SULING NAGA : JILID-47


Batin menjadi keruh karena pikiran selalu sibuk berceloteh. Sayang bahwa kita selalu menjejali pikiran kita dengan segala macam persoalan sehingga pikiran tiada hentinya bekerja keras dan sibuk, oleh karena itu, batin tak pernah menjadi bening

.

Sim Houw dan Bi Lan yang baru saja mendapat sinar cinta, untuk sejenak pikiran mereka tidak sibuk dan batin mereka tidak menjadi keruh. Akan tetapi hanya sebentar saja karena setelah mereka selesai makan dan sekarang duduk bersila menghadapi api unggun, pikiran mereka mulai bekerja lagi mengingat-ingat akan hal yang telah lalu.

"Sungguh kita beruntung sekali bahwa keadaan berakhir dengan baik di Istana Gurun Pasir," kata Sim Houw. "Kalau aku teringat betapa tadinya subo-mu sudah marah sekali kepadamu, dan betapa suhu dan subo-mu agaknya sudah tidak percaya lagi kepadamu, sungguh aku masih merasa ngeri. Kalau mereka menghendaki, tidak akan sukar bagi mereka untuk menghukum kita, bahkan membunuh kita sekali pun."

"Tetapi aku tetap percaya akan kebijaksanaan mereka, koko. Yang menggemaskan adalah orang yang memburukkan namaku di depan suhu dan subo, dan agaknya aku tahu siapa orangnya!"

Sim Houw memandang wajah kekasihnya. Dia pun dapat menduga siapa orangnya, akan tetapi dia tidak mau mendahului Bi Lan. "Siapakah dia, Lan-moi?"

"Siapa lagi kalau bukan Gu Hong Beng?"

Sim Houw pura-pura kaget. "Kenapa engkau menyangka dia?"

"Di antara tuduhan-tuduhan yang dilontarkan subo kepadaku, terdapat tuduhan bahwa kita telah melakukan perbuatan yang melanggar susila. Siapa lagi orangnya yang akan menyangka kita telah berbuat demikian kecuali Gu Hong Beng yang dipenuhi perasaan cemburu dan iri itu? Dia bersama gurunya yang mendesak dan menyerang kita, dan dialah yang juga menuduh kita secara membuta membela suci Ciong Siu Kwi. Maka aku yakin tentulah dia yang telah memburukkan namaku di depan suhu dan subo."

Sim Houw menarik napas panjang, maklum mengapa kini pemuda yang gagah perkasa itu, murid dari seorang tokoh keluarga Pulau Es, yang tadinya merupakan seorang sahabat yang setia dan baik dari Bi Lan, kini berubah memburukkan nama Bi Lan. Dia tahu bahwa pemuda itu jatuh cinta kepada Bi Lan, namun ditolak oleh kekasihnya ini, dan agaknya Hong Beng merasa iri hati dan cemburu. Diam-diam dia merasa kasihan karena dia maklum bahwa orang pertama yang tersiksa oleh cemburu bukan lain adalah diri orang yang cemburu itu sendiri.

"Sudahlah, biarkan saja jika memang benar dia yang memburukkan namamu. Mungkin memang dia menyangka kita membela suci-mu secara membuta, mungkin dia mengira bahwa kita telah menyeleweng dari kebenaran. Yang penting, kita yakin benar bahwa kita tidak menyeleweng, bahwa kita telah berbuat benar. Kini kita harus mencurahkan segala perhatian kita untuk mencari adik Kao Hong Li. Dan sesuai dengan pesan suhu dan subo-mu, sebaiknya kita langsung menuju ke kota Pao-teng untuk mengunjungi keluarga locianpwe Kao Cin Liong."

Bi Lan menyatakan persetujuannya dan mereka pun tidak lagi membicarakan tentang Hong Beng.....

********************

Dengan hati berat oleh kegelisahan dan kedukaan, suami isteri pendekar Kao Cin Liong dan Suma Hui terpaksa meninggalkan Tibet dan daerah Himalaya. Mereka telah gagal menemukan puteri mereka walau pun mereka telah berhasil menjumpai pertapa yang berjuluk Ang I Lama.

Mereka masih menggunakan waktu berbulan-bulan untuk terus melakukan pencarian di daerah itu, tetapi tak pernah dapat menemukan jejak puteri mereka. Jejak satu-satunya hanyalah bahwa puteri mereka diculik oleh seorang berjuluk Ang I Lama dan ternyata kakek pertapa itu tidak menyembunyikan puteri mereka! Ke mana lagi mereka harus mencari?

Akhirnya Kao Cin Liong berhasil membujuk isterinya yang kini menjadi kurus dan pucat karena selalu merasa gelisah dan berduka memikirkan puteri mereka yang hilang, untuk pulang saja ke Pao-teng.

"Jelas bahwa tidak ada jejaknya di barat ini," katanya kepada isterinya. "Sebaiknya kita pulang saja karena siapa tahu kalau adik Suma Ciang Bun dapat menemukan jejak di sana."

Mereka pun melakukan perjalanan pulang ke Pao-teng dengan hati yang berat. Mereka merasa lelah lahir batin ketika tiba kembali di rumah mereka. Dan kedukaan mereka ditambah lagi oleh kekecewaan dikarenakan Suma Ciang Bun yang telah lama menanti mereka di situ mengabarkan bahwa dia pun gagal dalam penyelidikannya.

"Aku telah melakukan penyelidikan ke delapan penjuru berpusat dari Pao-teng, akan tetapi tidak seorang pun pernah melihat kakek berjubah merah membawa seorang anak perempuan tiga belas tahun."

"Agaknya, penculik itu dapat membawa Hong Li keluar dari Pao-teng dan pergi jauh tanpa ada yang melihatnya. Orang itu tentu lihai sekali." Suma Ciang Bun menerangkan ketika begitu tiba di rumah dan bertemu dengannya, enci-nya, Suma Hui, mengajukan pertanyaan padanya. "Dan bagaimana dengan hasil penyelidikan kalian?"

Suma Hui lemas tidak mampu bercerita, dan Kao Cin Liong yang menceritakan kepada adik isterinya itu tentang kegagalan mereka menemukan Hong Li jauh di daerah Tibet dan Himalaya sana. Suma Ciang Bun ikut merasa kecewa dan berduka, dia mengepal tinju.

"Keparat manakah yang telah berani melakukan penculikan ini? Aku hanya menanti kembalinya Hong Beng dari Gurun Pasir, dan aku akan mengajaknya untuk mencari lagi, entah ke mana."

"Muridmu itu belum kembali?" Suma Hui kini ikut bicara. "Kenapa demikian lamanya? Jangan-jangan dia tidak berhasil menemukan Istana Gurun Pasir."

"Tidak mungkin. Sebelum berangkat sudah kuberi gambaran yang jelas tentang letak tempat itu dan jalan mana saja yang harus diambil untuk dapat mencapainya dengan mudah," kata Kao Cin Liong.

"Kalau begitu, aku khawatir kalau terjadi sesuatu dengannya," kata Suma Ciang Bun. "Telah terlalu lama aku menanti kalian kembali di sini, dan sekarang aku akan menyusul Hong Beng dan bersama dia mencari keponakanku itu sampai dapat."

Suami isteri itu tidak mencegah, bahkan mereka tidak mampu mengeluarkan pendapat. Dalam keadaan gelisah dan duka, mereka seperti kehabisan akal, tidak tahu apa yang harus mereka perbuat. Tidak tahu harus ke mana mencari puteri mereka, kepada siapa harus bertanya atau minta bantuan.

Dalam keadaan duka dan putus asa, orang berada dalam keadaan kosong atau hening. Sayang bahwa keheningan itu merupakan keheningan di luar kesadaran, keheningan sebagai akibat terseret oleh duka, keheningan yang lumpuh. Pada hal, justru kita amat membutuhkan keheningan, karena dari sumber atau dasar keheningan dan kekosongan inilah kita dapat memandang dengan penuh kewaspadaan!

Batin kita tidak pernah mengendap, tidak pernah kosong atau hening, selalu penuh dengan prasangka, pendapat dari keinginan. Karena itu, panca indera kita tidak pernah bekerja dengan sempurna dan hidup, melainkan hanya bergerak karena dorongan batin yang sarat oleh beban itulah. Kalau batin sudah berprasangka, mana mungkin pandang mata kita dapat memandang dengan waspada dan awas?

Semua panca indera kehilangan kepekaannya sebab selalu diselubungi oleh prasangka, pendapat, atau keinginan. Kita tidak lagi melihat kenyataan apa yang ada, melainkan selalu ingin melihat sesuatu seperti yang kita kehendaki, yang kita inginkan sehingga segala kenyataan, jika tidak cocok dengan keinginan kita, nampak buruk, bahkan amat mengganggu mata.

Demikian pula dengan pendengaran, penciuman, perasaan dan semua alat tubuh yang sudah menjadi budak dari pada nafsu kita. Hilanglah semua ketajaman dan kepekaan yang pernah kita miliki ketika kita masih kanak-kanak, ketika pikiran kita belum sarat oleh beban, ketika ‘aku’ kita belum membesar dan merajalela menguasai seluruh diri lahir batin.

Lihatlah mata orang yang baru saja bangun tidur, ketika pikirannya masih mengendap, akan nampak sinar mata yang bening dan cemerlang. Tapi, begitu batinnya disibukkan kembali oleh isi pikiran yang bermacam-macam, lenyap pula keheningan mata, kembali menjadi muram dan hampa, hanya dipermainkan rasa suka duka, puas kecewa. Hanya melihat benda-benda yang disuka atau tak disuka, mendengarkan dengan dasar senang dan benci. Mata seolah-olah menjadi buta dan tidak pernah melihat segala sesuatu seperti keadaan yang sebenarnya, seperti apa adanya!

Ada pula orang yang ingin mempertajam kembali panca indera, melahirkan kembali kepekaannya dengan jalan membius diri dengan candu dan obat-obat pembius lainnya. Memang, untuk sesaat badan akan menjadi kosong dan bebas, dan panca indera akan bebas pula sehingga kita akan dapat menikmati keadaan apa adanya. Akan nampak betapa indahnya setangkai bunga, sehelai daun, sekelompok awan, atau wajah seorang manusia, indah tanpa batasan antara bagus dan jelek, indah yang bukan berarti bagus. Telinga akan menangkap suara-suara yang luar biasa indahnya, bukan bagus tetapi wajar seperti apa adanya dengan segala nada dan iramanya, dengan segala gaungnya, gemanya, antara kosong dan isi dari serangkaian suara itu.

Tapi, semua itu hanya ditimbulkan oleh keadaan kosong atau hening yang dipaksakan, yang timbul karena pembiusan! Seperti orang minum anggur, baru menjilat percikannya saja. Dan akibatnya, orang akan menjadi kecanduan, orang akan selalu lari kembali kepada obat bius untuk bisa memasuki alam yang indah itu lagi! Dan jika sudah begitu, maka hal itu menjadi kesenangan. Seperti biasanya, untuk mengejar kesenangan orang rela berkorban apa pun juga, dan dalam hal ini, mengorbankan tubuhnya yang menjadi rusak oleh pengaruh obat bius.

Dapatkah kita memasuki keindahan itu tanpa bantuan obat bius? Pertanyaan ini berarti, dapatkah kita membersihkan semua debu yang mengotorkan batin kita? Dapatkah kita membuang semua beban pikiran kita? Dapatkah kita membiarkan pikiran hening dan kosong tanpa mengisinya dengan segala kesibukan yang bukan lain adalah si aku yang ingin segala itu?

Dapat atau tidaknya, mari kita MENGAMATI saja. Mengamati diri sendiri, pikiran sendiri, batin sendiri. Kita amati tiap saat tanpa menentangnya, tanpa berusaha menenangkan atau mengosongkannya, sebab jika ada usaha mengosongkannya, berarti TIDAK KOSONG. Kalau kita berusaha membuatnya hening, itu berarti bahwa batin kita tidak hening lagi karena terisi kesibukan INGIN HENING.

Dapatkah kita mengamati saja, tanpa pro dan kontra, seperti nonton sandiwara yang terjadi di dalam pikiran kita, tanpa komentar? Yang ada hanyalah pengamatan, bukan ‘aku’ yang mengamati, karena kalau aku yang mengamati, tentu karena aku ingin batin ini hening, aku ingin begini dan begitu. Jadi, yang ada hanya pengamatan, yang ada hanya kewaspadaan

.

Kao Cin Liong dan isterinya adalah orang-orang gagah perkasa, pendekar-pendekar budiman, namun mereka juga manusia-manusia biasa dengan segala kelemahannya. Mereka tidak mampu menghindarkan diri dari pada ikatan, dan ikatan dengan puteri merekalah yang membuat mereka kehilangan akal, membuat mereka berduka sekali ketika puteri mereka itu dipisahkan dari mereka.

Mereka kehilangan akal, tak sedap makan tak nyenyak tidur, selalu gelisah dan akhirnya keduanya bersepakat untuk meninggalkan rumah lagi, pergi mengunjungi Suma Ceng Liong di dusun Hong-cun, di luar kota Cin-an. Kepergian mereka mengunjungi Suma Ceng Liong itu selain untuk menghibur diri, juga untuk mengabarkan tentang kehilangan puteri mereka agar Suma Ceng Liong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu dapat membantu mereka mencari Hong Li, atau setidaknya minta pendapatnya.....

********************

Gu Hong Beng melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat. Ia telah meninggalkan gurun pasir dan kini tiba di luar sebuah dusun yang letaknya di sebelah utara Tembok Besar. Tidak jauh dari tembok itu karena tadi, ketika dia menuruni sebuah bukit, dia telah melihat tembok itu melingkar-lingkar seperti seekor naga di antara pegunungan di selatan.

Melihat sebuah dusun yang berada di tempat terpencil ini, hati Hong Beng menjadi amat tertarik. Siapa tahu dia bisa mendapat arak atau makanan di dalam dusun itu, pikirnya. Amat menjemukan setiap hari makan bekal makanannya, yaitu roti kering dan daging kering. Juga dia ingin sekali minum arak setelah berpekan-pekan hanya minum air saja.

Selagi dia hendak memasuki dusun itu melalui pintu gerbangnya yang rusak tiba-tiba dia mendengar teriakan suara wanita. Hong Beng melihat seorang laki-laki bangsa Mongol sedang memondong tubuh seorang gadis Mongol dan agaknya gadis inilah yang tadi mengeluarkan teriakan.

Hanya teriakan pendek karena kini gadis itu tidak dapat berteriak lagi. Sebuah tangan pemondongnya menutup mulutnya dan biar pun gadis itu meronta-ronta, namun sama sekali ia tidak mampu melepaskan diri dari pelukan laki-laki yang bertubuh besar itu, bagaikan seekor kijang dicengkeram seekor harimau yang buas. Orang Mongol itu lari keluar dari dusun, langkahnya lebar dan agaknya dia telah menculik gadis itu tanpa ada yang mengetahuinya.

Biar pun Hong Beng tidak tahu apa yang telah terjadi, namun melihat seorang gadis dilarikan seorang pria secara paksa, jiwa pendekarnya bergejolak dan dia pun cepat meloncat dan menghadang.

"Berhenti!" bentaknya dalam Bahasa Mongol yang sudah dipelajarinya dengan baik.

Orang Mongol itu memandang dengan mata merah dan beringas. Apa lagi ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya ialah seorang pemuda Bangsa Han, bangsa yang dianggapnya sebagai musuh besar semenjak bangsanya kehilangan kekuasaannya di selatan, setelah penjajahan Mongol berakhir.

"Keparat orang Han, minggir kau dan jangan mencampuri urusanku!" bentaknya dalam Bahasa Han yang cukup baik! Memang, Bangsa Mongol banyak yang pandai berbahasa Han, hal ini tidak mengherankan jika diingat bahwa mereka menjajah Tiongkok selama dua ratus tahun!

"Lepaskan gadis itu! Tak pantas seorang laki-laki memaksa seorang gadis yang lemah!" kata pula Hong Beng sambil mengamati orang Mongol itu.

Seorang pemuda yang usianya sekitar tiga puluh tahun, memiliki tubuh raksasa yang membayangkan kekuatan raksasa pula. Otot-otot menonjol keluar dan mengembang di bawah kulitnya yang kemerahan karena terbakar matahari. Dadanya bidang dan kedua lengannya yang berotot itu nampak mengandung tenaga luar biasa.

Hal ini mudah dilihat karena pemuda Mongol itu telah menanggalkan baju atasnya yang kini diikatkan di pinggangnya. Tubuhnya yang kokoh kuat itu penuh dengan keringat yang membuat kulit tubuhnya mengkilat. Wajahnya membayangkan kekerasan hati dan keberanian, namun matanya yang agak kemerahan itu memandang beringas dan liar, dan ada sesuatu yang tidak wajar pada pandang matanya itu.

Karena marah menghadapi Hong Beng, pemuda Mongol itu lupa akan gadis yang ada dalam pondongannya dan menjadi lengah. Tangannya yang menutup mulut gadis itu mengendur dan kesempatan ini dipergunakan oleh gadis itu untuk menggigit tangan itu.

"Ughhhh...!" Orang Mongol itu terkejut dan kesakitan.

Ia lalu melemparkan tubuh gadis itu ke atas tanah. Demikian kuat lemparannya hingga gadis itu terbanting dan bergulingan. Hong Beng cepat menangkap dan mengangkatnya bangun. Gadis itu sejenak merasa nanar, tetapi ketika melihat bahwa ia telah ditolong oleh seorang pemuda Han yang tampan, ia merasa lega dan berbisik.

"Dia... dia itu gila..." Setelah berkata demikian, gadis ini lalu melarikan diri secepatnya kembali ke dalam dusun.

