SULING NAGA : JILID-15


Akan tetapi ketika dia melirik dan melihat betapa Bi Lan memeriksa luka di pahanya sambil mendesis-desis dan mengeluh dengan suara seperti akan menangis, bagai sikap seorang anak kecil yang cengeng, kemarahannya mencair dan dia pun merasa kasihan. Maka dia lalu memberi nasehat tadi agar luka itu dicuci dan bahwa dia mempunyai obat luka yang manjur.

Namun tidak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu memang benar-benar jahat. Kini gadis itu mengancam ubun-ubun kepalanya, siap membunuhnya sambil menanyakan pedang pusaka yang juga mengerikan itu. Kini tahulah dia mengapa gadis itu memiliki sebatang pedang yang demikian menyeramkan. Kiranya ia sendiri pun mempunyai watak yang mengerikan.

"Hemm, kau kira aku mencuri pedangmu yang ganas itu? Aku hanya menyimpannya. Pedang itu masih berada di bawah pohon di sana itu." Hong Beng menunjukkan tempat pedang itu dengan pandang matanya.

Bi Lan menengok dan terpincang-pincang ia menghampiri pohon itu. Dan benar saja, Ban-tok-kiam menggeletak di situ. Cepat pedang itu diambilnya. Pedangnya sudah dia temukan dan kini pemuda itu harus dibunuhnya, untuk menghukumnya atas kekurang ajarannya. Ia pun terpincang-pincang kembali menghampiri Hong Beng yang diam-diam sudah siap siaga membela diri. Akan tetapi dia masih tetap rebah terlentang.

"Dan sekarang bersiaplah engkau untuk mampus!" bentak Bi Lan sambil mengangkat pedangnya.

Hong Beng tersenyum mengejek. "Hemm, benar saja. Aku telah keliru menolong anak setan yang amat jahat."

Bi Lan menahan pedangnya. "Siapa yang jahat?"

"Huh, siapa lagi kalau bukan engkau? Aku telah menyelamatkanmu, menolongmu, akan tetapi engkau hendak membalasnya dengan membunuhku. Apa namanya itu kalau tidak jahat seperti iblis?"

"Engkau yang jahat seperti iblis! Memang kau telah menolongku, tetapi pertolonganmu itu berpamrih keji. Semua kebaikanmu itu belum cukup untuk menghapus kekejian dan kekurang ajaranmu terhadap aku. Dibunuh sepuluh kali pun tetap masih belum dapat menghapus dosamu!"

Hong Beng membelalakkan kedua matanya. "Ehh... ehhh... engkau tidak hanya jahat dan kejam, akan tetapi bahkan licik dan pandai membalik-balikan kenyataan. Sungguh tak kusangka. Kau bilang aku jahat dan keji dan kurang ajar? Coba, di bagian mana aku jahat dan keji dan kurang ajar?"

Hong Beng benar-benar merasa penasaran sekali. Ingin dia merenggut lepas tali-tali itu dan menghajar gadis yang keterlaluan ini, akan tetapi dia masih ingin mendengarkan terus karena diam-diam dia merasa terheran-heran bagaimana ada gadis yang begini berani mati dan tanpa malu-malu memutar balikkan kenyataan.

Akan tetapi, sikap Hong Beng itu bahkan membuat Bi Lan menjadi semakin marah. "Hehh, kau laki-laki yang sombong dan engkaulah yang pura-pura suci. Apa yang kau lakukan tadi sewaktu aku pingsan? Engkau telah menciumku..."

"Ehhh...? Bohong seribu kali bohong! Aku tidak pernah menciummu!" bantahnya dan ada suara berbisik menyambung di dalam hatinya, "...walau pun aku ingin sekali kalau mungkin...!"

Heran sekali dia, mengapa ada mulut dapat nampak begitu manis biar pun mulut itu sedang cemberut dalam kemarahan! Dan lebih heran lagi dia, mengapa ada wajah yang begitu jelita tetapi memiliki mata yang demikian jahat dan kejam!

Sepasang mata itu mencorong seperti mengeluarkan sinar berapi. "Apa? Kaulah yang bohong, pengecut yang tidak berani mengakui perbuatannya sendiri. Ketika aku sadar dari pingsan, engkau menempelkan mulut dan hidungmu di pundakku. Apa lagi itu namanya kalau bukan mencium? Apa kau mau bilang bahwa kau hendak menggigit dan memakan daging pundakku? Dan ketika aku siuman untuk ke dua kalinya, engkau... engkau membelai dan meraba-raba pundakku. Keparat!"

Tiba-tiba Hong Beng tertawa sehingga Bi Lan yang sedang marah itu tertegun heran. Gilakah orang ini? Diancam mau dibunuh malah ketawa-tawa.

"Ha-ha-ha, jadi itukah sebabnya mengapa engkau jatuh pingsan lagi, dan kemudian kau menyerangku secara semena-mena?"

Hatinya lega bukan main. Kalau begitu, gadis ini sama sekali tidak jahat! Tadi gadis ini bersikap kejam karena marah dan merasa dihina, mengira dia seorang pria kurang ajar yang mempergunakan kesempatan selagi gadis itu pingsan, sudah berani mencium pundaknya lalu meraba-raba pundak dan mungkin lain tempat lagi! Itulah sebabnya gadis itu menjadi marah dan kejam! Bukan karena memang wataknya jahat.

"Ha-ha, nona, engkau salah kira. Aku tidak mencium pundakmu, juga tidak ingin makan daging pundakmu biar pun perutku memang lapar sekali."

"Jangan coba menyangkal atau berkelakar. Aku tidak ketawa dan tidak merasa lucu! Kalau tidak mencium, lalu mau apa kau...?"

"Nona, aku memang menempelkan mulutku di pundakmu, akan tetapi bukan mencium, melainkan menyedot darah yang sudah tercampur racun dari luka di pundakmu."

Bi Lan terkejut dan baru ia teringat bahwa ketika berkelahi, pundaknya terkena jarum beracun suci-nya dan menjadi lumpuh lengan kiri itu.

"Luka...?" Di pundak...?" ia tergagap.

"Terkena jarum beracun. Aku terpaksa menyedot darah yang keracunan itu, sekalian mengeluarkan jarumnya, lalu kugunakan sinkang untuk membantumu memulihkan jalan darahmu, dan menempelkan tanganku di pundak yang terluka itu..."

"Ahhh...!"

Bi Lan kini menggunakan tangan kirinya meraba-raba pundak dan memang masih ada lukanya di situ, luka kecil karena jarum, tetapi menjadi agak besar karena disedot dan kini sudah kering dan sudah tidak terasa nyeri sama sekali.

"Ahhh...!" kembali ia berseru bingung. Pedang yang dipegang oleh tangan kanan itu kini menurun.

"Ahhh...!" Bermacam perasaan mengaduk hatinya. Menyesal, malu, dan ditambah pula perasaan nyeri di pahanya.

Melihat betapa gadis itu hanya dapat ber-ah-ah-uh-uh dengan canggung, Hong Beng merasa kasihan. "Luka di pahamu itu perlu dirawat, nona. Perlu dicuci bersih dan aku membawa obat luka yang manjur, yang tadi pun sudah kutorehkan pada luka di pundakmu. Aku belum berani merawat luka di pahamu karena khawatir kau..."

Bi Lan menarik napas panjang. Pengalamannya dengan Sam Kwi, kemudian dengan Bhok Gun, membuat ia bercuriga kepada setiap pria dan ia tadinya menduga bahwa pemuda ini pun tiada bedanya dengan yang lain. Akan tetapi ternyata ia salah duga, salah sekali.

"Aihh, aku telah keliru... kukira engkau... kiranya tidak demikian..."

Hong Beng tersenyum. "Hal itu tidak aneh, nona. Memang di dunia ini lebih banyak orang jahat dari pada yang benar. Akan tetapi, tentu engkau sekarang sudah percaya kepadaku, bukan?"

Melihat betapa pemuda itu memandang ke arah pedang Ban-tok-kiam yang masih terus dipegangnya dengan tangan kanan, Bi Lan cepat menyimpan pedangnya itu dengan muka merah.

"Tentu saja, aku telah salah sangka. Biar kulepaskan ikatan dan totokanmu..."

Akan tetapi gadis itu terkejut bukan main ketika ia hendak membuka totokan dan ikatan kaki tangan, tiba-tiba pemuda itu menggerakkan kaki tangannya dan semua ikatan itu pun putus dan pemuda itu bangkit duduk sambil tersenyum.

"Ahh, kau... kau..." Bi Lan tak melanjutkan kata-katanya dan memandang dengan mata terbelalak dan mukanya menjadi semakin merah. "Tadi... kau kutotok dan kuikat..."

"Baik sekali itu, nona, demi keamanan karena kalau seorang yang dicurigai dibiarkan terlepas, tentu berbahaya."

"Dan tadi... kuhantam dadamu, keras sekali. Kau tidak apa-apa...?"

"Aku roboh pingsan. Memang hebat sekali pukulanmu tadi."

"Maksudku, kau tidak terluka parah...?" Ucapan Bi Lan kini terdengar penuh dengan nada penyesalan.

Makin gembiralah hati Hong Beng karena dia kini merasa yakin bahwa dia tidak salah mengira ketika pertama kali bertemu dengan gadis ini di restoran. Gadis ini lain dengan suci-nya itu. Gadis ini polos dan murni, hanya agak liar dan penuh curiga.

Dia menggeleng kepala, tidak tega menggoda dan menambah penyesalan dalam hati gadis itu. "Pukulanmu tadi cepat sekali datangnya, dan untunglah aku masih sempat melindungi dadaku. Kalau tidak, tentu sudah berantakan isi dadaku tadi."

"Ahhh, aku menyesal sekali. Sungguh aku jahat sekali, engkau sudah membantuku dan menyelamatkan aku, akan tetapi aku sejak pertama mencurigaimu. Kuanggap engkau kurang ajar ketika memondongku dan melarikan aku, kemudian engkau untuk kedua kalinya menyelamatkan aku dengan mengobati lukaku, akan tetapi aku malah makin curiga dan menyangka buruk. Ahhh, betapa jahatnya aku..."

"Sudahlah, nona. Salah sangka merupakan kelemahan semua orang. Mungkin karena engkau kurang pengalaman, dan kita belum saling mengenal, maka terjadilah kesalah pahaman itu. Lebih baik kau rawat dulu luka di pahamu, ini ada obat luka yang manjur. Pakailah. Ketika lari ke sini, di bawah itu terdapat sumber air. Mari kuantar..."

Bi Lan bangkit dan ketika Hong Beng mengulurkan tangan, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memegang lengan pemuda itu dan sambil terpincang-pincang, dibantu oleh Hong Beng, mereka menuruni lereng itu dan benar saja, tak jauh dari situ terdapat mata air yang mengeluarkan air jernih dari celah-celah batu dan menjadi anak sungai.

"Cucilah lukamu, aku menanti di sana."

Hong Beng pergi meninggalkan gadis itu lalu duduk di atas sebuah batu, di tempat yang agak tinggi sehingga nampak oleh Bi Lan betapa pemuda itu duduk bersila di atas batu datar, membelakanginya. Kembali wajahnya terasa panas karena malu. Pemuda itu demikian sopan, akan tetapi tadi hampir dibunuhnya karena dianggapnya kurang ajar! Lain kali ia harus berhati-hati menilai orang dan tidak bertindak secara sembrono.

Dengan hati-hati ia kemudian merobek celananya lebih lebar sehingga luka di pahanya nampak nyata. Luka itu sebetulnya tidak seberapa lebar, hanya terluka oleh tusukan pedang, akan tetapi agak membengkak dan merah sekali. Biar pun terasa amat perih ketika disentuh air, tapi ia menggigit bibir dan tidak mau mengaduh, khawatir terdengar oleh pemuda itu.

Dicucinya luka itu sampai bersih, kemudian ia menaruh obat bubuk putih itu di atas luka itu sampai penuh dan tertutup, kemudian dibalutnya pahanya dengan kain putih dari ikat pinggangnya. Terasa dingin dan nyaman sekarang. Akan tetapi dengan sedih ia melihat celananya yang kini robek dan tak dapat menutupi lagi seluruh kakinya, juga bajunya di bagian pundak kiri sudah robek sehingga nampak kulit leher dan sebagian pundaknya.

Ia melihat bahwa pemuda itu masih duduk bersila di atas batu, menghadap matahari pagi yang sudah mulai muncul dengan sinarnya yang kuning keemasan, cerah sekali. Sedapat mungkin Bi Lan mencoba menutupi paha dan pundaknya yang nampak ketika ia menghampiri pemuda itu.

"Sudah kuobati luka di kakiku," katanya sambil mengembalikan bungkusan obat luka.

Hong Beng memandang dan melihat betapa gadis itu dengan canggungnya mencoba untuk menutupi robekan celana dan bajunya. Ia segera mengambil bungkusannya dan mengeluarkan satu stel pakaiannya.

"Nona, pakaianmu robek-robek, kau pakailah pakaian ini untuk sementara sebelum kau mendapatkan pengganti yang pantas."

Bi Lan menggeleng kepala. "Pakaianmu tentu terlalu besar untukku, juga, aku tidak suka memakai pakaian pria." Ia melihat pakaiannya dan menarik napas panjang. "Kalau saja aku dapat menambal dan menjahit bagian yang robek, untuk sementara dapat dipakai sebelum mendapatkan yang baru..."

"Aku punya jarum dan benang! Dan untuk menambal, kau pergunakan ini."

Tanpa ragu-ragu lagi Hong Beng merobek kain ikat pinggang yang panjang, berwarna putih, dan menyerahkan robekan kain itu bersama jarum dan benangnya kepada Bi Lan. "Akan tetapi, untuk menjahit pakaianmu, sementara engkau harus berganti dulu, nona. Kau pakailah dulu pakaian ini sebelum pakaianmu dijahit. Maukah kau kubantu? Aku pandai menjahit, dan aku akan menjahit pakaianmu yang robek..."

"Tidak!" kata Bi Lan cepat-cepat. "Aku akan menjahitnya sendiri!"

Hong Beng tersenyum. "Baiklah, kau berganti pakaian dan jahit pakaianmu yang robek. Aku mau mencari bahan makanan untuk kita."

Setelah berkata demikian, Hong Beng meloncat dan lari memasuki sebuah hutan lebat yang berada di dekat puncak, tak jauh dari lereng itu.

Bi Lan cepat membawa satu stel pakaian Hong Beng dan masuk ke belakang semak-semak belukar. Ia menanggalkan pakaiannya sendiri dan memakai pakaian Hong Beng yang tentu saja terlalu besar untuknya itu sehingga ia harus menggulung kelebihan kaki celana dan lengan baju.

Ia nampak lucu setelah keluar dari balik semak-semak, membawa pakaiannya sendiri kembali ke batu besar tadi dan mulai menjahit serta menambal baju dan celananya sendiri yang robek-robek. Ia sudah biasa menggunakan jarum benang, maka sebentar saja baju dan celananya yang robek-robek itu telah dijahitnya dengan rapi dan rapat. Setelah Hong Beng kembali ia sudah berganti dalam pakaiannya sendiri dan pakaian Hong Beng yang tadi dipakainya telah dilipatnya lagi dengan rapi dan dikembalikan ke dalam buntalan pemuda itu.

Hong Beng dengan wajah berseri memperlihatkan dua ekor ayam hutan yang gemuk, yang dirobohkannya dengan sambitan jarum-jarumnya. "Lihat, ini bahan makanan untuk kita. Aku sudah lapar sekali."

"Mari kubantu membersihkan bulu-bulu dan isi perutnya. Berikan padaku, akan kucuci di sumber air itu."

"Dan aku akan mempersiapkan api dan menanak nasi, juga mempersiapkan bumbu-bumbunya."

"Nasi? Bumbu?"

Hong Beng tertawa kemudian ia mengeluarkan beras, panci, garam dan bumbu-bumbu sederhana dari dalam buntalannya, seperti bermain sulap saja. Bi Lan tersenyum dan ia sudah pulih kembali kesehatannya sehingga kegembiraannya juga timbul karena pada hakekatnya gadis itu berwatak periang dan jenaka.

"Bagus, akan makan enak kita hari ini! Perutku sudah lapar bukan main!"

Dan Bi Lan pun lalu berlari-lari kecil menuju ke sumber air. Ketika rasa nyeri pahanya membuatnya menjerit kecil, barulah dia teringat akan kakinya yang sakit dan dia pun melanjutkan lari dengan terpincang-pincang.

Hong Beng memandang sampai gadis itu lenyap di balik pohon-pohon. Menarik dan lucu, menyenangkan sekali gadis itu, pikirnya. Seorang gadis yang sangat baik, yang mungkin selama ini memperoleh pergaulan dengan orang-orang yang tidak patut. Baru dia teringat bahwa dia belum tahu siapa gadis itu, dari perguruan mana dan bagaimana riwayatnya. Mereka belum saling berkenalan, padahal sebentar lagi mereka sudah akan makan bersama. Akan tetapi dia tidak berani bertanya-tanya tentang diri gadis itu. Wataknya demikian aneh, jangan-jangan malah timbul lagi kecurigaannya kalau ditanya namanya.

Matahari telah naik tinggi saat keduanya duduk menghadapi nasi dan panggang daging ayam yang gemuk sambil berteduh di bawah pohon besar. Dengan lahap mereka lalu makan nasi dan daging ayam. Ketika Hong Beng mengeluarkan seguci arak, Bi Lan mengerutkan alisnya dan ia menggelengkan kepala dengan keras pada saat pemuda itu menawarkan arak padanya.

"Tidak, tidak...! Sampai mati pun aku tidak akan minum lagi minuman setan itu!" katanya dan ia lalu minum sedikit air jernih yang sejak tadi sudah ia siapkan di dalam panci.

"Nona, arak amat berguna seperti api. Jika dipergunakan menurut aturan, dia akan baik sekali bagi kesehatan. Akan tetapi kalau dibiarkan menguasai kita dan kita minum tanpa aturan, tentu akan mencelakakan dan merusak kesehatan. Arak ini bukan arak yang keras, sudah dicampur dengan air, kalau diminum setelah perut terisi makanan, akan menjadi penghangat tubuh."

Pemuda itu lalu menuangkan sedikit arak ke dalam cangkir dan meminumnya sedikit demi sedikit dan kelihatan memang enak sekali. Apa lagi bau arak itu sedap. Tiba-tiba Bi Lan mengulurkan tangan.

"Coba beri aku sedikit saja," katanya dan jantungnya berdebar khawatir.

Mengapa ia begitu percaya kepada pemuda ini? Bagaimana kalau pemuda ini seperti Sam Kwi atau seperti Bhok Gun dan melolohnya dengan arak sampai mabok? Akan tetapi, ketika Hong Beng mengulurkan tangan dan memberikan cangkir yang sudah diisi sedikit arak, dia menerima tanpa ragu, kemudian meminumnya sedikit demi sedikit, dikecupnya sedikit saja. Dan memang enak! Selain rasanya mengandung sedikit manis dan berbau sedap, juga kalau diminum sedikit tidak mencekik leher dan juga ada hawa panas yang enak memasuki perutnya.

Enak bukan main makan seperti itu. Hanya nasi dengan daging ayam yang dipanggang sederhana, dengan bumbu sederhana sekali, garam dan bawang serta kecap, dimakan panas-panas sambil duduk di atas rumput di tempat teduh, tanpa sumpit atau sendok atau pisau, hanya dengan lima jari tangan saja. Enak! Perut sudah lapar, tubuh lelah dan baru saja terlepas dari ancaman maut dan mengalami hal-hal yang menegangkan, itulah yang membuat hidangan sederhana menjadi lezat bukan main.

Berbahagialah orang yang sehat tubuh dan hatinya, sehat badan dan batinnya, di mana pun juga dia berada. Bagi orang yang sehat badannya, segalanya terasa nikmat. Panca indera yang sehat dapat menikmati segala yang dilihat, didengar, dicium, dimakan dan dirasakan. Tinggal menikmatinya saja! Segala sudah berlimpahan di sekelilingnya.

Akan tetapi, badan sehat harus pula dilengkapi dengan batin sehat. Kalau tidak, maka badan sehat itu pun tidak akan dapat menikmati segala yang ada, karena batinnya mencari dan mengharapkan keadaan yang lain dari pada yang dihadapinya, keadaan lain yang diharapkan dan dibayangkan lebih hebat, lebih baik, lebih menyenangkan dari pada yang telah ada. Pencarian ini, harapan ini otomatis melenyapkan keindahan dari keadaan yang sudah ada itu. Dan timbullah kekecewaan, tidak puas, penyesalan dan kedukaan.

Keadaan Hong Beng dan Bi Lan dapat dijadikan contoh suatu keadaan. Karena tubuh mereka sehat, lelah dan lapar, maka sudah sepatutnya kalau mereka dapat menikmati hidangan sederhana itu. Dan keadaan batin mereka pun pada saat itu sehat. Andai kata tidak demikian dan mereka membandingkan dengan keadaan lain yang hanya berupa harapan, makan dengan hidangan yang lebih lengkap, duduk di kursi dan menggunakan sumpit, dilayani dan segala macam keenakan lain yang tidak ada pada saat itu, dapat dipastikan bahwa mereka tidak akan dapat makan selahap dan selezat itu!

Jelaslah bahwa segala macam keindahan dan keenakan bukan terletak pada benda di luar diri kita, melainkan tergantung sepenuhnya kepada batin dan badan kita sendiri. Sarana untuk dapat menikmati hidup ini bukanlah kekayaan, kedudukan, kepandaian, atau pun kekuasaan. Sarana yang mutlak hanyalah kesehatan badan dan batin.

Tawa bukan hanya milik orang kaya dan tangis bukan hanya bagian orang miskin. Tawa sebagai cermin suka dan tangis sebagai cermin duka akan selalu datang silih berganti mengombang-ambingkan manusia yang belum sehat badan dan batinnya. Orang yang memiliki segala-galanya dalam arti kata yang sedalam-dalamnya, orang yang mampu menikmati setiap tarikan napas, mampu menikmati setiap teguk air, mampu melihat dan mendengar keindahan segala sesuatu yang nampak dan terdengar, adalah orang yang bijaksana. Orang bijaksana tidak tersentuh dalam arti kata terseret suka duka. Orang bijaksana adalah orang yang sehat badan dan batinnya

.

"Tidak mau tambah lagi? Ini nasinya masih, dagingnya juga masih banyak," Hong Beng menawarkan.

Bi Lan menggeleng kepala dan minum air jernih. "Cukup, aku sudah kenyang sekali."

"Araknya lagi? Sedikit lagi pun tidak apa-apa."

Kembali Bi Lan menggeleng kepala. "Teruskan makanmu sampai kenyang. Aku sudah cukup, lebih dari cukup." Ia lalu menggunakan air untuk mencuci kedua tangannya yang masih berlepotan minyak gajih ayam yang gemuk tadi.

Hong Beng kemudian melanjutkan makannya, nampak enak sekali. Bi Lan lalu menatap dan mengamati wajah pemuda itu. Seorang pemuda yang mukanya bersih dan cerah, berkulit kuning dan tampan. Akan tetapi, seorang pemuda yang sederhana. Sederhana lahir batinnya. Bukan hanya pakaian yang berwarna biru dengan sabuk putih itu yang sederhana, juga sepatunya yang sudah hampir butut, melainkan juga muka yang bersih itu tidak pesolek.

Rambut yang hitam gemuk itu tidak berbekas minyak seperti rambut Bhok Gun yang mengkilap dan berbau wangi. Tidak, pemuda ini tidak pesolek meski dalam ketampanan tidak kalah oleh Bhok Gun. Sikapnya membayangkan batin yang sederhana. Selalu nampak rendah hati, padahal, dengan ilmu kepandaian seperti itu, biasanya orang akan menjadi sombong dan besar kepala, tinggi hati. Seorang pemuda yang bahkan terlalu sederhana, akan tetapi justru di situlah letak daya tariknya.

"Sekarang aku sudah yakin benar bahwa engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap diriku..."

"Terima kasih, legalah hatiku kalau tidak dicurigai lagi," kata Hong Beng memotong.

"Tapi..." Sepasang mata jeli itu menatap tajam, seolah-olah sinarnya ingin menembus dan menjenguk isi hati pemuda itu. "... lalu kenapa engkau bersusah payah menolongku ketika aku dikepung, dan mengobatiku ketika aku terluka jarum beracun? Kalau tidak ada pamrihmu, untuk apa engkau menolongku? Kita bukan sahabat, bahkan juga bukan kenalan, kenapa engkau membantu aku dan menentang mereka?"

Hong Beng menyuapkan segenggam nasi ke mulutnya dan mengunyahnya perlahan-lahan sambil mengamati wajah yang manis itu. Seorang dara cantik sekali, cantik manis meski kulit muka yang putih mulus itu tidak berbau bedak dan gincu. Manis, terutama sekali mulut yang kecil mungil itu, dengan lesung pipit di kanan kirinya yang nampak membayang kalau bicara, nampak mengintai kalau cemberut, dan nampak cerah dan jelas kalau tersenyum. Sepasang mata itu bersinar-sinar penuh gairah dan semangat hidup, penuh kegembiraan. Seorang gadis yang manis.

"Kenapa? Kenapa kau lakukan semua itu? Jawablah agar aku tidak merasa penasaran."

Hong Beng menelan makanan dalam mulutnya. Sebelum menjawab, dia menghabiskan sisa arak dalam cangkirnya. "Nona, sejenak aku tak mampu menjawab. Pertanyaanmu itu sangat aneh terdengar olehku. Mengapa seseorang menolong orang lain? Mengapa seseorang melakukan gangguan kepada orang lain? Mengapa orang selalu melakukan kebaikan atau keburukan terhadap orang lain? Nona, kalau menurut pendapatmu, anehkah kalau orang menolong orang lain tanpa pamrih?"

"Tentu saja aneh, bahkan tak masuk akal! Segala perbuatan kita tentu terdorong oleh sesuatu pamrih, untuk mencapai sesuatu, atau memiliki tujuan tertentu. Kalau tadi aku memukulmu, hendak membunuhmu, tentu ada sebabnya, bukan? Sebabnya, karena engkau kuanggap jahat. Dan jika sekarang aku mau makan minum bersamamu, duduk bercakap-cakap, tentu ada sebabnya pula, karena kini aku percaya padamu sebagai seorang yang baik. Nah, tentu ketika kau menolongku tadi, ada pamrihnya."

Hong Beng bengong. Alasan-alasan itu sungguh mengandung kebenaran bagi manusia pada umumnya. Akan tetapi sekaligus membuka mata betapa kotornya kalau setiap perbuatan itu mengandung pamrih.

Katakanlah pertolongannya terhadap Bi Lan berpamrih, maka pamrihnya itu tentu kotor. Apa yang kiranya dapat diharapkannya dari gadis ini? Satu-satunya tentu karena gadis ini manis, dan pamrihnya tentu dikuasai nafsu birahi. Tidak! Sama sekali tidak demikian yang mendorongnya menolong gadis itu.

"Nona, bagiku, apa yang telah kulakukan terhadap dirimu tadi bukanlah perbuatan yang didorong oleh pamrih, melainkan didorong oleh perasaan iba terhadap yang tertindas, dan perasaan menentang terhadap segala macam kejahatan. Perbuatan tadi kuanggap sebagai suatu keharusan, sebagai suatu kewajiban. Andai kata bukan engkau yang tadi terancam maut, andai kata seorang laki-laki pun, atau seorang nenek tua buruk sekali pun, tetap saja aku akan turun tangan dan berusaha menyelamatkannya."

Bi Lan mengerutkan alisnya dan nampak kepalanya sedikit bergoyang. Agaknya sukar baginya menerima alasan ini. Di dalam dunia Sam Kwi yang dikenalnya sejak ia masih kecil, segala perbuatan tentu ada pamrihnya, pamrih untuk kepentingan diri sendiri, untuk keuntungan dan kesenangan diri sendiri.

Akan tetapi dia lalu teringat bahwa suhu dan subo-nya dari Istana Gurun Pasir pernah mengatakan bahwa seorang yang berjiwa pendekar harus selalu siap mengulurkan tangan untuk menolong orang-orang yang lemah tertindas, dan menggulung lengan baju menentang orang-orang yang kuat dan jahat.

"Engkau seorang pendekar?" tiba-tiba ia bertanya sambil menatap wajah itu. Hong Beng sudah selesai makan dan sedang mencuci kedua tangannya seperti yang dilakukan Bi Lan tadi.

Hong Beng menggeleng kepala. "Pendekar bukanlah suatu kedudukan atau pangkat, nona. Penilaiannya terserah kepada si penilai, tergantung dari sepak terjangnya dalam kehidupannya. Aku seorang manusia biasa saja yang kebetulan bertemu denganmu di rumah makan itu, dan merasa curiga terhadap orang-orang berpakaian merah itu sebab aku sudah mendengar tentang adanya Ang-i Mo-pang yang kabarnya kini merajalela di Kun-ming. Karena itulah aku diam-diam membayangimu. Ketua Ang-i Mo-pang itu lihai sekali dan juga jahat. Melihat kau dikepung dan terancam bahaya, dengan melupakan kebodohan sendiri aku pun kemudian terjun ke dalam perkelahian dan untung dapat melarikanmu."

Bi Lan mengangguk-angguk. "Kalau begitu engkau adalah seorang pendekar! Siapakah namamu?"

Girang hati Hong Beng. Sejak tadi dia ingin sekali berkenalan dengan nona ini, akan tetapi tidak berani bertanya nama. Sekarang gadis itu menanyakan namanya, berarti mereka menjadi kenalan dan dia tentu akan mendengar tentang keadaan nona yang menarik hatinya ini.

"Namaku Gu Hong Beng, nona. Dan siapa kau, nona?"

“Aku Can Bi Lan, tapi guru-guruku dan suci-ku menyebut aku Siauw-kwi."

Hong Beng tertawa. "Aihhh, guru-gurumu dan suci-mu tentu hanya berkelakar. Masa orang seperti nona ini disebut Iblis Cilik?"

"Benar, aku disebut Siauw-kwi. Kami semuanya memakai sebutan Iblis. Aku Iblis Cilik, suci-ku disebut Iblis Cantik, dan tiga orang guru kami dikenal sebagai Tiga Iblis..."

"Kau maksudkan... Sam Kwi...?"

"Benar. Aku dan suci adalah murid-murid Sam Kwi yang terdiri dari Raja Iblis Hitam, Iblis Akhirat, dan Iblis Mayat Hidup..."

"Ahhh...! Ohhh..." Hong Beng terbelalak.

"Kenapa kau ber-ah-oh seperti sedang gagu?"

"Aku pernah mendengar bahwa Sam Kwi adalah tiga datuk kaum sesat yang namanya pernah menggegerkan dunia persilatan di barat dan selatan."

"Benar, habis mengapa?"

"Nona..."

"Nanti dulu! Jemu aku jika mendengar engkau menyebutku nona-nona segala macam. Namaku Bi Lan dan engkau boleh menyebutku Bi Lan atau Siauw-kwi, terserah, akan tetapi jangan nona-nonaan!"

Hong Beng mengangguk-angguk. Kini sikap Bi Lan sudah tidak dianggapnya lucu lagi. Pantas sikapnya demikian liar, kiranya gadis ini murid Sam Kwi.

"Bi Lan, kalau suci-mu itu murid Sam Kwi, memang tepat. Akan tetapi siapa mau percaya bahwa engkau murid Sam Kwi? Engkau begini... begini... polos, jujur dan baik. Sukar dipercaya bahwa kau murid Tiga Iblis itu."

"Percaya atau tidak terserah. Dan bagaimana pun juga, Sam Kwi adalah tiga orang tua yang menyelamatkan aku, menjadi pengganti orang tuaku, guru-guruku, dan juga amat sayang kepadaku."

Hong Beng menggelengkan kepala perlahan. Sungguh luar biasa.

"Menurut pendengaranku, Sam Kwi adalah tiga orang datuk kaum sesat yang sangat kejam dan jahat. Dan engkau, yang menjadi muridnya, begini baik dan menganggap mereka sebagai orang-orang yang demikian baiknya. Luar biasa. Apakah kau sejak kecil menjadi murid mereka, Bi Lan?"

Gadis itu mengangguk. Wataknya memang polos dan kasar, walau pun kekasaran yang tadinya liar itu sudah menjadi jinak dan tahu aturan semenjak ia digembleng oleh suami isteri sakti Kao Kok Cu dan Wan Ceng.

"Ketika aku berusia sepuluh tahun, aku bersama ayah dan ibu melarikan diri dari selatan karena di sana ada perang pemberontakan yang dibantu pasukan-pasukan Birma. Di tengah perjalanan kami dihadang pasukan Birma yang jahat dan ayah ibu tewas oleh mereka. Aku diselamatkan oleh Sam Kwi dan sejak itu aku diambil murid mereka yang ke dua." Menceritakan ini, Bi Lan teringat akan kematian orang tuanya dan wajahnya diselimuti awan kedukaan.

"Ahh, nasibmu sungguh buruk, Bi Lan. Engkau kehilangan orang tuamu sejak kecil dan terjatuh ke dalam tangan tiga orang datuk sesat yang jahat."

Betapa pun jahatnya Sam Kwi, Bi Lan tidak menganggap mereka jahat, apa lagi karena ia tahu betapa besar rasa sayang mereka kepadanya dan betapa ia telah diselamatkan oleh mereka. Karena itu, mendengar celaan ini, ia merasa tidak senang dan seketika kedukaannya hilang. Bagi murid Sam Kwi memang tidak boleh tenggelam ke dalam kedukaan, demikian ajaran mereka.

"Ketiga suhu-ku tidak jahat!" bantahnya. "Sudahlah, Hong Beng. Engkau minta aku bicara tentang diriku saja, sedangkan engkau belum bercerita tentang dirimu. Engkau tentu seorang pendekar, bukan?"

Hong Beng menggeleng kepala dan alisnya berkerut. "Tidak banyak perbedaan antara nasibmu dan nasibku, Bi Lan. Ketika aku berusia sebelas tahun, terjadi mala petaka menimpa ayah ibuku. Mereka tewas di tangan pembesar di Siang-nam. Aku sendiri hampir mereka bunuh, akan tetapi muncul seorang pendekar sakti yang menyelamatkan aku dan kemudian aku diambil sebagai murid. Guruku itu bernama Suma Ciang Bun, seorang pendekar keluarga Pulau Es."

"Ihhh...!" Bi Lan meloncat bangkit ke belakang dan memandang tajam. Melihat sikap gadis itu, Hong Beng terkejut dan dia pun bangkit berdiri.

"Kenapa, Bi Lan?" Hong Beng bertanya heran dan khawatir.

"Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dia adalah musuh besar ketiga orang guruku! Bahkan dahulu suci pernah diutus oleh mereka untuk mencari pendekar itu dan untuk membalaskan sakit hati mereka karena mereka pernah dikalahkan oleh pendekar itu. Akan tetapi sayang, pendekar itu telah meninggal dunia. Jadi engkau termasuk murid Pulau Es?"

"Suhu-ku adalah cucu dari Pendekar Super Sakti yang bernama Suma Han, akan tetapi menurut suhu, Pulau Es sudah lenyap bersama kakek itu. Aku belum pernah melihat Pulau Es. Bi Lan, kuharap engkau sebagai murid Sam Kwi tidak akan memusuhi anak murid Pulau Es yang tidak tahu menahu tentang permusuhan antara tiga orang suhu-mu dengan mendiang Pendekar Super Sakti."

Bi Lan menggeleng kepala. "Aku tidak pernah berjanji kepada mereka untuk memusuhi keturunan Pulau Es. Akan tetapi suci yang pernah berkata bahwa ia akan membasmi semua keturunan Pulau Es untuk membalaskan kekalahan Sam Kwi. Hemm, kiranya engkau masih murid dari cucu pendekar itu, pantas engkau amat lihai dan engkau pun berwatak pendekar. Hong Beng, aku tidak memusuhimu, hanya terkejut mendengar engkau murid keluarga Pulau Es. Belum kau ceritakan, engkau dari mana dan hendak pergi ke mana."

"Aku diutus oleh suhu untuk suatu tugas penting di kota raja, akan tetapi aku lebih dulu pergi ke selatan untuk mengunjungi makam ayah ibuku. Malam tadi aku bermalam di makam itu dan pagi tadi kebetulan bertemu dengan engkau dengan suci-mu. Dan engkau sendiri, hendak pergi ke manakah?"

"Aku dan suci juga menerima tugas dari Sam Kwi untuk mencari dan merampas kembali sebuah pusaka. Sebetulnya, suci yang melaksanakan tugas-tugas itu, dan aku sudah berjanji untuk membantu suci."

"Satu lagi pertanyaanku, Bi Lan. Pedangmu itu...! Sungguh mati aku merasa ngeri melihat pedang itu. Sebuah pedang pusaka yang luar biasa, mengandung hawa yang menyeramkan. Apakah pedang itu pemberian Sam Kwi kepadamu?"

Bi Lan meraba gagang pedang di balik bajunya dan tersenyum. Manisnya kalau dia tersenyum! "Bukan, Hong Beng. Ini pemberian atau lebih tepat lagi, dipinjamkan oleh subo kepadaku."

"Subo-mu? Ahh, maksudmu tentu isteri seorang di antara Sam Kwi."

"Bukan! Belum kuceritakan tadi kepadamu bahwa selain Sam Kwi, aku masih memiliki seorang suhu dan subo lain yang sama sekali tak boleh disamakan dengan Sam Kwi. Mereka adalah penolong-penolongku dan juga guru-guruku yang sangat kuhormati. Ketahuilah, ketika aku menjadi murid Sam Kwi, yang melatih aku dalam ilmu silat bukan Sam Kwi sendiri melainkan suci-ku, Bi-kwi. Dan suci telah sengaja melatih aku secara keliru, menyelewengkan latihan-latihan itu sehingga aku hampir menjadi gila karena keliru latihan. Untung aku bertemu dengan suhu dan subo itu yang mengobatiku, dan melatihku selama setengah tahun. Dan pada saat kami saling berpisah, subo memberi pinjam pedangnya ini dan kelak aku akan mengembalikannya kepada mereka di Istana Gurun Pasir."

Kini Hong Beng melonjak kaget, matanya terbelalak memandang wajah gadis itu.

"Apa kau bilang tadi? Istana Gurun Pasir? Gurumu itu...?"

"Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya."

"Ahhh...! Aku telah bersikap kurang hormat...!" Hong Beng lalu menjura kepada Bi Lan.

Gadis itu tertawa. "Hi-hi-hik, apa-apaan kau ini Hong Beng? Apakah penghormatan itu dilakukan karena sebuah nama?"

"Tentu saja. Nama besar dan nama baik mendatangkan perasaan menghormat. Kiranya engkau menjadi murid pula dari locianpwe Kao Kok Cu yang sakti! Luar biasa sekali! Suhu-ku pernah bercerita kepadaku tentang pendekar sakti itu yang membuat hatiku kagum bukan main. Bahkan suhu memesan kepadaku agar supaya aku pergi mencari puteranya yang bernama Kao Cin Liong. Akan tetapi bagaimana pedang milik isteri pendekar sakti itu begitu... begitu... mengerikan?"

"Subo juga mengatakan bahwa pedang ini bukan pedang sembarangan dan memiliki hawa yang mengerikan, namanya Ban-tok-kiam dan subo melarang aku menggunakan pedang ini sembarangan saja, hanya boleh dipergunakan untuk membela diri. Memang hebat dan kurasa umurnya sudah amat tua. Lihat, bukankah pedang ini hebat bukan main?"

Dicabutnya pedang Ban-tok-kiam itu dari sarungnya. Hong Beng langsung merasa bulu tengkuknya meremang melihat sinar pedang yang hijau kehitaman dan mengandung hawa menyeramkan itu. Dengan ngeri dia membayangkan entah sudah berapa banyak darah manusia diminum pedang ini, dan entah berapa banyak nyawa diantar ke alam baka.

"Omitohud...! Pedang yang hebat!"

Tiba-tiba terdengar suara orang dan tahu-tahu di depan Bi Lan sudah berdiri seorang kakek bertubuh tinggi besar gendut, berkepala gundul dan mengenakan jubah yang biasa dipakai oleh pendeta Lama dari Tibet, yaitu jubah yang berkotak-kotak kuning dan merah.

Sukar menaksir berapa usia kakek ini. Selain tubuhnya yang tinggi besar dengan perut gendut itu amat menarik perhatian, juga wajahnya seperti seekor singa, penuh cambang bauk dan brewok, amat berlawanan dengan kepalanya yang dicukur kelimis. Muka itu benar-benar mirip muka singa, dan yang lebih mengerikan lagi, bulu atau rambut di mukanya itu, yang sebenarnya adalah cambang, kumis dan jenggot, berwarna agak kuning dan mengkilap seperti benang sutera emas. Sepasang matanya mencorong dan mulutnya lebar tersenyum penuh ejekan.

Hong Beng merasa terkejut bukan main. Kakek yang melihat pakaiannya tentu seorang pendeta Lama dari Tibet ini dapat muncul begitu saja tanpa diketahuinya, bahkan Bi Lan agaknya juga tidak tahu. Tiba-tiba saja kakek itu muncul di dekat mereka. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kepandaian tinggi sekali.

"Omitohud... pusaka yang bagus sekali...," kembali kakek itu berkata sambil kakinya melangkah ke arah Bi Lan.

"Bi Lan, hati-hati...!" Hong Beng berseru dan menerjang ke depan ketika dia melihat pendeta itu membuat gerakan aneh.

Namun terlambat. Nampak bayangan merah dan tahu-tahu jubah lebar kakek itu sudah meluncur dan bagaikan sebuah jala, jubah itu menerkam ke arah Bi Lan. Gadis ini gelagapan karena tidak dapat melihat apa-apa dan tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang amat kuat, dengan jari-jari besar panjang, telah mencengkeram tangan kanannya yang memegang gagang pedang. Seperti akan patah-patah semua jari tangannya ketika dicengkeram tangan itu.

Pada saat itu, Hong Beng yang sudah menaruh curiga namun karena gerakan kakek itu amat cepat sehingga dia kalah dulu, sudah menyerang dengan tamparan yang kuat ke arah leher kakek itu. Kakek itu menggunakan tangan kiri mencengkeram tangan Bi Lan, sedangkan lengan kanannya digerakkan untuk menangkis tamparan Hong Beng.

"Dukkk...!"

Tubuh Hong Beng terpelanting dan dia hampir roboh. Pemuda itu terkejut bukan main dan meloncat ke samping.

Sementara itu, Bi Lan tak mampu mempertahankan pedangnya yang sudah berpindah tangan. Ketika kakek itu menarik kembali jubahnya sedangkan pedang sudah berpindah ke tangan kirinya, Bi Lan menyerang dengan marah, menggunakan pukulan Sin-liong Ciang-hwat. Kakek itu, sambil mengamati pedang dengan mulut menyeringai, hanya mengangkat lengan kanan menangkis.

"Dukkk...!"

Akibatnya, tubuh Bi Lan terdorong ke belakang, akan tetapi juga kakek itu terhuyung.

"Omitohud...! Kalian ini orang-orang muda yang hebat. Dan pedang ini hebat pula. Apa namanya tadi? Ban-tok-kiam? Pedang yang bagus!" Dia mengamati pedang itu dengan wajah gembira sekali.

Hong Beng dan Bi Lan sudah memasang kuda-kuda, menghadang kakek itu dari kanan dan kiri.

"Orang tua, kembalikan pedangku!" Bi Lan membentak dan memandang marah.

"Locianpwe, harap suka mengembalikan pusaka itu kepada pemiliknya," Hong Beng juga membujuk, bicara dengan sopan karena dia dapat menduga bahwa pendeta ini tentu seorang sakti yang agaknya kagum dan tertarik melihat Ban-tok-kiam.

"Ha-ha-ha-ha....!" Kakek itu tertawa dan dua orang muda itu segera terkejut dan cepat mengerahkan sinkang-nya. Suara ketawa kakek itu mengandung getaran hebat seperti auman seekor singa marah!

"Ban-tok-kiam ini hanya pantas berada di tangan Sai-cu Lama, ha-ha-ha-ha...!" Suara ketawanya yang terakhir semakin hebat dan kuat getarannya sehingga dua orang muda itu sampai menahan napas memperkuat pengerahan sinkang mereka.

"Wuutt... singg-singg...!"

Nampak sinar hitam berkelebatan ketika kakek itu menggerakkan Ban-tok-kiam ke kiri kanan. Hong Beng dan Bi Lan terpaksa meloncat mundur karena Ban-tok-kiam memang hebat sekali, apa lagi digerakkan dengan tenaga yang demikian besarnya. Mereka siap siaga untuk merampas kembali pedang itu, namun mereka berhati-hati karena maklum bahwa kakek itu lihai bukan main.

Dan kakek itu sambil tertawa-tawa agaknya memandang rendah mereka dan mengobat-abitkan pedang itu ke kanan kiri seperti orang yang menakut-nakuti anak kecil.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, datangnya dari jauh sekali. Tetapi suara lengkingan itu terdengar begitu jelas dan mendadak saja wajah pendeta Lama yang mengaku bernama atau berjuluk Sai-cu Lama (Pendeta Lama Singa) itu nampak terkejut dan pandang matanya liar diarahkan ke bawah lereng bukit dari mana suara itu datang.

"Demi iblis neraka! Dia sudah datang lagi!" katanya lirih dan tiba-tiba saja dia melompat ke belakang.

"Hei, kembalikan pedangku!" Bi Lan mengejar.

Akan tetapi mendadak kakek itu menyambutnya dengan serangan Ban-tok-kiam yang ditusukkan ke arah perut gadis itu. Bi Lan cepat mengelak, akan tetapi kakek itu sudah melompat dan berlari cepat sekali, menghilang ke dalam hutan di sebelah barat lereng itu. Bi Lan bersama Hong Beng melakukan pengejaran, akan tetapi biar pun mereka sudah mencari-cari sampai lama, kakek yang merampas Ban-tok-kiam itu tak nampak lagi bayangannya.

"Celaka...!" Bi Lan hampir menangis. Dia marah sekali dan membanting-banting kaki kanannya sampai tanah di depannya itu melesak ke bawah. "Pusaka pinjaman dari subo itu telah dirampas iblis tua bangka tadi. Celaka...!"

"Tenanglah, Bi Lan. Setidaknya kita sudah mengenal nama julukannya. Sai-cu Lama, nama yang asing bagiku. Dia adalah seorang pendeta, agaknya dia tidak bermaksud buruk, hanya meminjam pusaka itu karena tertarik, dan tidak akan merampasnya begitu saja. Aku percaya bahwa sebagai seorang pendeta, dia akan mengembalikan pusaka itu. Tadi dia pergi karena terkejut mendengar suara melengking itu, entah siapa yang membuatnya begitu kaget dan ketakutan."

"Kalau aku tidak percaya! Aku tidak percaya kepada segala macam pendeta. Biasanya, jubah pendeta itu hanya untuk kedok supaya kejahatannya tidak nampak." Gadis itu cemberut. "Buktinya, begitu jumpa dia sudah merampas pedangku. Kalau dia tidak ingin merampas, mengapa tadi dia menyerang kita? Bahkan tusukannya yang terakhir tadi amat berbahaya dan kalau aku tidak cepat mengelak, tentu aku sudah mati. Tidak, dia bukan manusia baik-baik."

Hong Beng tidak mau membantah karena dia tahu bahwa gadis itu sedang jengkel dan marah. "Aku akan membantumu mencari pendeta itu dan minta kembali pusakamu. Biar pun aku belum mengenal nama Sai-cu Lama, tetapi seorang dengan ilmu kepandaian setinggi itu tentu dikenal di dunia kang-ouw dan aku akan menyelidiki di mana aku dapat mencarinya."

"Aku harus cepat melapor kepada subo kalau aku tidak mampu merampasnya kembali. Ahhh, subo tentu akan kecewa dan marah kepadaku..." Dengan cemberut Bi Lan dan Hong Beng lalu keluar dari dalam hutan itu.

"Sstttt!" Tiba-tiba Hong Beng berbisik dan menuding ke depan.

Dari tempat mereka berdiri, di luar hutan itu, mereka melihat seorang kakek berkepala gundul sedang berjalan perlahan-lahan menuruni lereng.

"Keparat, tentu dia orangnya...!" Bi Lan berteriak dan cepat gadis ini melompat ke depan dan melakukan pengejaran.

"Bi Lan, nanti dulu...!" Hong Beng berseru dan terpaksa mengejar pula dengan cepat karena dia tidak ingin gadis itu salah tangan. Dari jauh dia sudah melihat bahwa biar pun orang yang baru berjalan menuruni lereng itu juga berkepala gundul, akan tetapi jubahnya yang lebar itu berwarna kuning, bukan kotak-kotak merah kuning seperti yang dipakai oleh Sai-cu Lama tadi.

Kini Bi Lan sudah tiba di dekat kakek gundul itu dan tanpa banyak cakap lagi ia sudah mengirim pukulan dari samping. Hebat sekali pukulan gadis ini, sebab saking marahnya, ia sudah mengeluarkan satu di antara pukulan yang oleh subo-nya sudah dipesan agar tidak sembarangan mempergunakannya, seperti juga pedangnya, yaitu Ilmu Pukulan Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun).

Itulah sebuah pukulan yang dilakukan dengan pengerahan sinkang tertentu, tidak terlalu keras nampaknya, akan tetapi pukulan ini mengandung hawa beracun yang sudah merendam tangan Bi Lan ketika dilatih oleh subo-nya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SULING NAGA (BAGIAN KE-12 SERIAL BU KEK SIANSU)

Suling Naga