SULING NAGA : JILID-04
"Kita beristirahat dulu di sini. Duduklah," katanya dan dia sendiri duduk di atas akar pohon yang menonjol di atas tanah. Hong Beng juga dengan tubuh lemas menjatuhkan diri duduk di atas rumput.
"Kau lelah sekali?" tanya Ciang Bun sambil memandang wajah anak itu. Seorang anak laki-laki yang berkulit kuning berwajah jernih dan tampan. Anak itu mengangguk tanpa menjawab.
"Muka dan tubuhmu sakit-sakit?" tanya lagi Ciang Bun, menatap muka yang bengkak-bengkak dan matang biru itu. Kembali Hong Beng mengangguk tanpa menjawab.
"Perutmu lapar?" Kembali anak itu mengangguk.
"Hemm, aku pun lapar sekali. Tapi di tempat sunyi seperti ini, dari mana kita bisa mendapatkan makanan?"
"Di rumahku ada telur, ada banyak ayam, dan masih ada beras."
"Rumahmu? Di Siang-nam itu?" Hong Beng mengangguk.
"Katakan di mana rumahmu."
"Di jalan kecil belakang pasar, di sebelah kiri toko yang berdagang mangkok piring, rumahku bercat kuning."
"Baik, kau tunggu saja di sini. Aku yang akan mengambil bahan makanan. Kalau kau ikut ke sana, tentu akan timbul keributan karena semua orang telah mengenalmu." Dan sebelum Hong Beng menjawab, sekali berkelebat tubuh Suma Ciang Bun telah berada jauh sekali dari situ, seperti terbang saja dan tak lama kemudian pun lenyap.
Tentu saja Hong Beng memandang dengan melongo. Tadi pun ketika melihat lelaki itu mengamuk dan membantai semua orang, dia sudah terheran-heran dan amat kagum. Akan tetapi karena kedukaan oleh kematian ayah ibunya, dia kurang memperhatikan hal itu. Kini, melihat betapa orang itu seperti terbang saja pergi dari situ, baru dia mengkirik. Ibliskah orang itu?
Dia pernah mendengar mengenai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak pernah bertemu dengan orang yang pandai terbang! Yang pernah dilihatnya hanya orang-orang penjual obat di pasar yang suka bermain silat dan memamerkan kekuatannya, mengangkat besi berat atau bahkan ada yang memukuli dadanya dengan benda keras memamerkan kekebalannya. Tidak pernah dia dapat membayangkan ada orang yang demikian lihainya seperti penolongnya itu. Mulailah dia memperhatikan dan diam-diam dia khawatir sekali. Jangan-jangan orang itu pergi meninggalkannya dan tak akan kembali lagi.
Setelah ditinggal seorang diri, baru Hong Beng teringat bahwa dia sekarang sebatang kara. Dan bahwa keselamatannya terancam di Siang-nam. Dia harus pergi dari tempat tinggalnya. Akan tetapi ke mana? Dan apa yang harus dilakukannya? Satu-satunya harapan baginya adalah ikut bersama orang yang menolongnya tadi. Ah, kenapa tidak? Jika penolongnya itu mau, dia suka menjadi muridnya, atau jadi pelayannya sekali pun.
Dengan cepat sekali, terlalu cepat bagi Hong Beng sehingga sukar dipercaya, tiba-tiba saja orang itu telah berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di dekatnya, membawa buntalan yang cukup besar. Ketika Suma Ciang Bun menurunkan buntalan itu ke atas tanah, isi buntalan bergerak dan terdengar suara ayam!
"Nah, ini kubawakan semua keperluan dari rumahmu," berkata Suma Ciang Bun yang sudah duduk kembali.
Hong Beng membuka buntalan itu dan ternyata di dalamnya, selain terdapat belasan butir telur dan dua ekor ayam paling gemuk, juga terdapat beras yang cukup dan juga beberapa potong pakaiannya yang paling baik. Melihat pakaiannya itu, Hong Beng memandang kepada Suma Ciang Bun dengan sinar mata bertanya.
"Kau tentu membutuhkan pakaian pengganti," kata Ciang Bun. "Apakah kau dapat memasak?"
Hong Beng mengangguk. "Akan tetapi tidak ada tungku dan tidak ada api..."
Ciang Bun tersenyum. Dia sudah berpengalaman hidup merantau di gunung-gunung dan sebentar saja dia sudah dapat membuat api dan membuat tungku dari batu-batu. Hong Beng segera menanak nasi dari panci yang berada dalam buntalan, dan dua ekor ayam itu pun dipotong dan dipanggang. Tak lama kemudian, dua orang ini makan nasi dan panggang ayam dengan lahapnya, walau pun bumbunya hanya hanya garam dan bawang yang dibawa oleh Ciang Bun dari rumah kecil keluarga Gu.
"Nah, sekarang kita bicara," kata Ciang Bun setelah mereka makan kenyang. "Siapakah namamu dan apa yang telah terjadi maka ayah ibumu tewas di sana?"
Hong Beng memandang Ciang Bun dengan tajam untuk beberapa saat lamanya, lalu menceritakan segala peristiwa yang telah menimpa keluarga orang tuanya, dimulai dari peristiwa di pasar ketika ibunya diganggu oleh Bong-ciangkun sampai dia diculik dan ibu berdua ayahnya kemudian tewas.
Setelah anak itu selesai bercerita, Ciang Bun mengangguk-angguk. "Hemm, sudah kuduga tentu demikian. Aku sudah banyak mendengar akan kejahatan orang she Bong itu dan aku girang bahwa aku telah berhasil membasmi dia bersama komplotannya. Hong Beng, sekarang ayah ibumu telah tiada, lalu apa rencanamu selanjutnya? Apakah engkau memiliki sanak keluarga?"
Hong Beng menggeleng kepala.
"Jadi engkau sebatang kara saja?" Anak itu mengangguk.
"Hemmm, engkau sebatang kara dan engkau tak mungkin kembali ke Siang-nam. Di sana sudah geger dan orang-orang mulai mencari keluargamu yang lenyap. Lalu apa yang akan kau lakukan sekarang?”
"Kalau paman suka, aku akan ikut dengan paman..."
"Ikut aku?"
"Ya, menjadi... murid atau pelayan..."
Ciang Bun tertawa. Dia semakin kagum kepada anak ini. Tidak banyak cakap, dan cukup sopan.
"Aku suka kepadamu, Hong Beng. Kalau engkau mau, aku pun suka sekali mengambil engkau sebagai muridku."
Mendengar ucapan ini, segera Hong Beng menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Suma Ciang Bun. "Suhu, mulai saat ini, teecu akan mentaati segala perintah suhu dan teecu berjanji akan menjadi seorang murid yang baik."
Ciang Bun menyentuh kedua pundak anak itu dan menyuruhnya bangkit duduk. Ditatapnya wajah anak itu dan dia merasa senang sekali. "Berapa usiamu Hong Beng?"
"Sebelas tahun, suhu."
"Ah, engkau pantas menjadi anakku, keponakanku, atau muridku. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang perantau yang tak tentu tempat tinggalnya, kadang-kadang bermalam di dalam hutan, di puncak gunung atau di tepi sungai. Hidupmu akan serba kekurangan dan bahkan kadang-kadang harus berani menahan kehausan dan kelaparan jika ikut aku. Beranikah engkau menghadapi semua kesukaran itu?"
Hong Beng mengangguk. "Teecu berani dan apa pun yang akan suhu perintahkan, akan teecu taati tanpa membantah."
Ciang Bun lalu bangkit dan menarik tangan Hong Beng agar berdiri dan merangkul anak itu sambil tertawa. "Ha-ha-ha, jangan khawatir, muridku. Aku belum begitu gila untuk membuat engkau sengsara. Mari kita pergi naik ke puncak bukit di depan itu. Besok, di puncak itu, akan mulai kuajarkan dasar-dasar ilmu silat kepadamu. Engkau tidak akan menyesal menjadi muridku. Ketahuilah bahwa saat ini, engkau merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Kalau engkau tekun belajar, kelak akan sukar orang menandingimu."
Demikianlah, Suma Cian Bun yang selama bertahun-tahun hidup dalam kesunyian dan kesepian, kini memperoleh seorang murid yang seolah-olah membuat hidupnya berarti dan dia berguna bagi seseorang.
Kesepian atau kesendirian merupakan suatu hal yang amat ditakuti oleh kebanyakan orang. Sendirian sama artinya dengan kematian atau lenyapnya bayangan tentang diri sendiri yang kita bentuk sendiri. Timbulnya sang aku adalah karena adanya hubungan dengan manusia lain, dengan benda mau pun dengan gagasan-gagasan. Kalau sudah berada sendirian maka sang aku pun tak dapat bergerak lagi, atau kalau pun bergerak, tentu hanya karena dorongan ingin mempertahankan hidup.
Itulah sebabnya kita selalu haus akan perhatian orang lain, selalu haus akan kasih sayang orang lain. Orang yang merasa bahwa dia tidak diperhatikan orang, tidak disukai orang, akan merasa sengsara dan hidupnya seolah-olah kosong, dapat mendatangkan penyakit hampa atau frustrasi, karena sang aku yang sudah digambarkan dan dipupuk semenjak kecil menjadi tidak berarti lagi, menjadi diremehkan.
Takut akan kesepian atau sendirian ini pula yang mendorong kita untuk mengingatkan diri dengan apa saja yang menyenangkan lahir dan batin. Kalau sudah terikat, kita merasa aman, merasa terjamin. Padahal, ikatan-ikatan inilah yang membuat kita hidup seperti robot. Pengulangan-pengulangan, kebiasaan-kebiasaan, menurut ‘umum’, dan menonjolkan sang aku sama saja dengan hidup di atas awan angan-angan dan oleh karenanya sering kali menemui kekecewaan dan kedukaan karena kenyataan berbeda sama sekali dengan angan-angan dan harapan-harapan.
Siapa yang berani meninggalkan hidup dalam dunia angan-angan dan harapan ini, dan berani membuka mata menghadapi segala macam kenyataan hidup, menerima sebagai mana adanya, barulah dia itu benar-benar hidup dan tidak akan terkecoh oleh harapan-harapan yang pada dasarnya hanyalah sang aku yang ingin senang
.....********************
Pemuda itu berjalan seorang diri menyusuri tepi Sungai Wu-kiang, sebuah sungai yang mengalir ke arah utara untuk kemudian terjun ke sungai besar Yang-ce-kiang. Sungai Wu-kiang ini mengalir di antara bukit-bukit pegunungan yang amat luas, sunyi senyap dan penuh dengan hutan liar.
Dia tidaklah sangat muda lagi. Usianya sekitar dua puluh enam tahun, bertubuh sedang namun tegap. Wajahnya sederhana seperti pakaiannya, hanya sapasang matanya yang mengandung sinar penuh ketajaman itu yang menarik perhatian. Dilihat sepintas lalu, dia mirip seorang petani atau mungkin seorang pemburu karena berjalan seenaknya di tempat yang amat sunyi dan liar itu. Padahal, tempat itu amat berbahaya dan kalau tidak bersama-sama rombongan yang bersenjata lengkap, jarang ada orang berani memasuki daerah ini. Akan tetapi, orang muda itu berlenggang seenaknya dan memandang ke kiri kanan, kadang-kadang tersenyum sendiri kalau melihat kupu-kupu, atau burung, atau kelinci berkejaran.
Di tempat yang amat sunyi itu, di mana tidak terdapat manusia lain kecuali diri sendiri, membuat mata menjadi waspada sekali. Pikiran menjadi hening, tidak terisi berbagai masalah seperti jika berada di tempat ramai yang penuh orang. Pikiran tidak mengada-ada, tidak dipenuhi keinginan-keinginan, karena kosong dan hening inilah maka panca indera bekerja dengan amat baiknya, setiap anggota tubuh menjadi amat pekanya. Dan dalam keadaan hening dan waspada ini, maka segala keindahan pun nampak!
Biasanya, panca indera kita seperti menjadi tumpul karena dipenuhi oleh keinginan batin yang berupa nafsu sehingga perhatian hanyalah ditujukan kepada hal-hal yang belum ada dan sedang dikejar atau diinginkan. Akan tetapi, berada di tempat sunyi itu, barulah terasa betapa indahnya segala hal yang ada, betapa bersilirnya angin membawa suara indah melebihi alunan musik yang mana pun juga, bahkan gugurnya setangkai daun kering yang menari-nari ke bawah nampak sedemikian indahnya bagaikan tarian yang menakjubkan. Diri menjadi lenyap, seperti lebur menjadi suatu kenyataan yang ada, bukan lagi boneka yang dipermainkan oleh nafsu dan keinginan.
Pemuda itu sangat sederhana, hanya menggendong sebuah buntalan pakaian dan di pinggangnya terselip sebuah benda kecil yang terbungkus oleh sarung dari kain kuning, panjangnya kira-kira tiga kaki. Bagi orang yang tidak mengenalnya tentu mengira bahwa dia itu hanya seorang petani biasa, atau seorang pemburu dan paling hebat tentu seorang perantau yang biasa melakukan perjalanan seorang diri dengan bekal sedikit kepandaian silat untuk melindungi dirinya. Akan tetapi sesungguhnya tidaklah demikian. Pemuda ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang pendekar yang amat lihai, bahkan yang baru-baru ini memperoleh julukan Pendekar Suling Naga!
Bagi para pembaca ‘KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES’, pemuda ini pasti dapat diduga siapa orangnya, sebab dia merupakan salah seorang di antara para tokoh dalam kisah itu. Pemuda ini adalah Sim Houw, seorang pemuda gemblengan yang sudah mewarisi ilmu-ilmu hebat dari dua aliran yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman) dan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas).
Ilmu yang pertama dia peroleh dari mendiang ayahnya sendiri, yaitu Sim Hong Bu yang mewarisinya dari keluarga isterinya, keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, di daerah Pegunungan Himalaya. Ada pun ilmu yang kedua itu diperolehnya dari pendekar sakti Kam Hong yang pernah menjadi calon mertuanya, tetapi perjodohannya dengan puteri gurunya ini gagal karena gadis itu mencintai orang lain.
Ayahnya, pendekar sakti Sim Hong Bu sudah gugur dalam pertempuran antara para pendekar yang melawan pasukan tentara pemerintah. Ibunya pun telah tewas sehingga dia hidup sebatang kara. Memang masih ada keluarga dari pihak ibunya, yaitu keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman, akan tetapi karena ayahnya telah bercerai dari ibunya dan terjadi pertentangan antara mendiang ayahnya dan keluarga Cu, dia tidak mau lagi kembali ke lembah itu.
Demikianlah sedikit riwayat pendekar yang dijuluki orang Pendekar Suling Naga itu. Baru kurang lebih tiga tahun dia diberi julukan itu setelah beberapa kali dia menghadapi datuk-datuk sesat yang lihai dan terpaksa dia menggunakan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang suling yang dapat dipergunakan sebagai pedang pula. Suling ini terbuat dari kayu yang diukir berbentuk seekor naga, kayu yang telah ribuan tahun usianya dan sudah direndam ramuan obat sehingga menjadi keras bagaikan baja, dan selain dapat ditiup sebagai suling yang suaranya merdu, juga dapat dipergunakan sebagai pedang.
Kurang lebih tiga tahun yang lalu, timbul di dalam pikiran Sim Houw untuk menjenguk keluarga Cu di Lembah Gunung Naga Siluman. Dia teringat bahwa yang bertentangan dengan ayahnya adalah ayah dari ibunya bersama seorang paman, juga ibunya sendiri.
Keluarga Cu terdiri dari tiga orang kakak beradik. Yang pertama ialah Cu Han Bu, yaitu ayah dari ibunya, ke dua adalah Cu Seng Bu dan ke tiga adalah Cu Kang Bu. Yang dulu menentang ayahnya hanyalah Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, keduanya sekarang telah meninggal dunia, sedangkan Cu Kang Bu tidak menentang ayahnya. Dan sekarang, yang tinggal di lembah itu hanya tinggal Cu Kang Bu dan isterinya.
Teringat akan paman kakeknya ini, seorang pendekar berjuluk Ban-kin-sian yang gagah perkasa, juga isteri pendekar ini, seorang wanita bernama Yu Hwi yang mempunyai kepandaian tinggi pula, Sim Houw menjadi rindu. Tidak ada lagi keluarganya di dunia ini kecuali paman kakek Cu Kang Bu itu, maka dia pun lalu berangkatlah ke Pegunungan Himalaya.
Akan tetapi, ketika pada suatu pagi dia tiba di lembah itu, dan menyeberangi jembatan tambang yang direntang dari dalam lembah oleh seorang murid keluarga Cu, Sim Houw menjadi terkejut bukan main melihat betapa paman kakek berdua isterinya itu berada dalam keadaan luka parah! Cu Kun Tek, putera mereka yang baru berusia dua belas tahun menjaga mereka dengan sikap murung dan berduka.
Lembah Gunung Naga Siluman itu merupakan tempat yang selain sangat indah juga tersembunyi dan tidak mungkin dapat dikunjungi orang kecuali kalau penghuni lembah itu menghendaki. Lembah itu dikurung oleh jurang yang amat curam, dan jalan masuk satu-satunya hanyalah melalui jembatan tambang yang direntang dari dalam lembah dan selalu dijaga oleh murid-murid penghuni lembah itu.
Pada waktu itu, Cu Kang Bu yang hanya mempunyai seorang putera memiliki belasan orang murid. Selain untuk menjadi teman puteranya, para murid ini juga untuk melayani segala keperluan keluarganya dan menjaga kebersihan tempat tinggal mereka. Murid-murid ini yang melakukan penjagaan jembatan tambang itu.
Ketika Sim Houw muncul dan memperkenalkan namanya, di antara murid-murid itu ada yang sudah pernah mengenalnya, maka tambang yang tadinya tergantung ke dalam jurang lalu ditarik dan direntang. Sim Houw menggunakan ilmunya untuk menyeberang melalui atas tambang yang besar itu. Kalau tidak memiliki kepandaian dan tidak memiliki keberanian besar, siapa berani menyeberang melalui jembatan yang terbuat dari sehelai tambang itu? Sekali jatuh, nyawa akan melayang dan tubuh akan hancur lebur.
Melihat keadaan paman kakeknya suami isteri yang rebah dengan muka pucat, Sim Houw terkejut dan cepat menjatuhkan diri berlutut. Suami yang nampak lemah tubuhnya itu memandang penuh perhatian, lalu terdengar Cu Kang Bu bertanya, "Orang muda, siapakah engkau dan ada keperluan apakah engkau mendatangi tempat kami ini?"
Mendengar pertanyaan kakek itu, Sim Houw merasa terharu sekali. "Cek-kong (paman kakek), saya adalah Sim Houw..."
"Sim Houw...?" Isteri kakek itu bangkit duduk dan memandang dengan penuh perhatian. Juga kakek itu bangkit duduk.
"Engkau Sim Houw putera mendiang Pek In?" tanya kakek yang kini usianya sudah lima puluh tiga tahun itu.
Disebutnya nama mendiang ibunya, Sim Houw menjadi semakin terharu. "Benar dan saya menghaturkan hormat kepada cek-kong berdua."
Suami isteri yang sedang menderita luka itu nampak gembira sekali. "Kun Tek, lihatlah, pemuda perkasa ini adalah keponakanmu sendiri, putera tunggal mendiang enci-mu Cu Pek In! Sim Houw, ini adalah anak tunggal kami, bernama Cu Kun Tek."
Sim Houw memandang kepada anak laki-laki itu. Dia hanya pernah mendengar bahwa suami isteri itu memiliki seorang anak laki-laki dan baru sekarang dia bertemu dengan anak laki-laki itu, seorang anak laki-laki yang berusia kurang lebih dua belas tahun dan menjadi pamannya! Dia merasa canggung, akan tetapi Sim Houw segera bangkit berdiri dan menjura kepada anak itu.
"Paman kecil, harap engkau baik-baik saja dan banyak memperoleh kemajuan."
Dari ayah bundanya Cu Kun Tek juga sudah banyak mendengar mengenai Sim Houw, maka dia pun membalas penghormatan itu. "Harap engkau tidak terlalu sungkan, karena biar pun aku terhitung pamanmu, tetapi aku jauh lebih muda dan banyak mengharapkan petunjuk darimu."
Diam-diam Sim Houw kagum dan dapat melihat bahwa paman cilik ini adalah seorang anak laki-laki yang cerdas dan ada pembawaan yang gagah perkasa seperti paman kakeknya.
"Selama ini engkau ke mana sajakah, anak Houw?" tanya Yu Hwi, isteri Cu Kang Bu itu.
"Saya merantau memperluas pengalaman dan tiba-tiba saya merasa amat rindu kepada keluarga di sini, juga tempat ini di mana saya dibesarkan, maka hari ini saya datang menghadap. Harap cek-kong berdua sudi memaafkan bahwa baru hari ini saya sempat singgah. Akan tetapi betapa kaget hati saya melihat bahwa cek-kong berdua agaknya dalam keadaan sakit... dan kalau tidak salah… menderita luka dalam. Apakah cek-kong berdua berkelahi dengan seorang lawan yang amat lihai?"
Mendengar pertanyaan ini, suami isteri itu saling pandang dan seperti diingatkan akan sesuatu yang membuat mereka penasaran. Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menjawab, "Kalau diceritakan, sungguh membuat orang menjadi jengkel dan penasaran sekali. Seperti yang sudah kau ketahui, Sim Houw, keluarga Cu selalu menjauhkan diri dari keributan, bahkan menempati lembah yang terpencil dan terasing ini, karena tidak ingin terlibat dalam permusuhan. Akan tetapi, kalau memang perkelahian akan terjadi, ke mana pun kita bersembunyi, ada saja yang datang mencari perkara. Dan kali ini yang datang mencari keributan adalah seorang kakek tua renta yang gila..."
Sim Houw terkejut dan merasa heran sekali. Seorang kakek tua renta yang gila? Dan seorang kakek gila ini demikian lihainya sehingga cek-kongnya yang lihai ini, bersama isterinya yang juga amat lihai, kalah dan menderita luka dalam.
"Cek-kong, apakah yang telah terjadi?"
Kembali Cu Kang Bu menarik napas panjang. "Dua pekan yang lalu, pada suatu siang muncul seorang kakek di seberang jurang dan dia berteriak dengan mempergunakan khikang, minta bertemu denganku. Karena maklum bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian tinggi maka aku menyuruh para murid merentangkan jembatan tambang. Kakek itu menyeberang dan ternyata dia sudah sangat tua, dan dia datang mengajukan usul yang aneh."
"Bagaimana usulnya itu?" Sim Houw bertanya dengan hati tertarik sekali melihat Cu Kang Bu menghentikan ceritanya.
"Ahh, sungguh aneh dan memalukan. Ia mengatakan bahwa ia memiliki sebuah benda pusaka yang akan diwariskan kepada seorang pendekar yang dapat mengalahkannya. Karena dia bertapa di Pegunungan Himalaya dan dia mendengar bahwa di lembah ini tinggal pendekar-pendekar sakti, dia lalu datang untuk minta dikalahkan agar dia dapat mewariskan pusaka itu kepada kami. Tentu saja aku yang tidak butuh pusakanya, lalu menolak. Akan tetapi dia malah marah-marah dan mengatakan bahwa kalau aku tidak mau melayaninya, dia akan membunuh aku dan seluruh penghuni lembah ini..."
"Gila..." Sim Houw berseru heran dan penasaran.
Mana di dunia ini ada peraturan seperti itu? Hendak mewariskan pusaka saja dengan syarat harus mengalahkannya, dan kalau orang tidak mau menyambut usulnya yang aneh itu, akan dibasmi seluruh keluarganya!
"Memang, agaknya dia telah gila, akan tetapi dia lihai bukan main." Cu Kang Bu menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya. "Karena ancamannya yang sangat gila itu, tentu saja aku menjadi marah dan akhirnya kami bertanding, bukan untuk memenuhi permintaannya, melainkan untuk menentang niatnya yang hendak membasmi kami itu. Akan tetapi, biar pun isteriku telah membantuku, tetap saja setelah lewat seratus jurus kami berdua terkena pukulannya yang ampuh dan terluka. Tetapi dia tidak membunuh kami, hanya mengatakan bahwa setelah kami sembuh, dia akan datang lagi, karena dia menganggap bahwa aku cukup pantas menerima warisan itu dan dia minta agar aku berlatih serta memperkuat diri agar lain kali aku dapat mengalahkannya. Kemudian dia pergi."
"Orang itu agaknya memang gila dan bisa berbahaya sekali,” kata Yu Hwi. “Bayangkan saja, cek-kongmu ini sudah mempergunakan cambuknya, dan aku pun sudah melawan mati-matian. Kami berdua hanya dapat mengimbangi saja tanpa mampu mengatasinya sehingga akhirnya kami terluka."
"Siapakah nama kakek itu dan di mana tempat tinggalnya?" Sim Houw yang merasa amat tertarik dan penasaran bertanya.
"Dia belum sempat memperkenalkan diri dan kamipun tidak tahu di mana dia tinggal," jawab Cu Kang Bu. "Kami memang tidak tertarik sama sekali untuk berkenalan dengan orang gila itu, apa lagi mewarisi pusakanya."
Tiba-tiba semua orang dikejutkan oleh suara melengking tinggi yang terdengar dekat sekali, seolah-olah suara itu keluar dari mulut seorang yang berada di dalam gedung atau ruangan di mana mereka duduk bercakap-cakap. Lengkingan suara itu lalu disusul kata-kata yang lembut, "Orang she Cu, rentangkan jembatan tambang, aku datang lagi berkunjung!"
"Nah, itu dia orang gila itu datang lagi!" Cu Kang Bu berkata dan dia bersama isterinya nampak pucat. Cu Kun Tek yang masih kecil itu bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. Anak ini kelihatan marah sekali.
"Ayah dan ibu, kalau dia datang lagi, biarlah kita lawan mati-matian. Bukankah di sini ada Sim Houw yang pernah ayah ceritakan sebagai seorang yang amat lihai? Tentu dia akan membantu kita, bukankah demikian, Sim Houw?"
Sim Houw memandang kagum dan tersenyum, lalu mengangguk. "Tentu saja, paman kecil."
Sementara itu, tiga orang murid datang menghadap dengan muka pucat. Jelas nampak betapa mereka ini cemas sekali. "Suhu, kakek gila itu datang lagi...," kata mereka.
"Ada tamu datang, rentangkan jembatan, biarkan dia ke sini," kata Cu Kang Bu dengan sikap gagah.
Dia maklum bahwa selagi dalam keadaan sehat dan segar saja, dia dan isterinya yang maju mengeroyok kakek itu tidak menang dan bahkan terluka parah, apa lagi sekarang dalam keadaan masih belum sembuh benar. Maju melawan kakek itu sama saja berarti mengundang kematian. Tetapi kalau perlu dia tidak takut mati. Lebih baik mati melawan dari pada memperlihatkan rasa takut dan tidak berani merentangkan jembatan.
"Suhu, biar teecu rentangkan jembatan dan kalau Si kakek gila itu sudah menyeberang sampai di tengah-tengah, teecu akan lepaskan tambang agar dia mampus terbanting ke dalam jurang," kata seorang murid yang tinggi besar.
"Brakkkk!"
Cu Kang Bu menggebrak dipannya dengan mata melotot. "Pengecut! Hayo kau masuk ke dalam Ruangan Bertobat, tiga hari tiga malam tidak boleh keluar untuk mempelajari sikapmu yang pengecut itu sampai dapat kau hapus sama sekali dari batinmu!"
Murid tinggi besar itu berlutut dengan muka pucat, mengangguk-angguk. "Baik, teecu menerima perintah dan hukuman."
Kemudian dengan tubuh lemas dia mengundurkan diri untuk memasuki sebuah ruangan di bawah tanah yang dipergunakan untuk menghukum murid-murid yang bersalah. Di tempat ini dia terpaksa harus bertapa selama tiga hari dan tiga malam untuk menebus kesalahannya karena tadi dia telah mengeluarkan kata-kata yang sifatnya pengecut dan curang.
"Rentangkan jembatan dan biarkan dia menyeberang!" katanya kepada dua orang murid lain yang cepat mengangguk dan pergi. Pendekar itu lalu berkata kepada isterinya dan puteranya. "Kalian jangan turut campur. Biarlah aku sendiri yang akan menghadapinya dan kalau perlu mengadu nyawa dengannya."
"Akan tetapi engkau pun masih belum sembuh!" seru isterinya dengan khawatir.
Sim Houw cepat maju dan berkata, "Cek-kong berdua harap tenangkan hati. Saya kira, dengan bujukan yang halus dan dapat diterima, kiranya dia dapat disadarkan dan dapat disuruh pergi tanpa kekerasan. Saya tidak sakit, maka biarlah saya mewakili cek-kong berdua karena bagaimana pun juga, saya adalah anggota keluarga di lembah ini."
Cu Kang Bu mengangguk. "Akan tetapi engkau harus berhati-hati benar, Sim Houw. Dia memiliki ilmu yang luar biasa anehnya."
“Saya mengerti, cek-kong. Orang yang mampu mengalahkan cek-kong berdua tentulah seorang sakti." Setelah berkata demikian, Sim Houw melangkah keluar, diikuti oleh Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan juga Cu Kun Tek.
Ketika mereka tiba di luar gedung, tidak lama kemudian nampak bayangan berkelebat cepat datang dari depan. Diam-diam Sim Houw terkejut bukan main karena bayangan itu sungguh memiliki ginkang yang luar biasa sehingga tubuh itu seolah-olah terbang saja ketika berlari ke arah mereka. Segera nampak seorang kakek renta berdiri di depan mereka.
Kakek itu memang nampak sudah tua sekali. Sukar menaksir berapa usianya, akan tetapi tentu mendekati seratus tahun. Rambut di kepalanya tinggal sedikit, tipis panjang dan tak terpelihara membuat kepala itu nampak kecil. Tubuhnya kurus sekali dan saking kurusnya, nampak seperti tulang terbungkus kulit belaka. Matanya sipit hampir terpejam, mulutnya kempot dengan kedua pipinya cekung ke dalam. Akan tetapi yang luar biasa adalah kulit mukanya. Kulit muka itu putih, bukan pucat melainkan putih seperti dibedaki tebal saja. Jubahnya hitam lebar dan panjang, celananya berwarna kuning.
Begitu berhadapan dengan mereka, mata yang sipit itu menujukan pandangannya ke arah Cu Kang Bu dan isterinya, lalu terdengar kakek itu berkata dengan nada suara penuh sesal, "Aihh, kalian belum sembuh! Itulah akibatnya kalau tinggi hati, kuberi obat tidak mau. Sekarang, jangankan bisa mengalahkan aku, baru menandingi seratus jurus seperti tempo hari saja kalian akan mati, lantas siapa lagi yang dapat aku harapkan mengalahkan aku dan mewarisi pusakaku? Aihhh... aku tidak mau pusakaku terjatuh ke tangan mereka, aku tidak mau biar mereka itu murid-murid keponakanku sendiri, aku tidak mau..." Dan suara kakek itu berubah seperti suara orang menangis!
Sim Houw melangkah maju menghadapi kakek itu sambil menjura dengan sikap hormat dan suaranya terdengar halus namun tegas, "Locianpwe, kami para penghuni Lembah Naga Siluman tak pernah bermusuhan dengan siapa pun juga, tak pernah mencampuri urusan orang lain, harap locianpwe suka mundur dan meninggalkan tempat kami tanpa mengganggu kami lagi. Jika locianpwe memaksa, terpaksa saya yang akan menghadapi dan melawan locianpwe!"
Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dan kini mata yang sipit sekali itu ditujukan kepada Sim Houw, memandang dari atas ke bawah.
"Heh-heh, kau gagah juga...! Apakah kau murid mereka?" Jari telunjuknya yang kurus panjang itu menunjuk ke arah Cu Kang Bu dan isterinya.
"Bukan, locianpwe. Saya adalah cucu keponakan mereka yang kebetulan tengah datang berkunjung."
"Uuh-huh-huh, murid juga bukan, malah hanya cucu keponakan! Dan kau bilang bahwa kau akan melawan aku? Heh-heh-heh, bocah, engkau sombong benar!"
"Locianpwe yang sombong, seakan-akan locianpwe pandai mengukur tingginya langit dalamnya lautan. Akan tetapi, tidak ada pertandingan dilakukan tanpa sebab, apa lagi tanpa saling mengenal. Nama saya adalah Sim Houw, dan sudah jelas bahwa saya akan mewakili cek-kong saya berdua isterinya, mewakili keluarga dan penghuni Lembah Naga Siluman untuk menandingi locianpwe, Sebaliknya, siapa pula locianpwe ini dan mengapa locianpwe datang mengacau di lembah kami?"
Kakek kurus kering itu terkekeh. "He-he-heh-heh, kau bocah kemarin sore akan tetapi omonganmu berisi! Agaknya dirimu berisi ilmu kepandaian pula. Dengarlah, aku disebut orang Pek-bin Lo-sian (Dewa Tua Muka Putih), seorang pertapa di puncak bukit sebelah utara yang nampak dari sini itu." Dia menuding ke arah sebuah puncak bukit yang nampak samar-samar dari lembah itu, terhalang kabut mengawan. "Aku sudah tua, sudah mau mati, akan tetapi aku tak akan dapat mati dengan mata terpejam sebelum pusaka yang berada padaku kuserahkan kepada orang yang pantas memilikinya. Dan yang pantas memilikinya hanyalah seorang pendekar yang mampu menandingiku. Kalau aku tidak menemukan orang itu, pusaka itu tentu akan terjatuh ke tangan tiga orang murid keponakanku yang seperti setan, dan aku tidak rela, sungguh tidak rela! Karena itulah aku datang ke sini karena aku mendengar bahwa keluarga Cu adalah keluarga pendekar yang sakti. Akan tetapi ternyata kepandaian mereka hanya begitu saja, sungguh mengecewakan hatiku."
"Locianpwe, mengapa bersusah payah menetapkan syarat begitu aneh dan berat? Jika memang locianpwe tak rela memberikan pusaka kepada orang lain, perlu apa mencari-cari? Kepandaian locianpwe begitu tinggi, siapa yang akan sanggup mengalahkannya? Dan kalau memang locianpwe berhasrat mewariskan pusaka itu kepada orang lain, berikan saja kepada siapa yang locianpwe sukai, tidak perlu dengan syarat yang aneh-aneh. Lagi pula, kami keluarga Lembah Naga Siluman juga tidak kepingin memperoleh pusaka apa pun juga."
Kakek itu menghela napas panjang. "Orang muda, enak saja kau bicara. Kalau aku memberikan kepada sembarang orang, berarti menyuruh dia mampus dan pusaka itu akhirnya akan terampas pula oleh tiga orang murid keponakanku. Mengertikah engkau? Aku sudah menjatuhkan pilihanku kepada penghuni lembah ini, kalau tidak ada yang mampu mengalahkan aku, berarti mengecewakan hatiku dan karenanya akan kubunuh semua!"
Sim Houw menjadi marah. "Hemm, watak locianpwe begini aneh dan jahat, pantas saja murid keponakan locianpwe juga jahat seperti setan. Nah, biarlah kini saya mewakili keluarga Cu untuk menghadapi locianpwe!"
Sambil berkata demikian, karena maklum bahwa lawannya yang sudah mengalahkan cek-kongnya bersama isterinya tentu amat sakti, dia sudah mencabut keluar sebatang suling dari balik jubahnya. Begitu suling dicabut, nampak sinar emas berkelebat yang dibarengi suara melengking dari suling itu seolah-olah ditiup. Melihat dan mendengar ini, kakek itu terbelalak.
"Ihhh...? Itu... itu senjatamu? Sebatang suling emas?" tanyanya kaget dan memandang ke arah sebatang suling terbuat dari pada emas yang berada di tangan pemuda itu.
Memang suling ini sebuah suling emas, pemberian pendekar sakti Kam Hong. Sebatang suling yang merupakan duplikat dari suling emas di tangan pendekar itu, yang dahulu digunakan oleh Sim Houw untuk berlatih ketika digembleng oleh bekas calon mertuanya itu.
"Aneh...!" Kakek itu berkata, matanya yang sipit itu agak terbelalak lebar dan mulutnya tersenyum. Wajahnya yang tadinya keruh sekarang nampak berseri penuh harapan. "Lihat seranganku!"
Tiba-tiba kakek itu telah menggerakkan kedua tangannya dan Sim Houw merasa betapa ada angin yang sangat kuat menyambar ke arahnya dari kanan kiri. Kakek itu telah menyerang dengan pukulan-pukulan yang ampuh, aneh datangnya, melengkung dari kanan kiri. Dari angin serangan itu saja dapat diketahui bahwa kakek itu menggunakan tenaga yang amat kuat!
Namun, yang diserang oleh Pek-bin Lo-sian adalah seorang pemuda gemblengan yang sudah matang kepandaiannya. Pemuda ini merupakan satu-satunya orang yang sudah mewarisi dua ilmu kesaktian yang tadinya saling bertentangan, yaitu Ilmu Koai-liong Kiam-sut dari keluarga Cu dan juga Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dari pendekar Kam Hong!
Kini dua ilmu itu telah mendarah daging pada dirinya. Hanya ada satu orang lagi yang pandai menggabung kedua ilmu itu, ia adalah Kam Bi Eng, bekas tunangannya, puteri tunggal pendekar sakti Kam Hong yang kini menjadi isteri dari Suma Ceng Liong, cucu dari majikan Pulau Es.
Memang terdapat perbedaan antara kepandaian yang dikuasai Sim Houw dan yang dikuasai Kam Bi Eng. Sim Houw, menggabungkan kedua ilmu itu dengan dasar Ilmu Koai-liong Kiam-sut yang dipelajarinya pertama kali dari ayahnya, sebaliknya Bi Eng mendasari penggabungan itu dengan Kim-siauw Kiam-sut yang diwarisi dari ayahnya.
Pada saat mereka dipertunangkan, Sim Houw digembleng oleh Kam Hong, bekas calon mertuanya, sebaliknya Kam Bi Eng digembleng oleh Sim Hong Bu, ayah Sim Houw. Kini keduanya telah menguasai penggabungan kedua ilmu itu, akan tetapi sayang, karena tidak adanya cinta kasih kedua pihak, maka pertunangan itu putus dan mereka tidak menjadi suami isteri.
Menghadapi serangan aneh dari Pek-bin Lo-sian, dengan tenang akan tetapi dengan kecepatan yang sudah diperhitungkan, Sim Houw memutar sulingnya ke kanan kiri dan ujung sulingnya itu mengancam dua lengan lawan dengan totokan-totokan maut ke arah pergelangan tangan. Kalau serangan kakek itu dilanjutkan, sebelum kedua tangannya menyentuh tubuh lawan, maka lebih dulu kedua pergelangan tangannya akan tertotok suling emas!
"Ohhhh...!" Dia terkejut, akan tetapi juga girang.
Tadi dia sengaja mengeluarkan jurus serangannya yang sangat ampuh untuk menguji kepandaian pemuda aneh yang bersenjata suling emas itu. Kini ternyata pemuda itu tidak hanya mampu membuyarkan serangannya, bahkan berbalik mengancam kedua lengannya! Dia cepat-cepat menarik kembali kedua tangan itu dan mulailah kakek itu berloncatan dan bergerak cepat, melakukan serangan bertubi-tubi kepada Sim Houw.
Sim Houw juga tak mau berlaku sungkan lagi. Suling emasnya bergerak semakin cepat menghadang setiap serangan sehingga kini kakek itu yang berbalik terserang olehnya. Beberapa kali kakek itu mengeluarkan seruan kaget. Suling itu berubah menjadi sinar keemasan bergulung-gulung disertai suara melengking-lengking seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang.
Hal ini membuat Pek-bin Lo-sian kagum bukan main. Pernah dia mendengar akan nama Pendekar Suling Emas, dan kini dia merasa seolah-olah berhadapan dengan pendekar yang pernah terkenal di seluruh dunia persilatan itu! Dia tidak tahu bahwa memang yang dihadapinya adalah murid dari Pendekar Suling Emas Kam Hong. Belum sampai lima puluh jurus, kakek itu sudah terdesak oleh gulungan sinar yang melengking-lengking itu.
Cu Kang Bu dan isterinya yang menonton pertandingan itu menjadi kagum bukan main. Tidak mereka sangka bahwa putera mendiang Sim Hong Bu dan Cu Pek In kini telah menjadi seorang pendekar yang demikian hebat ilmu silatnya.
Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan teriakan mengguntur. Nampak sinar hitam berkelebat, dan tahu-tahu ia telah memegang sebuah pedang yang aneh sekali. Senjata itu disebut pedang, karena dipegang dan dimainkan seperti orang memainkan pedang, akan tetapi bentuknya adalah seekor naga yang merupakan ukiran indah sekali dan warnanya hitam pekat. Akan tetapi pada tubuh pedang berbentuk naga itu terdapat lubang-lubang seperti pada sebuah suling!
Dan ketika kakek itu menggerakkan senjata aneh ini, nampak sinar hitam berkelebat. Terdengar pula suara melengking kacau, sama sekali berbeda dengan lengking suara yang keluar dari suling emas di tangan Sim Houw yang terdengar merdu seperti melagu.
"Cringgg...!"
Nampak bunga api berpijar ketika senjata aneh itu bertemu suling emas dan Sim Houw merasa betapa tangannya yang memegang suling tergetar hebat. Akan tetapi pemuda ini tidak menjadi gentar. Cepat dia memindahkan suling emas di tangan kiri dan begitu tangan kanannya bergerak ke bawah jubahnya, nampak sinar berkilat menyeramkan, sinar biru yang menyilaukan mata dan terdengar suara mengaum seperti seekor singa.
Itulah Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) peninggalan ayahnya! Dan kini dia menggerakkan pedang di tangan kanan dan suling di tangan kiri. Bukan main hebatnya karena pedangnya itu memainkan jurus-jurus ampuh dari Koai-liong Kiam-sut sedangkan suling emasnya memainkan jurus-jurus pilihan dari Kim-siauw Kiam-sut!
Menghadapi gabungan dua ilmu yang sakti dan ampuh ini, kembali si kakek kurus renta mengeluarkan suara terkejut bukan main dan dalam beberapa jurus saja dia sudah terdesak hebat.
Sekarang kakek itu benar-benar kagum bukan main, berkali-kali mengeluarkan seruan memuji, akan tetapi dia pun lalu mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya untuk mengalahkan pemuda yang amat menarik perhatiannya itu. Dan memang ilmu silat kakek ini aneh sekali. Beberapa kali hampir saja Sim Houw tertipu dan terpancing, akan tetapi berkat keampuhan dua ilmu silat yang digabung itu, serangan-serangan kakek itu selalu gagal.
Sim Houw diam-diam merasa bingung juga. Dia tidak ingin menanam bibit permusuhan dengan kakek ini, maka tadinya dia hanya ingin menandingi dan jika memang mungkin, mengalahkan tanpa melukai kakek itu. Akan tetapi, kini ternyata bahwa ilmu kepandaian kakek ini benar-benar hebat sehingga tidak mungkin kiranya tanpa melukai. Bahkan kalau dia terlalu mengalah, jangan-jangan dia sendiri yang akan roboh akhirnya!
Maka, terpaksa ia pun lalu mengeluarkan jurus-jurus terampuh yang digabung sehingga keadaan kakek itu benar-benar terkurung oleh sinar keemasan dan sinar biru yang amat dahsyat. Tiba-tiba sinar biru menyambar dahsyat menyambut pedang naga hitam itu, didukung tenaga sinkang yang amat kuat.
"Krekkk...!"
Kini patahlah senjata ampuh kakek itu, terbabat Koai-liong Po-kiam yang ampuh dan pada saat itu juga, suling di tangan kiri pemuda itu sudah menotok ke arah tenggorokan dengan kecepatan seperti kilat menyambar.
"Ahhhhh...!" Kakek itu terkejut melihat senjatanya patah sehingga kurang waspada dan tahu-tahu ujung suling sudah meluncur ke arah tenggorokannya.
Melihat ini, Sim Houw yang tak ingin membunuh cepat-cepat mengurangi tenaga pada totokannya. Hanya itulah yang mampu dilakukan, karena melihat kedudukannya, tidak mungkin menarik kembali, karena tangan kiri kakek itu dapat saja melakukan pukulan kalau dia menarik kembali totokan sulingnya. Kakek itu pun biar terlambat masih dapat membuang tubuh ke samping.
"Tukkk...!" Tetap saja ujung suling masih menotok pundak kirinya.
Kakek itu mengeluh, lalu terpelanting! Bukan main girang dan kagumnya rasa hati Cu Kang Bu dan isterinya melihat betapa akhirnya cucu keponakan mereka itu berhasil mengalahkan kakek gila yang amat lihai itu.
"Aihh, locianpwe, maafkan saya...!" Sim Houw terkejut dan menyesal, cepat menyimpan sepasang senjatanya dan menjura.
"Sudahlah, aku kalah...," kakek itu mengeluh dan bangkit berdiri, napasnya terengah-engah dan dia menekan pundak kirinya. Jelas bahwa totokan itu telah mendatangkan luka di dalam dadanya. Sampai beberapa lamanya kakek itu menatap wajah Sim Houw, kemudian dia mengangguk-angguk.
"Ahhh, tidak kusangka bahwa akhirnya Suling Naga bertemu dengan majikannya. Orang muda, engkaulah orangnya yang patut sekali memiliki Liong-siauw-kiam. Engkau telah memiliki dua ilmu dengan pedang dan suling, dan kalau kini engkau mempergunakan Liong-siauw-kiam, berarti engkau dapat memainkannya dengan dua ilmu itu. Engkau telah mengalahkan aku, pusaka itu akan kuserahkan kepadamu."
"Hemmm, kakek jahat. Pusakamu itu telah patah dua, untuk apa diberikan kepada cucu keponakan kami?" Yu Hwi mencela sambil menuding ke arah senjata hitam yang patah terbabat pedang Koai-liong-po-kiam tadi.
Kakek itu tertawa, akan tetapi tiba-tiba menahan ketawanya dan menyeringai kesakitan.
"Locianpwe, engkau telah terluka. Marilah kubantu meringankan penderitaanmu," kata Sim Houw sambil melangkah maju. Akan tetapi kakek itu mundur ke belakang.
"Jangan! Aku sudah terluka dan itu adalah resiko pertandingan. Jika engkau yang kalah, engkau bukan hanya terluka melainkan mampus, orang muda! Dan siapa bilang bahwa pusaka itu benda yang patah itu? Heh-heh, kau kira aku begitu bodoh membawanya ke mana saja? Memang sama bentuknya, akan tetapi yang ini adalah buatanku sendiri, yang palsu. Yang asli mana mungkin dapat dipatahkan oleh senjata pusaka yang bagai mana ampuh pun juga? Mari, orang muda, engkau berhak memiliki Liong-siauw-kiam. Mari kau ikut denganku mengambilnya di tempat persembunyianku."
Sim Houw percaya sepenuhnya kepada kakek aneh yang amat lihai itu, maka dia pun mengangguk dan menjawab, "Baiklah, locianpwe."
"Sim Houw, jangan mudah percaya omongannya!" Tiba-tiba Yu Hwi berseru. "Orang macam dia ini mana bisa dipercaya? Jangan-jangan engkau dipancing untuk memasuki perangkap!"
Kakek itu memandang kepada Yu Hwi serta mengangguk-angguk sambil tersenyum aneh. "Nyonya ini memiliki kecerdikan yang boleh juga, heh-heh. Terserah kepadamu, orang muda, apakah engkau berani atau tidak ikut bersamaku. Kalau tidak, sungguh aku akan mati dengan mata terbuka karena kecewa dan penasaran."
"Biarlah, cek-kong berdua harap jangan khawatir. Saya dapat menjaga diri," kata Sim Houw.
Dia pun kemudian mengikuti kakek itu yang sudah membalikkan tubuh dan pergi sambil tertawa mengejek. Cu Kang Bu dan isterinya mengikuti dengan pandang mata khawatir, akan tetapi Cu Kun Tek berkata dengan kagum.
"Hebat sekali Sim Houw itu. Kalau aku menjadi dia, aku pun pasti akan pergi mengambil pusaka yang dijanjikan kakek itu."
Dua orang itu lalu menyeberangi tambang. Dengan cepat sekali kakek yang mengaku bernama Pek-bin Lo-sian itu lalu berlari seperti terbang. Agaknya ia masih ingin menguji kepandaian Sim Houw. Akan tetapi, setelah berlari secepatnya dan napasnya mulai memburu, dia menoleh ke belakang. Dia melihat betapa pemuda itu berada tepat di belakangnya, sedikit pun tidak tertinggal, bahkan tak nampak letih seperti orang berjalan seenaknya saja. Kakek itu kagum sekali dan menahan larinya, menjadi langkah biasa untuk mengatur pernapasannya. Wajahnya menjadi semakin pucat.....
Komentar
Posting Komentar