Hong Beng melihat betapa gadis Mongol itu cantik dan manis sekali, akan tetapi dia pun terkejut mendengar bisikan itu. Kiranya orang Mongol seperti raksasa ini adalah seorang yang gila, dan hal ini memperbesar bahaya. Melawan seorang gila amat berbahaya, karena tentu saja seorang gila berada di luar kesadarannya, dapat menjadi kuat bukan main, dan juga nekat dan tidak mengenal takut.

Melihat gadis itu melarikan diri, orang Mongol itu berseru keras dan mengejar, akan tetapi Hong Beng sudah melompat di depannya dan menghadang.

"Engkau tidak boleh kejar gadis itu!" kata Hong Beng.

Orang itu berhenti, menatap wajah Hong Beng dengan matanya yang merah kemudian mengeluarkan suara gerengan dari kerongkongannya bagaikan suara binatang buas, lalu dia pun menubruk dengan kedua lengan dipentang lebar, jari-jari tangan terbuka.

Serangan itu datang dengan mendadak dan cepat sekali, akan tetapi Hong Beng sudah siap sejak tadi. Dengan mudah dia mengelak dan menyelinap dari bawah lengan kanan lawannya. Akan tetapi orang itu membalik dan dengan kecepatan luar biasa, kini tangan kirinya menyambar untuk mencengkeram ke arah kepala Hong Beng!

"Hemm...!" Pemuda ini terkejut juga, tidak mengira bahwa lawannya ini demikian cepat gerakannya dan agaknya memiliki ilmu berkelahi yang cukup kuat dan mahir. Kembali Hong Beng mengelak dan menyampok lengan yang menyambar itu dari samping.

"Plakk!" Hong Beng mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga yang bersembunyi di dalam lengan yang ditangkisnya itu.

Melihat betapa orang yang diserangnya itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangannya, orang Mongol itu menjadi semakin marah. Matanya melotot dan merah sekali, dan kini sambil mengeluarkan gerengan-gerengan menyeramkan, dia bergerak cepat menyerang Hong Beng membabi buta! Cepat dan kuat sekali serangannya, dan bertubi-tubi karena setiap kali dielakkan atau ditangkis, dia sudah kembali menerjang dengan lebih dahsyat.

Hong Beng tidak berniat memusuhi orang ini. Dia belum tahu apa yang telah terjadi dan siapa orang ini, siapa pula gadis tadi dan mengapa pula orang ini melarikan wanita itu. Siapa tahu kalau-kalau wanita itu masih keluarganya sendiri? Lagi pula, dia tidak ingin bermusuhan dengan orang-orang Mongol sebab ia pun tahu bahwa orang-orang Mongol merasa sakit hati kepada orang Han dan kini menganggap Bangsa Han sebagai musuh mereka. Dia tidak ingin mencari gara-gara di tempat ini dan kalau dia tadi turun tangan, semata-mata karena dia ingin membebaskan seorang wanita dari tangan seorang pria yang hendak memaksanya.

Akan tetapi karena orang itu menjadi semakin ganas, serangan-serangannya menjadi makin dahsyat, Hong Beng merasa khawatir juga. Bukan tidak berbahaya kalau sampai terkena cengkeraman karena agaknya orang ini adalah ahli gulat, ilmu berkelahi Bangsa Mongol yang terkenal itu. Dia harus dapat merobohkan orang ini tanpa membuat dia menderita luka berat, pikirnya. Ketika orang itu kembali menubruk, dia menyelinap ke samping dan kakinya menendang ke arah paha dengan maksud agar orang itu roboh dan dia akan melarikan diri.

"Bukkk!"

Hong Beng terkejut sekali karena merasa betapa sepatu kakinya bertemu dengan gumpalan daging paha yang kerasnya seperti besi saja! Kiranya orang ini selain kuat dan cepat, juga tubuhnya kebal! Dia mencoba lagi dengan memukul dan menampar ke arah pundak, dada dan bahu, namun hasilnya sama. Orang itu tidak roboh, jangankan roboh, tergoyang pun tidak oleh tamparan dan pukulannya yang dilakukan cukup keras tadi.

Pada saat itu, banyak orang berlari-lari keluar dari pintu dusun dan ternyata mereka adalah sekelompok orang Mongol. Di depan sendiri berjalan seorang laki-laki setengah tua bersama gadis yang ditolong oleh Hong Beng tadi dan sekarang mereka nonton perkelahian itu dengan wajah tegang.

Karena tidak nampak sikap marah dari mereka, hati Hong Beng menjadi lega. Jelas bahwa mereka itu tidak berpihak kepada si gila dan tidak akan mengeroyoknya karena kalau hal itu terjadi, tentu dia sudah melarikan diri. Akan tetapi, dia menjadi semakin bingung. Bagaimana dia harus mengalahkan orang gila ini tanpa melukainya? Orang itu demikian cepat dan kuat, dan tubuhnya kebal bukan main. Sudah dicobanya pula untuk menampar bahkan menotok, akan tetapi hasilnya sia-sia, agaknya jalan darah orang ini terlindung oleh otot-otot kuat dan daging-daging yang keras.

Karena bingungnya, Hong Beng menjadi sedikit lengah dan tiba-tiba saja orang Mongol itu sudah menubruk dan mencengkeram lehernya! Hong Beng terkejut, membuang diri ke samping akan tetapi biar pun leher dan pundaknya luput, lengan kanannya tetap saja kena disambar dan dipegang oleh tangan kiri orang Mongol itu yang menyusul pula dengan tangan kanannya. Dipegang oleh dua tangan yang demikian kuatnya, dengan jari-jari yang panjang dan besar, Hong Beng terkejut. Dia berusaha menarik tangannya, namun lengannya seperti dijepit oleh jepitan baja yang besar dan kuat.

Agaknya, biar pun dia menarik lengannya sampai copot dari pundaknya, cekalan orang Mongol itu takkan terlepas! Dan kini, orang itu mengerahkan tenaga. Hong Beng merasa betapa lengannya itu diremas dengan kekuatan raksasa. Kiut-miut rasanya, nyeri bukan main. Daging pada lengan itu bisa hancur lebur, tulangnya bisa remuk berkeping kalau dibiarkan!

Dia cepat mengerahkan sinkang-nya melindungi lengan itu, kemudian dia mencari akal untuk dapat merobohkan orang itu dan membebaskan diri dari cengkeraman. Biar pun lengannya sudah dilindungi sinkang, kalau dilanjutkan, lengan itu bisa rusak. Akhirnya dia mendapatkan akal.

"Haiiiittt!"

Hong Beng mengeluarkan seruan nyaring dan tangan kirinya dengan cepat bergerak menyambar.

"Dukkk!"

Dengan tangan miring, Hong Beng memukul ke arah belakang telinga kanan orang Mongol itu. Begitu kena pukulan, tiba-tiba tubuh orang Mongol itu terkulai lemas dan pegangannya pada lengan Hong Beng terlepas. Pemuda ini meloncat ke belakang dan tubuh lawannya roboh terkulai dalam keadaan pingsan.

Perhitungan Hong Beng memang tepat. Biar pun pukulannya tidak dapat melukai lawan, akan tetapi pukulan sinkang itu cukup kuat untuk mengguncangkan otak dan membuat lawannya roboh pingsan!

Terdengar seruan-seruan heran dan kagum di antara para penonton yang terdiri dari orang-orang Mongol itu. Agaknya mereka merasa heran bukan main melihat ada orang yang mampu merobohkan raksasa Mongol yang gila itu tanpa melukainya sama sekali, apa lagi membunuhnya.

Orang Mongol setengah tua yang tadi berjalan di depan bersama gadis itu sekarang melangkah maju. Bahasanya cukup baik ketika dia menegur Hong Beng dalam Bahasa Han, "Orang muda, terima kasih atas pertolanganmu kepada Mayani, anak perempuan kami yang tadi akan dilarikan oleh si gila ini. Dia itu adalah keponakanku sendiri, tetapi telah beberapa bulan menderita penyakit gila. Orang muda yang gagah, perkenalkan aku adalah Agakai, ketua dari kelompok suku yang kini berada di dusun itu. Siapakah namamu, orang muda yang gagah?"

Hong Beng memandang kepada kakek setengah tua itu penuh perhatian. Seorang pria yang bersikap anggun dan gagah, kedua matanya bersinar penuh kewibawaan. Bukan laki-laki sembarangan, pikirnya. Dan gadis bernama Mayani yang ternyata adalah anak perempuan kepala suku ini, memang manis sekali. Gadis itu sekarang memandang kepadanya dengan sinar mata tajam dan mulut tersenyum ramah dan manis.

"Nama saya Gu Hong Beng, dan saya adalah seorang perantau yang sedang dalam perjalanan. Kebetulan melihat nona ini dilarikan orang, maka dengan lancang saya turun tangan membantunya, harap dimaafkan."

Agakai tertawa. "Ha-ha, engkau sungguh pandai merendahkan diri, orang muda. Mari, kami persilakan engkau untuk singgah sebentar untuk mempererat perkenalan antara kita."

Hong Beng mengerutkan alisnya. Dia tadi memang ingin sekali mencari makanan atau arak, tetapi setelah terjadi keributan itu, dia merasa lebih senang jika dapat melanjutkan perjalanannya.

Agaknya kepala suku itu sudah melihat keraguannya, maka dia pun segera berkata, "Gu-taihiap, kami mengundangmu bukan hanya sekedar mempererat persahabatan, tapi kami juga ingin mengundang taihiap menghadiri pesta pertemuan antara kami dengan beberapa orang tokoh pejuang."

"Tokoh pejuang?" Hong Beng tertarik dan merasa heran. "Siapakah mereka itu?"

"Mereka adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa yang sakti. Mereka merupakan pejuang-pejuang rakyat yang melihat betapa rakyat menderita di bawah pemerintah Mancu, mereka bergerak dan berusaha menentang pemerintah Mancu. Mereka akan mengadakan pertemuan dengan kelompok kami karena mereka menawarkan kerja sama dengan kami. Kami harap engkau suka hadir, taihiap, karena kami percaya bahwa seorang pendekar sakti sepertimu tentu dapat membantu kami dalam menentukan sikap terhadap ajakan mereka."

Hati Hong Beng jadi semakin tertarik. Ingin dia melihat siapakah mereka yang disebut pejuang-pejuang itu. Mereka itu adalah pendeta-pendeta dan pertapa-pertapa! Memang amat menarik hati. Dia juga sudah mendengar tentang para pejuang yang menentang pemerintah Mancu dan diam-diam dia menaruh hati kagum terhadap mereka, meski dia sendiri tidak berminat untuk mencampuri perjuangan yang belum dimengertinya benar.

Hong Beng menerima undangan kepala suku yang bernama Agakai itu, setelah Mayani, gadis Mongol itu membujuk dengan mengatakan bahwa ia ingin mendapat kesempatan membalas pertolongan Hong Beng dengan suguhan arak dan daging. Kelompok orang Mongol itu kembali ke dusun dan si Mongol gila tadi kini dibelenggu kaki tangannya dan dibawa masuk pula ke dalam dusun.

"Kami baru sepekan berada di sini," kata Agakai kepada Hong Beng pada saat mereka memasuki dusun. "Kami memilih tempat ini, meminjam dari orang-orang Hui, untuk bisa mengadakan pertemuan dengan para pejuang seperti telah kami rencanakan."

Dusun itu sederhana saja. Agakai berada di tempat itu bersama puterinya yang berusia sembilan belas tahun itu. Dia sendiri seorang duda berusia empat puluh lima tahun, dan dia membanggakan diri sebagai keturunan Jenghis Khan, itu raja besar dari Kerajaan Mongol ketika menjajah di selatan.

Ayahnya, mendiang Tailu-cin, dulu selalu menyatakan sebagai keturunan Jenghis Khan. Betul tidaknya, Agakai sendiri tak tahu pasti. Memang banyak dahulu raja besar Jenghis Khan mempunyai anak, banyak di antaranya di luar nikah dan tidak diakuinya, bahkan mungkin tak diketahuinya, anak-anak yang lahir dari wanita-wanita yang pernah menjadi tawanan perang dan dijadikan isteri untuk beberapa malam saja!

Hong Beng diterima sebagai tamu kehormatan, disuguhi minum susu dan arak, dan disuguhi pula makanan dari daging, yang biar pun aneh bagi lidahnya karena bumbunya berbeda dengan masakan yang biasa dimakannya, namun cukup lezat. Mayani sendiri lalu berdandan, bersama beberapa orang gadis lain lalu mengadakan pertunjukan tari dan nyanyi untuk menghormati pemuda Han yang tampan dan gagah perkasa, yang tadi telah menyelamatkannya dari tangan orang gila itu.

Ngeri ia membayangkan bagaimana akan menjadi nasibnya kalau saja ia tidak ditolong oleh Hong Beng tadi sebab si gila itu, sebulan yang lalu pernah pula melarikan seorang gadis dan tiga hari kemudian, dia ditangkap di dalam sebuah goa sedangkan gadis itu yang diperkosanya secara buas, telah menjadi mayat! Hanya karena raksasa gila itu masih keponakan kepala suku, maka dia tidak dibunuh melainkan dirantai dan disekap di belakang. Akan tetapi, pagi tadi dia dapat melepaskan diri dan hampir saja membuat korban baru atas diri Mayani, saudara misannya sendiri!

Malam hari itu datanglah tamu-tamu lain, yaitu para pejuang yang hendak mengadakan pertemuan rapat dengan Agakai dan anak buahnya. Hong Beng sebagai seorang tamu, tidak keluar menyambut, melainkan tinggal di dalam kamar yang disediakan untuknya. Setelah pertemuan dan pesta itu diadakan pada malam hari itu, barulah Hong Beng dipersilakan keluar dan menghadirinya.

Ternyata yang datang yaitu dua puluh lebih orang-orang yang berpakaian sebagai tosu, dipimpin oleh lima orang tosu tua. Mereka disambut oleh Agakai dan para pembantu ketua suku ini, dan pada malam hari itu, diadakanlah pesta pertemuan itu di pekarangan rumah besar di dalam dusun. Di tempat itu telah disediakan meja kursi dan penerangan lampu yang cukup banyak. Dusun itu sederhana, tidak ada rumah yang cukup besar di situ untuk menjadi tempat pertemuan, maka pesta pertemuan itu lalu diadakan di tempat terbuka.

Lima orang tosu itu duduk di meja besar, disambut oleh Agakai yang duduk pula di situ bersama lima orang pembantunya, yaitu mereka yang dianggap tokoh dalam kelompok mereka. Mayani duduk di barisan belakang ayahnya, tidak ikut dalam rapat, akan tetapi juga tidak menjadi pelayan, melainkan sebagai pendengar saja.

Ketika Hong Beng dipersilakan duduk, pemuda itu memandang kepada lima orang tosu tadi dengan penuh perhatian. Tiba-tiba dia terkejut karena dia mengenal bahwa dua di antara lima orang tosu itu pernah dilihatnya. Akan tetapi dia lupa lagi di mana dan kapan dia pernah berjumpa dengan dua orang tosu itu dan kedua orang tosu itu pun agaknya tidak memperlihatkan tanda bahwa mereka mengenalnya. Agakai lalu memperkenalkan Hong Beng kepada para tamunya.

"Tamu kehormatan kami yang kebetulan berada di sini adalah taihiap Gu Hong Beng ini yang tadi telah menyelamatkan puteri kami dari ancaman mala petaka. Gu-taihiap, para pendeta inilah pejuang-pejuang yang pernah kami ceritakan kepadamu."

Hong Beng memberi hormat kepada para pendeta itu yang dibalas oleh mereka, akan tetapi mereka bersikap acuh saja kepadanya. Ketika para pendeta itu bangkit membalas penghormatannya, barulah Hong Beng bisa melihat bahwa di jubah para pendeta itu, di bagian dada, terdapat lukisan-lukisannya. Tiga orang pendeta memiliki lukisan bunga teratai di dada jubah mereka, sedangkan yang dua lagi terdapat lukisan segi delapan.

Diam-diam ia terkejut. Kiranya para tosu ini adalah pendeta-pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai! Memang dia tahu bahwa kedua perkumpulan ini merupakan pemberontak-pemberontak atau menurut istilah mereka adalah pejuang-pejuang, akan tetapi pejuang macam apa!

Mereka tidak segan-segan untuk mengelabui rakyat agar mendukung gerakan mereka, akan tetapi biar pun mereka memusuhi pemerintah Mancu, namun mereka pun terkenal sebagai golongan yang tidak segan melakukan segala macam kecabulan dan kejahatan demi mencapai tujuan mereka!

Orang-orang gagah dari dunia persilatan tidak suka kepada mereka dan selalu menjauhi mereka. Bahkan para pendekar yang berjiwa patriot dan turut berjuang pula menentang penjajah, merasa segan untuk bekerja sama dengan orang-orang dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Hatinya merasa tidak enak dan penuh curiga, akan tetapi Hong Beng hanya duduk diam saja memperhatikan percakapan antara mereka yang sekarang baru mulai berlangsung.

"Selamat datang dan selamat malam, para totiang yang terhormat," kata Agakai sebagai awal sambutan. "Seperti telah kita sepakati bersama, kami telah berhasil membujuk dan mengusir penghuni dusun ini, orang-orang Hui, untuk meminjamkan dusun ini kepada kami selama beberapa hari agar kita dapat mengadakan pertemuan di sini. Kami masih belum yakin benar akan cerita tentang perjuangan golongan kalian, maka kami minta agar kalian suka menjelaskan lagi supaya kami dapat mempertimbangkan apakah dapat menerima uluran tangan kalian untuk bekerja sama."

Tosu yang berjenggot panjang dan memegang tongkat berbentuk naga hitam itu, segera mengelus jenggotnya. Agaknya dialah yang menjadi juru bicara kawan-kawannya.

"Siancai…, kami hargai kejujuranmu ini, saudara Agakai. Pertama-tama pinto (aku) ingin menceritakan mengapa kami sengaja memilih saudara untuk bekerja sama. Kami tahu bahwa saudara Agakai adalah keturunan langsung dari Sang Maharaja Jenghis Khan yang maha besar di jaman lampau, karena itu kami merasa yakin bahwa tentu saudara memiliki semangat untuk mendirikan kembali Kerajaan Goan di mana bangsa saudara merajai seluruh Tiongkok. Nah, kami membutuhkan orang bersemangat seperti saudara Agakai untuk menggerakkan seluruh Bangsa Mongol yang jaya untuk menumbangkan kekuasaan Mancu."

Tentu saja Agakai menjadi bangga dan gembira sekali mendengar ini. Telah tersentuh kelemahannya! Dia memang selalu ingin menonjolkan bahwa dia adalah keturunan dari Jenghis Khan, maka kini ucapan tosu itu seperti mengelus perasaannya dan dia menjadi senang sekali kepada para tosu itu.

"Memang tidak kelirulah kalau totiang beranggapan demikian," katanya bangga. "Akulah satu-satunya orang di seluruh Mongol yang masih berdarah Jenghis Khan, dan akulah yang akan mampu menggerakkan seluruh bangsaku untuk bangkit lagi."

"Itulah harapan kami, saudara Agakai. Kami menganggap bahwa gerakan yang datang dari utara lebih banyak harapan untuk berhasil, karena selain dekat dengan kota raja, juga terdapat banyak gunung dari mana kita dapat bergerak secara sembunyi. Tembok Besar tidak merupakan penghalang yang terlalu berat, bahkan para prajurit pamerintah yang melakukan tugas berjaga di Tembok Besar, kebanyakan kurang semangat dan kurang kuat, jauh dari hiburan dan sudah merasa bosan tinggal di tempat yang tandus. Kami membutuhkan bantuan saudara untuk menghimpun tenaga yang kuat, yang setiap waktu dapat kami pergunakan untuk menyerbu ke selatan. Kami sendiri akan bergerak dari dalam Tembok Besar."

"Nanti dulu, totiang. Selain pemerintah Mancu memiliki pasukan yang amat besar dan kuat, juga Kaisar Kian Liong selalu dibantu oleh para pendekar yang setia dan mereka memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Mungkin saja menandingi pasukan dengan siasat perang, akan tetapi bagaimana akan dapat menandingi para pendekar yang mempunyai ilmu silat tinggi?"

"Ha-ha-ha, tidak perlu khawatir, saudara Agakai. Kami orang-orang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai memiliki banyak sekali tokoh yang berilmu tinggi, dan para pendekar itu tak ada artinya bagi kami."

"Tapi, di sana terdapat para pendekar yang lihai, seperti keluarga Pulau Es..."

"Siancai…!" Tosu berjenggot panjang itu berseru. "Keluarga Pulau Es hanyalah penjilat-penjilat kaisar, takut apa? Kalau ada yang muncul di sini, tentu kepalanya akan pinto hancurkan dengan tongkat ini, seperti kepala arca di sana itu!"

Mendadak kakek itu melemparkan tongkatnya dan sungguh aneh… tongkat berbentuk seekor naga hitam itu tiba-tiba saja seperti ‘hidup’, terbang melayang menyambar ke arah sebuah arca batu yang berdiri sejauh dua puluh meter lebih dari tempat kakek itu duduk. Terdengar suara keras pada saat tongkat menghantam kepala arca, dan pecah berantakanlah kepala arca itu, sedangkan tongkatnya kembali terbang ke arah tangan tosu tua itu!

Hong Beng terkejut dan maklum bahwa tosu Pek-lian-kauw ini menggunakan ilmu sihir bercampur ilmu silat yang amat tinggi!

Sementara itu, Agakai dan para pembantunya memandang dengan mata terbelalak dan mulut bengong. Kemudian terdengar sorak-sorai para anak buah Agakai yang berada di sekeliling tempat pesta itu. Mereka pun melihatnya dan memberi pujian.

Sementara itu perut Hong Beng tentu saja merasa panas mendengar betapa keluarga Pulau Es dimaki sebagai penjilat dan dipandang rendah. Dan pada saat itu, dia pun tiba tiba ingat siapa adanya dua orang tosu yang duduk di situ, yang tadi diingatnya sebagai orang-orang yang pernah dikenalnya.

Kini dia teringat bahwa dua orang itu bukan lain adalah dua orang pendeta yang pernah dijumpainya ketika ia mencarikan obat untuk suhu-nya yang terluka. Dua orang pendeta yang ditemukannya dalam keadaan luka dan menceritakan kepadanya bahwa mereka adalah dua orang yang menentang Bi-kwi, karena Bi-kwi menculiki pemuda-pemuda di dusun, namun mereka berdua kalah karena Bi-kwi dibantu oleh Bi Lan dan Sim Houw! Karena keterangan mereka itulah maka dia bersama suhu-nya lalu pergi mencari Bi Lan dan Sim Houw, bahkan lalu menyerang mereka. Kini timbul keraguan dalam hatinya!

Benarkah keterangan mereka tempo hari? Mungkinkah seorang tosu Pek-lian-kauw dan seorang tosu Pat-kwa-pai muncul sebagai pendekar, sedangkan Bi Lan dan Sim Houw sebaliknya menjadi pembela yang jahat? Pikiran ini membuat dia menjadi makin marah. Jangan-jangan kedua orang pendeta ini dahulu hanya melakukan fitnah saja sehingga berhasil mengadu domba antara dia dan gurunya melawan Bi Lan dan Sim Houw! Kalau benar, celakalah!

Pada saat itu, terdengar tosu tinggi besar perut gendut, seorang di antara dua pendeta yang pernah dijumpai Hong Beng, yaitu yang bernama Ok Cin Cu, tokoh Pat-kwa-pai, berkata kepada Agakai, "Saudara Agakai, sudah menjadi tugas kami masing-masing tosu dari perkumpulan kami untuk menyampaikan berkah dan pelajaran kepada seorang murid wanita baru. Pinto minta agar gadis yang duduk di belakangmu itu malam nanti menjadi murid pinto yang baru dan tinggal bersama pinto dalam kamar pinto."

Agaknya Agakai telah tahu akan kebiasaan para tosu cabul itu, maka mukanya menjadi merah karena yang dimintanya adalah puterinya! Dia tak peduli akan kebiasaan mereka. Dia bahkan menganggapnya wajar kalau tokoh-tokoh besar itu membutuhkan hiburan karena tugas mereka yang berat dalam perjuangan. Akan tetapi kalau puterinya yang diminta, tentu saja dia tidak dapat memaksa puterinya.

Agakai tertawa. "Totiang, agaknya engkau belum tahu bahwa dia ini adalah Mayani, puteriku sendiri. Aku tak pernah memaksa puteriku, tetapi kalau dia suka melayanimu dan menjadi muridmu malam ini secara suka rela, aku pun takkan dapat melarangnya."

Dengan ucapan ini, Agakai merasa yakin bahwa puterinya tentu akan menolak. Gadis mana yang suka melayani seorang kakek yang buruk rupa dan berperut gendut seperti tosu itu? Apa lagi puterinya, gadis yang amat pemilih dan selama ini belum pernah mau menerima pinangan pemuda-pemuda yang cukup tampan.

Tosu berjenggot panjang yang memimpin para tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai itu mendadak berkata, "Aha! Tentu saja nona Mayani suka melayani dan menjadi murid saudara Ok Cin Cu!"

Begitu ucapan ini dikeluarkan, tiba-tiba Mayani lalu bangkit berdiri, lalu menghampiri Ok Cin Cu dan berkata, "Aku suka sekali melayanimu dan menjadi muridmu, totiang!"

Tentu saja Agakai terkejut setengah mati melihat puterinya demikian patuh dan dengan suka rela menghampiri tosu itu dan menyatakan pula suka melayani dan menjadi murid! Janjinya telah diucapkan, dan disaksikan orang banyak ternyata Mayani dengan suka sendiri mau melayani tosu gendut itu.

"Mayani...!" Dia berseru kaget dan heran.

Tiba-tiba Hong Beng yang sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi karena dia maklum apa artinya sikap Mayani yang aneh itu, ialah bahwa gadis itu tentu terkena pengaruh sihir kakek berjenggot panjang, lalu bangkit berdiri, menggebrak meja dan dari mulutnya keluar suara melengking tinggi yang membuyarkan pengaruh sihir atas diri Mayani karena teriakan melengking itu mengandung tenaga khikang yang amat kuat.

Mayani tersentak kaget, lalu menjadi bingung mengapa ia berdiri di depan tosu gendut. "Eh, apa yang telah terjadi... ayah...?" tanyanya dan ia pun cepat kembali ke belakang ayahnya.

"Para tosu jahat dan cabul!" bentak Hong Beng dengan marahnya sehingga sepasang matanya berkilat. "Kalian telah menyebar racun fitnah, bujukan dengan ilmu hitam yang amat keji! Saudara Agakai, jangan engkau terkena bujukan iblis mereka ini. Mereka adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang amat jahat, berkedok perjuangan. Hampir saja puterimu terjebak dalam sihir dan menjadi korban mereka yang amat jahat!"

Para tosu itu bangkit berdiri dengan marah dan sekarang Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, dua orang tosu yang berada di situ, juga mengenal Hong Beng.

"Siancai...! Dia ini adalah murid keluarga Pulau Es! Dia mata-mata musuh, dia mata mata pemerintah Mancu!" teriak Ok Cin Cu dengan marah, memutar tongkat hitamnya yang berbentuk ular itu ke atas kepala.

Jika tadinya Agakai terkejut mendengar kata-kata Hong Beng dan memandang kepada para tosu penuh kecurigaan dan kemarahan, kini dia terkejut dan menghadapi Hong Beng, "Gu-taihiap, benarkah engkau murid keluarga Pulau Es?"

Dengan sikap gagah Hong Beng menjawab, "Benar, aku adalah murid keluarga Pulau Es, dan seperti semua orang gagah di seluruh dunia, aku pun menentang Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang melakukan kejahatan dengan kedok agama dan perjuangan! Harap saudara Agakai jangan sampai terkena bujukan mereka!"

Akan tetapi, mendengar bahwa pemuda ini murid keluarga Pulau Es, Agakai yang juga sudah terkena pengaruh sihir dari para tosu, segera merasa tidak senang dan curiga. Bagaimana pun juga, ia tahu bahwa keluarga Pulau Es condong membantu pemerintah Mancu karena mereka itu berdarah Mancu pula.

"Tangkap mata-mata ini!" teriaknya kepada orang-orangnya.

Hong Beng terkejut dan tak sempat untuk membela diri dengan kata-kata, maka sekali meloncat dia telah berada di luar tempat pesta itu. Akan tetapi, lima orang tosu itu sudah berloncatan dan mengepungnya.

"Ha-ha-ha, orang muda mata-mata musuh, hendak lari ke mana engkau?" teriak Thian Kek Sengjin yang sudah menggerakkan tongkatnya yang berbentuk naga hitam pula, seperti tongkat tosu berjenggot panjang yang menjadi pemimpin rombongan itu.

"Wuuuttt...!"

Hong Beng mengelak, akan tetapi dia segera dikeroyok dan karena tingkat kepandaian para tosu itu sangat tinggi, yang paling rendah seimbang dengan tingkatnya, tentu saja dia menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan mereka. Apa lagi, di luar kepungan ini masih terdapat para anggota Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, juga orang-orang Mongol.

Pada saat tongkat hitam berbentuk ular di tangan Ok Cin Cu menyambar lehernya dan sebatang pedang menusuk lambungnya, dia cepat mengelak dan pada saat itu, tosu berjenggot panjang telah mengebutkan sapu tangan hitam di depan muka Hong Beng. Karena dalam keadaan mengelak dan terkepung, Hong Beng tidak mampu mengelak lagi dan begitu sapu tangan itu dikebutkan dan mengeluarkan debu, dia pun mencium bau keras dan roboh pingsan! Kelenger.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga