SULING NAGA : JILID-33


Tetapi Hou Seng memang cerdik. Sambil menangis dia mengadu kepada kaisar betapa limpahan kasih sayang dari kaisar itu menimbulkan iri hati yang membuat dia dimusuhi oleh banyak pejabat. Karena merasa dirinya terancam, terpaksa dia mempergunakan tenaga luar untuk melindungi keselamatannya, dan dia sama sekali tidak tahu bahwa tenaga luar itu kemasukan tokoh-tokoh dari dunia sesat.

Sebagai contoh, ia menceritakan tentang dibunuhnya dua orang pengawal pribadi yang merangkap selirnya oleh para datuk sesat. Panjang lebar dia bercerita dan berbagai alasan dikemukakan sampai akhirnya kaisar merasa kasihan dan berpihak kepadanya! Dan sejak itu, urusan para datuk yang menyelundup ke kota raja itu tidak dibicarakan lagi, kesalahan Hou Seng dimaafkan.

Akan tetapi, Hou Seng sendiri tidak berani banyak tingkah semenjak peristiwa itu dan dia tidak lagi mau mencari gara-gara. Kedudukannya sudah cukup baik dan dia harus tahu diri dan tidak mengadakan tindakan-tindakan yang menimbulkan kecurigaan kaisar.

Hou Seng tidak begitu membela kematian para datuk itu karena dia telah mengetahui bahwa kedua orang selir yang menjadi pengawal pribadi itu sebetulnya difitnah oleh Kim Hwa Nionio dan kawan-kawannya. Hal ini diketahuinya sebelum terjadi pembunuhan atas diri para datuk sesat oleh para pendekar.

Diketahuinya karena dia merasa curiga melihat betapa kematian kedua kucing itu tidak sama keadaannya. Kucing pertama mati dengan muka kehitaman, akan tetapi kucing ke dua tidak demikian. Hal itu menunjukkan bahwa racun pertama yang diminumkan kucing dari cawan araknya itu tidak sama dengan racun yang diambil dari tubuh selir-selirnya yang diminumkan kucing ke dua.

Racun-racun yang dibawa dua orang selirnya itu membuat kucing mati tanpa hitam pada mukanya, sedangkan racun yang berada dalam cawan araknya itu merupakan racun yang lain lagi, berarti racun itu berada dalam cawan araknya bukan dari kedua orang selirnya melainkan dari luar!

Apa lagi ketika dia mendengar dari para selirnya bahwa dua orang selir merangkap pengawal pribadi itu memang selalu membawa racun di tubuhnya, untuk membunuh diri jika sampai mereka tertangkap musuh agar mereka tidak perlu disiksa untuk mengakui dan membuka rahasia Hou Seng! Mendengar ini, Hou Seng merasa menyesal sekali dan kepercayaannya terhadap para datuk sudah goyah.

Itulah sebabnya, ketika mendengar betapa para datuk itu tewas oleh para pendekar, dia pura-pura tidak tahu saja. Bahkan Coa-ciangkun tak ditegurnya sama sekali! Diam-diam dia malah bersyukur akan tindakan Coa-ciangkun. Bayangkan saja kalau pasukan itu mencampuri dan kemudian terdengar berita bahwa pasukan itu bekerja sama dengan para datuk sesat atas perintahnya! Mungkin kaisar sendiri tidak akan memaafkannya kalau sampai terjadi hal seperti itu.

Betapa pun juga, usaha para pendekar menentang Kim Hwa Nionio, dan pada akhirnya dapat membasmi komplotan itu, amat berhasil dan keadaan kota raja menjadi tenteram kembali. Diam-diam para pembesar yang setia kepada kaisar bersyukur dan memuji-muji para pendekar. Mereka maklum akan kelemahan kaisar dan mereka tidak akan mengadakan reaksi terhadap Hou Seng sebagai kekasih dan kepercayaan kaisar kalau saja Hou Seng tidak mengadakan tindakan yang bukan-bukan. Dan kini, dibasminya komplotan kaki tangan Hou Seng, membuat pembesar itu menjadi jeri dan tidak begitu menonjol lagi.

Sementara itu, para pendekar sudah kembali ke tempat masing-masing. Suma Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, yang kehilangan puteri mereka dengan suka rela, hanya bercakap-cakap sebentar, karena adanya Sim Houw di situ membuat suami isteri ini merasa kurang enak hatinya.

Seperti diketahui, Kam Bi Eng tadinya adalah tunangan dari Sim Houw menurut ikatan orang tua mereka, tetapi kemudian tunangan itu terputus karena Bi Eng tidak mencinta Sim Houw, melainkan mencinta Suma Ceng Liong. Setelah suami isteri itu pergi, Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui juga berpamit setelah Cin Liong meningggalkan pesan kepada Bi Lan.

"Sumoi, biar pun engkau baru setahun belajar dari ayah ibuku, engkau tetap seorang sumoi (adik seperguruan) dariku. Ibu telah meminjamkan Ban-tok-kiam, hal itu berarti bahwa ibu sayang dan percaya kepadamu. Dan aku sendiri, dalam pergaulan beberapa saat ini, tahu bahwa pilihan ayah ibu terhadap dirimu tidak keliru. Nah, engkau berhati-hatilah menjaga Ban-tok-kiam dan bawa pusaka itu kembali kepada ibuku."

Tiong Khi Hwesio juga meninggalkan tempat itu untuk pulang ke Bhutan, karena semua pengalamannya setelah bertemu dengan para pendekar itu, membuka matanya bahwa dia telah terlalu menurutkan kedukaan hati sehingga lupa bahwa dia telah melupakan puterinya sendiri, Wan Hong Bwee atau Puteri Gangga Dewi yang kini hidup bersama suaminya di Bhutan. Dia ingin kembali dan tiba-tiba merasa rindu kepada puterinya itu, ingin menghabiskan sisa usianya di dekat keluarga puterinya dan dekat pula dengan makam isterinya.

Setelah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek juga pergi untuk melanjutkan lagi perjalanan masing-masing, tinggallah Bi Lan dan Sim Houw berdua. Mereka saling pandang dan akhirnya Sim Houw yang bertanya lebih dahulu, "Lan-moi, sekarang engkau hendak ke manakah?"

Sampai lama Bi Lan tak mampu menjawab. Gadis ini sedang merasakan sesuatu yang amat aneh terjadi di dalam hatinya. Ia melihat Sam Kwi, tiga orang gurunya, tewas dan tidak merasa kehilangan. Kepergian Bi-kwi yang disusul kepergian semua pendekar, termasuk Hong Beng dan Kun Tek, juga tidak sedikit pun membekas di dalam hatinya. Ia tidak merasa kehilangan dan kesepian.

Akan tetapi mengapa sekarang, setelah berada di ambang perpisahannya dengan Sim Houw, tiba-tiba saja ia merasa bahwa tak mungkin dia dapat berpisah dari orang ini? Ia seakan-akan sudah seharusnya berada di samping Sim Houw, menghadapi kehidupan yang penuh dengan kesulitan ini bersama Sim Houw! Ia merasa bahwa begitu berpisah, ia akan kehilangan segala-galanya. Apa pula gejala seperti ini? Apa artinya? Apakah ia jatuh cinta kepada Sim Houw? Tidak mungkin!

Selama dalam perjalanan berdua, Sim Houw bersikap seperti seorang kakak, begitu penuh perhatian dan sayang, akan tetapi kesayangan seorang saudara. Sedikit pun Sim Houw tak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia cinta padanya. Berbeda dengan sikap Hong Beng atau Kun Tek ketika berdua bersamanya. Dan ia sendiri?

Tiba-tiba Bi Lan merasa nelangsa. Bagaimana kalau ia benar-benar mencinta orang ini akan tetapi di lain pihak Sim Houw tidak cinta kepadanya? Tiba-tiba ia menjadi panik, takut kehilangan Sim Houw!

"Eh, Lan-moi, kenapa kau kelihatan melamun dan tidak menjawab pertanyaanku?" Sim Houw bertanya, suaranya mengandung perasaan iba.

Dia tahu bahwa sejak kecil, gadis ini bergaul dengan Sam Kwi sebagai guru-guru dan penolongnya. Juga dengan Bi-kwi sebagai suci-nya yang pernah mendidiknya seperti diceritakan gadis itu kepadanya. Dan kini tiba-tiba saja ia kehilangan semua orang itu! Tentu Bi Lan berduka, walau pun tidak diperlihatkannya, demikian Sim Houw berpikir.

Bi Lan menjadi kaget dan kedua pipinya berubah merah. "Aku... aku... ahh, aku tidak mendengar pertanyaanmu, toako. Engkau bertanya apakah tadi?"

"Aku bertanya, ke mana engkau hendak pergi sekarang, Lan-moi."

"Ke mana...? Ahhh, tadi aku bingung, toako. Yang jelas, aku harus mengembalikan pedang Ban-tok-kiam ini kepada subo."

"Itu benar, Lan-moi. Dan mengapa engkau menjadi bingung?"

"Entahlah, toako Setelah semua orang pergi, juga setelah semua tujuan perjalananku tercapai, semua masalah yang tadinya kujadikan tujuan dan kewajiban terpenuhi, aku merasa kosong, sunyi dan bingung. Baru terasa olehku betapa hampanya hidup ini, toako. Aku tadinya mempunyai guru-guru, mempunyai suci, mempunyai mereka sebagai musuh-musuhku juga. Sekarang mereka telah tiada. Dan aku seperti berada seorang diri saja di dunia ini, kosong dan sunyi, tidak ada gunanya lagi..."

"Ahh, engkau dilanda perasaan kesepian, Lan-moi. Pernah aku mengalaminya..." Sim Houw menghentikan kata-katanya, merasa bahwa dia telah terlanjur bicara. Akan tetapi, ucapannya itu rupanya menarik perhatian Bi Lan karena gadis itu cepat mendesaknya.

"Pernah kau mengalami kesepian seperti aku ini, toako? Kapan engkau mengalaminya? Dan mengapa? Orang seperti engkau ini, yang memiliki kepandaian tinggi, pengetahuan luas, banyak kawan-kawan baik, bagaimana bisa kesepian seperti aku?"

Belum pernah selamanya Sim Houw menceritakan keadaan dirinya kepada siapa pun juga. Biar pun dia pernah menderita sengsara karena kesepian, namun hal itu selama ini menjadi rahasia hatinya. Akan tetapi, entah bagaimana, kini mendengar desakan Bi Lan, dia ingin membuka rahasia hatinya! Dia ingin sekali nampak oleh gadis itu sebagai mana adanya, tanpa rahasia dan biarlah segala keburukan dan cacatnya nampak, kalau ada!

"Baru-baru ini perasaan itu berakhir, Lan-moi, akan tetapi selama bertahun-tahun, aku bagai hidup di alam mimpi. Setiap hari aku melamun dan ada rasa kesepian yang selalu menghantui diriku. Dan semua itu timbul karena... putus cinta, Lan-moi."

Bi Lan tertarik sekali. "Ceritakan, toako, ceritakanlah. Aku ingin sekali mendengarkan tentang cinta itu!"

Melihat betapa gadis itu kini nampak bersemangat, Sim Houw tersenyum. "Mari kita tinggalkan dulu tempat ini," dia melirik ke arah gundukan tanah di mana terkubur enam mayat itu. "Di dalam hutan sana itu aman kita bicara."

Mereka lalu memasuki hutan dan di bawah sebuah pohon besar, di mana terdapat batu batu yang kering dan bersih, mereka duduk berhadapan.

"Ketahuilah, Lan-moi. Ketika aku berusia belasan tahun, oleh orang tuaku aku telah ditunangkan dengan seorang gadis yang kemudian menjadi sumoi-ku sendiri karena gadis itu adalah puteri tunggal dari suhu-ku. Akan tetapi, kalau aku yang telah menerima ikatan perjodohan itu dengan taat mulai memperhatikan gadis itu dan sudah mempunyai perasaan cinta, sebaliknya gadis itu tidak cinta kepadaku, melainkan cinta kepada orang lain! Melihat kenyataan ini, maka aku mengalah. Akulah yang kemudian memutuskan tali perjodohan itu sehingga gadis itu dapat menikah dengan pria yang dicintainya." Sampai di sini, Sim Houw berhenti dan termenung.

"Dan kau...?" Bi Lan bertanya, hatinya merasa terharu. Ia dapat membayangkan betapa sedihnya hati pemuda itu, dan betapa luhur budinya. Pemuda ini mengalah karena ingin membahagiakan gadis yang dicintanya.

"Aku...?" Sim Houw tersenyum pahit. "Aku lalu merantau... sampai sekarang ini."

"Sumoi-mu...? Ah, bukankah wanita cantik yang sakti itu, yang memegang suling emas, isteri dari pendekar Suma Ceng Liong, ia itulah sumoi-mu? Jadi iakah orangnya gadis... yang pernah menjadi tunanganmu itu?"

Sim Houw sudah menguasai kembali hatinya dan dia mengangguk sambil tersenyum. "Ia hebat dan lihai, bukan? Dan suaminya juga hebat. Mereka memang pasangan yang sepadan dan cocok. Aku juga ikut gembira melihat ia berbahagia dengan suaminya dan mereka telah mempunyai seorang anak perempuan yang demikian manis."

Bi Lan memandang dengan sinar mata kasihan. "Dan engkau sekarang masih merasa kesepian, toako?"

"Tidak, tidak lagi! Penderitaan itu sudah lewat bagiku."

Diam-diam Sim Houw maklum bahwa yang melenyapkan perasaan kesepian itu adalah setelah dia berjumpa dengan Bi Lan! Dia mencinta gadis ini, akan tetapi cintanya sekali ini bukan sekedar cinta nafsu yang dibangkitkan oleh gairah karena tertarik oleh pribadi dan kecantikan Bi Lan.

Tidak! Ia mencinta Bi Lan, merasa kasihan kepada Bi Lan dan dia ingin melihat orang yang dicintanya ini bahagia. Bukan hanya ingin memperoleh gadis ini sebagai isterinya agar selamanya tidak berpisah darinya, Dia tidak akan menderita lagi walau pun dia tidak menjadi suami Bi Lan, asal gadis ini hidup bahagia.

"Dan sejak itu kau... kau tak pernah jatuh cinta lagi?"

Pertanyaan yang tiba-tiba ini mengejutkan hati Sim Houw. Akan tetapi dia tenang sekali sehingga kekagetannya tidak sampai nampak di wajahnya. Dia hanya menggelengkan kepalanya. Apa lagi yang dapat dilakukannya? Mengaku bahwa kini dia telah jatuh cinta kepada Bi Lan? Tidak!

Biar pun dia sungguh mencinta gadis ini, dia tak akan membuat pengakuan, tidak akan memberi kesempatan gadis ini mentertawakannya. Putus cinta merupakan suatu kegagalan yang pernah dialaminya, dan akan merupakan hal yang lebih menyakitkan lagi jika cintanya ditertawakan. Biarlah cintanya kepada Bi Lan menjadi suatu rahasia saja bagi dirinya sendiri.

Tiba-tiba ada suatu keinginan menyelinap di hati Bi Lan. Ia ingin menghapus kedukaan Sim Houw akibat penderitaan putus cinta itu. Ia ingin membahagiakan orang ini. Ia ingin orang ini dapat jatuh cinta lagi dan bukan kepada orang lain, kecuali kepada dirinya!

Betapa akan bahagianya dicinta oleh seorang pendekar yang mempunyai cinta kasih sedemikian besar dan tulusnya. Seorang pria yang sudah matang, tidak dan bukan pemuda mentah seperti Hong Beng dan Kun Tek, cinta yang penuh cemburu, dan cinta yang membanding-bandingkan seperti Kun Tek. Ahhh…, Hong Beng dan Kun Tek! Dua orang pemuda itu dapat membantunya. Setidaknya, nama mereka.

"Cinta memang membuat orang menjadi bingung, ya, toako? Aku sendiri pun bingung menghadapinya!" Tiba-tiba Bi Lan berkata dan wajahnya membayangkan kedukaan.

Rasa kaget yang lebih besar melanda hati Sim Houw. Tidak lagi! Begitu kejamkah nasib sehingga baru saja bertemu dan jatuh cinta, dia sudah harus mendengar bahwa Bi Lan juga sudah mencinta pemuda lain? Terlalu cepat datangnya, terlalu kejam walau pun dia sudah siap dengan kekuatan batin yang sudah mengalami luka patah cinta. Dia tetap tenang ketika bertanya.

"Hemm... apakah hatimu juga dilanda cinta, Lan-moi?"

"Aku tidak tahu. Akan tetapi ada dua orang pemuda yang sama-sama menyatakan cinta kepadaku. Mereka adalah Gu Hong Beng dan Cu Kun Tek..."

"Ahhh!" Sim Houw tercengang karena hal ini sama sekali tak pernah dibayangkannya. Paman cilik itu telah jatuh cinta! Hampir dia tertawa, tetapi lalu teringat bahwa sekarang Kun Tek bukan seorang anak kecil lagi, melainkan seorang pemuda yang telah dewasa!

"Mula-mula Hong Beng yang lebih dahulu mengaku cinta. Kemudian Kun Tek juga menyatakan cinta kepadaku. Hong Beng pernah merasa cemburu dan berkelahi dengan Kun Tek. Akan tetapi sekarang agaknya mereka sudah dapat mengatasi rasa cemburu itu dan keduanya nampak sudah rukun dan akrab. Aku menjadi bingung, Sim-toako."

"Kenapa bingung? Pilih saja salah satu, mana yang berkenan di hatimu."

"Sim-toako, kalau menurut pandanganmu, siapa di antara kedua pemuda itu yang lebih baik?" Bertanya demikian, Bi Lan menatap wajah itu dengan penuh perhatian dan sinar matanya yang tajam itu seolah-olah hendak menembus ke dalam dan menjenguk isi hati Pendekar Suling Naga.

Sim Houw mengerutkan alisnya. Dia berpikir dengan sungguh-sungguh karena dia ingin menanggapi permintaan gadis itu dengan kesungguhan hati pula. "Lan-moi, sungguh pertanyaanmu ini aneh sekali. Perjodohan hanya benar kalau berdasarkan cinta kasih, dan hanya engkau sendiri yang mengetahui siapa di antara kedua orang pemuda itu yang kau cinta."

"Justru itu yang tidak aku ketahui, toako. Selama hidupku, belum pernah aku jatuh cinta. Aku tidak tahu yang mana di antara mereka yang kucinta. Akan tetapi terus terang saja, aku suka keduanya karena mereka berdua adalah murid-murid orang sakti, memiliki ilmu kepandaian tinggi. Keduanya adalah pendekar-pendekar sejati, dan keduanya telah pernah menyelamatkan aku dari ancaman maut. Oleh karena itu, sukar bagiku untuk memilih seorang di antara mereka. Tolonglah, toako, tolong bantu aku. Menurut engkau, siapa di antara mereka yang lebih baik?" Ia berhenti sebentar lalu menyambung, "Terus terang sajalah, Sim-toako, apakah aku harus memilih salah satu dan pilih yang mana, ataukah aku harus menolak dua-duanya?"

Tentu saja kalau menurut kata hatinya, Sim Houw akan mengatakan supaya gadis itu menolak keduanya! Akan tetapi Sim Houw tidak melakukan hal ini, tidak mau melakukan begitu karena dia tidak mau mempengaruhi pilihan hati Bi Lan. Betapa pun juga, dia harus membantu gadis itu agar jangan salah pilih.

"Aku tidak ingin mempengaruhimu, Lan-moi. Engkau tahu bahwa Cu Kun Tek adalah pamanku, walau pun usianya jauh lebih muda dariku. Akan tetapi hubungan keluarga itu sama sekali tidak kumasukkan dalam penilaianku. Mari kita nilai mereka itu seorang demi seorang. Pertama kita menilai Gu Hong Beng. Dia murid pendekar Sakti Suma Ciang Bun, seorang anggota keluarga Pulau Es, akan tetapi aku tidak tahu siapa orang tuanya. Dan menurut ceritamu, dia berwatak pencemburu, sedangkan sifat-sifatnya tentu engkau yang lebih tahu karena engkau pernah bergaul dengannya. Sekarang Cu Kun Tek. Dia keturunan penghuni Lembah Naga Siluman dan keturunan keluarga Cu yang terkenal sebagai keluarga yang memiliki kepandaian tinggi dan kegagahan luar biasa, dan tentu dia telah mewarisi ilmu dari keluarga itu. Sepanjang pengetahuanku, dia jujur dan keras akan tetapi sifat-sifat itu memang merupakan sifat keluarga Cu di Lembah Naga Siluman. Ada pun sifat-sifat lainnya, engkau yang lebih mengenalnya pula. Nah, sekarang terserah kepadamu untuk memilih yang mana."

Diam-diam sejak tadi Bi Lan memperhatikan Sim Houw dan mendengar ucapan dan melihat sikap yang sungguh-sungguh itu, tiba-tiba saja Bi Lan merasa kecewa. Agaknya pendekar ini sama sekali tidak peduli ia akan berjodoh dengan pria mana! Pendekar ini sama sekali tidak menaruh perhatian kepada dirinya!

Tiba-tiba saja Bi Lan merasa nelangsa sekali. Ia merasa betapa kini, satu-satunya orang yang dekat dirinya, dekat pula dengan hatinya, hanyalah Sim Houw. Kalau Sim Houw begitu acuh terhadap pilihannya akan seorang calon suami, berarti pendekar ini tidak menaruh hati kepadanya. Ia menarik napas panjang.

"Sudahlah, Sim-toako. Aku sendiri sudah menolak cinta mereka. Hong Beng kuanggap kekanak-kanakan dan pencemburu besar, sedangkan Kun Tek hanyalah seorang laki-laki yang tinggi hati mengenai wanita. Aku sudah menolak cinta mereka berdua karena aku tidak cinta kepada mereka! Sekarang aku mau pergi saja, mencari subo... selamat tinggal!" Dan gadis itu sudah meloncat dan lari dengan cepat meninggalkan Sim Houw.

"Heiii! Nanti dulu, Lan-moi...!" Sim Houw mengejar, akan tetapi gadis itu mengerahkan seluruh ilmu ginkang (meringankan tubuh) dan tenaganya sehingga tubuhnya berlari seperti terbang saja. Sim Houw harus mengerahkan tenaga pula untuk dapat menyusul dan setelah mereka berlari berkejaran sampai jauh meninggalkan hutan itu, barulah Bi Lan dapat tersusul oleh Sim Houw.

"Lan-moi, berhentilah sebentar, aku mau bicara dulu!" kata Sim Houw setelah berhasil mendahului lalu menghadang di depan gadis itu. Dia melihat betapa selain terengah-engah kelelahan, juga ada bekas-bekas air mata di kedua pipi Bi Lan. Mudah dilihat bahwa ketika berlari-larian, Bi Lan telah menangis!

"Sim-toako, kenapa engkau mengejarku?" Bi Lan bertanya, dan suaranya yang agak parau juga membayangkan bekas tangis. Akan tetapi karena gadis itu berusaha keras menyembunyikan tangisnya, biar pun Sim Houw merasa heran sekali, dia pura-pura tidak melihat tangis itu.

"Lan-moi, engkau begitu tergesa-gesa pergi. Engkau hendak mencari keluarga Istana Gurun Pasir, apakah engkau sudah tahu di mana tempat itu?"

Bi Lan menggelengkan kepala. "Aku belum pernah ke sana, akan tetapi subo pernah memberi keterangan tentang arah dan tanda-tandanya menuju ke sana setelah keluar dan melewati Tembok Besar di utara."

"Aih, perjalanan itu begitu jauhnya! Lewat Tembok Besar? Sungguh merupakan daerah yang asing dan berbahaya sekali, Lan-moi. Karena itu, aku akan mengantarmu sampai engkau tiba di Istana Gurun Pasir."

Sinar kegembiraan yang cerah menerangi wajah yang tadinya kusut dan keruh itu. Dengan sepasang mata terbelalak gadis itu menatap wajah Sim Houw. Melihat betapa sepasang mata yang masih basah itu kini terbelalak lebar dan indah memandangnya, dan bayangan senyum didahului lesung pipit di kanan kiri pipi, Sim Houw memejamkan kedua matanya. Kagum dan haru memenuhi hatinya, akan tetapi dia memejamkan mata agar tidak terpesona oleh keindahan yang dilihatnya.

"Sim-toako... benarkah engkau hendak mengantar aku?"

Sim Houw mengangguk, tersenyum. "Tentu saja benar."

"Tapi... aku hanya akan mengganggu waktumu..."

"Sama sekali tidak, Lan-moi. Aku tidak mempunyai pekerjaan apa-apa, tidak mempunyai tugas sesuatu, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal. Kemana pun aku pergi, sama saja. Di mana-mana adalah tempat tinggalku. Perjalanan itu amat berbahaya dan hatiku tidak rela membiarkan engkau pergi seorang diri menempuh bahaya sebesar itu."

"Akan tetapi... kenapa, toako? Kenapa engkau mau bersusah payah untukku? Kenapa?"

Ingin sekali Sim Houw mengatakan seperti yang juga diharapkan oleh Bi Lan, bahwa untuk Bi Lan dia mau melakukan apa saja karena dia mencinta gadis itu. Akan tetapi Sim Houw menahan mulutnya dan tidak mau mengatakan hal seperti itu. Tidak, dia tidak akan membuka rahasia hatinya kepada Bi Lan sebelum dia yakin benar bahwa Bi Lan juga mencintanya dan akan menerima dan membalas cintanya.

"Lan-moi, engkau masih bertanya lagi kenapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat yang baik? Bukankah kita sudah sama-sama mengalami hal-hal yang hebat, bahkan sama-sama menghadapi bahaya maut di tangan Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio dan kawan-kawan mereka? Setelah apa yang kita alami bersama itu, bagaimana mungkin sekarang aku membiarkan engkau pergi menempuh bahaya melakukan perjalanan ke luar Tembok Besar? Dan aku pun hidup seorang diri, tidak mempunyai tempat tinggal, jadi, tiada salahnya kalau aku menemanimu pergi ke utara sampai engkau tiba di tempat yang kau cari, bukan?"

Bi Lan merasa kurang puas dengan jawaban itu, akan tetapi karena hatinya terlalu gembira mendengar keputusan Sim Houw yang hendak mengantarnya mencari Istana Gurun Pasir, ia pun tersenyum gembira kini.

"Ahh, terima kasih, Sim-toako, engkau sungguh baik sekali kepadaku. Ahh, bagaimana aku akan dapat membalas semua kebaikanmu? Engkau pernah menolongku, bahkan engkau juga membantu aku mendapatkan kembali Ban-tok-kiam yang dirampas Sai-cu Lama, dan sekarang engkau pun hendak mengantarkan aku mencari subo dan suhu di gurun pasir! Ahh, betapa senangnya hatiku. Tadinya aku sudah bingung. Biar pun subo sudah memberi gambaran tentang jalan menuju ke tempat itu, aku masih bingung dan aku... aku takut!"

Sim Houw tersenyum melihat kegembiraan gadis itu. Saat ini hatinya juga dipenuhi oleh perasaan girang yang belum pernah dirasakannya selama ini. Melihat gadis itu demikian gembira mendatangkan perasaan nyaman di hatinya. Kalau saja selamanya dia dapat membuat gadis itu bergembira selalu!

"Lan-moi, ucapanmu itu membuat aku merasa lucu, Engkau takut? Aihh, selama ini aku mengenalmu sebagai seorang gadis perkasa yang tidak mengenal takut! Sungguh aneh dan lucu mendengar engkau berkata bahwa engkau takut."

"Sungguh, toako, aku tidak bohong. Aku ketakutan, bukan takut akan ancaman orang tertentu, bukan takut akan bahaya. Melainkan takut... eh, aku merasa begitu sunyi dan terpencil, seperti seekor semut di tengah-tengah daun yang hanyut di tengah sungai. Aku takut akan kesepian itu sendiri, toako."

Sim Houw mengangguk-angguk. Tentu saja ketakutan seperti itu pernah dia rasakan pula. Kesepian, merasa hidup sendirian dan tidak dibutuhkan oleh siapa-siapa lagi! Hal yang betapa mengerikan.

"Aku mengerti, Lan-moi. Marilah kita berangkat sebelum hari menjadi gelap. Kita harus mencari tempat istirahat yang baik malam ini karena kita terlalu lelah setelah semua pengalaman dan perkelahian yang menegangkan itu. Kita tak perlu tergesa-gesa, tetapi harus dapat menikmati perjalanan ini, menikmati semua keindahan alam yang tentu berlainan dengan keadaan tempat-tempat yang pernah kita kunjungi. Dan waspada akan bahaya di tempat asing itu. Mari kita berangkat."

Dengan wajah berseri keduanya lalu berjalan berdampingan, menuju ke utara, melalui jalan yang sunyi itu. Akan tetapi kini mereka tidak merasa sunyi lagi. Bahkan sinar matahari nampak cerah sekali, dan awan-awan di angkasa membentuk gambar-gambar yang menarik, seperti sekelompok domba yang berjalan perlahan-lahan menuju ke timur dalam suasana yang begitu bersih, jernih dan gembira…..

********************

Wanita itu menangis seorang diri, terisak-isak dan tersedu-sedan di dalam pondok tua di tepi jalan yang sunyi itu. Sudah berjam-jam ia menangis seorang diri, pundaknya masih terguncang-guncang dan kadang-kadang tangisnya terdengar menyedihkan.

Ia seorang wanita cantik, usianya tiga puluh dua tahun. Sebetulnya ia mengenakan pakaian yang indah, dari sutera yang mahal dan mewah, dengan hiasan-hiasan rambut dan tubuh terbuat dari pada emas permata. Akan tetapi pakaian yang indah itu kini kusut dan bahkan kotor karena beberapa hari tidak pernah diganti. Rambutnya yang panjang hitam itu terlepas dari sanggulnya, riap-riapan menutupi sebagian mukanya. Di dekatnya, terletak di atas lantai, nampak sebuah pedang dalam sarung pedang yang indah.

Ia bukan wanita sembarangan, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu silat tinggi. Jarang ada orang dapat menandinginya. Ia seorang wanita kosen dan lihai. Akan tetapi, sekarang ia berada dalam kedukaan dan ketika ia menangis seperti itu, nampak betapa bagaimana pun juga, ia hanyalah seorang perempuan yang lemah tak berdaya dan membutuhkan perlindungan!

Wanita itu adalah Ciong Siu Kwi atau yang dikenal dengan julukan Bi-kwi (Iblis Cantik). Seperti telah kita ketahui, gerakan wanita ini dengan semua sekutunya telah mengalami kegagalan dan hanya berkat pengampunan yang diberikan oleh Bi Lan atau Siauw-kwi (Iblis Cilik) sajalah maka ia sendiri dapat keluar dari pertempuran itu dengan selamat.

Sekutunya telah hancur, semua orang yang bekerja sama dengannya telah tewas dalam pertempuran melawan para pendekar. Tiga orang guru-gurunya, Sam Kwi, telah tewas semua, juga Bhok Gun, kekasihnya yang terakhir, sudah tewas. Demikian pula orang-orang sakti seperti Sai-cu Lama dan Kim Hwa Nionio tewas di tangan para pendekar.

"Uuhhhh...hu-hu-huhhh...!" Ciong Siu Kwi menangis terisak-isak.

Ia bukan menangisi mereka itu. Sama sekali tidak. Bagaimana pun juga, permainan cintanya dengan Bhok Gun hanya merupakan petualangannya saja. Tidak ada rasa cinta di dalam hatinya terhadap Bhok Gun atau siapa pun juga. Ia, wanita ini belum pernah mencinta orang, arti kata yang sesungguhnya. Permainan cintanya dengan pria-pria seperti yang sudah-sudah, hanyalah merupakan pelampiasan nafsu belaka. Juga tidak ada rasa cinta terhadap Sam Kwi, tiga orang gurunya yang juga memperlakukan sebagai kekasih.

Cinta kasih tidak mendatangkan duka. Cinta kasih tidak membelenggu batin. Cinta kasih itu bebas dan wajar, seperti sinar matahari yang menghidupkan segala yang berada dalam sentuhannya, menghidupkan dan membahagiakan, sama sekali tanpa pamrih untuk kepentingan atau kesenangan diri sendiri. Sebaliknya, nafsu birahi, seperti segala macam nafsu, menimbulkan ikatan, membelenggu. Dan tentu saja menimbulkan derita karena ikatan berarti ketergantungan.

Kita menggantungkan kesenangan batin terhadap sesuatu atau seseorang dan kalau gantungan itu terlepas, tentu kita akan jatuh dan kita menderita duka. Ikatan itu dapat saja berupa ikatan terhadap kekasih, keluarga, harta benda, kedudukan, bahkan ikatan terhadap suatu cita-cita. Dan yang suka menggantungkan diri, mengikatkan diri adalah si aku, ciptaan pikiran.

Pikiran menciptakan aku yang selalu ingin senang, pikiran menimbulkan ikatan terhadap segala sesuatu yang menyenangkan si aku, dan kalau terjadi kegagalan dan perpisahan sehingga terlepas ikatan itu, maka pikiran pula yang tenggelam ke dalam duka. Si aku selalu condong untuk membesarkan iba diri, pementingan diri pribadi, karena dasarnya adalah pengejaran terhadap kesenangan pribadi serta pelarian terhadap hal-hal yang dianggap tidak menyenangkan

.

Siu Kwi tidak menyedihi kematian orang-orang itu. Tidak ada ikatan dalam batinnya terhadap mereka. Guru-gurunya, Bhok Gun dan yang lain-lain itu baginya hanya berupa alat belaka, untuk mencapai idaman hatinya, cita-citanya. Kehilangan alat-alat itu tidak mendatangkan duka, karena dapat saja ia mencari alat-alat lain.

Akan tetapi, yang menimbulkan duka adalah hancurnya semua cita-citanya. Habislah segala-galanya. Gagal semuanya dan rasa kecewa dan iba diri membuatnya berduka sehingga ia, seorang wanita perkasa yang biasanya amat keras hati, kini menangis dan air matanya mengalir deras tanpa dapat dibendungnya. Ia sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi yang dicengkeram duka. Ia merasa hampa, kosong dan tidak ada artinya hidup ini baginya. Hatinya nelangsa dan terasa kesepian yang mengerikan mencekam hatinya.

Apa lagi kalau diingat betapa ia telah kalah oleh Bi Lan! Gadis itu adalah sumoi-nya, bahkan lebih dari itu, dapat dibilang muridnya karena ialah yang dulu membimbing dan melatihnya semenjak awal. Bahkan ia telah menyelewengkan pelajaran silatnya untuk mencelakakan Bi Lan. Akan tetapi, Bi Lan tidak mati, tidak celaka, bahkan memperoleh ilmu-ilmu yang hebat. Membanding-bandingkan keadaan dirinya dan Bi Lan membuat perasaan hatinya tertusuk dan terasa nyeri sekali. Tertusuk rasa kecewa dan iri hati. Anak yang hampir gila itu kini malah menjadi seorang pendekar, menjadi seorang tokoh baik yang menonjol, dan bahkan dibela oleh para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir!

Penilaian secara otomatis menimbulkan perbandingan antara keadaan diri kita sendiri dengan orang lain dan muncullah ketidak puasan, bahkan putus harapan. Kita selalu merasa kurang, selalu merasa alangkah buruk keadaan kita karena kita menilai dan membandingkan. Dan kalau sudah ada penilaian dan perbandingan, tentu saja tidak ada yang sempurna di dunia ini.

Hasil pemikiran tentu saja tidak sempurna karena pikiran merupakan suatu sumber kekacauan dari konflik-konflik dan pertentangan-pertentangan antara baik buruk, untung rugi dan sebagainya. Bagi orang yang tidak menilai, tidak membandingkan, melainkan memandang dan mengamati segala sesuatu tanpa penilaian, tanpa perhitungan untung rugi, akan nampak bahwa tidak ada yang tidak sempurna pada alam semesta ini! Bagaimana mungkin hasil dari ulah dan perbuatan kita akan sempurna kalau kita sendiri penuh dengan benci, iri, dan pementingan diri sendiri?

Siu Kwi menangis tersedu-sedu. Mengingat akan keadaan Bi Lan yang dianggapnya hidup penuh kebahagiaan, ia merasa betapa ia tidak punya apa-apa lagi. Ia merasa kesepian dan takut untuk melanjutkan hidup, merasa tidak kuat untuk memulai hidup baru.

Mengapa hidupnya begini sengsara dan serba mengecewakan? Mengapa seakan-akan ia dikutuk? Ketika hatinya mengeluh demikian, ada bisikan pada hati nuraninya yang membuat Siu Kwi menghentikan tangisnya, mukanya pucat dan sepasang matanya yang menjadi membengkak dan merah karena tangis itu kini sayu memandang jauh ke depan, merenungkan segala kehidupannya yang lalu.

Nalurinya membisikkan bahwa hidupnya yang lalu penuh dengan penyelewengan dan kejahatan. Sebagai manusia, tentu saja ia memiliki kesadaran dan pengertian tentang baik buruk. Akan tetapi, selama kejahatan yang dilakukannya itu mendatangkan hasil baik dan mendatangkan kesenangan, ia tidak mau peduli dan seperti lupa bahwa yang dilakukan adalah jahat. Barulah, setelah perbuatan jahat itu mendatangkan suatu mala petaka yang menimpa diri, timbullah penyesalan! Walau pun penyesalan itu belum tentu berarti mendatangkan perasaan bertobat, namun lebih condong menyesali kegagalan atau mala petaka itu!

Akan tetapi, Siu Kwi merasa benar-benar menyesal mengapa ia membiarkan dirinya terseret ke dalam kejahatan. Timbul keinginan hatinya untuk mengubah cara hidupnya, meninggalkan dunia sesat dan mencontoh jalan yang ditempuh oleh sumoi-nya. Akan tetapi bagaimana caranya? Jalan apakah yang harus diambil?

Namanya sudah menjadi rusak dan kiranya tidak ada seorang pun manusia di dunia ini, kecuali mereka dari golongan sesat pula, yang akan mempercayainya sehingga mau menerimanya. Akan tetapi kalau ia bergaul lagi dengan golongan sesat, maka sejarah akan terulang. Ia tentu akan bergelimang kejahatan lagi dan ia sudah merasa takut untuk menderita akibatnya yang amat buruk, seperti yang dirasakannya sekarang.

Pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan memang dapat menimbulkan kepalsuan-kepalsuan dalam batin kita. Kalau kita tahu bahwa kita berbuat baik, maka pengetahuan ini saja sudah menyembunyikan suatu pamrih di balik perbuatan kita itu. Tahu tentang kebaikan tentu saja dirangkai dengan tahu bahwa kebaikan itu membuahkan suatu keuntungan! Sebaliknya, tahu tentang kejahatan disertai pengetahuan bahwa perbuatan jahat itu membuahkan keburukan dan kerugian kepada kita.

Dengan demikian, kita BERUSAHA untuk melakukan kebaikan, tentu saja karena tahu bahwa hal itu akan mendatangkan keuntungan bagi kita. Kita memaksa diri tidak mau melakukan kejahatan dengan pengetahuan bahwa hal itu pasti akan mencelakakan kita sendiri. Jelas bahwa pengetahuan tentang kebaikan dan keburukan ini bisa mendorong kita untuk menjadi munafik, untuk menjadikan perbuatan kita palsu dan tidak wajar!

Tentu saja bukan maksud kita untuk mengabaikan pengetahuan tentang baik dan jahat. Tetapi kita harus mengenal dasar dari perbuatan kita sendiri, mengenal watak-watak palsu kita sendiri dengan cara pengamatan terhadap diri sendiri, setiap kali kita berbuat, setiap kali kita bicara, setiap kali kita berpikir. Amat jauh bedanya antara perbuatan baik yang kita sadari dengan perbuatan apa pun juga yang kita lakukan dengan dasar cinta kasih!

Jika sinar cinta kasih menerangi sikap dan perbuatan kita, maka perbuatan itu wajar, kita lakukan tanpa penilaian baik ataukah buruk dan yang sudah pasti sekali, segala perbuatan yang dilakukan dengan dasar cinta kasih, bagaikan matahari menyinarkan cahayanya, bagaikan bunga menyiarkan keharuman dan keindahannya, bagaikan ibu menyusui anaknya, maka perbuatan itu adalah suci!

Ketika Siu Kwi sedang terombang-ambing dalam lamunannya sendiri, mulai timbul rasa penyesalan terhadap segala perbuatannya yang sudah-sudah, dan timbul keinginan untuk mengubah jalan hidupnya, meninggalkan kesesatannya, mendadak ia mendengar suara seorang laki-laki bernyanyi. Suara itu lantang dan bersih, meski kadang-kadang suaranya tersendat seperti tertahan sesuatu, dan lagunya pun adalah lagu dusun yang sederhana sekali, seperti orang membaca sajak saja.

Alangkah cantiknya duniaku!
Langit biru terhias awan bergumpal-gumpal
Itulah atap rumahku!
Pohon-pohon berdaun hijau
berbunga aneka warna
Itulah dinding rumahku!
Tanah segar dengan babut rumput hijau
Itulah lantai rumahku...!

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Hatinya tersentuh. Ada kesederhanaan dan keaslian di dalam suara itu. Kewajaran yang indah walau pun isi nyanyian itu teramat sederhana. Dan suara itu begitu wajar dan segar, membayangkan bahwa penyanyinya tentulah berada dalam kebahagiaan.

Siu Kwi yang tadinya merasa sengsara, jauh dari kebahagiaan yang didambakannya, menjadi tertarik sekali. Tangisnya terlupa, terhenti dengan sendirinya dan sejak tadi ia terbawa hanyut oleh suara nyanyian.

Suara itu masih bernyanyi, mengulang-ulang kata-kata itu namun tidak menjemukan, seperti suara burung-burung pagi berkicau dengan riang.

Siu Kwi bangkit berdiri, membereskan pakaiannya yang kusut, juga rambutnya yang awut-awutan, dalam keadaan setengah sadar karena gerakan itu hanya terjadi karena kebiasaan, kemudian ia keluar dari dalam pondok tua dan berjalan menuju ke arah suara nyanyian. Wajahnya masih agak pucat, bekas-bekas air mata masih nampak di kedua pipinya. Matanya masih kemerahan dan agak membengkak. Isaknya terkadang masih mengguncang dadanya, seperti gema tangisnya tadi. Ia berjalan perlahan ke arah suara.

Pria itu berusia antara dua puluh lima tahun. Dia tidak berbaju, hanya memakai sebuah celana dari kain kasar yang berwarna hitam. Celana panjang itu digulungnya sampai ke lutut dan di sana-sini ternoda lumpur. Badan yang tidak tertutup baju itu memperlihatkan otot-otot yang berkembang dengan bagusnya, bergerak-gerak ketika kedua lengannya mengayun cangkul.

Tubuh yang tegap itu nampak penuh dengan tenaga. Wajahnya sederhana saja, bersih dan penuh kejantanan. Pria itu mencangkul tanah berlumpur sambil bernyanyi, suara nyanyiannya kadang tersendat kalau cangkulnya terayun dan menghunjam tanah basah di depan kakinya.

“Crokk! Crokk!” Bunyi cangkulnya seirama dengan nyanyiannya dan agaknya suara itu menjadi pengiring nyanyiannya yang sederhana.

Pria itu memusatkan perhatiannya sepenuhnya kepada tanah yang dicangkulnya dan ini merupakan suatu keharusan. Kalau tidak, cangkulnya dapat menghantam batu atau menyeleweng ke arah kakinya sendiri. Akan tetapi ada yang lebih dari pada itu, yaitu rasa cinta terhadap apa yang dikerjakannya! Dan rasa cinta inilah yang mendatangkan ketekunan, mendatangkan pencurahan perhatian, sepenuhnya.

Dan sepatutnya, kita semua mencontoh pemuda itu, yaitu melakukan segala pekerjaan dengan perasaan cinta terhadap apa saja yang kita kerjakan! Dan kalau sudah begitu, kita bekerja tanpa mengharapkan apa-apa, karena di dalam pekerjaan itu sendiri kita sudah menemukan suatu kebahagiaan besar. Ada pun hasil pekerjaan itu hanyalah merupakan akibat saja dari pekerjaan kita, merupakan bunga dan buah dari pada pohon yang kita tanam.

Siu Kwi memandang ke arah pria itu dengan terpesona. Sampai lama ia berdiri seperti patung mengamati pria itu, mengikuti seluruh nyanyiannya, mengikuti setiap gerak kaki tangannya. Biasanya, ia memandang rendah kepada orang-orang yang bekerja kasar, apa lagi seorang petani miskin dan kotor seperti pria itu! Seorang pria yang tentu saja tidak terpelajar, bodoh dan juga lemah, hanya memiliki tenaga kasar saja, bukan ahli silat! Biasanya, terhadap seorang pria mencangkul sawah seperti ini, ia tentu sama sekali acuh, menengok pun tidak sudi. Akan tetapi sekarang, ia terpesona!

Ada keindahan tersendiri yang khas pada tubuh pria itu. Wajahnya yang sederhana, tubuhnya yang tegap, nyanyiannya, semua itu nampak begitu riang dan cerah, seperti burung yang berkicau sambil berlompatan dari dahan ke dahan, seperti sinar matahari pagi itu.

Ahhh, dia tentu seorang yang berbahagia, pikir Siu Kwi. Dan ia pun ingin sekali tahu. Bagaimana ia akan bisa memperoleh kebahagiaan? Bagaimana pula petani sederhana ini dapat hidup demikian bahagia, walau pun bergelimang kesederhanaan, lumpur kotor dan mungkin kemiskinan? Pada hal pria itu jelas seorang yang amat sederhana, bodoh hanya seorang petani biasa!

Siu Kwi melangkah maju menghampiri sampai ia tiba di tepi sawah. Pemuda yang sedang mencangkul itu belum juga melihat kedatangannya. Ini saja biasanya cukup untuk menjengkelkan hati Siu Kwi yang merasa tidak diperhatikan, pada hal jarak antara ia dan pemuda itu hanya beberapa meter saja.

"Heii, bung! Aku ingin bertanya sedikit padamu." Akhirnya Siu Kwi berkata dan biar pun tiada kemarahan di hatinya terhadap pemuda itu, karena sudah menjadi kebiasaannya, suaranya terdengar lantang dan juga galak.

Pria petani itu nampak terkejut. Tidak disangkanya akan ada seorang wanita datang menegurnya dan ketika dia menengok, dia menjadi semakin terkejut sehingga sampai beberapa lamanya dia hanya bengong saja memandang, menoleh ke arah Siu Kwi dengan cangkul masih dalam genggaman kedua tangan. Tentu saja, melihat seorang wanita dengan pakaian indah dan sedemikian cantiknya kini berdiri di depannya dan mengajak dia bicara, tentu saja merupakan suatu pengalaman yang amat mengejutkan dan mengherankan bagi petani itu. Tentu saja dia menjadi bengong dan tak mampu mengeluarkan jawaban.

Siu Kwi mengerutkan alisnya. Biasanya, melihat pertanyaannya tidak segera dijawab orang, tentu akan membuat ia marah sekali. Akan tetapi aneh, sekali ini tidak. Ia seperti dapat mengerti bahwa pria ini terheran-heran dan terkejut, sehingga melihat orang itu bengong, ia merasa geli sendiri.

"Heii, bung! Apakah engkau ini tuli ataukah gagu sehingga tidak mendengar dan tidak dapat menjawab?"

Barulah pemuda petani itu nampak semakin gugup. Ia cepat menurunkan cangkulnya, demikian keras dan canggung sehingga cangkul itu menimpa lumpur yang memercik ke atas dan mengenai dagunya! Melihat ini, Siu Kwi menjadi semakin geli sehingga tanpa disadarinya, wanita itu tersenyum lebar dan ia pun tidak sadar betapa senyumnya ini membuat wajahnya manis sekali.

"Uhh, maaf...!" kata pemuda itu, kemudian mencoba untuk membungkuk sebagai tanda penghormatan. "Nyonya... ehhh, nona... tadi bertanya apakah?"

Sikap canggung dan suara yang lantang itu saja sudah mendatangkan kegembiraan di hati Siu Kwi.

"Aku belum bertanya," jawabnya, "akan tetapi aku ingin bertanya sedikit padamu dan maafkan jika aku mengganggu pekerjaanmu."

Siu Kwi merasa heran sendiri ketika mendengar sikap dan bahasanya. Ia seolah-olah mendengar suara orang lain yang bicara melalui dirinya. Belum pernah ia ‘seramah’ dan ‘sesopan’ ini terhadap orang lain, apa lagi hanya seorang pria petani.

Pemuda itu tentu saja mengira bahwa tentu nona kota ini hendak bertanya jalan, atau menanyakan dusun di sekitar tempat itu, maka dia menjawab, "Boleh saja kalau nona mau bertanya. Apakah yang nona tanyakan?"

"Yang ingin kutanyakan adalah, apakah engkau berbahagia?"

Petani muda itu melongo. Sama sekali tidak pernah disangkanya dia akan menerima pertanyaan seperti itu. "Apa...? Ehh...... aku...? Bahagia? Ahh, aku tidak tahu, nona."

Pemuda ini terlalu polos dan jujur, kalau mengatakan tidak tahu, tentu benar-benar tidak tahu, atau tidak mengerti apa yang ia tanyakan. Ia mengangguk yakin. "Engkau tentu seorang yang hidup bahagia. Ya, aku yakin engkau tentu berbahagia!"

Akan tetapi pemuda itu tidak yakin. "Bahagia? Apa sih bahagia itu, nona?"

Kini Siu Kwi yang bengong. Apa sih bahagia itu?

"Bahagia... ya, bahagia, hidupnya senang dan tenteram, aman makmur penuh damai..."

Pemuda itu mengangguk-angguk. "Itukah yang dinamakan bahagia?"

"Begitulah... atau mungkin aku keliru, entahlah."

Pemuda itu memandang bingung. "Bagaimana pula ini? Kalau nona sendiri tidak tahu dengan jelas, apa lagi aku. Aku tidak pernah mendengar kata itu dan agaknya aku pun tidak membutuhkan kebahagiaan itu."

Siu Kwi membelalakkan kedua matanya. Tidak membutuhkan kebahagiaan! Pemuda sederhana ini tidak membutuhkan kebahagiaan! Sedangkan ia yang berenang di dalam kemewahan begitu rindu dan butuh akan kebahagiaan karena merasa tidak bahagia, karena merasa nelangsa dan berduka. Agaknya itulah jawabannya.

Pemuda itu berbahagia di dalam kesederhanaannya, berbahagia karena dia tidak butuh bahagia lagi. Dan ia yang berduka, merasa ditinggalkan kebahagiaan, maka ia amat membutuhkan kebahagiaan! Kalau saja ia tidak berduka, kalau saja ia dapat menikmati segalanya seperti pemuda ini, tentu ia pun tidak akan butuh kebahagiaan karena sudah berbahagia!

"Ya, tentu engkau berbahagia, karena engkau bekerja sambil bernyanyi-nyanyi gembira. Engkau tentu seorang yang hidup berbahagia," katanya lagi, memandang wajah dan tubuh pemuda itu dengan kagum.

Pemuda itu mengerutkan alis sejenak, lalu mengangguk-angguk pula. "Boleh jadi. Aku dapat melihat semua keindahan pagi ini, dapat mendengarkan kicau burung yang riang gembira, melihat bunga-bunga dan pohon-pohon, mencium keharuman tanah yang kucangkul, dapat menghirup udara segar dengan bebas, kalau lapar dapat makan dan kalau haus dapat minum, memiliki pekerjaan. Mau apa lagi?"

Siu Kwi semakin tertarik dan memandang kagum. Bukan kagum dan bukan seperti biasanya tertarik oleh laki-laki karena dorongan nafsu birahi. Bukan, sama sekali. Sekali ini, ada sesuatu yang aneh terjadi di dalam hatinya. Ia merasa tertarik dan kagum karena ia melihat betapa laki-laki yang berlepotan lumpur ini lebih utuh sebagai manusia dari pada dirinya sendiri. Laki-laki ini jauh lebih berarti dalam kehidupan ini.

Ia seperti melihat mutiara gemerlapan di dalam lumpur. Seorang pemuda yang amat polos, jujur terbuka, bersih seperti batu kemala yang belum digosok, nampak kasar dan biasa saja namun mengandung keindahan yang amat berharga di dalamnya. Jawaban pemuda itu merupakan suatu pelajaran yang tak ternilai harganya, walau pun pemuda itu tidak sengaja hendak mengajarkan sesuatu kepadanya.

Memang demikianlah. Guru berada di mana-mana kalau saja kita mau membuka mata lahir batin dan mau mengamati segala sesuatu di dalam dunia ini, di luar dan di dalam diri sendiri, secara seksama dan waspada. Melayangnya sehelai daun kering dari atas pohon karena patah dari tangkainya, sudah dapat merupakan suatu pelajaran tentang hidup dan mati.

Dalam mempelajari dan mengerti tentang hidup, tak perlu mencari guru dalam bentuk seorang manusia, karena kehidupan adalah sesuatu yang bergerak terus. Kehidupan adalah suatu kenyataan yang kita hayati sendiri. Sedangkan apa yang dapat diajarkan oleh seorang guru hanyalah pengetahuan mati tentang kehidupan.

Jawaban pemuda petani itu pun dapat merupakan suatu pembukaan rahasia tentang kebahagiaan. Dia sudah dapat menerima segala sesuatu yang ada sebagai suatu kenikmatan hidup. Dia TIDAK MENCARI SESUATU YANG TIDAK ADA PADANYA! Karena itulah dia tidak merasa kekurangan apa-apa, dia tidak mengejar apa-apa. Kalau sudah begitu, tentu saja tidak ada kekecewaan, tidak ada iri, tidak ada kebutuhan akan sesuatu dan tidak ada duka. Dan kalau sudah begini, tentu saja dia tidak membutuhkan kebahagiaan, karena kebutuhan akan kebahagiaan muncul apabila kita merasa bahwa kita tidak bahagia!

Kalau semua orang seperti pemuda petani itu, tentu tidak akan ada kemajuan! Demikian orang membantah. Mungkin mereka benar! Akan tetapi, apakah yang kita namakan kemajuan itu? Kita mendambakan kemajuan, kita mengagung-agungkan kemajuan. Akan tetapi apakah sebenarnya kemajuan itu?

Model celana dipotong pendek, lalu panjang lagi, lalu pendek lagi, panjang lagi. Sempit, lalu longgar, sempit lagi. Itukah kemajuan? Benda-benda dibikin modern supaya LEBIH MENYENANGKAN. Jadi, kemajuan berarti pengejaran sesuatu yang dianggap lebih menyenangkan! Itukah kemajuan? Dan sampai di mana kita sekarang ini maju? Sudah majukah? Sudah sampai di batas manakah?

Matahari menyinarkan cahayanya yang cerah. Burung-burung berkicau di pohon-pohon. Bunga-bunga mekar semerbak harum. Sejak jutaan tahun yang lalu sudah begitu, dan terus begitu. Semua itu tidak mengejar kemajuan, melainkan bertumbuh dengan wajar. Apakah keadaan alam seperti itu dapat kita katakan tidak maju?

Pikiran yang didorong oleh keinginan mencari kesenangan yang lebih, tidak mungkin berdaya cipta (creative). Tidak akan menjadikan kita bijaksana dan cerdas. Sebaliknya, pikiran yang selalu mengejar kesenangan yang lebih akan menjadi licik dan penuh akal, kejam dan tak pernah mengenal puas. Perbaikan keadaan tentu terjadi karena manusia mempergunakan akal budi yang memang sudah ada padanya sejak lahir.

Keburukan hidup menghadapi alam, akan mendorong manusia mempergunakan akal budinya untuk mengatasi segala kesukaran. Daya cipta akan berkembang secara wajar, demi kesejahteraan hidup, bukan demi pergejaran kesenangan

.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga