka tidak boleh dibeda-bedakan karena hal ini akan menimbulkan perasaan iri yang membuat mereka marah.

Juga dalam perjodohan. Yang seorang akan menjadi iri hati dan cemburu kalau yang lain dijodohkan dengan seorang gadis. Karena inilah, maka kedua orang pria kembar ini tidak pernah menikah. Pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya akhirnya putus asa. Setelah capai membujuk tanpa hasil, akhirnya mereka pun diam saja dan lebih banyak menyepi di dalam pondok mereka di puncak Beng-san.

Betapa pun juga, akhirnya orang mengenal kelihaian kedua saudara kembar itu ketika beberapa kali terjadi peristiwa di mana keduanya terpaksa memperlihatkan kelihaian mereka. Bahkan orang tua mereka pun membujuk mereka untuk sering melakukan perantauan untuk memperluas pengalaman. Akhirnya, orang mengenal mereka sebagai Sepasang Garuda dari Beng-san!

Saat mereka berusia dua puluh empat tahun, mereka melakukan perjalanan ke selatan di mana terjadi pemberontakan. Mereka, sesuai dengan pesan ayah ibunda mereka, tidak diperbolehkan mencampuri urusan pemberontakan, artinya tidak boleh membantu pemberontakan juga tidak boleh membantu pemerintah. Mereka melihat pemberontakan dengan sikap pasif saja, hanya mereka turun tangan menolong mereka yang lemah dan pantas diselamatkan.

Ketika melihat sebuah keluarga dirampok dan dibunuh oleh gerombolan pemberontak, mereka turun tangan membela. Namun dua orang saudara kembar ini agak terlambat dan hanya berhasil menyelamatkan seorang anak perempuan dari keluarga Souw itu, sedangkan keluarga itu selebihnya terbasmi dan terbunuh oleh gerombolan perampok.

Anak perempuan she Souw itu berusia empat tahun dan semenjak itu, Souw Hui Lan, anak yang sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga lainnya, dibawa oleh Beng-san Siang-eng dan menjadi murid mereka berdua! Bahkan dalam mengajarkan ilmu kepada Hui Lan mereka pun bersaing dan mereka berdua amat menyayang anak ini sehingga memperlakukannya tidak hanya sebagai murid, bahkan sebagai adik atau puteri mereka sendiri. Tentu saja hal ini membuat Hui Lan menjadi lihai sekali, akan tetapi juga amat manja!

Baru lima tahun mereka meninggalkan Beng-san dan akhirnya menetap di bukit di tepi Sungai Wu-kiang itu, tempat yang sunyi terpencil dan amat indah pemandangannya. Beberapa tahun kemudian, setelah Hui Lan berusia tujuh belas tahun, mulailah datang godaan-godaan.

Gadis itu menjadi seorang dara yang cantik manis dan gagah perkasa sehingga tentu saja, bagaikan setangkai bunga yang sedang mekar mengharum serta mengandung madu yang amat manis, mengundang datangnya kumbang-kumbang berupa pemuda-pemuda yang gagah perkasa dan yang menginginkan jodoh seorang dara perkasa pula. Mulailah berdatangan lamaran-lamaran yang diajukan oleh tokoh-tokoh dunia persilatan terhadap dara itu, baik untuk murid atau anak mereka sendiri.

Dan begitu muncul pinangan-pinangan ini, dua orang guru dan seorang muridnya itu lalu menentukan syarat yang amat berat, yaitu calon jodoh Hui Lan harus seorang pemuda yang mampu mengalahkan Hui Lan. Selain syarat berat ini, ditambah syarat yang lebih berat lagi yakni bahwa pemuda calon jodoh Hui Lan itu harus mengajukan guru atau orang tuanya yang mampu mengalahkan Beng-san Siang-eng!

Orang yang tergila-gila kepada seorang wanita biasanya suka melakukan apa pun juga, siap untuk berkorban. Demikianlah, banyak pemuda gagah perkasa berdatangan, hanya untuk dikalahkan oleh Hui Lan, dan guru atau orang tua jagoan mereka tak ada seorang pun mampu mengalahkan dua orang pria kembar itu. Dan yang mengejutkan, guru dan murid ini agaknya berdarah panas sehingga dalam setiap pertandingan untuk memenuhi syarat itu, mereka menjatuhkan para peminang dengan pukulan-pukulan maut sehingga banyak di antara para peminang yang kalah dengan membawa luka-luka parah, bahkan ada pula yang sampai tewas!

Seorang pemuda Bu-tong-pai yang pandai, maju pula bersama seorang susiok-nya, dan dia dikalahkan oleh Hui Lan. Juga tosu yang menjadi susiok-nya dan merupakan tokoh Bu-tong-pai, terluka hebat pula oleh Beng-san Siang-eng. Mereka berdua meninggalkan tempat itu sebagai penderita kekalahan, membawa luka dalam yang berat dan akhirnya keduanya tewas setelah menderita sakit beberapa pekan lamanya! Selama tiga tahun kurang lebih, sudah puluhan kali murid itu mengalahkan pelamar dan sudah belasan orang tewas di tangan mereka!

Demikian sedikit catatan tentang Beng-san Siang-eng yang bernama Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong itu. Karena itu pula pada hari itu muncul Bu-tong Ngo-lo yang berniat membunuh guru dan murid yang mereka anggap kejam dan jahat itu. Lima orang tokoh dari Bu-tong ini memang bukan hanya datang untuk membalas kematian dua anggota Bu-tong-pai itu, akan tetapi juga untuk mengenyahkan guru dan murid yang dianggap jahat itu agar tidak jatuh korban lagi.

Sim Houw mengikuti jalannya perkelahian itu penuh perhatian. Hatinya merasa semakin tegang lagi. Perkelahian itu adalah perkelahian mati-matian di mana Bu-tong Ngo-lo makin lama semakin terdesak hebat oleh dua orang pria kembar itu. Mereka berkelahi untuk saling bunuh, bukan sekedar mengalahkan lawan. Jurus-jurus maut dikerahkan dan diam-diam dia merasa khawatir sekali.

Mereka adalah orang-orang gagah, orang-orang berilmu yang agaknya tentu saja bukan termasuk kaum sesat. Dua orang pria kembar itu memainkan ilmu silat Pulau Es, tentu bukan penjahat dan lima orang kakek Bu-tong-pai itu tentu juga bukan orang-orang sesat. Kini mereka berkelahi mati-matian untuk saling bunuh.

Dia sendiri tidak dapat berpihak, karena dia memang tidak tahu siapa antara mereka yang bersalah. Akan tetapi, membiarkan saja mereka berkelahi, hatinya merasa tidak tega karena dia tahu bahwa satu pihak tentu akan roboh, terluka parah dan mungkin saja tewas.

Tiba-tiba dua orang kembar itu mengeluarkan teriakan nyaring melengking panjang, disusul bentakan seorang di antara mereka, "Bu-tong Ngo-lo, rebahlah kalian!"

Hebat bukan main serangan dua orang itu. Biar pun lima orang lawan mereka sudah bersiap siaga, tetap saja terjangan mereka yang dahsyat itu membuat mereka berlima terdorong dan terjengkang. Senjata mereka terlempar dan mereka terbanting keras ke atas tanah dalam keadaan terlentang! Dua orang kembar itu melangkah maju, agaknya siap untuk menurunkan pukulan terakhir, pukulan maut.

Tiba-tiba terdengar suara melengking yang aneh, suara suling yang ditiup secara aneh dan suaranya begitu mengandung wibawa yang amat kuat sehingga dua orang pria kembar itu sendiri tertegun dan menghentikan langkah mereka, lalu menengok seperti orang yang terpesona. Mereka berdiri ternganga memandang ke arah seorang pemuda yang tiba tiba saja muncul di situ sambil meniup sebatang suling.

Sim Houw yang tadi melihat betapa nyawa lima orang kakek Bu-tong-pai itu terancam maut, cepat meniup sulingnya dan keluar dari tempat persembunyiannya sambil terus meniup sulingnya. Tiupan pertama tadi dilakukan dengan pengerahan khikang dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut hingga suling itu mengeluarkan suara yang mengandung pengaruh dan wibawa amat kuatnya! Dua orang cucu dari Pendekar Super Sakti itu sendiri sampai terpesona dan tertahan dari niat mereka membunuh lima orang Bu-tong-pai yang sudah tidak mampu melindungi diri sendiri itu.

Kini Sim Houw sudah berjalan menghadapi dua orang saudara Gak itu, menghalang di antara mereka dan lima orang kakek Bu-tong-pai yang sedang merangkak bangun dengan muka pucat. Lalu Sim Houw menghentikan tiupan sulingnya dan menjura ke arah dua orang pria kembar. Begitu suara suling berhenti, semua orang merasa seolah-olah terlepas dari himpitan yang membuat mereka seperti tidak mampu bergerak tadi.

"Ji-wi locianpwe harap jangan menyiksa lima orang kakek ini lebih lanjut. Kasihanilah mereka dan kalau mereka telah melakukan kesalahan, biarlah saya yang mintakan ampun untuk mereka."

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban dua orang pria kembar itu, Sim Houw cepat membalikkan tubuh menghadapi Bu-tong Ngo-lo, "Kalian berlima sudah diampuni oleh dua orang locianpwe ini, tidak lekas pergi apakah yang ditunggu lagi?"

Sambil berkata demikian Sim Houw mengedipkan matanya. Lima orang kakek itu yang sudah maklum bahwa mereka tak akan mampu menang, apa lagi kini sudah menderita luka dalam yang dirasakan di dalam dada, rasa yang dingin sekali, tanpa banyak cakap lagi mereka lalu memungut senjata masing-masing dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa pamit!

"Kalian hendak lari ke mana?" Tiba-tiba Hui Lan membentak marah dan siap mengejar.

Namun Sim Houw sudah berdiri di depannya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Nona, ji-wi locianpwe ini sudah memberi ampun, jangan kejar mereka!"

Hui Lan menjadi marah melihat betapa pemuda itu mengembangkan lengan bagaikan hendak memeluknya. Apa lagi ketika dara ini mengenal Sim Houw sebagai penyuling yang tadi dianggap mengganggu ketenangannya, dia pun menjadi semakin marah.

"Enyahlah kau!" bentaknya sambil menampar kepala pemuda itu.

"Wuuuttt...!" Tamparan tangan halus ini dapat meremukkan batu karang, apa lagi kepala manusia.

"Ehhh, ehhh... jangan pukul...!" Sim Houw berseru gugup dan mengangkat sebelah lengannya seperti melindungi kepalanya dengan gerakan amat kaku, sama sekali bukan gerakan silat.

"Plakkk!"

Akibat tamparan tangan yang mengenai pangkal lengannya itu membuat Sim Houw terlempar dan jatuh bergulingan. Akan tetapi dia bergulingan memotong jalan sehingga gadis itu tak dapat melakukan pengejaran terhadap lima orang kakek Bu-tong-pai yang sudah melarikan diri.

"Keparat, engkau ini selalu menggangguku!" Hui Lan meloncat dan hendak menendang tubuh Sim Houw yang masih bergulingan.

"Hui Lan, jangan pukul dia!" tiba-tiba terdengar suara Gak Jit Kong dan gadis itu pun menahan gerakan kakinya sehingga Sim Houw terhindar dari tendangan maut.

Sim Houw melirik ke arah lima orang kakek Bu-tong-pai dan merasa lega melihat bahwa lima orang kakek itu sudah melarikan diri dengan cepat dan lenyap dari situ. Dia lalu bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan bajunya yang kotor terkena debu.

Biar pun Hui Lan memiliki kepandaian tinggi, namun ia belum berpengalaman dan gadis yang berwatak manja ini memang tak pernah menghargai orang lain, maka dia pun tidak sadar betapa tamparannya yang amat kuat tadi dapat ditangkis oleh pemuda penyuling ini! Padahal jika teringat, tentu ia akan terkejut melihat kenyataan betapa tamparannya itu tidak meremukkan tulang pangkal lengan pemuda itu.

Beng-san Siang-eng mengira bahwa murid mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh kepada pemuda yang dilihat dari gerak-geriknya, kelihatannya tidak memiliki kepandaian silat ini.

Gak Jit Kong lalu bertanya, "Orang muda, kenapa engkau mencampuri urusan kami dan menghalangi kami membunuh lima orang musuh tadi?"

Sim Houw menjura lagi dengan sikap hormat. Sejak tadi sulingnya telah diamankannya di balik bajunya, terselip di pinggang.

"Ji-wi locianpwe, saya pernah mendengar kata orang, bahwa seorang gagah tidak akan menyerang orang yang tidak melawan dan tidak membunuh orang yang sudah tidak berdaya. Dan saya melihat bahwa mereka itu tadi sudah tak berdaya..."

"Omong kosong!" bentak Hui Lan. Kalau kami kalah, mereka tentu akan membunuh kami. Suhu, tidak perlu kiranya berdebat dengan pengacau ini!"

Akan tetapi Gak Jit Kong agaknya tertarik. "Orang muda, tahukah engkau bahwa seandainya kami kalah, lima orang Bu-tong Ngo-lo itu akan membunuh kami tanpa ragu lagi?"

"Ji-wi locianpwe, Apakah orang harus membalas pembunuhan dengan pembunuhan, membalas kejahatan dengan kejahatan pula? Kalau begitu, apa bedanya antara kita dengan si penjahat?"

"Jadi sudah sejak tadi engkau melihat perkelahian antara kami dan mereka?" tanya pula Gak Jit Kong, memandang penuh selidik.

"Semenjak tadi saya kebetulan berada disini. Karena ketakutan melihat perkelahian lalu saya bersembunyi di dalam semak belukar, nonton perkelahian. Melihat mereka sudah tidak berdaya dan khawatir ji-wi membunuh mereka, maka saya keluar..."

"Kenapa membunyikan suling?" kini Gak Goat Kong mendesak.

"Saya tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mencegah dilanjutkannya perkelahian itu. Karena saya hanya bisa meniup suling, maka dalam kegugupan saya lalu meniup suling saya untuk menarik perhatian. Syukur saya berhasil..."

"Siapakah namamu dan engkau dari perguruan silat mana?" Gak Jit Kong bertanya lagi.

"Nama saya Sim Houw dan bukan dari perguruan silat, saya hanya bisa meniup suling, tidak bisa apa-apa selain itu, locianpwe."

"Bohong! Engkau selalu mengacau dengan suara sulingmu, tentu engkau pun mengerti sedikit ilmu silat. Biar kuselidiki ia datang dari perguruan silat mana, suhu!" kata Hui Lan. Dan gadis itu sudah meloncat ke depan. Tangan kirinya menyambar, jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri itu menotok ke arah pundak kanan Sim Houw.

Sim Houw tahu bahwa jalan darah Kian-keng-hiat-to di pundaknya akan ditotok dan akibatnya sangat hebat karena jalan darah itu merupakan satu di antara jalan darah besar. Namun dia diam saja, sedikit pun tidak berkutik, tidak mengelak atau menangkis, seolah-olah dia tidak tahu bahwa nyawanya terancam oleh serangan itu.

"Hui Lan, jangan...!" Gak Goat Kong berseru kaget melihat betapa muridnya hendak membunuh pemuda yang agaknya memang tidak menyadari akan bahaya itu.

Tentu saja Sim Houw sadar sepenuhnya, bahkan dia tahu bahwa tidak ada bahaya yang mengancam dirinya. Gadis itu hanya menggertaknya saja dan sama sekali tidak berniat melakukan totokan secara sungguh-sungguh, dan andai kata demikian, dia pun dapat menyelamatkan dirinya dengan ilmu memindahkan jalan darah!

Dan benar saja dugaannya. Tanpa dicegah oleh gurunya sekali pun, Hui Lan memang tak mau membunuhnya. Gadis itu hanya ingin memaksanya mengeluarkan ilmu silatnya untuk membela diri agar ia dapat mengenal ilmu silatnya. Melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia diserang dengan totokan maut, gadis itu merasa sebal dan totokannya berubah menjadi dorongan atau tamparan pada pundak pemuda itu.

"Plakkk...!"

Dan tubuh Sim Houw terpelanting! Akan tetapi Hui Lan juga terkejut dan heran sekali, menahan rasa nyeri pada telapak tangannya. Ia tadi merasa seperti menampar benda yang lunak sekali akan tetapi dari dalam kelunakan itu muncul tenaga yang membuat tenaga tamparannya membalik sehingga ia terpukul tenaga tamparannya sendiri yang menimbulkan rasa nyeri. Akan tetapi buktinya, pemuda itu telah terpelanting keras oleh tamparannya!

Sebelum Hui Lan sempat menyatakan keheranannya, mendadak kedua orang gurunya berseru. "Hui Lan, hati-hati! Banyak musuh datang!"

Gadis itu cepat menggerakkan tubuh menoleh, dan benar saja. Sedikitnya dua puluh orang yang dipimpin oleh seorang wanita cantik tengah berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat itu.

Sim Houw juga sudah bangkit berdiri, mengebut-ngebutkan pakaiannya yang kotor dan berdiri di belakang tiga orang itu. Diam-diam dia merasa mendongkol juga karena gadis itu sungguh sama sekali tidak memandang sebelah mata kepadanya. Seorang gadis yang selain cantik manis dan gagah perkasa, juga manja, angkuh dan ringan tangan!

Dua puluh empat orang itu semua berpakaian serba merah sehingga amat menyolok sekali. Mereka terdiri dari laki-laki yang usianya antara tiga puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin seorang kakek berusia lima puluh tahun yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka pucat.

Laki-laki ini berada di depan bersama seorang wanita yang lebih menarik perhatian lagi. Wanita ini cantik dan berpakaian merah, bukan serba merah seperti yang lain, memiliki sepasang mata yang amat tajam dan gerak-geriknya lincah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang.

Sim Houw tidak mengenal semua orang itu. Juga agaknya Beng-san Siang-eng dan murid mereka tidak mengenal wanita cantik yang usianya kurang lebih dua puluh lima tahun itu, apa lagi dua puluh empat orang yang berpakaian serba merah.

Wanita itu pun agaknya belum mengenal pihak tuan rumah, karena begitu berhadapan, dia sudah bertanya dengan suara lantang, "Siapakah di antara kalian yang mempunyai julukan Pendekar Suling Naga?"

Sepasang Garuda Beng-san itu saling pandang dengan murid mereka. Akan tetapi Hui Lan menggerakkan pundak dan gadis ini sudah marah sekali melihat sikap wanita yang datang bersama segerombolan orang berpakaian serba merah itu. Dia menudingkan telunjuk kanannya sambil membentak, "Dari mana datangnya perempuan liar yang membawa gerombolan bajak atau rampok ini?"

Akan tetapi, wanita cantik itu hanya mengeluarkan senyum mengejek, agaknya tidak memperhatikan kemarahan Hui Lan. Sekali lagi ia bertanya, "Siapakah Pendekar Suling Naga?"

Dan kini pandang matanya ditujukan kepada Sim Houw dan ditatapnya wajah pemuda itu penuh selidik. Juga dua puluh empat orang berpakaian serba merah itu memandang kepada empat orang itu bergantian dengan sinar mata mengancam. Wanita cantik itu bukan sembarang orang. Ia bukan lain adalah Ciong Siu Kwi yang berjuluk Bi-kwi (Iblis Cantik), murid pertama Sam Kwi (Tiga Iblis).

Seperti telah diceritakan di bagian depan Siu Kwi atau Bi-kwi telah mewarisi semua ilmu kesaktian dari ketiga gurunya. Ketika ia pulang menjumpai guru-gurunya, ia melaporkan akan kegagalan dua macam tugas yang dipikulnya. Pertama, dia telah gagal mencari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es oleh karena pendekar sakti itu sudah tewas. Kemudian tugas ke dua, yaitu mencari Pek-bin Lo-sian untuk meminta senjata pusaka Liong-siauw-kiam juga gagal.

Ketika wanita itu menghadap Pek-bin Lo-sian yang menjadi paman guru dari ketiga Sam-kwi, ia mendapatkan kakek tua renta itu dalam keadaan sakit berat dan napasnya tinggal satu-satu! Siu Kwi atau Bi Kwi dengan cara kasar minta pusaka itu dari Pek-bin Lo-sian yang dijawab oleh Pek-bin Lo-sian bahwa pusaka itu telah dia berikan kepada orang lain karena dia tidak suka kalau pusaka itu terjatuh ke tangan Sam Kwi, tiga orang keponakan seperguruannya sendiri yang jahat!

Mendengar jawaban ini. Bi-kwi memaksa kakek tua renta itu untuk menunjukkan siapa orang yang diserahi pusaka itu. Namun kakek yang sudah menderita penyakit berat itu hanya tersenyum mengejek, tak mau mengaku. Bi-kwi marah sekali, lalu menggunakan kekerasan terhadap kakek yang sebenarnya masih susiok-kong-nya sendiri. Disiksanya kakek itu, akan tetapi Pek-bin Lo-sian tetap tidak mau mengaku. Tubuhnya yang sudah tua dan menderita penyakit berat itu tidak dapat menahan siksaan yang dilakukan Bi-kwi dan kakek itu pun tewas tanpa menyebut nama Sim Houw yang telah diserahi pusaka Suling Naga atau Siauw-liong-kiam.

Seperti diketahui, Bi-kwi pulang dengan hati mengkal dan uring-uringan sebab ia pulang dengan tangan kosong. Akan tetapi ia mendengar berita akan munculnya seorang pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga. Sebelum pulang menyampaikan laporan kepada tiga orang gurunya, terlebih dahulu dia menemui perkumpulan Ang-i-mo (Setan Berbaju Merah), yaitu perkumpulan sesat yang telah ditaklukkannya.

Perkumpulan itu dipimpin oleh seorang datuk sesat bernama Tee Kok yang berusia lima puluh tahun sebagai ketuanya. Ketika mereka bentrok dengan Bi-kwi, mereka kalah dan Tee Kok merajuk, menyatakan kalah dan menyerah. Melihat kehebatan mereka, Bi-kwi dengan cerdik mengampuni mereka dan menyuruh mereka berjanji untuk membantunya dalam segala macam hal kalau dimintanya, dan Tee Kok menyanggupi.

Bi kwi lalu memerintahkan Ang-i-mo untuk melakukan penyelidikan, mencari adanya pendekar yang berjuluk Pendekar Suling Naga dan kalau ada beritanya supaya cepat memberi kabar kepadanya di puncak Thai-san, di mana ia tinggal bersama Sam Kwi. Setelah itu barulah ia pulang ke Thai-san, di mana ia terpaksa menerima Bi Lan sebagai sumoi atau murid guru-gurunya yang baru, bahkan ia lalu dengan cerdik menyediakan dirinya untuk melatih sumoi-nya itu menggantikan guru-gurunya.

Baru beberapa bulan kemudian, datang Tee Kok bersama anak buahnya yang pilihan, berjumlah dua puluh empat orang bersama dia, berkunjung ke Thai-san dan melaporkan bahwa mereka mendengar akan munculnya Pendekar Suling Naga di daerah selatan. Mendengar ini, cepat Bi-kwi meninggalkan Thai-san, bersama dua puluh empat orang itu cepat-cepat melakukan pengejaran dan pencarian ke selatan. Akhirnya, mereka bisa mengikuti jejak orang yang dicari di sepanjang pantai Sungai Wu-kiang dan tiba di kaki bukit yang menjadi tempat tinggal Beng-san Siang-eng bersama murid mereka.

Tee Kok dalam pelaporannya kepada Bi-kwi hanya mengatakan bahwa anak buahnya belum pernah ada yang berjumpa dengan pendekar yang dicari, hanya mendapat keterangan bahwa pendekar itu masih muda dan lihai sekali. Maka, ketika mereka tiba di tempat itu, perhatian Bi-kwi dan kawan-kawannya tertarik kepada Sim Houw.

Akan tetapi, mereka merasa ragu-ragu karena pemuda itu tadi mereka lihat didorong oleh gadis cantik itu saja terpelanting, mana mungkin orang lemah itu yang dinamakan Pendekar Suling Naga? Karena itu Bi-kwi lalu mengajukan pertanyaan kepada mereka, dengan sikapnya yang angkuh, siapa di antara mereka yang berjuluk Pendekar Suling Naga.

Walau pun Hui Lan telah membentaknya dengan ucapan menghina, Bi-kwi tetap tidak peduli dan mengulangi pertanyaannya.

"Siapakah Pendekar Suling Naga? Hayo mengaku, kalau tidak kalian berempat tentu akan menjadi setan-setan tanpa nyawa!" Sekali lagi dia menghardik, sekali ini sinar matanya berkilat mengeluarkan ancaman yang mengerikan.

Kalau sepasang saudara kembar Gak itu masih bersikap sabar, murid merekalah yang sudah kehabisan kesabaran lagi. "Perempuan hina! Berani engkau mengancam kami di rumah kami sendiri? Apa kau kira aku takut kepadamu dan gerombolanmu, badut-badut berpakaian merah ini? Bukalah matamu dan lihat dengan siapa kau berhadapan!"

Bi-kwi memang seorang yang aneh. Iblis betina ini tidak mudah marah, atau tidak mau menurutkan emosi dan kemarahannya, dan kalau pun ada, disimpan di dalam hati saja. Hanya sinar matanya yang menyambar saat ia menjawab, "Tidak peduli siapa orangnya, kalau tidak mau memberi tahu kepadaku di mana adanya Pendekar Suling Naga, tentu akan kami bunuh!"

"Keparat! Kami tidak mengenal Suling Naga atau Suling Ular atau Suling Cacing! Akan tetapi kedua orang suhu-ku ini adalah Beng-san Siang-eng!"

Maksud Hui Lan memperkenalkan julukan kedua orang gurunya itu adalah untuk balas menggertak supaya wanita itu menjadi terkejut dan gentar. Siapa yang tidak mengenal nama Beng-san Siang-eng?

Bi-kwi memang terkejut, akan tetapi bukan terkejut lalu gentar, bahkan terkejut lalu wajahnya berseri dan senyumnya makin mengejek. "Ahh! Ini namanya mencari bandeng tetapi mendapatkan kakap! Jadi kalian inikah Beng-san Siang-eng, keluarga Pulau Es?" katanya sambil memandang kepada dua orang pria kembar itu penuh perhatian.

Dua orang pria kembar itu membalas pandang mata tajam itu dengan alis berkerut. Gadis cantik ini masih muda tetapi sikapnya demikian angkuh dan memandang rendah, tentu bukan orang sembarangan.

"Kami dua saudara Gak memang masih cucu luar dari kakek kami Suma Han dari Pulau Es. Akan tetapi kami tak merasa pernah berurusan denganmu. Siapakah engkau, nona, dan ada urusan apakah engkau bersama rombonganmu datang ke tempat kami?"

Ciong Siu Kwi meraba gagang goloknya dengan sikap angkuh, tanpa mencabut senjata itu, dan memandang kepada dua orang pria kembar itu dengan mata tajam. "Beng-san Siang-eng, aku disebut orang Bi-kwi. Aku datang mewakili guru-guruku, Sam Kwi, untuk mencari Pendekar Suling Naga. Akan tetapi dia tidak ada dan yang ada adalah kalian, cucu dari Majikan Pulau Es. Hemm, sungguh kebetulan sekali karena aku pun memiliki tugas mewakili guru-guruku untuk membunuh semua keluarga Pulau Es setelah Majikan Pulau Es sendiri meninggal dunia!"

Dua orang pria kembar itu mengerutkan alis lagi. "Nanti dulu, Bi-kwi. Memusuhi orang dengan niat membunuh bukan merupakan hal yang tidak ada sebabnya. Mengapa guru-guru kalian memusuhi kami orang-orang Pulau Es?"

"Kakekmu pernah mengalahkan guru-guruku, dan guru-guruku sudah bersumpah untuk membalas kekalahan itu. Akan tetapi kakekmu sudah mati, maka yang harus menebus dosanya adalah keluarga dan keturunannya. Nah, kini bersiaplah kalian untuk mati, juga bocah perempuan sombong ini. Dan pemuda itu… siapakah dia?" Telunjuk kiri Bi-kwi menuding ke arah muka Sim Houw dan diam-diam hatinya berbisik betapa tampannya pemuda sederhana itu.

"Jangan ganggu dia. Kami tidak mengenalnya. Dia seorang yang baru saja datang, dan tak ada sangkut pautnya dengan kami. Jangan kira akan mudah saja membunuh kami, bahkan kalau boleh kunasehatkan supaya kamu yang masih muda ini pulang saja dan biarkan ketiga orang suhu-mu itu yang datang membuat perhitungan dengan keluarga para pendekar Pulau Es," kata Gak Jit Kong.

Gak Jit Kong merasa tidak enak juga jika ia bersama adik kembarnya harus berhadapan dan mengadu ilmu dengan seorang gadis yang masih muda itu. Memang semua tokoh persilatan yang sudah ada nama tentu akan merasa ragu untuk mengadu ilmu melawan seorang gadis muda. Jika kalah amat memalukan, kalau menang pun akan ditertawakan orang!

"Beng-san Siang-eng, kematian sudah di depan mata, tidak perlu banyak cakap lagi! Bersiaplah untuk mampus!" bentak Bi-kwi dan nampak sinar berkilat menyilaukan mata ketika wanita ini mencabut pedangnya.

"Suhu, biar aku yang menghadapi iblis wanita ini!" Hui Lan juga mencabut pedangnya dan ia meloncat ke depan gurunya, menghadapi Bi-kwi.

Dua orang pria kembar itu tidak melarang murid mereka. Memang sepatutnyalah kalau Hui Lan yang menghadapi wanita itu, dan mereka sendiri akan berjaga-jaga karena jika dua puluh empat orang berpakaian seragam merah itu maju mengeroyok, mereka akan menghadapi pasukan merah itu.

Tetapi, Bi-kwi yang sudah menghunus pedang itu memandang kepada Hui Lan dengan alis berkerut. "Bocah sombong, engkau bukanlah lawanku. Guru-gurumu itulah lawanku dan engkau nonton saja, jangan tergesa minta mampus, tunggu giliranmu tiba!"

Ucapan itu sungguh menghina sekali. Hui Lan mengeluarkan suara melengking nyaring dan dia sudah maju menerjang dengan pedangnya. Akan tetapi Bi-kwi tersenyum saja dan hanya nonton ketika dari samping, Tee Kok ketua Ang-i-mo telah menggerakkan sepasang goloknya ke depan menangkis.

"Tranggg...!"

Nampak api berpijar ketika pedang Hui Lan bertemu dengan golok di tangan laki-laki tinggi kurus bermuka pucat itu.

"Ciong Siocia (Nona Ciong), biarkan aku menghadapi gadis ini!" kata Tee Kok.

“Matamu sudah menjadi hijau melihat perawan mulus ini, ya? Baik, kalau kau mampu, tangkaplah bocah itu dan boleh menjadi milikmu sebelum kau bunuh!"

Biar pun ucapan ini ditujukan kepada Tee Kok. akan tetapi tentu saja Hui Lan menjadi marah bukan main, demikian pula dua orang gurunya karena omongan wanita itu amat kasar dan kotor.

"Kalian adalah manusia-manusia busuk!" kata Gak Jit Kong yang segera menghunus pedangnya, diikuti oleh adik kembarnya.

"Bagus! Mari kita ramai-ramai membasmi keturunan Pulau Es!" Bi-kwi berseru dan ia pun menerjang maju, disambut oleh sepasang pria kembar yang sudah pula memegang pedang masing-masing.

Dan dalam gebrakan pertama, kedua orang she Gak itu terkejut bukan main. Mereka memang sudah menduga bahwa wanita ini tentu jahat dan juga amat lihai, akan tetapi tidak mereka sangka bahwa ketika pedang mereka bertemu dengan pedang Bi-kwi, mereka merasa betapa lengan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat dan ada hawa panas yang menyambar ke arah mereka melalui pedang di tangan gadis itu!

Tahulah mereka bahwa gadis itu benar-benar amat lihai. Mereka pun cepat mengurung dengan pengerahan tenaga dan kepandaian mereka. Maka segera terjadi perkelahian yang amat seru di antara Beng-san Siang-eng dan Ciong Siu Kwi atau Iblis Cantik itu.

Hui Lan juga segera merasakan ketangguhan lawannya. Sepasang golok lawannya bergerak menyambar-nyambar dari dua jurusan yang berlawanan, seakan-akan hendak mengguntingnya, Ternyata si tinggi kurus bermuka pucat ini pun mempunyai tenaga sinkang yang amat kuat!

Boleh jadi Bi-kwi yang telah digembleng sejak kecil oleh tiga orang gurunya sekaligus kini telah menjadi seorang wanita yang lihai bukan main. Hampir seluruh ilmu dari Sam Kwi telah diresapinya dan ia memang memiliki bakat yang amat baik. Akan tetapi, kini ia melawan dua orang pria kembar yang masih cucu luar Majikan Pulau Es. Maka segera ia mendapatkan kenyataan bahwa tidak akan mudah baginya untuk dapat mengalahkan dua orang pria kembar itu, paling-paling hanya akan dapat mengimbangi ketangguhan mereka. Maka wanita itu lalu memberi aba-aba kepada pasukan Ang-i-mo itu untuk ikut maju dan membantu!

Hui Lan merasa terkejut sekali. Baru melawan si tinggi kurus seorang diri saja sudah terasa berat, apa lagi kalau lawannya dibantu oleh anak buahnya yang amat banyak. Tidak disangkanya bahwa si kurus baju merah itu dapat memainkan sepasang goloknya sedemikian lihainya.

Ia tidak tahu bahwa Tee Kok adalah bekas anak buah Hek-i-mo (Iblis Pakaian Hitam), yaitu perkumpulan yang dipimpin oleh Hek-i Mo-ong, datuk besar kaum sesat yang dua puluh tahun lebih yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan. Hek-i-mo telah dihancurkan oleh para pendekar, terutama oleh para pendekar Pulau Es.

Perkumpulan Hek-i-mo atau Hek-i Mo-pang sudah tidak ada, tetapi masih ada belasan orang anggota yang berhasil meloloskan diri, dipimpin oleh Tee Kok. Dia ini pernah menerima pelajaran ilmu-ilmu silat tinggi langsung dari mendiang Hek-i Mo-ong, maka tentu saja ilmu silatnya cukup tinggi.

Tee Kok ini lalu mendirikan sebuah perkumpulan lain yang diberi nama Ang-i Mo-pang dan semua anggotanya mengenakan pakaian seragam merah dan dia mengangkat diri menjadi ketuanya. Belasan tahun lamanya dia dan anak buahnya merajalela sampai pada suatu hari mereka berjumpa dengan Bi-kwi dan dikalahkan oleh wanita cantik ini! Oleh karena mereka itu segolongan maka ada kecocokan di antara mereka. Bi-kwi tidak membunuh mereka, bahkan meraih mereka menjadi teman dan anak buah.

Kini dua puluh orang lebih anak buah Ang-i Mo-pang serentak bergerak mengepung, membantu Bi-kwi dan Tee Kok. Tentu saja Beng-san Siang-eng dan Hui Lan menjadi terkepung dan terdesak hebat. Mereka berada dalam keadaan gawat dan terancam sekali. Akan tetapi dengan semangat meluap-luap, guru dan murid ini melawan mati-matian dan mengambil keputusan untuk melawan sampai napas terakhir.

Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Hui Lan dan kedua orang gurunya itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking nyaring. Semua orang yang sedang berkelahi terkejut bukan main karena suara suling itu seperti menusuk telinga mereka dan langsung menyerang jantung sehingga jantung mereka terguncang. Bahkan beberapa orang anak buah Ang-i Mo-pang telah terpelanting jatuh dan mengeluh sambil menutupi kedua telinga mereka dengan tangan.

Beng-san Siang-eng dan Souw Hui Lan juga cepat meloncat ke belakang, kemudian mengerahkan tenaga sinkang untuk melindungi jantung mereka. Tidak terkecuali Bi-kwi dan Tee Kok yang juga terkena serangan suara melengking itu sehingga mereka pun terpaksa meloncat ke belakang dan menengok ke arah asal suara suling seperti yang dilakukan semua orang yang berada di situ.

Kiranya yang mengeluarkan bunyi melengking yang menyakitkan jantung dan menusuk-nusuk anak telinga itu adalah Sim Houw. Pemuda itu sekarang sudah duduk bersila dan menyuling sambil memejamkan kedua matanya, mengerahkan khikang kuat sekali ke dalam tiupan sulingnya untuk membubarkan perkelahian yang tidak adil itu.

Melihat suling berbentuk naga yang ditiup pemuda itu, Bi-kwi terkejut dan tak tertahan lagi ia berteriak, "Suling Naga!"

Semua orang terkejut mendengar teriakan ini, termasuk pula Hui Lan dan dua orang gurunya. Mereka pun cepat memandang ke arah Sim Houw dengan perasaan tegang dan penuh keheranan. Mendengar teriakan ini, Sim Houw segera menghentikan tiupan sulingnya dan membuka matanya, lalu bangkit berdiri. Suling itu masih dipegangnya, dipegang pada bagian ekor naga seperti kalau menyuling.

Bi-kwi sudah dapat menekan guncangan hatinya. Ia melangkah maju menghampiri Sim Houw, pandang matanya tajam penuh selidik, wajahnya berseri karena ada rasa girang dalam hatinya bahwa akhirnya ia dapat berhadapan dengan orang yang telah menerima Liong-siauw-kiam dari mendiang Pek-bin Lo-sian.

Suara suling yang menusuk telinga dan mengguncangkan jantungnya tadi dianggapnya sebagai keampuhan suling itu, bukan karena peniupnya yang mempunyai kepandaian tinggi. Bi-kwi termasuk orang yang terlalu mengandalkan kepandaian sendiri dan selalu meremehkan orang lain. Ia sudah mendapat gambaran yang jelas dari Sam Kwi tentang macamnya Pedang Suling Naga, maka melihat suling di tangan pemuda itu ia tidak merasa ragu lagi.

"Hemm, jadi engkau inikah yang berjuluk Pendekar Suling Naga? Engkaukah orangnya yang menerima suling pusaka itu dari tangan mendiang Pek-bin Lo-sian di Himalaya?" tanya Bi-kwi dengan suara lantang.

Pertanyaan ini menarik perhatian semua orang yang berada di situ sehingga mereka semua seakan-akan telah lupa akan perkelahian tadi dan semua orang lalu memandang kepada Sim Houw.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga