SULING NAGA : JILID-03


Ada kalanya, agar perbuatan mereka tidak menyolok, petugas keamanan menangkapi para penjahat dan juga rakyat yang menentang penjahat! Beberapa hari kemudian, para penjahat yang di tangkapi itu telah berkeliaran kembali melakukan kejahatan mereka, sedangkan orang-orang yang ditangkap ketika melawan penjahat itu tetap di tahan, bahkan dihukum dengan tuduhan pemberontak!

Dalam keadaan negara kacau seperti ini terjadilah apa yang dinamakan ‘pagar makan tanaman’. Para petugas keamanan yang seharusnya menjaga keamanan hidup rakyat, sebaliknya malah membuat kehidupan rakyat menjadi tidak aman! Dan kalau petugas keamanan sudah bersekongkol dengan penjahat, dapatlah dipastikan bahwa keadaan pemerintahannya lemah, dan yang celaka adalah rakyat jelata pula.

Keadaan semacam itu pun melanda kota kecil Siang-nam yang terletak tidak jauh dari kota besar Siang-tan, di Propinsi Hunan. Kepala daerah kota Siang-nam seperti boneka saja. Hanya pakaian dan kursinya saja yang menandakan dia seorang kepala daerah, akan tetapi sikap dan perbuatannya sama sekali tak mencerminkan seorang pemimpin.

Kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bong-ciangkun, yaitu komandan pasukan keamanan kota Siang-nam. Dan di atas Bong-ciangkun ini, sebagai penguasa yang tak terlihat, adalah kepala penjahat yang menguasai seluruh Siang-nam dan daerah di sekitarnya. Selalu terjadi persekutuan antara kepala penjahat dan Bong-ciangkun dalam menghadapi perkara apa pun, dan Bong-ciangkun lalu tunduk karena kepala penjahat itu memberi sogokan yang berlebihan, yang membuat komandan itu menjadi kaya raya.

Lebih celaka lagi, Bong-ciangkun sudah terkenal sebagai seorang pria congkak yang menyombongkan kedudukannya, bengis dan hal yang paling buruk, mata keranjang dan selalu ingin mendapatkan wanita mana saja yang menarik hatinya! Dia dikenal sebagai serigala kota Siang-nam dan semua penduduk merasa takut kepadanya.

Pada suatu pagi, di antara orang-orang yang sibuk pergi ke pasar, ada yang hendak berjualan dan ada pula yang hendak berbelanja, nampaklah seorang wanita bersama seorang anak laki-laki berjalan menuju ke arah pasar. Ibu dan anak ini masing-masing membawa keranjang berisi telur. Mereka memelihara banyak ayam di rumah dan kini mereka hendak menjual hasilnya ke pasar. Biasanya, yang menjual telur adalah suami wanita itu, akan tetapi pada pagi hari itu, si suami rebah di pembaringan karena masuk angin dan walau pun enggan keluar rumah dalam suasana kacau seperti itu, terpaksa si isteri mengajak putera tunggalnya untuk menemaninya membawa telur dan menjualnya ke pasar.

Wanita itu berwajah lumayan, dengan kulit kuning bersih sehingga usianya yang sudah tiga puluh tahun itu belum menghilangkan daya tariknya yang memikat. Dan puteranya, seorang anak laki-laki berusia sebelas tahun, juga wajahnya mirip ibunya sehingga dia nampak tampan dan bersih, wajahnya cerah. Anak ini bernama Gu Hong Beng, dan ayahnya yang sedang sakit itu bernama Gu Hok, seorang tukang kayu yang pandai.

Selain memiliki penghasilan sebagai tukang kayu, juga isterinya dibantu oleh putera mereka memelihara atau beternak ayam yang hasilnya cukup lumayan pula. Kehidupan mereka yang tidak kaya tetapi juga tidak miskin itu cukup bahagia, dengan seorang putera yang baik dan penurut, rajin bekerja membantu ibunya merawat ayam, bahkan sudah dapat melakukan beberapa pekerjaan tukang kayu yang ringan-ringan.

Karena semua pedagang di pasar tahu bahwa telur dari ternak ayam milik tukang kayu itu selalu baru dan segar, maka dengan mudah mereka dapat menjual semua telur mereka di pasar. Dengan wajah berseri keduanya membawa uang hasil penjualan itu untuk berbelanja keperluan bumbu-bumbu masakan dan bahan-bahan makanan.

Akan tetapi, mendadak terdengar bentakan-bentakan agar semua orang minggir untuk memberi jalan kepada seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan berperut gendut sekali. Mukanya buruk hitam dan kulitnya tebal dengan mata lebar bundar yang selalu memandang penuh keangkuhan. Dia berjalan dengan dada dibusungkan, akan tetapi karena perutnya yang luar biasa gendutnya, yang makin membusung adalah perutnya itu.

Pakaiannya indah dan gagah, pakaian seorang perwira dengan pedang besar panjang tergantung di pinggang kiri. Kepalanya terhias topi perwira Mancu yang memakai hiasan bulu. Dengan langkah dibuat-buat perwira yang bukan lain adalah Bong-ciangkun ini menoleh ke kanan kiri, sikapnya sombong sekali ketika dia memandangi orang-orang di dalam pasar.

Sudah diketahui umum bahwa kaum wanita amat lemah terhadap harta, kedudukan dan nama kehormatan. Oleh karena itu, biar melihat bentuk perut dan mukanya laki-laki yang bernama Bong-ciangkun ini sama sekali tak dapat dibilang ganteng atau menarik, tapi kedudukannya, pangkatnya, pakaiannya yang gagah, kehormatannya dan hartanya tentu sekali membuat banyak wanita di pasar itu berlomba untuk bergaya dan menarik hati sang perwira dengan berbagai gaya. Ada yang suaranya tiba-tiba saja meninggi dan nyaring, ada yang tiba-tiba menjadi genit sekali, terkekeh, ada yang matanya lalu menjadi lincah mengerling tajam, ada yang tersenyum-senyum manis, ada pula yang memperbaiki letak rambut dan merapikan pakaian. Akan tetapi, Bong-ciangkun hanya mengangkat hidung memandang rendah.

Empat orang prajurit pengawal yang berada di depan perwira itu untuk membuka jalan bersikap kasar sekali. Ada beberapa orang laki-laki yang memikul keranjang, karena kurang cekatan menyingkir, ditendang keranjangnya sehingga isinya berantakan.

"Minggir! Minggir! Komandan kami akan lewat!" Demikian mereka membentak-bentak.

Ketika mereka tiba dekat dengan Gu Hong Beng dan ibunya yang sedang berbelanja, empat orang pengawal itu membentak-bentak dan mendorong-dorong. Seorang kakek tua kena dorong dan terhuyung menabrak ibu Hong Beng. Wanita ini menahan jerit, terjatuh dan kacang yang baru dibelinya dan dipondongnya tadi terlepas, bungkusannya pecah dan kacang itu pun berserakan di atas tanah.

"Ahhh kacangku...!" Ibu muda ini cepat berjongkok dan mengumpulkan kacang yang tumpah-tumpah itu.

Tiba-tiba ada orang memegang lengannya dan ia ditarik dengan lembut ke atas. Nyonya itu terpaksa bangkit dan menoleh. Terkejutlah ia ketika melihat bahwa yang menariknya itu adalah seorang laki-laki tinggi besar berpakaian perwira yang kelihatannya galak dan bengis. Tetapi pada saat itu, laki-laki tinggi besar yang bukan lain adalah Bong-ciangkun itu menyeringai, maksudnya untuk tersenyum manis akan tetapi hasilnya sama sekali tidak manis, bahkan menyeringai menakutkan.

"Nyonya yang manis, harap jangan kaget dan takut. Maafkan pengawalku tadi bersikap kasar sehingga kacangmu tumpah. Marilah engkau ikut denganku, nyonya, dan aku akan mengganti kerugianmu sepuluh kali lipat."

Tentu saja wajah wanita itu menjadi merah sekali. Ia pernah mendengar tentang perwira yang bernama Bong-ciangkun ini dan jantungnya berdebar tegang dan takut. Dia lalu menggandeng tangan Hong Beng dan berkata kepada anaknya itu, "Hong Beng, mari kita pulang." Tanpa menoleh ia menggandeng dan menarik tangan anaknya untuk diajak pergi.

Akan tetapi kembali lengannya dipegang orang dan kini pegangannya itu agak keras membuat ia merasa nyeri.

"Nyonya, aku adalah Bong-ciangkun. Jangan takut, aku suka sekali padamu. Engkau manis, mari ikut denganku sebentar. Engkau akan senang, marilah...." Bong-ciangkun menarik lengan itu dan senyumnya melebar, matanya yang besar bundar itu berkedip-kedip penuh kegenitan dan kekurang ajaran.

Nyonya Gu Hok menarik dan merenggutkan lengannya sampai terlepas dari pegangan perwira itu. "Tidak, biarkan kami pulang...!" katanya lirih.

"Ahh, itu anakmukah, nyonya? Ajaklah dia, aku akan menjamu kalian dengan hidangan yang lezat. Marilah, dan nanti pulangnya akan kuantar dengan kereta." Bong-ciangkun kembali membujuk dengan sikap ramah.

"Tidak..., terima kasih, ciangkun, akan tetapi kami mau pulang, sudah siang..."

"Marilah, nyonya. Apakah engkau akan menolak uluran tangan dan undanganku?"

Kembali perwira itu memegang lengan wanita yang tak mampu melepaskan tangannya lagi.

"Lepaskan ibuku...!" Tiba-tiba Hong Beng berseru dan dia membantu ibunya menarik tangannya dari pegangan perwira itu.

Jika sang perwira menghendaki, tentu mereka berdua tidak mampu melepaskan tangan itu. Akan tetapi melihat betapa banyaknya orang di pasar menyaksikan peristiwa itu, dia terpaksa melepaskan pegangannya. Mukanya menjadi semakin hitam. Dia merasa malu sekali! Ada wanita berani menolaknya! Bahkan terang-terangan di depan begitu banyak orang. Dia tentu akan menjadi bahan tertawaan orang sepasar! Dan kalau dia bertindak di situ juga, dia merasa malu karena banyak orang menyaksikan dan bagaimana pun ia adalah seorang pembesar, komandan pasukan keamanan. Maka, dengan uring-uringan dia lalu mengajak para pengawalnya keluar dari pasar dan terus pulang.

Setibanya di rumah, Bong-ciangkun menjadi makin penasaran ketika mendengar bahwa nyonya manis tadi adalah isteri tukang kayu Gu Hok. Hanya isteri tukang kayu! Dan sudah berani menolaknya! Padahal, isteri orang-orang yang lebih tinggi kedudukannya dan lebih kaya sekali pun akan masuk ke dalam pelukannya dengan suka rela!

Dia kemudian menghubungi Coa Pit Hu, kepala penjahat yang menguasai dunia hitam di daerah Siang-nam. Setelah mengadakan pertemuan dan juga menceritakan perasaan hatinya yang tergila-gila kepada isteri Gu Hok, serta merasa penasaran karena ditolak mentah-mentah oleh wanita itu di tengah pasar sehingga diketahui banyak orang, Coa Pit Hu tertawa bergelak.

"Ha-ha-ha-ha!" Pria berusia empat puluhan yang bertubuh tinggi kurus, bermuka pucat dan matanya sipit, hidungnya lebar dan pesek itu tertawa. "Untuk urusan kecil seperti itu, kenapa ciangkun menjadi marah-marah? Kalau pada waktu kemarin itu ciangkun menyuruh pengawal menangkap dan menyeretnya ke sini, siapa yang akan melarang dan siapa berani menghalangi tindakan ciangkun?"

"Ahh, enak saja! Di depan begitu banyak orang, bagaimana aku bisa melakukan hal itu? Tentu tidak enak dan tidak baik. Sekarang, bantulah aku bagaimana baiknya agar aku dapat menebus rasa malu itu. Wanita itu menarik sekali, kau pun tentu akan setuju jika sudah melihatnya!"

"Ha-ha-ha, bunga simpanan di dalam taman yang dipelihara tentu saja cantik menarik. Jangan khawatir, sekarang pun aku dapat menculiknya. Kalau suaminya ribut-ribut akan kubunuh saja!"

"Jangan…!" Bong-ciangkun mencegah. "Peristiwa di pasar itu sudah diketahui banyak orang. Jika sekarang isterinya diculik, tentu semua orang akan menuduhku. Sebaiknya diambil jalan halus agar wanita itu mau datang ke sini dengan suka rela, dan akan lebih menyenangkan lagi kalau ia mau melayani aku dengan suka rela. Aku sudah bosan dengan cara paksaan dan perkosaan."

"Beres!" Kepala penjahat itu membual. "Ciangkun tadi mengatakan bahwa wanita itu memiliki seorang anak laki-laki? Nah, anak buahku akan menculik anak itu, kemudian kami akan minta kepada ibu anak itu datang sendiri menjemput anaknya ke sini. Nah, bukankah dengan ditangkapnya anak itu, si ibu akan dengan suka rela melayani segala hasrat ciangkun? Ha-ha-ha!"

Komandan itu tertawa bergelak dengan hati girang sampai perutnya bergoyang-goyang naik turun dan ke kanan kiri. "Bagus, bagus! Laksanakanlah dan hadiah-hadiahnya telah menanti untuk para anak buahmu."

"Aih, kenapa ciangkun berkata demikian? Biarlah wanita itu merupakan hadiah dari kami buat ciangkun! Malam ini juga ia tentu akan datang menyembah-nyembah kaki ciangkun dan minta diajak tidur. Sebagai tebusan nyawa anaknya, ha-ha-ha-ha!" Mereka berdua tertawa-tawa. Coa Pit Hu, kepala penjahat itu, segera berpamit untuk mempersiapkan rencananya.

Siang hari itu, Gu Hok dan isterinya menjadi gelisah sekali pada saat mendengar dari beberapa orang anak tetangga bahwa Hong Beng yang sedang bermain-main dengan mereka, mendadak ditangkap oleh empat orang laki-laki yang tidak dikenal. Mulutnya disumbat dan dibawa lari oleh mereka!

"Hong Beng diculik penjahat!" demikian Gu Hok berpendapat dengan muka pucat. Dia merasa heran sekali. "Mengapa? Kita adalah keluarga miskin, perlu apa orang menculik anak kita?"

Isterinya juga merasa khawatir sekali dan sedikit pun tidak menghubungkan diculiknya anaknya itu dengan peristiwa pagi tadi di dalam pasar. Ia tidak menceritakan peristiwa itu kepada suaminya karena merasa tidak enak, takut suaminya akan marah dan ia tahu bahwa mereka tidak mampu berbuat sesuatu terhadap kekurang ajaran seorang perwira seperti Bong-ciangkun.

“Apa yang harus kita lakukan? Ke mana kita harus mencari anak kita?" Dengan wajah pucat ibu yang kehilangan anaknya itu mengeluh.

Selagi ayah dan ibu ini kebingungan, seorang petani yang menjadi tetangga mereka tergopoh datang memberi tahu bahwa selagi bekerja di ladang, dia dihampiri seorang laki-laki tinggi kurus bermata sipit yang mengatakan bahwa kalau keluarga Gu Hok menghendaki anaknya kembali dengan selamat, mereka harus menyediakan uang tebusan seratus tail perak dan yang mengantar uang itu untuk menebus anaknya haruslah ibu anak itu sendiri. Tidak boleh dikawali orang dan tidak boleh diantarkan orang lain atau ditemani orang lain. Kalau melanggar, anak itu akan dibunuh! Uang itu harus diantar malam nanti di tanah kuburan yang berada di tepi kota, tempat yang amat sunyi!

Tentu saja suami isteri itu menjadi kebingungan.

"Celaka!" kata Gu Hok. "Orang miskin seperti kita mana mampu menyediakan uang seratus tail perak?"

Akan tetapi sambil menangis isterinya membujuk-bujuknya agar mengumpulkan uang dari mana pun juga. "Biar pun tidak cukup seratus tail, cari dan kumpulkanlah uang itu, aku akan memohon kepada mereka agar suka meringankan beban itu, dan kalau anak kita sudah dikembalikan, biarlah kita cari kekurangan itu sedapat kita."

Karena khawatir akan keselamatan anaknya. Gu Hok lalu mencari pinjaman ke sana sini dan akhirnya ia dapat mengumpulkan uang sebanyak dua puluh tail perak. Isterinya lalu membungkus uang itu dengan kain dan segera pergi meninggalkan rumah. Suaminya khawatir dan hendak menemaninya, akan tetapi isterinya melarang dengan keras.

"Suamiku, anak kita terancam nyawanya, kau jangan main-main," katanya. "Bukankah mereka itu hanya menginginkan aku sendiri yang mengantarkan uang? Tentu mereka curiga, takut jika engkau membawa kawan-kawan dan menggerebek. Biarlah aku yang mengantarkan dan aku akan mohon kasihan kepada mereka."

"Tapi, apakah tidak berbahaya kalau engkau pergi sendiri? Malam-malam begini ke kuburan yang begitu sunyi?" Suaminya meragu.

"Jangankan ke kuburan, biar pun ke neraka aku bersedia kalau untuk menyelamatkan anakku!"

Terpaksa Gu Hok membiarkan isterinya pergi sendiri dan dia menanti di rumah dengan hati tidak karuan rasanya. Melarang isterinya pergi, berarti dia menaruh nyawa anak tunggalnya dalam bahaya, sedangkan membiarkan isterinya pergi, membuat hatinya merasa khawatir dan tidak enak sekali.

Juga dia tak berani secara diam-diam membayangi isterinya karena dia mengerti bahwa penjahat-penjahat itu amat berbahaya dan tentu akan tahu kalau dia mengintai. Hal ini bukan hanya dapat membahayakan keselamatan anaknya yang sedang berada dalam cengkeraman penjahat, melainkan juga dapat membahayakan isterinya karena mereka merasa dikhianati.

Dengan perasaan seram ketika memasuki kuburan yang gelap itu, nyonya Gu Hok memberanikan hatinya demi anaknya. Dia menoleh ke kanan kiri di tempat yang amat sunyi itu. Tiba-tiba dia terkejut dan hampir menjerit ketika mendadak muncul sesosok bayangan orang tinggi kurus dari belakang sebuah batu kuburan. Jika saja ia tidak tahu sebelumnya bahwa tentu ada orangnya gerombolan penjahat yang menyambutnya, tentu ia sudah menjerit ketakutan dan menyangkanya setan.

"Apakah engkau nyonya Gu Hok?" tanya laki-laki tinggi kurus itu.

"Be... benar... aku ibu dari anakku Hong Beng... aku... aku mohon kepadamu, di mana anakku?"

"Engkau datang sendirian saja?" tanya suara itu dengan galak.

"Benar..."

"Membawa uang itu?"

"Ampunkan aku, kami tidak mampu mengumpulkan uang seratus tail dan hanya berhasil terkumpul dua puluh tail saja..."

"Hemm, mana bisa...?"

Tiba-tiba wanita itu menjatuhkan dirinya berlutut. "Ampunkan kami…, ampunkan anak kami. Aku mohon kepadamu, bebaskanlah anakku. Aku berjanji bahwa kekurangannya kuanggap hutang dan kelak akan kubayar dengan cicilan..."

"Wah, mana bisa?"

"Aku mohon kepadamu, kasihanilah kami..."

"Begini, nyonya. Kalau pembayarannya kurang, aku tidak dapat memutuskan. Engkau harus minta sendiri kepada pimpinan kami."

"Mana dia? Aku akan mohon kepadanya, dan mana anakku?"

"Anakmu dalam keadaan sehat, bersama pimpinan kami. Mari kita ke sana dan kau boleh bicara sendiri dengan dia dan mengambil anakmu.”

Tentu saja nyonya itu girang sekali. Dengan penuh harapan disertai kecemasan, ia pun mengikuti laki-laki tinggi kurus itu pergi ke sebuah rumah yang agak terpencil, sebuah rumah pondok kecil. Ia terus mengikuti ketika laki-laki tinggi kurus itu memasuki rumah dari pintu belakang dan hatinya gentar bukan main melihat belasan orang laki-laki yang bersenjata tajam berada di sekitar rumah pondok itu. Setahunya, pondok ini adalah rumah milik pembesar yang jarang dipakai, dan ia tidak mengerti mengapa ia dibawa ke pondok milik pembesar.

Dan ketika ia bersama orang tinggi kurus itu memasuki sebuah kamar yang besar, dan penerangan yang besar menerangi seluruh kamar itu, membuat ia dengan jelas dapat melihat laki-laki tinggi besar yang duduk di situ sambil menyeringai, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Laki-laki itu bukan lain adalah Bong-ciangkun, laki-laki muka hitam berperut gendut yang matanya besar itu, yang pagi tadi mengganggunya di tengah pasar!

"Ibuuu..."

"Hong Beng, anakku...!" Ibu itu berteriak girang melihat anaknya berada pula di sudut kamar.

Akan tetapi, ketika ia hendak lari menghampiri, pergelangan tangannya dicengkeram oleh si tinggi kurus.

"Jangan bergerak...!"

"Ibu...!" Hong Beng meloncat dan berlari menghampiri ibunya, merangkul ibunya dan si tinggi kurus tidak mampu mencegah ibu dan anak itu saling rangkul.

Wanita itu berlutut dan berangkulan dengan anaknya. Si ibu menangis akan tetapi Hong Beng tidak menangis, melainkan memandang ke arah perwira brewokan dan si tinggi kurus itu dengan sirar mata berapi-api.

"Kalian telah meculikku, sekarang membawa ibuku ke sini. Sebetulnya kalian ini orang-orang jahat mau apakah?"

Tadi ketika ibunya belum dibawa ke situ, Hong Beng memperlihatkan sikap takut-takut, akan tetapi kini melihat ibunya juga diculik, kemarahannya meluap dan dia melupakan rasa takutnya.

"Plakkk...!"

Sebuah tamparan dari si tinggi kurus membuat Hong Beng terpelanting dan ibunya menjerit.

"Anak lancang, apakah kau bosan hidup?" Si tinggi kurus membentak anak yang kini merangkak bangun dengan pipi kiri merah membiru dan agak membengkak itu.

Akan tetapi sebelum anak itu dapat bergerak, si tinggi kurus sudah meloncat dan sekali pegang sudah mencengkeram tengkuk anak itu sehingga tidak mampu bergerak lagi.

"Jangan... jangan pukul anakku... ahhh, jangan bunuh anakku... Ini, tai-ciangkun, aku sudah membawa uangnya, tetapi masih kurang... kami hanya mampu mengumpulkan dua puluh tail saja... ampunkanlah kami dan anakku, kekurangannya akan kucicil..."

Wanita itu bicara dengan air mata bercucuran dan mengeluarkan buntalan berisi uang dua puluh tail perak. Ia berlutut di depan kaki perwira Bong yang tersenyum menyeringai karena setelah berdekatan, ternyatalah olehnya bahwa wanita ini memang mulus dan manis sekali.

"Nyonya, kalau saja sikapmu di pasar tadi tidak kasar dan lunak seperti sekarang ini, tentu aku tidak perlu membawa anakmu ke sini. Sekarang, bagaimana? Engkau pilih anakmu mati di depanmu ataukah melayani aku dan menyenangkan hatiku?"

Perwira brewok itu mengajukan pertanyaan ini tanpa malu-malu, di depan Hong Beng yang belum mengerti apa yang dimaksudkan laki-laki buruk rupa itu dan di depan si tinggi kurus Coa Pit Hu yang hanya menyeringai. Kedua lengan Hong Beng masih ditelikungnya ke belakang sehingga anak ini tidak mampu meronta.

Dapat dibayangkan betapa kaget, takut dan bingungnya hati ibu Hong Beng mendengar ucapan itu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa ke situlah tujuan perwira ini menculik anaknya, yaitu untuk memaksanya melayani perjinahan dengan perwira itu. Tentu saja ia tidak sudi! Akan tetapi melihat puteranya dalam cengkeraman si tinggi kurus, ia tidak berani menolak secara kasar dan hendak mencari jalan lain.

"Tai-ciangkun, ampunkanlah aku, ampunkan anakku..." Dia berlutut sambil menangis. "Kami akan berusaha sedapat mungkin untuk memenuhi tuntutan seratus tail itu... asal anakku dibebaskan... Aku mau bekerja keras, dan aku mau melakukan apa saja demi keselamatan anakku... akan tetapi... jangan itu..."

"Setan!" Si perwira brewok membentak. Hatinya tersinggung sekali, harga dirinya runtuh mendengar ada wanita berani menolaknya mentah-mentah. "Coa-sicu, bunuh anak itu sekarang juga di depan matanya!"

Si perwira brewok mengedipkan matanya dan Coa Pit Hu terkekeh, lalu meloloskan sebatang golok besar yang tajam mengkilat. Golok itu ditempelkannya ke leher Hong Beng. Melihat ini, tentu saja ibu anak itu menjadi pucat, matanya terbelalak lebar dan saking takutnya dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan memegang lehernya sendiri seolah-olah dia dapat merasakan bagaimana leher anaknya itu dipenggal.

"Tidak... tidak... jangan...!"

"Mau kau melayaniku?" Kembali perwira itu membentak dengan senyum mengejek.

Ibu muda itu mengangguk-angguk, namun matanya masih terus memandang anaknya sambil bercucuran air mata. Ia tak mampu mengeluarkan suara, tetapi dalam keadaan seperti itu, ia tak dapat memilih lain. Yang terpenting baginya adalah keselamatan anak tunggalnya. Biar harus mengorbankan nyawa sekali pun ia rela asal anaknya selamat.

"Ha-ha-ha!" Perwira itu tertawa penuh kemenangan. "Coa-sicu, jangan bunuh anak itu dan ajaklah keluar kamar."

Coa Pit Hu menyeringai dan memandang wanita itu. "Tapi... ciangkun berjanji akan memberi bagian kepadaku..."

"Ha-ha-ha, kita lihat saja nanti. Kalau aku suka, aku tidak akan membaginya kepada siapa pun juga dan engkau akan kuberi hadiah barang lain, akan tetapi kalau aku tidak suka, boleh saja kuberikan padamu!”

Coa Pit Hu tertawa dan menyeret Hong Beng keluar dari dalam kamar itu. Hong Beng berusaha meronta, tetapi karena kedua tangannya ditelikung ke belakang, tubuhnya tak dapat diputarnya dan dia hanya dapat memutar lehernya untuk memandang ibunya. Sebelum daun pintu ditutup oleh orang yang menyeretnya, dia melihat betapa perwira brewok itu menubruk dan merangkul ibunya, lalu ibunya yang lemas dan pucat serta bercucuran air mata itu dipondongnya ke arah pembaringan. Dia masih belum tahu apa yang terjadi, bahkan hatinya agak lega karena ibunya tidak dipukuli atau disiksa.

Dari dalam kamar itu tidak terdengar suara tangis sama sekali. Ibu Hong Beng tidak berani mengeluarkan rintihan atau tangisan karena maklum bahwa sekali saja perwira laknat ini memberi perintah, anaknya tentu akan dibunuh di luar kamar! Akan tetapi batinnya merintih dan tangis batinnya membubung tinggi ke angkasa, seperti jerit tangis wanita-wanita lain yang pernah menjadi korban perwira ini di dalam kamar itu.

Biar pun tidak terdengar suara apa pun di dalam kamar itu, Hong Beng yang berada di luar dan duduk di atas lantai, merasa tidak enak sekali hatinya. Ia tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi. Melihat betapa Coa Pit Hu, laki-laki tinggi kurus itu tersenyum-senyum sendiri, dia tidak dapat lagi menahan hatinya.

"Di mana ibuku? Apa yang terjadi dengan ibuku?"

Coa Pit Hu tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha, ibumu sedang bersenang-senang dengan Bong-ciangkun. Kau diam sajalah di sini dan jangan pergi kemana pun." Mengenangkan apa yang dilakukan pembesar itu terhadap si wanita mulus, Coa Pit Hu menjilat bibirnya. Dia hampir tidak sabar lagi menanti gilirannya. Waktu terasa seperti merayap perlahan sekali oleh pria ini.

Akhirnya, karena lelah menanti, Coa Pit Hu mengantuk di atas kursinya. Hong Beng sendiri tidak dapat tidur, hanya duduk bersandar dinding dengan hati diliputi kecemasan. Tengah malam telah lewat dan tiba-tiba terdengar bentakan Bong-ciangkun.

"Coa-sicu, masuklah!"

Coa Pit Hu yang sedang terkantuk-kantuk itu terkejut. akan tetapi tersenyum gembira dan dia pun membuka daun pintu.

"Nih, untukmu! Perempuan sialan, melayani seperti sepotong mayat saja!"

Hong Beng juga menjenguk dan karena daun pintu terbuka, dia dapat melihat ibunya didorong terhuyung dan disambut oleh Coa Pit Hu dengan rangkulan. Ibunya berwajah pucat dan menangis, pakaiannya tidak karuan. Akan tetapi daun pintu sudah ditutup lagi. Dia hanya mendengar suara tangis ibunya diseling suara ketawa Coa Pit Hu dan Bong-ciangkun.

Melihat kesempatan baik ini, Hong Beng lalu melarikan diri keluar dari tempat itu. Di pintu gerbang depan terdapat prajurit-prajurit yang berjaga, akan tetapi karena dari dalam tidak terdengar perintah apa-apa, mereka mengira bahwa anak itu memang dilepaskan oleh Bong-ciangkun dan mereka pun hanya memandang sambil tertawa melihat anak itu berlari keluar sambil menangis.

Hong Beng terus berlari menuju pulang. Ayahnya terkejut bukan main ketika melihat puteranya memasuki rumah sambil menangis. Ada rasa girang melihat puteranya dalam keadaan selamat, akan tetapi melihat anak itu menangis dan pulang tanpa ibunya, dia terkejut.

"Hong Beng...!"

"Ayah... ayah...!" Anak itu menubruk ayahnya dan menangis.

"Kenapa, Hong Beng? Kenapa? Mana ibumu...?" Hati Gu Hok merasa tidak enak sekali.

"Ibu... tolonglah ibu, ayah Ibu... ibu ditahan oleh Bong-ciangkun!"

"Ehh? Bong-ciangkun? Kenapa...?"

Tentu saja Gu Hok menjadi bingung karena sama sekali tidak pernah mengira bahwa hilangnya puteranya itu adalah akibat perbuatan seorang pembesar yang berpengaruh itu. Siapa yang tidak mengenal Bong-ciangkun, komandan dari pasukan keamanan kota Siang-nam, yang seolah-olah menjadi raja kecil itu?

"Aku... aku ditangkap orang-orang Bong-ciangkun dan ditahan di sana. Malam ini ibu datang bersama penjahat tinggi kurus, lalu ibu ditahan di dalam kamar Bong-ciangkun... dan kulihat... ibu setengah telanjang, ibu menangis dan aku lalu lari..."

"Keparat... !" Gu Hok tentu saja sudah dapat menduga apa yang telah terjadi. Agaknya Bong-ciangkun yang mengatur semua itu untuk memaksa dan menggagahi isterinya!

Tukang kayu itu marah sekali dan lupa siapa adanya Bong-ciangkun. Dia mengambil sebuah kapak besar yang biasa untuk menebang pohon, lalu berlari keluar.

"Ayah...!" Hong Beng berteriak dan mengejar ayahnya.

Ayah dan anak berlarian menuju ke gedung keluarga Bong-ciangkun. Karena hari sudah lewat tengah malam, keadaan sunyi sekali dan agaknya tidak ada seorang pun melihat ayah dan anak ini berlari-larian. Akan tetapi, mereka berdua itu tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan hitam berkelebat cepat sekali membayangi mereka.

Setelah tiba di depan pintu gerbang gedung Bong-ciangkun, Gu Hok yang masih diikuti puteranya itu berlari masuk. Tentu saja para pengawal segera menghadangnya.

"Heii, berhenti! Mau apa kau?!" seorang pengawal membentak sambil melintangkan tombaknya.

"Minggir! Aku mau bertemu Bong-ciangkun!"

Gu Hok membentak dan mengobat-abitkan kapaknya yang besar dan tajam! Pengawal itu terkejut dan melompat-mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gu Hok untuk menerobos masuk diikuti Hong Beng.

"Heii! Berhenti kau...!"

Para pengawal itu mengejar ayah dan anak ini. Akan tetapi Gu Hok yang sudah nekat itu sudah tiba di depan pintu kamar Bong-ciangkun atas petunjuk anaknya dan segera dia mengayun kapaknya menjebol daun pintu. Dengan suara keras daun pintu itu jebol dihantam kapak dan terbuka. Orang-orang yang berada di dalam kamar itu terkejut dan apa yang dilihat oleh Gu Hok membuat tukang kayu ini menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak.

Isterinya menjerit, meronta dan terlepas dari rangkulan orang tinggi kurus itu, lalu lari ke arah suaminya dalam keadaan telanjang bulat! Ia menangis sesenggukan menjatuhkan dirinya berlutut di depan suami dan puteranya.

Melihat keadaan isterinya, Gu Hok marah bukan main dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah menerjang maju kearah Bong-ciangkun. Akan tetapi, dari samping si tinggi kurus itu menyambutnya dengan sebuah tendangan keras yang membuat tubuh Gu Hok terdorong mundur keluar dari dalam kamar itu. Sekali lagi Coa Pit Hu menendang dan kini tubuh Hong Beng terlempar keluar.

"Ha-ha-ha, bunuh para pengacau itu!" kata Bong-ciangkun kepada para pengawalnya.

Isteri Gu Hok menjerit melihat suami dan anaknya ditendang keluar, dan ia pun bangkit, lupa bahwa dia berada dalam keadaan telanjang. Bagaikan seekor harimau betina yang marah, dia menerjang keluar pula untuk melindungi suami dan anaknya. Akan tetapi, seorang pengawal menggerakkan tombaknya.

"Ceppp...!"

Tombak itu menusuk perut menembus punggung wanita yang mengeluarkan suara jerit mengerikan. Tombak dicabut dan wanita itu pun roboh terkulai. Melihat hal ini, Gu Hok meloncat bangun.

"Isteriku...!" teriaknya dan dia pun mengamuk dengan kapaknya.

Akan tetapi karena dia hanya seorang tukang kayu biasa saja yang tidak pandai ilmu silat, hanya memiliki tenaga besar saja, mana mungkin dapat melawan pengeroyokan para pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat dan mereka itu memegang senjata tombak yang panjang? Dalam beberapa gebrakan saja, tubuhnya tertembus tombak pula dan dia roboh tewas di dekat mayat isterinya.

"Ayahhh...! Ibuuuu... !" Hong Beng menjerit dan menangis.

Anak ini lalu nekat menyerang para pengawal itu dengan kedua tangan dan kakinya, memukul menendang asal kena saja. Para pengawal itu tertawa, tidak mempergunakan senjata lagi melainkan menghadapi amukan anak kecil itu dengan tamparan-tamparan yang membuat tubuh Hong Beng terpelanting dan terlempar ke sana-sini. Namun anak itu bangkit lagi, menyerang lagi untuk kemudian disambut tamparan yang membuatnya terpelanting lagi. Ia dipermainkan oleh para pengawal seperti seekor tikus dipermainkan beberapa ekor kucing saja.

Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu kini sudah keluar dari dalam kamar. Melihat betapa belasan orang pengawal itu mempermainkan anak laki-laki yang mengamuk seperti gila dan nekat itu, Bong-ciangkun berseru, "Bunuh saja dia dan lempar tiga mayat mereka!"

Seorang pengawal yang berkumis tebal dan berwatak kejam lalu mengangkat goloknya dan membacok ke arah leher Hong Beng yang kembali telah terpelanting ke atas lantai.

"Singgg... tranggg... aughhhh...!"

Bukan leher Hong Beng yang terpental putus, tapi golok itu terpental dan pemegangnya roboh dengan kepala retak dan tewas seketika. Semua orang terkejut bukan main dan ketika mereka memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang amat gagah perkasa. Laki-laki inilah bayangan yang tadi membayangi Gu Hok dan puteranya.

Dia seorang pria berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bentuk mukanya bulat dengan sepasang matanya yang mencorong tajam. Wajah yang tampan itu berkulit agak gelap. Pakaiannya serba indah dan rapi, rambutnya tersisir rapi pula, seorang laki-laki pesolek.

Ketika laki-laki ini memandang ke arah dua buah mayat suami isteri Gu Hok, dan melihat keadaan mayat wanita itu yang telanjang bulat, alisnya berkerut dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya berkilat. Pandang mata mencorong itu kini ditujukan kepada Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang berdiri di depan pintu kamar, kemudian beralih kepada Hong Beng yang sudah bangkit lagi dengan muka matang biru dan hidung berdarah.

"Anak baik, apakah mereka itu ayah ibumu?"

"Benar, dan mereka... mereka dibunuh... dua orang jahanam itu dan anak buahnya."

Laki-laki gagah itu mengangguk-angguk. "Tidak aneh kalau terjadi pemberontakan di mana-mana. Pejahat-pejahat pemerintah bertindak sewenang-wenang dan berkomplot dengan para penjahat. Manusia-manusia macam ini memang harus dibasmi!"

Coa Pit Hu sudah dapat menenangkan hatinya yang terkejut melihat munculnya orang yang membunuh seorang pengawal itu. Dia menudingkan telunjuknya ke arah muka laki-laki itu dan membentak, "Kurang ajar! Siapakah engkau berani mengantar nyawa di sini? Hayo mengaku sebelum kupenggal kepalamu!"

Laki-laki itu tersenyum, senyumnya dingin sekali. "Tidak ada gunanya engkau mengenal namaku karena kalian semua akan mati malam ini!"

"Kurang ajar!" Coa Pit Hu marah sekali dan dia sudah mencabut sebatang golok lalu menyerang dengan amat ganasnya. Agaknya dia hendak memenuhi ancamannya tadi, yaitu hendak memenggal kepala orang yang berani menentang dia dan Bong-ciangkun.

"Singgg...!"

Goloknya menyambar ke leher laki-laki gagah itu. Laki-laki itu hanya menggerakkan tangan, dan telapak tangannya sudah menampar dada Coa Pit Hu sebelah kanan.

"Plakkk!"

Coa Pit Hu mengeluarkan teriakan panjang. Tubuhnya terpelanting, roboh dan matanya mendelik. Dari mulut dan hidungnya mengalir darah dan dia sudah tidak berkutik lagi karena telah tewas seketika. Jantungnya pecah karena getaran pukulan telapak tangan yang amat dahsyat itu!

Melihat ini, Bong-ciangkun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Akan tetapi dia masih ingat untuk memberi aba-aba, "Serbu dan bunuh penjahat ini!" Lalu dia sendiri membalikkan tubuhnya hendak lari bersembunyi ke dalam rumahnya.

"Hemm, pembesar lalim! Jangan harap dapat lolos dari tanganku!" Laki-laki gagah itu menyambar golok yang tadi lepas dari tangan Coa Pit Hu, dan sekali menyambit, golok itu terbang meluncur.

"Cappp...!"

Pembesar Bong-ciangkun menjerit pada saat golok itu menembus punggungnya sampai dada. Dia pun roboh tersungkur, menelungkup di atas lantai. Darah membanjir keluar dari punggung dan dadanya, dan tubuhnya hanya sebentar saja berkelojotan, lalu tak bergerak lagi.

Belasan, orang pengawal menjadi terkejut dan mereka pun lalu mengeroyok kalang kabut. Akan tetapi, tubuh pria yang gagah itu berkelebatan ke sana-sini dan setiap kali tangannya bergerak tentu seorang pengeroyok roboh dan tewas. Sebentar saja sepuluh orang telah roboh. Sisanya hendak lari, tetapi laki-laki itu tidak mau memberi ampun dan dengan lemparan-lemparan tombak atau golok yang berserakan, dia lalu merobohkan mereka yang melarikan diri sehingga tak seorang pun ketinggalan! Tempat itu berubah menjadi tempat mengerikan di mana mayat berserakan dan lantai banjir darah!

Hong Beng sendiri yang merasa sakit hati dan mendendam terhadap Bong-ciangkun, sekarang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan pembunuhan yang lebih tepat dinamakan pembantaian yang dilakukan laki-laki gagah perkasa itu.

Laki-laki itu kemudian berkata kepada Hong Beng yang berdiri di sudut dengan tubuh menggigil dan muka pucat. "Anak baik, mari kita pergi dari sini."

"Tapi... tapi... aku ingin mengubur jenazah ayah ibuku..."

Laki-laki itu menarik napas panjang. "Hemm, baiklah!"

Dia kemudian mengambil sebatang golok dan dengan golok itu dia memenggal leher Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu. Rambut dari dua buah kepala itu dia ikat menjadi satu, lalu dia menyerahkan dua kepala itu kepada Hong Beng. "Kau bawalah dua kepala ini dan aku akan membawa jenazah ayah ibumu."

Tentu saja Hong Beng terbelalak ngeri. Melihat orang mati saja belum pernah, sekarang setelah menyaksikan belasan orang berserakan menjadi mayat dalam keadaan mandi darah, dia harus membawa dua buah kepala orang! Akan tetapi, karena mendengar bahwa laki-laki perkasa itu akan membawakan dua jenazah ayah ibunya, terpaksa dengan gemetaran dia menerima dua kepala itu, dipegang pada rambut yang diikat menjadi satu dan dibawanya kepala yang lehernya masih meneteskan darah itu.

Laki-laki itu merenggut beberapa helai tirai sutera dari tempat itu, menyelimuti tubuh isteri Gu Hok yang telanjang, kemudian dia mengambil dua mayat itu dengan ringan dan mudah.

"Mari kita pergi," katanya lagi dan dia membawa dua mayat itu berjalan keluar, diikuti oleh Hong Beng yang membawa dua buah kepala orang!

Setelah kedua orang ini pergi, barulah para pelayan rumah pondok yang biasanya digunakan Bong-ciangkun untuk menjagal wanita-wanita yang menjadi korbannya itu berani keluar. Melihat betapa mayat-mayat berserakan, di antaranya adalah mayat Bong-ciangkun dan Coa Pit Hu yang sudah tidak berkepala lagi, tentu saja para pelayan itu menjerit-jerit ketakutan, bahkan ada yang roboh pingsan. Tempat itu segera ramai di datangi orang dan gegerlah kota Siang-nam.

Pasukan keamanan datang dan para pembesar di kota ribut-ribut mencari siapa yang telah membunuh Bong-ciangkun dan belasan orang itu. Akan tetapi semua orang yang menjadi saksi telah tewas, maka sukarlah bagi mereka untuk mencari keterangan siapa pembunuhnya.

Kegemparan itu makin menghebat ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang berdatangan ke pasar menjadi terkejut melihat adanya dua buah kepala digantung di atas pintu gerbang pasar. Itulah kepala Bong-cioangkun dan Coa Pit Hu! Dan di atas tembok pintu gerbang itu terdapat tulisannya, tulisan yang bergaya kuat dan berbentuk indah, ditulis dengan darah yang telah menghitam.

BONG CIANGKUN BERSEKONGKOL DENGAN PENJAHAT-PENJAHAT MENINDAS RAKYAT. INILAH HUKUMANNYA AGAR MENJADI CONTOH BAGI PARA PEJABAT LAIN’.

Tentu saja kota Siang-nam menjadi gempar dan semua orang menduga-duga siapa gerangan orang yang begitu berani membunuh seorang komandan pasukan keamanan, bahkan membunuh Coa Pit Hu yang terkenal sebagai pimpinan penjahat di sekitar tempat itu, bahkan menggantungkan kepala mereka di atas pintu gerbang pasar tanpa diketahui seorang pun. Dengan hati kecut dan ketakutan, kepala daerah memerintahkan pasukan keamanan untuk menjaga rumahnya dan sebagian ditugaskan untuk mencari pembunuh itu.

Sementara itu, si pembunuh pada keesokan harinya telah berjalan seenaknya di luar kota Yang-nam sambil menggandeng tangan Hong Beng. Dia telah membantu anak itu mengubur jenazah ayah ibu anak itu di luar kota Siang-nam, di sebuah lereng bukit yang sunyi, kemudian mengajak anak itu pergi dari situ.

Siapakah laki-laki gagah perkasa itu? Kalau saja ada yang mengenalnya, kegemparan di Siang-nam tentu akan bertambah dengan rasa takut dan kagum. Laki-laki itu adalah seorang pendekar sakti yang beberapa tahun yang lalu namanya telah menggemparkan dunia kang-ouw. Dia bernama Suma Ciang Bun.

Para pembaca kisah-kisah yang menyangkut keluarga Pulau Es tentu sudah mengenal nama ini. Suma Ciang Bun adalah cucu mendiang Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, majikan Pulau Es. Ayahnya, bernama Suma Kian Lee, putera majikan Pulau Es itu, seorang yang telah mewarisi ilmu-ilmu Pulau Es, dan ibunya bernama Kim Hwee Li, juga seorang wanita yang sakti. Ayah ibunya kini sudah tua, sudah sekitar enam puluhan tahun usianya. Mereka bertempat tinggal di Thian-cin, sebuah kota di sebelah selatan kota raja.

Suma Ciang Bun yang kini berusia tiga puluh tahun ini belum menikah. Semenjak muda remaja, ia memiliki suatu kelainan yang pernah menyiksa batinnya dengan hebat sekali. Kelainan ini amat aneh, akan tetapi banyak dialami pria di dunia ini, yaitu bahwa gairah kelaminnya tidak seperti pria umumnya, tidak ditujukan terhadap wanita tetapi terhadap sejenis kelaminnya sendiri. Gairahnya timbul bukan terhadap wanita, tapi terhadap pria! Tentu saja kelainan itu menimbulkan peristiwa-peristiwa yang aneh dan menyeretnya ke lembah kesengsaraan batin yang hebat.

Tubuhnya saja pria, akan tetapi seleranya seperti wanita. Maka, pernah beberapa kali dia patah hati, mencinta seorang pria, bahkan pernah dia tergila-gila seorang pria, yang ternyata adalah seorang wanita yang menyamar sebagai pria. Hal ini menghancurkan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia benar-benar mencinta orang itu, tak peduli orang itu pria mau pun wanita. Namun segalanya sudah terlambat. Orang itu telah pergi meninggalkannya karena merasa dihina dan disakitkan hatinya. Hal ini dapat dibaca dalam ‘KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES’.

Akan tetapi, pengalaman pahit yang telah bertubi-tubi dirasakannya, kemudian nasehat-nasehat terutama dari adik misannya sendiri yang bernama Suma Ceng Liong, dan dari kakak perempuannya yang bernama Suma Hui, dia akhirnya dapat mengetahui dirinya sendiri dan dapat melihat bahwa tak mungkin dia menuruti seleranya yang tidak lumrah itu.

Suma Ciang Bun sekarang telah sembuh! Tidak lagi timbul gairah birahinya melihat pria tampan, meski sampai kini dia belum juga dapat menimbulkan gairah birahinya terhadap wanita. Biar pun sudah sembuh, namun Ciang Bun masih belum dapat melenyapkan sifat-sifatnya yang seperti wanita, yaitu pesolek, rapi dan suka akan kelembutan!

Sudah bertahun-tahun lamanya Suma Ciang Bun meninggalkan rumah orang tuanya di Thian-cin, hidup sebagai seorang pendekar perantau yang tak tentu tempat tinggalnya. Di mana pun dia berada, pendekar ini selalu mengulurkan tangannya untuk menentang yang jahat dan membela kebenaran dengan gigih. Berkat ilmu kepandaiannya yang hebat, yang membuat dia dapat disebut orang sakti, maka jarang dia menemui lawan yang mampu menandinginya, dan karenanya, namanya amat disegani oleh kawan dan ditakuti oleh lawan.

Banyak orang pernah melihat sepak terjangnya yang amat hebat. Akan tetapi karena dia tidak pernah meninggalkan nama, maka orang-orang yang belum pernah melihatnya dan hanya mendengar saja penuturan orang, tidak dapat menduga siapa sebenarnya pendekar sakti itu. Sepasang pedang dengan ronce-ronce biru selalu tersembunyi di balik jubahnya, dan siang-kiam (sepasang pedang) ini jarang sekali dipergunakannya, karena dengan kaki tangannya saja dia sudah sukar dikalahkan lawan.

Setelah matahari naik tinggi, Suma Ciang Bun mengajak Hong Beng berhenti mengaso di bawah sebatang pohon besar di tepi jalan yang sunyi. Anak itu sejak pagi tadi, sejak meninggalkan makam ayah ibunya, tidak pernah bicara, hanya menurut saja ketika tangannya digandeng oleh Ciang Bun dan diajak pergi. Tak pernah bertanya hendak ke mana, tak pernah mengeluh meski keringatnya sudah membasahi seluruh pakaiannya dan nampaknya lelah sekali.

Maklumlah, semalam suntuk anak itu tidak pernah tidur, apa lagi mengalami hal-hal yang amat menegangkan dan menekan batinnya. Melihat betapa dirinya dikurung, lalu munculnya ibunya, kemudian melihat betapa ayah ibunya tewas di depan matanya, dan dia sendiri dihajar babak belur dan bengkak-bengkak oleh para pengawal yang terdiri dari anak buah penjahat itu, kemudian melihat pula betapa semua orang itu dibantai oleh penolongnya ini. Ditambah lagi sejak kemarin dia tidak mau makan. Perutnya lapar, badannya sakit-sakit, hatinya berduka, akan tetapi anak ini sama sekali tidak pernah mengeluh.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga